“Jadi, kamu takut kalau nanti kakek jadi hantu?” tanyaku memastikan.“Iya, Kak. Aku takut kakek jadi setan gentayangan nanti jadi hantuin aku,” jawabnya polos.“Masih hidup aja permainan rahasianya bikin mulut dan tenggorokanku sakit apa lagi sudah jadi setan. Aku takut dibunuh setan kakek, Kak,” imbuhnya. Kini raut wajah Cici memang terlihat sekali ketakutan.“Astaghfirullahal’adhiim ... Ci, orang yang sudah meninggal itu tidak akan pernah jadi setan. Makanya kamu mulai sekarang harus rajin berdoa salatnya jangan bolong-bolong, ya?” Kubingkai wajah chubby Cici, dia meringis memperlihatkan gigi kelincinya. Gemes sekali.“Iya, Kak. Aku akan rajin salat dan mengaji. Kak, apa kakek nekat bunuh diri begitu karena tidak main permainan rahasia lagi denganku? Kakak lihat kan, itu lidah kakek menjulur begitu. Aku takut sekali.”“Bukan Ci, kakek begitu karena enggak ada iman. Sudah jangan dipikirkan lagi. Lebih baik kamu do’akan untuk kakek.”“Baik, Kak. Ya Allah, semoga kakek tidak jadi seta
“Eh, Neng. Mangga,” ucap ibu yang sedang menyiangi sayuran. Aku menanggapinya dengan anggukan kepala.“Kamu itu gimana Mama Ganis? Mbak ini kan, cucunya almarhum. Memangnya kamu enggak tahu?”“Gimana mau tahu, dia kan, pelakor!” timpal ibu yang menata piring disambut gelak tawa yang lain.Tante Rima tambah pucat. Dia diam seribu bahasa.“Aku kenal sama Tante Rima kok, Bu. Dia kemarin baru dari rumahku, tapi dia bilangnya istri almarhum ayahku bukan istri opa.” Mendengar pengakuanku tentu saja mereka kaget.“Astaghfirullah, Rima. Kamu kapan sadarnya! Awas loh, kena karma!” ucap ibu yang duduk tepat di depan Tante Rima seraya menepuk bahu Tante Rima.“Orang kalau udah berkelakuan buruk memang begini susah insyafnya,” sahut yang lain.Aku tersenyum sinis memandang Tante Rima sedang dia sama sekali tidak berani melihatku.“Lama sekali, Al. Devi sudah berhenti nangisnya?” Nenek menyusulku ke dapur.“Bukan Tante Devi ataupun Nindi yang nangis, Nek. Tuh!” Aku menunjuk Tante Rima.“Loh, kamu
🌸🌸🌸🌸“Syukurlah ... kamu sudah sadar, Al.” Om Ardi membantuku untuk duduk bersandar.“Sudah jangan sedih gitu setiap yang bernyawa pasti akan mati. Doakan yang terbaik untuk opa dan omamu.” Kali ini Om Ardi memberiku teh hangat dan juga ponselku.“Tadi Nindi telepon ke HP-ku akhirnya aku katakan padanya kalau kamu pingsan.” Angga ikut menimpali.“Kakak, jangan ikut mati nanti aku tidak punya Kakak lagi.” Cici menghambur ke pelukanku.“Kakak, enggak mati Ci. Tadi hanya pingsan saja. Jangan sedih, ya?” Cici mengangguk seraya mengusap air matanya.Gara-gara aku pingsan seisi rumah ini jadi panik dan malah sibuk mengurusku. Kulirik jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Para pelayat juga sudah sepi hanya ada beberapa bapak-bapak yang duduk di teras dan tenda.“Kamu tidurlah Ngga, sudah malam besok kamu pulang kan, bawa motor takut kenapa-napa,” titahku.“Aman itu Al, kalau aku ngantuk tinggal telepon aja anak buah papa suruh jemput,” jawab Angga matanya fokus ke benda pipih di tanganny
“Ssttt ... subuhan dulu nanti Nenek kasih tahu,” jawab nenek aku mengiyakan saja.Aku salat tidak bisa konsentrasi penuh anak Tante Rima terus saja merengek entah apa yang salah dengannya.Selesai salat Bik Siti langsung menggendong anak itu, tapi tetap saja tidak mau diam.“Ini Mbak, aku buatkan teh untuk si Ganis. Mungkin dia haus.” Tetangga yang membantu kami membawakan dot berisi air teh hangat untuk Ganis.“Terima kasih, Bu. Tapi, apa dia minum teh?” Bik Siti seperti ragu untuk memberikannya pada Ganis.“Tiap hari minumnya teh manis kalau ditinggal ibunya kerja, Mbak. Jangan khawatir dia akan baik-baik saja,” jawab ibu itu.Ajaib dia langsung diam dan lahap minumnya. Kasihan sekali hanya dikasih teh manis biasanya anak segini minum susu.“Em ... bau asem! Mandi sana, Nak. Malah bengong,” ujar nenek mencium pipiku.“Nanti, Nek, masih dingin. Tante Rima kenapa, Nek?”“Kepleset di depan pintu dapur itu kan licin, ternyata dia sedang hamil muda, tapi enggak tahu. Pendarahan dan kegug
