Semua Bab Istri Lima Belas Ribu: Bab 191 - Bab 200
608 Bab
Bagian 194
Kaki ini melangkah gontai, saat tangisan Dinta belum juga reda. Sekali lagi, netra menatap dua buah hati yang terlihat terluka atas kejadian hari ini. Lagi, aku menjadi penyebab mereka menangis.Dalam hati berjanji, akan merengkuh sakitnya rindu dalam sepi dan sendiri. Karena nyatanya, hadirku selalu menciptakan tangis untuk dua makhluk yang sangat aku cintai.“Ayah …” masih terdengar teriakan Dinta memanggil, saat tubuh ini sudah bersiap di atas kendaraan. Aku menoleh, bayang tubuhnya mengabur karena air mata cukup menghalangi pandangan. “Hati-hati di jalan …” bukan rasa bahagia yang tercipta sebab diperhatikan oleh dia yang pernah aku sakiti, akan tetapi justru semakin sakit dan menyayat hati, sedikit perhatian yang diberikan olehnya itu.“Ayah … kapan-kapan main ke sini lagi,, ya?” Danis dengan polosnya berteriak. Tubuh kecilnya langsung diangkat sang kakek ke dalam gendongan. Aku hanya mengacungkan dua
Baca selengkapnya
Bagian 195
“Maaf Anti, bila memang acara diskusi kali ini akan berlangsung lama,sudikah bila, aku meminta segelas air putih? Karena tenggorokan ini sangat kering …” mengorbankan rasa malu, aku memberanikan diri untuk meminta sesuatu hal sangat dibutuhkan tubuh saat ini. Anti memandang ibunya. Muak rasanya, hanya segelas air saja, menunggu persetujuan dari sang ibu. Tak lama, Anti berdiri, masuk ke dapur dan kembali lagi dengan segelas air putih.Kuteguk habis, minuman tanpa rasa yang diberikan oleh dia, wanita yang masih menjadi istriku.“Jadi bagaimana Agam? Apakah kamu bersedia membiayai seluruh acara tujuh bulanan Anti sesuai yang kami inginkan?” bapak Anti kembali bertanya tanpa memberikan sikap ramah. Aku menarik napas perlahan dan menghembuskannya dengan pelan. Senyum tersungging dari bibir ini. Merasa mendapatkan sebuah ide untuk menjawab.“Sebelum saya menjawab pertanyaan, lebih tepatnya permintaan dari Bapak dan Ibu, izinkan sa
Baca selengkapnya
Bagian 196
“Harusnya kamu menolak, Agam! Anti sudah berkeluarga, Agam, kenapa kamu malah memanfaatkan dia? Tidak bisakah, kamu menghindar?” ibu Anti ternyata sama egoisnya dengan ibu-ku. Membela anak meskipun salah. Pantas saja, Na begitu marah pada Ibu waktu itu. Kini, aku berada pada posisi yang sama. Ah, kenapa apa yang pernah diperbuat seseorang, berbalik keadaan di suatu ketika?“Saya kan baik hati, Bu. Saya menolong anak Ibu yang gatel, selalu mendekat dan merayu saya. Kasihan Bu, udah gak tahan, jadi, saya merelakan diri ikut berbuat dosa, demi membuat anak Ibu merasa nikmat. Saya relakan keperjakan saya untuk memberi Anti kepuasan. Bahkan bila tahu kejadiannya akan seperti ini, waktu itu, aku adukan saja kelakuannya pada ayahnya Nadia,” tidak tahan lagi, aku mengucapkan sesuatu yang seharusnya tidak diucapkan.“Agam! Berhenti merendahkan Anti seperti itu!” bapak Anti berteriak. Entah karena malu, atau marah? Beda tipis-lah. Anti menundu
Baca selengkapnya
Bagian 197
