“Oma bangun, ya, nanti kita jalan-jalan. Oma mau beli apa aja aku belikan.” Kubelai wajah cantik oma. Kata orang aku sedikit mirip oma.“Oma, tahu enggak yang ambil uang Oma dua puluh juta rupiah itu aku, he-he maafkan aku ya, Oma. Aku sengaja lakuin itu habisnya aku kesal sekali pada Oma,” kataku lagi. Padahal mulutku tertawa, tapi entah kenapa air mataku keluar.“Itu uang Oma dapat dari ayah kan? Dapat dari penjualan cincin berlianku, kan?”“Oma, please dengar ya? Bangun ya? Aku sayang banget sama Oma.” Kudekatkan kupingku ke mulut oma berharap oma menyahut ucapanku. Konyol memang, dan hanya terdengar suara nat nit nut dari monitor perekam jantung. Air mataku makin deras.“Tenang aja, nanti uangnya aku ganti tiga kali lipat. Oma mau apa lagi? Mau beli cincin berlian? Beli tas branded? Beli sepatu atau baju branded? Aku belikan untuk Oma. Atau Oma pingin jalan-jalan ke Bali?” kataku sedih.Oma sama sekali tidak merespon. Aku tahu itu sangat mustahil bagi orang yang masuk ICU bisa sem
🌸🌸🌸🌸“Astaghfirullah ... Opa, innalilahi waInnailaihiroji’uun,” gumamku.Aku sungguh tak percaya dengan semua yang kulihat. Opa nekat sekali mengakhiri hidupnya begini. Hanya kasih sayang dan ampunan Allah yang akan menolongnya di akhirat kelak.Tiga anggota kepolisian dibantu beberapa warga menurunkan jenazah opa.Opa nekat gantung diri pas di pintu masuk rumahnya menggunakan tali tambang yang sepertinya masih baru karena warna dan baunya masih tajam.Kakek berkali-kali mengelus pundakku. Aku paham pasti kakek tidak mau aku sedih. Kusak-kusuk mulut tetangga sudah mulai memenuhi indra pendengaranku.Setelah memeriksa mayat opa yang dilakukan oleh pihak kepolisian dibantu dokter puskesmas daerah sini memutuskan opa benar-benar murni melakukannya sendiri.“Jadi tidak perlu dibawa ke rumah sakit, Om?” tanyaku.“Tidak usah, Al. Berdasarkan keterangan beberapa warga yang melihat opamu beli tali jemuran ini di warung depan rumah sudah jelas kalau opamu memang dengan sengaja mengakhiri
“Jadi, kamu takut kalau nanti kakek jadi hantu?” tanyaku memastikan.“Iya, Kak. Aku takut kakek jadi setan gentayangan nanti jadi hantuin aku,” jawabnya polos.“Masih hidup aja permainan rahasianya bikin mulut dan tenggorokanku sakit apa lagi sudah jadi setan. Aku takut dibunuh setan kakek, Kak,” imbuhnya. Kini raut wajah Cici memang terlihat sekali ketakutan.“Astaghfirullahal’adhiim ... Ci, orang yang sudah meninggal itu tidak akan pernah jadi setan. Makanya kamu mulai sekarang harus rajin berdoa salatnya jangan bolong-bolong, ya?” Kubingkai wajah chubby Cici, dia meringis memperlihatkan gigi kelincinya. Gemes sekali.“Iya, Kak. Aku akan rajin salat dan mengaji. Kak, apa kakek nekat bunuh diri begitu karena tidak main permainan rahasia lagi denganku? Kakak lihat kan, itu lidah kakek menjulur begitu. Aku takut sekali.”“Bukan Ci, kakek begitu karena enggak ada iman. Sudah jangan dipikirkan lagi. Lebih baik kamu do’akan untuk kakek.”“Baik, Kak. Ya Allah, semoga kakek tidak jadi seta
“Eh, Neng. Mangga,” ucap ibu yang sedang menyiangi sayuran. Aku menanggapinya dengan anggukan kepala.“Kamu itu gimana Mama Ganis? Mbak ini kan, cucunya almarhum. Memangnya kamu enggak tahu?”“Gimana mau tahu, dia kan, pelakor!” timpal ibu yang menata piring disambut gelak tawa yang lain.Tante Rima tambah pucat. Dia diam seribu bahasa.“Aku kenal sama Tante Rima kok, Bu. Dia kemarin baru dari rumahku, tapi dia bilangnya istri almarhum ayahku bukan istri opa.” Mendengar pengakuanku tentu saja mereka kaget.“Astaghfirullah, Rima. Kamu kapan sadarnya! Awas loh, kena karma!” ucap ibu yang duduk tepat di depan Tante Rima seraya menepuk bahu Tante Rima.“Orang kalau udah berkelakuan buruk memang begini susah insyafnya,” sahut yang lain.Aku tersenyum sinis memandang Tante Rima sedang dia sama sekali tidak berani melihatku.“Lama sekali, Al. Devi sudah berhenti nangisnya?” Nenek menyusulku ke dapur.“Bukan Tante Devi ataupun Nindi yang nangis, Nek. Tuh!” Aku menunjuk Tante Rima.“Loh, kamu
