Dari Lik Udin aku tahu, kalau Bapak seperti biasa ada di sawah. Ibu berkeliling jualan sambil membawa Aira. Dan untungnya, Lik Udin yang sedianya akan ke desa sebelah, melihat.
Rani sudah aku beri obat penenang dan saat ini tertidur pulas. Lik Udin melanjutkan lagi niatnya untuk ke rumah teman di desa sebelah. Kupandangi tubuh Rani yang terbaring di atas kasur kapuk di kamar kami.
Tentang permintaannya untuk memiliki gelang seperti punya Nia, apa aku harus meminta maaf seperti saran Mbak Eka? Setelahnya meminta Nia untuk meminjamkan gelang itu padaku? Tapi, keenakan Nia nanti. Merasa di atas awan.
Ya Allah, kenapa menderita seperti ini hidupku?
Aku keluar kamar dan duduk termenung di ruang tamu. Ibu terlihat pulang sambil menggendong Aira yang mulutnya berdarah. Wanita yang melahirkanku itu terus mengomel.
“Kenapa?” tanyaku panik dan tergopoh mengambil tubuh Aira. Anak semata wayangku malah menjerit histeris saat lengannya tersent
“Heh! Sudah, sudah! Jangan ngeledekin orang seperti itu. Bersyukur bukan kalian yang berada di posisi Iyan dan Rani,” ucap istri imam mesjid terdengar samar.Aku berjalan cepat agar lekas sampai rumah. Mengajak Ibu untuk memeriksa Aira ke puskesmas terdekat.Di ruang serba putih kami bertiga berada saat ini. Bukan hanya bertiga, ada banyak pasien lain. Akan tetapi, kami dipisahkan oleh kelambu yang tinggi. Ruang penginapan yang berpenghuni empat pasien menjadi pilihan untuk menginap Aira. Sesuai dengan kelas BPJS yang kami miliki.“Cuma terkilir saja. Ini bengkaknya saya kasih obat. Sementara juga saya kasih obat tidur agar Aira tidak menangis,” ucap Dokter jaga siang tadi. Ibu sedang pamit pulang untuk mengurus keperluan Bapak.Aku memandangi tubuh Aira yang pulas. Dengkur halusnya menandakan kalau dia begitu terlelap. Bibirnya tambah besar dengan bekas darah mulai mongering. Setetes air mata mengenai pipi ini. Benarkah kamu anak
AgamAnti pikir, masih bisa mengelabuiku? Aku tertawa, mendengar wanita yang masih berstatus sebagai istri siri-ku mengharapkan aku untuk menjadi sasaran kemarahan dirinya juga orang tuanya.Memilih kembali menjalani pulang ke tempat ternyaman saat ini.Hari-hari berlalu seperti biasanya. Anti masih selalu menelpon, namun tidak pernah aku angkat. Memilih menyibukkan diri dengan kegiatan baru yang sudah terlihat hasilnya. Apalagi menjelang bulan puasa, harga cabai kian merangkak naik.Sore itu, aku sengaja jalan-jalan sore mencari angina. Jalan kaki, tidak menggunakan motor. Saat melewati terminal yang kebetulan dekat dengan kantor, tidak sengaja bertemu dengan Laila. Dia baru saja membeli keperluan di warung sepertinya. Aku menyapa Laila. Kembali, debar halus itu hadir, melihat senyum manis tanpa polesan make up.“Tumben jalan kaki, Mas?” Tanya Laila saat langkah kami hanya berjarak dua meter saja.“Eh, iya, La! Melemaskan
Dari informasi yang diberikan Dirman, Pak Irsya mau menemui aku di sebuah tempat wisata hutan di dekat sini. Aku disuruh menunggu di sana.Dirman dengan setia menemani, namun dalam jarak yang tiak dekat. Dirinya ingin memberikan kami privasi.Kini, aku duduk berhadapan dengan Pak Irsya di sebuah papan kayu yang terletak diantar bunga-bunga di taman.Mengatur napas dan menyiapkan mental untuk menghadapi sikap ayah tiri anak-anakku yang mungkin tidak akan bersahabat.“Katakan! Ada perlu apa sampai jauh-jauh kamu menemuiku kemari?” tanpa basa-basi, Pak Irsya langsung bertanya.“Pak Irsya, maaf! Saya tahu, saya lancang. Saya tahu, kesalahan saya terhadap anak-anak, juga Nia, sangat banyak,”“Semua sudah berlalu. Mereka bertiga sudah bahagia,” Pak Irsya langsung memotong ucapanku.“Bolehkah saya bertemu anak-anak, Pak? Tolong, izinkan saya bertemu dengan Dinta dan Danis. Karena bagaimanapun, saya a
