Mbak Eka
Tidak ada yang lebih menyakitkan dan membingungkan daripada posisi aku saat ini. Ditinggal suami tanpa kabar dan berita. Tanpa kejelasan status pernikahan kami. Sebagian besar asset yang Seno miliki telah dijual dan dibawa pergi. Kini, aku hanya bertahan dari merawat satu buah kebun yang ditanami pohon cengkeh sebagai satu-satunya penghasilanuntuk hidup aku dan Sarah. Itu-pun panen dalam satu tahun sekali.
Dulu, Seno sangat memperhatikan kebutuhan kami berdua, dengan rajin mengirim jatah bulanan setiap bulan. Namun, semenjak kepergiannya beberapa bulan lalu dengan membawa uang banyak, hanya sekali saja dia mentransfer sejumlah uang. Setelah itu, bahkan, nomornya-pun sudah susah untuk aku hubungi.
Apakah dia di sana baik-baik saja? Masih hidup-kah? Atau uangnya bangkrut, barangkali? Atau juga, dia kerampokan sehingga kehilangan semuanya termasuk handphone untuk menghubungi kami. Berbagai pikiran buruk berkecamuk
Sarah berusaha untuk menghibur dan menguatkan hati ini. Namun, tidak semudah itu. Berhari-hari, aku hanya berdiam di rumah, tidak pernah makan. Ibu datang karena diberitahu Sarah.“Tolong jangan bilang sama siapa pun, Bu! Aku tidak mau jadi bahan pergunjingan. Biarlah ini hanya kita yang tahu,” pintaku pada Ibu, karena beliau memang tidak bisa jaga rahasia. Jadi, harus aku kasih peringatan lebih dulu.Ya, hari-hari setelahnya aku masih belum bisa bangkit dari keterpurukan. Untungnya, di saat seperti ini, aku sudah tidak memiliki anak kecil, jadi, bisa leluasa rebahan tiap hari.“Kalau Ibu seperti ini, aku harus bagaimana, Bu? Apa aku keluar aja sekolahnya? Kerja di pabrik sepatu. Biar tidak merepotkan Ibu …” ucapan dari Sarah menampar keras hati ini. Bagaimanapun, aku harus bangun. Demi dia anak semata wayang kami. Ah, hanya aku saja. Seno sepertinya tidak. Dia pasti punya anak dengan wanit
“Bude …” panggilan lembut dari Aira menyadarkan diri dari lamunan.“Eh, Aira belum makan ‘kan? Ayo, Bude suapi …” aku berusaha mengalihkan pembicaraan kareba tidak punya kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan darinya.Selepas ashar, Iyan pulang. Setelah mandi dan berganti baju, kami duduk bersama di teras balai. Menikmati gemericik air sungai yang mengalir tepat di samping rumah kami.“Bagaimana tadi acara imtihannya, Mbak? Aira dapat perlakuan yang tidak menyenangkan lagi-kah?” Iyan bertanya dengan getar suara sedih. Sepertinya, dia sudah punya gambaran tentang apa yang terjadi pada putri semata wayangnya. Aku diam memilih tidak menjawab. “Aku sudah tahu jawabannya, Mbak!” tambahnya lirih.“Iyan, kamu tidakkah menyadari, apa yang menimpa keluarga ini, barangkali itu karena apa yang kita lakukan dulu sama Nia juga anak-
Author“Sama Nia juga dong, Pak! Yang lebih kenal dengan Aira ‘kan, Nia. Bukan saya,” apa yang diucapkan pak Irsya, sukses membuat muka Pak Hanif bersemu merah. Pak Irsya lalu memesan makanan.“Nggak usah, Mas! Dulu saja, sudah terbiasa seperti ini. Apalagi sekarang? Sudah tidak penting lagi buat aku,” raut muka Mbak Eka terlihat kaget, tidak menyangka, Nia yang dulu menerima dengan segala perlakuan mereka, tiba-tiba bisa mengucapkan hal se-berani itu.“Pak Irsya apa kabar? Walah, sudah lama tidak bertemu,, ya? Saya lihat kok semakin gagah saja?” Pak Hanif lagi-lagi menunjukkan sikap sok akrab-nya pada suami Nia.“Baik,” Pak Irsya menjawab datar. “ Maaf, itu kulit Aira kenapa ya, Pak?” tanya suami Nia kemudian.“Oh, itu kena air panas,” jawab bapak lirih.Mereka terdiam. Nia terlihat sudah tidak nyaman berada dalam posisi seperti sekarang ini. Apalagi, Pak Ha
“Gak usah sombong! Anak itu harus diajari berbagi sama saudaranya. Suatu saat nanti juga butuh,” Iyan berujar sambil menatap tajam Nia.“Kamu bicara sama aku, Iyan? Apa tidak salah? Ajari anak kamu sopan santun dulu! Aku tahu bagaimana cara mendidik anak. Dan satu lagi, punyalah rasa malu. Jangan memamerkan anak pada orang lain.Tidak semua orang suka sama anak kamu. Dan satu lagi! Kapan aku butuh kamu? Kapan aku butuh kalian? Selama bercerai dari kakak kamu, kami hidup mandiri. Bahkan menghilang dari hidup kalian. Gak malu kamu? Anak kamu tadi yang membutuhkan barang Dinta.”“Buk, Pak! Ke sini kenapa? Kita punya meja sendiri. Kenapa masih di situ?” Mbak Eka berteriak kecil pada orang tuanya. Bu Nusri dan Pak Hanif dengan langkah malu, berpindah tempat. Helaan napas lega, keluar dari mulut Nia.Lik Udin berdiri dan menyalami Nia, Pak Irsya serta anak-anaknya untuk menetralisir suasana.“Sehat, Nia?&rdqu