Sebuah harapan baru terbit dalam hati ini. Tentunya, Dinta yang barusaja menghubungi aku, tidak lepas dari izin Nia. Dan sudah barang tentu pula Pak Irsya mengetahui. Semoga, ini awal yang baik.Aku tidak bisa merubah keadaan yang sudah terjadi, oleh karena salahku. Namun, aku masih bisa mengubah keadaan ini menjadi hubungan yang lebih baik. Berpisah tidak harus menjadikan kami seperti musuh. Bismillah, semoga Allah meridai.Kelopak mata terasa berat, ada rasa lega yang menyelimuti hati ini. Senyum tersungging, sebelum diri ini benar-benar terlelap.Pagi hari, diriku bangun dengan perasaan yang jauh lebih baik. Sebuah pesan masuk kembali menjadi semangat baru untuk hari ini. [Pagi Ayah, semoga Ayah hari ini bahagia] senyum terpatri kala membaca doa sederhana yang Dinta berikan.[Pagi juga, Kakak Cantik! Semoga Kakak juga bahagia] balasku.Setelah menjalani rutinitas pagi, aku melihat kebun belakang yang tanamannya masih basah terkena e
Baca selengkapnya
Bagian 198
Anti Bukan tanpa alasan, sikap ini acuh pada Mas Agam. Namun, seakan masih ingin mengikat dirinya agar tidak jauh dari aku. Iya, semua itu dilakukan hanya untuk menyelamatkan harga diri yang sudah terlanjur hancur. “Kamu lakukan pendekatan pada Nadia, Anti. Buatlah agar dia mau membujuk Tohir supaya kembali sama kamu. Setelah anak ini lahir, berikan pada Agam. Biar dia yang mengurus. Anggap saja, anak kamu hanya satu. Itu bila kamu ingin hidup kamu kembali bahagia,” ucap Ibu penuh dengan penekanan. “Tapi bagaimana dengan hubunganku dengan Mas Agam sementara ini, Bu?” aku bertanya bingung. “Ya, jalani jangan terlalu dekat. Cukup saja kamu buat, Agam bertanggung jawab atas kehamilanmu. Sesekali suruh pulang ke sini, untuk menutupi keadaan kamu di hadapan tetangga,” lanjut Ibu memberi saran. Aku yang saat itu tengah mencuci piring di wasteffel dapur, menghentikan aktivitas sejenak. Menatap Ibu dengan ragu. Namun, Ibu memberi sorot yang be
Baca selengkapnya
Bagian 199
Ibu yang mengetahui perihal pertemuan kami, antusias menyusun rencana.“Pokoknya, kamu harus memperlakukan Nadia dengan sangat baik di sini. Buat agar dia merasa, kamu adalah ibu terbaik untuk dia,” ucap Ibu bersemangat.“Bu, aku memperlakukan Nadia dengan baik, bukan karena itu juga kali. Karena Nadia anak yang sangat aku rindukan,” protes aku berikan pada Ibu.“Eh iya, maksudnya ‘kan, sambil menyelam, minum air,” jawab Ibu malu.Dua hari setelah pertemuan kami, Nadia diantar oleh seorang ojek pulang ke rumah. Kata Nadia, itu tetangga Mas Tohir.Aku sangat bahagia, setelah berpisah selama berbulan-bulan lamanya, kini, tubuhnya bisa aku dekap. Nadia menangis terisak saat memelukku. Sebagai orang yang melahirkan dan merawatnya, bisa ku-rasakan, sebuah kerinduan yang terpendam dalam hati gadis kecil yang akan menginjak remaja itu.“Nadia menginap di sini,, ya? Nadia kangen ‘kan, sama kamar
Baca selengkapnya
Bagian 200
Aku kembali membahas perihal Mas Agam dengan Ibu. Beliau juga sepertinya ada kekhawatiran akan ketidakhadiran suami formalitasku itu.“Gini saja, kamu pura-pura sakit perutnya. Pasti Agam mau datang. Habis itu dia marah atau tidak, yang penting sudah ke sini. Yang penting, kita tidak malu. Ibu yakin, kalau sudah di sini, Agam pasti tidak akan pergi sekalipun kamu berbohong. Dia pasti akan tetap mengikuti sampai acara selesai,” saran yang cukup masuk akal. Aku akan mencoba itu.“Baik, Bu …”“Oh iya, bagaimana rencana kamu untuk mendekati Tohir kembali?”“Lha, bagaimana Bu? Nadia yang akan kita gunakan sebagai alat saja, sudah marah sama aku,” jawabku putus asa.“Bagaimana kalau, kamu juga pura-pura sakit supaya Nadia mau menjenguk ke sini?”“Kita pikirkan setelah acara tujuh bulanan selesai ya, Bu?”Tiga hari kemudian, acara dilangsungkan. Sesuai kesepakatan