🌸🌸🌸🌸“Syukurlah ... kamu sudah sadar, Al.” Om Ardi membantuku untuk duduk bersandar.“Sudah jangan sedih gitu setiap yang bernyawa pasti akan mati. Doakan yang terbaik untuk opa dan omamu.” Kali ini Om Ardi memberiku teh hangat dan juga ponselku.“Tadi Nindi telepon ke HP-ku akhirnya aku katakan padanya kalau kamu pingsan.” Angga ikut menimpali.“Kakak, jangan ikut mati nanti aku tidak punya Kakak lagi.” Cici menghambur ke pelukanku.“Kakak, enggak mati Ci. Tadi hanya pingsan saja. Jangan sedih, ya?” Cici mengangguk seraya mengusap air matanya.Gara-gara aku pingsan seisi rumah ini jadi panik dan malah sibuk mengurusku. Kulirik jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Para pelayat juga sudah sepi hanya ada beberapa bapak-bapak yang duduk di teras dan tenda.“Kamu tidurlah Ngga, sudah malam besok kamu pulang kan, bawa motor takut kenapa-napa,” titahku.“Aman itu Al, kalau aku ngantuk tinggal telepon aja anak buah papa suruh jemput,” jawab Angga matanya fokus ke benda pipih di tanganny
“Ssttt ... subuhan dulu nanti Nenek kasih tahu,” jawab nenek aku mengiyakan saja.Aku salat tidak bisa konsentrasi penuh anak Tante Rima terus saja merengek entah apa yang salah dengannya.Selesai salat Bik Siti langsung menggendong anak itu, tapi tetap saja tidak mau diam.“Ini Mbak, aku buatkan teh untuk si Ganis. Mungkin dia haus.” Tetangga yang membantu kami membawakan dot berisi air teh hangat untuk Ganis.“Terima kasih, Bu. Tapi, apa dia minum teh?” Bik Siti seperti ragu untuk memberikannya pada Ganis.“Tiap hari minumnya teh manis kalau ditinggal ibunya kerja, Mbak. Jangan khawatir dia akan baik-baik saja,” jawab ibu itu.Ajaib dia langsung diam dan lahap minumnya. Kasihan sekali hanya dikasih teh manis biasanya anak segini minum susu.“Em ... bau asem! Mandi sana, Nak. Malah bengong,” ujar nenek mencium pipiku.“Nanti, Nek, masih dingin. Tante Rima kenapa, Nek?”“Kepleset di depan pintu dapur itu kan licin, ternyata dia sedang hamil muda, tapi enggak tahu. Pendarahan dan kegug
“Mbak Alya, kenapa lihat saya begitu?” tanya seseibu yang mengaku bernama Mei ini.“Enggak apa-apa kok, aku hanya seperti melihat ... ah, sudahlah.”“Iih, Mbak Alya bikin takut saya aja,” ucapnya lagi seraya merapatkan tubuhnya padaku. Ternyata penakut!Teriakan orang di depan sudah tidak terdengar lagi. Nindi? Dia masih berdiri elegan seperti tidak terjadi sesuatu padahal kusak-kusuk para tetangga mulai bikin kuping panas.“Apa benar itu Nindi pelakor?”“Ssstt ... jangan berisik kita fokus berdoa aja.”“Pelakor atau bukan itu tidak mempengaruhi hidup kita.”“Kata siapa tidak mempengaruhi? Ini loh kompleks perumahan kita ngeri kalau suami kita kepincut juga.”“Service yang baik kalau suaminya enggk mau kepincut pelakor.”“Pelakornya masih kinyis-kinyis. Belasan tahun.”“Ibarat mangga masih ranum-ranumnya itu.”“Kalau aku sih, suami mau sama pelakor buang aja enggak usah ditangisi.”“Bener tuh, suami yang baik tidak akan pernah tergoda perempuan di luar.”“Sayangnya langka suami begitu
Kini aku paham. Aku biarkan saja mereka bicara ini dan itu. Toh, aku bukan ahli waris oma jadi tidak berkewajiban membayarkan utang oma. Masih ada Tante Devi dialah yang berkewajiban membayarkan utang-utang orang tuanya.“Utangnya berapa?” tanyaku pada akhirnya.“15 juta rupiah, Mbak Alya. Itu uang saya mau dipakai untuk mupuk kebun jagung. Katanya janji satu bulan belum ada satu bulan orangnya sudah meninggal dunia,” sahut Bu Mei lagi.Sebenarnya aku lumayan terkejut karena nominal utang oma. Untuk apa oma utang segitu banyak.“Perkara utang memang sangat sulit. Maka dari itu saya mau tanya, adakah saksi satu bukti bahwa almarhumah berhutang pada ibu Mei?” tanya Ustaz.Aku ingin ketawa melihat ekspresi Bu Mei, dia seperti cacing kepanasan.“Kalau saksi memang tidak ada Pak Ustaz karena kami kan, keluarga jadi saling percaya saja begitu.” Om Yuda ikut menimpali. Duh, dia sudah seperti juru bicara saja.“Iya, benar Pak Ustaz. Saya berani bersumpah kalau saya tidak bohong,” ucap Bu Mei