“Mbak Alya, kenapa lihat saya begitu?” tanya seseibu yang mengaku bernama Mei ini.“Enggak apa-apa kok, aku hanya seperti melihat ... ah, sudahlah.”“Iih, Mbak Alya bikin takut saya aja,” ucapnya lagi seraya merapatkan tubuhnya padaku. Ternyata penakut!Teriakan orang di depan sudah tidak terdengar lagi. Nindi? Dia masih berdiri elegan seperti tidak terjadi sesuatu padahal kusak-kusuk para tetangga mulai bikin kuping panas.“Apa benar itu Nindi pelakor?”“Ssstt ... jangan berisik kita fokus berdoa aja.”“Pelakor atau bukan itu tidak mempengaruhi hidup kita.”“Kata siapa tidak mempengaruhi? Ini loh kompleks perumahan kita ngeri kalau suami kita kepincut juga.”“Service yang baik kalau suaminya enggk mau kepincut pelakor.”“Pelakornya masih kinyis-kinyis. Belasan tahun.”“Ibarat mangga masih ranum-ranumnya itu.”“Kalau aku sih, suami mau sama pelakor buang aja enggak usah ditangisi.”“Bener tuh, suami yang baik tidak akan pernah tergoda perempuan di luar.”“Sayangnya langka suami begitu
Kini aku paham. Aku biarkan saja mereka bicara ini dan itu. Toh, aku bukan ahli waris oma jadi tidak berkewajiban membayarkan utang oma. Masih ada Tante Devi dialah yang berkewajiban membayarkan utang-utang orang tuanya.“Utangnya berapa?” tanyaku pada akhirnya.“15 juta rupiah, Mbak Alya. Itu uang saya mau dipakai untuk mupuk kebun jagung. Katanya janji satu bulan belum ada satu bulan orangnya sudah meninggal dunia,” sahut Bu Mei lagi.Sebenarnya aku lumayan terkejut karena nominal utang oma. Untuk apa oma utang segitu banyak.“Perkara utang memang sangat sulit. Maka dari itu saya mau tanya, adakah saksi satu bukti bahwa almarhumah berhutang pada ibu Mei?” tanya Ustaz.Aku ingin ketawa melihat ekspresi Bu Mei, dia seperti cacing kepanasan.“Kalau saksi memang tidak ada Pak Ustaz karena kami kan, keluarga jadi saling percaya saja begitu.” Om Yuda ikut menimpali. Duh, dia sudah seperti juru bicara saja.“Iya, benar Pak Ustaz. Saya berani bersumpah kalau saya tidak bohong,” ucap Bu Mei
“Kalau aku tidak mau?”“A—ku ... aku akan laporkan kalian ke istrinya.” Mendengar itu justru Nindi tertawa terbahak-bahak. Mengerikan sekali.“Lapor saja aku sama sekali tidak takut!” jawab Nindi dan berlalu pergi.“Dasar tidak punya hati! Pelakor! Murahan!” maki perempuan itu lagi.“Apa bedanya aku dengan kamu!? Jangan ganggu aku lagi kalau tidak mau hidupmu tambah berantakan!” Ancam Nindi.“Nindi, tunggu!” Kutarik lengan Nindi kuat sekali hingga dia mengaduh kesakitan.“Gika kamu, ya, Nind! Otakmu di mana? Sudahi semua!” pintaku.“Jangan atur hidupku, Al. Aku tahu mana yang terbaik untuk diriku sendiri! Jangan pernah ikut campur!” bentak Nindi, dia mendorongku.Aku benar-benar tidak paham jalan pikiran Nindi. Entah setan apa yang sudah meracuni otaknya . Hatinya telah mati.“Mbak, sebaiknya pulang saja. Mungkin saat ini sepupuku belum bisa diajak bicara aku akan bantu bilang padanya.” Perempuan itu tidak menjawab. Dia terus saja menangis dan beranjak pergi.Kasihan sekali. Ternyata
🌸🌸🌸"Jangan mengada-ada kamu! Mana bisa begitu? Jual rumah itu tidak segampang jualan tempe!” Tante Devi memukulkan majalah yang ada di atas meja ke bahu Tante Rima.“Ka—lau itu saya tidak tahu, Mbak. Tapi, beneran aku dan Ganis diminta pergi dari sana.” Tante Rima terlihat sangat ketakutan sekali.“Apa yang menempati memberi tahu tanda bukti penjualannya, Rim?” tanya kakek menengahi.“Aku pun tidak menanyakan itu, Pak. Aku tidak paham.” Tante Rima sepertinya berkata jujur. Dia sesekali menghela nafas berat.“Kamu ikut aku ke sana! Awas kalau kamu bohong!”“Ba—ik, Mbak.”“Rim, sarapan dulu sana pasti kamu lelah dan lapar. Biar Bik Siti yang antar kamu,” ucap nenek.“Enggak ada waktu kita berangkat sekarang!”“Enggak bisa gitu, Dev! Dia punya anak perjalanan jauh pasti capek dan lapar!” bentak nenek.Tante Devi mendengus kesal lalu masuk kamar.“Nin, mau sekolah enggak?” tanyaku pada Nindi yang sedari tadi sama sekali tidak peduli pada keributan yang terjadi dia sibuk dengan ponseln