Baca selengkapnya
Bagian 201
Setelah terdengar riuh suara orang mengaji, aku keluar kamar. Dan masuk ke dapur. Langkah kaki ini, aku buat dengan sengaja agak lambat. Hanya sebentar, menengok persiapan makanan untuk suguhan, kemudian kembali lagi duduk di sfa depan televisi. Karena tamu yang diundang tidak banyak, maka ruang tamu yang kursinya dikeluarkan semua, cukup untuk menampung mereka semua.Saat mencoba melirik beberapa pria yang sedang membacakan tahlil, mereka kebetulan juga tengah menatapku dengan tatapan yang penuh kecurigaan. Aku berpindah posisi, mengambil bagian sofa yang menghadap ke bagian belakang rumah, agar mereka tidak bisa diriku.Selesai acara, kasak-kusuk menanyakan keberadaan Mas Agam, terdengar di telinga ini. Itu artinya, Mas Agam tidak masuk untuk ikut mengaji. Keterlaluan sekali dia! Mau ditaruh dimana muka ini? Ah, sial! Berpikir demikian, membuatku mengingat jawaban orang gila yang tadi siang.“Silakan dicicipi hidangan seadanya …” Bapak terde
Baca selengkapnya
Bagian 202
Mbak Eka Tidak ada yang lebih menyakitkan dan membingungkan daripada posisi aku saat ini. Ditinggal suami tanpa kabar dan berita. Tanpa kejelasan status pernikahan kami. Sebagian besar asset yang Seno miliki telah dijual dan dibawa pergi. Kini, aku hanya bertahan dari merawat satu buah kebun yang ditanami pohon cengkeh sebagai satu-satunya penghasilanuntuk hidup aku dan Sarah. Itu-pun panen dalam satu tahun sekali. Dulu, Seno sangat memperhatikan kebutuhan kami berdua, dengan rajin mengirim jatah bulanan setiap bulan. Namun, semenjak kepergiannya beberapa bulan lalu dengan membawa uang banyak, hanya sekali saja dia mentransfer sejumlah uang. Setelah itu, bahkan, nomornya-pun sudah susah untuk aku hubungi. Apakah dia di sana baik-baik saja? Masih hidup-kah? Atau uangnya bangkrut, barangkali? Atau juga, dia kerampokan sehingga kehilangan semuanya termasuk handphone untuk menghubungi kami. Berbagai pikiran buruk berkecamuk
Baca selengkapnya
Bagian 203
Sarah berusaha untuk menghibur dan menguatkan hati ini. Namun, tidak semudah itu. Berhari-hari, aku hanya berdiam di rumah, tidak pernah makan. Ibu datang karena diberitahu Sarah. “Tolong jangan bilang sama siapa pun, Bu! Aku tidak mau jadi bahan pergunjingan. Biarlah ini hanya kita yang tahu,” pintaku pada Ibu, karena beliau memang tidak bisa jaga rahasia. Jadi, harus aku kasih peringatan lebih dulu. Ya, hari-hari setelahnya aku masih belum bisa bangkit dari keterpurukan. Untungnya, di saat seperti ini, aku sudah tidak memiliki anak kecil, jadi, bisa leluasa rebahan tiap hari. “Kalau Ibu seperti ini, aku harus bagaimana, Bu? Apa aku keluar aja sekolahnya? Kerja di pabrik sepatu. Biar tidak merepotkan Ibu …” ucapan dari Sarah menampar keras hati ini. Bagaimanapun, aku harus bangun. Demi dia anak semata wayang kami. Ah, hanya aku saja. Seno sepertinya tidak. Dia pasti punya anak dengan wanit
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1819202122
...
61
DMCA.com Protection Status