Dokter sudah kembali ke ruangannya. Tinggallah aku berdua dengan Anti. Canggung, itu pasti! Kami bukan pasangan istri seperti yang lain.“Kenapa bisa jatuh?” hanya kalimat itu yang terlintas untuk membuka percakapan.“Licin tadi mulai gerimis. Maklum, Mas! Aku kan hidup sendiri. ke mana-mana tidak ada yang mengantar,” jawaban Anti seolah ingin memojokkanku.“Itu pilihan yang kamu ambil sendiri, Anti! Jadi, segala resiko harus ditanggung,” Anti terdiam tidak menjawab.“Suster, ini tidak perlu opname, kan?” aku bertanya pada perawat yang melintas.“Tidak perlu, Pak. Sebentar lagi kalau resep sudah keluar, anda menebus obat dan ke bagian administrasi. Setelah itu boleh pulang.”“Kamu mau pulang sama siapa?”“Ya sama kamu-lah, mas! Kenapa musti tanya?”“Ya, barangkali mau menghubungi orang tua kamu,” ujarku enteng. Sudah tidak ada rasa k
NiaTetes-tetes embun masih tersisa dari dedaunan di depan rumah. Hujan semalam meninggalkan dingin yang masih terasa di sekitar rumah. Sehingga diri, malas beranjak keluar.Aku berdiri termenung di depan jendela. Hawa segar dan dingin menyeruak di hidung ini. Sebuah tangan melingkar di perut.“Serius amat? Tidak sedang mengingat masa lalu ‘kan?” harum tubuhnya membuat hati ini sangat nyaman. Kusandarkan kepala pada dada bidangnya. Sebuah kecupan kurasakan di ubun-ubun. “Kenapa diam?” tanyanya kemudian. Aku masih dalam posisi memejamkan mata. Menikmati setiap degup jantung yang berbunyi dari pria yang telah memberikanku banyak hal.“Aku sedang menikmati waktu. Ingin rasanya menghentikannya untuk selamanya, agar tubuh kita tidak pernah terpisah,” jawabku sembari memegang lengan kekar yang kini menaikkan lingkarannya ke dada.“Jangan menggombal. Masih pagi. Nanti terjadi hal yang diinginkan bagaimana?&r
Keadaan mereka bukan urusanku saat ini. Mau bahagia atau susah, aku dari dulu sudah berkomitmen untuk tidak mau tahu urusan mereka. Hanya menghargai Jamilah saja. Namun, ada yang menarik perhatianku. Mas Agam tidak sama Anti? Kenapa? Ah, sudahlah! Aku tidak mau tahu.Obrolan kami melebar ke mana-mana. Dinta dan danis bermain di halaman rumah Jamilah yang luas. Dan ada ayunan di sana.Sebuah motor berhenti. Jamilah keluar untuk melihat.“Ni, itu ibunya Agam …” wajah Jamilah terlihat pucat.“Hah? Serius kamu, Mil? Aku pamit,, ya?”“Jangan, Ni! Aku udah nyuruh orang masak. Kamu harus makan di sini. Udah jauh-jauh datang kok, Ni …”“Tapi kan, Mil …”“Gak papa, Ni! Sekalian, kamu pamer kalau kamu udah kaya sekarang,” ucap Jamilah berbisik mendekat padaku,”Aku jadi ingat, pertemuan kamimbeberapa hari yang lalu. Ah, males sekali rasanya. Terd
“Maaf, Bu! Itu rumah Rani dan Iyan. Aku tidak berhak ke sana,” jawabku lirih. Entah Ibu mendengar atau tidak.“Agam! Jangan seperti itu terus! Hentikan permusuhan kalian. Ibu ingin anak-anak Ibu akur.”“Bu, besok aku ke sana. Setelah salat Id,” aku memutus telepon karena sudah tidak ingin lagi membahas tentang Iyan.Paginya, setelah salat, aku benar-benar meluncur ke rumah Ibu. Bagaimanapun, mereka orang tua yang harus aku mintai maaf.Sesampainya di rumah masa kecilku dulu, suasana sangat berbeda dengan tahun lalu. Dulu, rumah selalu ramai. Menjadi tujuan semua sanak family setelah melangsungkan salat sunah. Entah kenapa, sekarang sangat sepi. Aira duduk di tepi teras, melihat lalu lalang orang yang tidak ada satupun yang menyapa.“Aira …” aku memanggil gadis kecil yang telihat semakin kurus. Aira menoleh, dan tersenyum semringah.“Pakde …” anak Iyan berlari menubrukk
Aku meluncur menuju kediaman Anti. Tapi rumah masih sepi. Aku memberanikan dii membuka pintu sambil memanggil namanya.“Ya, Mas, aku di kamar.” Mendengar jawaban itu, gegas langkah kaki ini tertuju pada kamarnya.“Bagaimana?”“Mulai pegal ini pinggang,” seketika napas keluar dari mulut ini. Bayanganku di jalan tadi, Anti sudah dalam keadaan yang benar-benar mau melahirkan.“Jadi, belum mau lahiran gitu?” tanyaku memastikan.“Coba kamu panggil bidan Mas!”“Baik,” jawabku dan langsung berdiri.”Kamu tidak kenapa-napa, aku tinggal sendiri?” beberapa langkah aku berheni dan menoleh.“Gak papa, Mas,” jawabnya masih dengan nada seperti biasanya. Itu artinya, Anti memang belum merasakan kontraksi.Kulajukan motor melewati jalan gang yang di kanan kirinya terdapat rumah yang rata-rata halamannya ditumbuhi pohon-pohon mangga yang rindang. Sete