“Mbah, kalau Mbah selalu seperti itu, Aira bakalan jadi anak yang egois! Lama-lama, Aira bakalan dibenci orang. Gak heran, kalau sekarang banyak ibu yang anaknya tidak boleh main bareng. Aku aja yang sodaranya ogah! Mbah itu keterlaluan memanjakan. Dikiranya tadi, aku gak malu apa, waktu Mbah menyodorkan Aira di depan Mbak Nia dan suaminya? Itu perbuatan yang memalukan, Mbah! Mereka tuh benci banget sama Aira, seharusnya Mbah sadar diri!”“Sarah!” aku membentak.“Kenapa, Bu? Mau belain? Bela aja terus! Biar kayak tuan putri. Sekalian aja, bayar semua orang biar takluk sama dia. Anak sultan mah bebas. Asalkan banyak uangnya. Aku mah ogah, jadi kacung Aira! Lihat aja, beda sekali sama Dinta dan Danis yang tahu adab. Kelihatan manis gitu jadi anak. Dididik dengan benar sih. Gak kaya Aira. Lihat mukanya aja, aku enek!”“Sarah!” bentakku sambil memandang tajam padanya. Tapi dirinya malah bangkit dan berlalu pergi.
Fajar telah menyingsing. Kicauan burung terdengar saling manyahut di kebun belakang rumah menimbulkan kesan damai, bila hati ini tidak sedang menahan gundah. Bayangan Seno bila sedang di rumah, waktu seperti sekarang ini, dirinya tengah bergulat dengan cangkul. Membersihkan kebun dan merabuk tanaman-tanaman agar tumbuh subur.Seno, akankah kamu kembali pada kami? Atau, selamanya tidak akan pernah bertemu?Motor yang dikendarai Iyan berhenti di halaman rumahku yang luas. Terlihat sekali, dirinya menahan emosi.“Kenapa?” aku bertanya penasaran.“Mbak! Sarah mana?” dari nada bicaranya aku tahu kalau, Iyan begitu marah pada anakku. Apa ini karena peristiwa semalam?“Ada apa?”“Mbak tidak usah pura-pura tidak tahu! Mbak, Sarah punya pikiran gak sih? Anak sekecil Aira kenapa dia cubit?”“Eh itu, iya, aku minta maaf. Soalnya kata Sarah, Aira menggigit Sarah duluan. Emang bekasnya ada, kok
IyanSiapa pun orangnya, tidak ada yang boleh menyakiti anak dan istriku. Aku tidak akan rela bila itu terjadi. Begitupun dengan Sarah. Semenjak kejadian di rumah sakit, aku tidak ingin lagi menyapa gadis remaja anak dari kakak kandungku.Mbak Eka akhirnya memilih pergi ke Jakarta mengadu nasib karena memang dirinya harus melanjutkan hidup meski tanpa Mas Seno di samping mereka. Dan dia juga harus menjadi tulang punggung untuk Sarah.“Minta maaflah sama Nia, Iyan! Barangkali, apa yang kamu dan aku alami saat ini karena akibat dari apa yang kita lakukan dulu pada dia,” di hari lebaran, Mbak Eka masih memberikan nasihat padaku. Sarah datang tapi, aku menghindarinya.“Memang aku salah apa sama Nia, Mbak? Aku tidak pernah berbuat jahat, ataupun menyakitinya,” jawabku tidak suka.“Iyan, sadarkah kamu? Kebahagiaan kita dulu, dengan uang gaji Agam, itu menyakiti Nia juga anak-anaknya!”“Mbak! Yang kita maka
Dari Lik Udin aku tahu, kalau Bapak seperti biasa ada di sawah. Ibu berkeliling jualan sambil membawa Aira. Dan untungnya, Lik Udin yang sedianya akan ke desa sebelah, melihat.Rani sudah aku beri obat penenang dan saat ini tertidur pulas. Lik Udin melanjutkan lagi niatnya untuk ke rumah teman di desa sebelah. Kupandangi tubuh Rani yang terbaring di atas kasur kapuk di kamar kami.Tentang permintaannya untuk memiliki gelang seperti punya Nia, apa aku harus meminta maaf seperti saran Mbak Eka? Setelahnya meminta Nia untuk meminjamkan gelang itu padaku? Tapi, keenakan Nia nanti. Merasa di atas awan.Ya Allah, kenapa menderita seperti ini hidupku?Aku keluar kamar dan duduk termenung di ruang tamu. Ibu terlihat pulang sambil menggendong Aira yang mulutnya berdarah. Wanita yang melahirkanku itu terus mengomel.“Kenapa?” tanyaku panik dan tergopoh mengambil tubuh Aira. Anak semata wayangku malah menjerit histeris saat lengannya tersent