Agam
Anti pikir, masih bisa mengelabuiku? Aku tertawa, mendengar wanita yang masih berstatus sebagai istri siri-ku mengharapkan aku untuk menjadi sasaran kemarahan dirinya juga orang tuanya.
Memilih kembali menjalani pulang ke tempat ternyaman saat ini.
Hari-hari berlalu seperti biasanya. Anti masih selalu menelpon, namun tidak pernah aku angkat. Memilih menyibukkan diri dengan kegiatan baru yang sudah terlihat hasilnya. Apalagi menjelang bulan puasa, harga cabai kian merangkak naik.
Sore itu, aku sengaja jalan-jalan sore mencari angina. Jalan kaki, tidak menggunakan motor. Saat melewati terminal yang kebetulan dekat dengan kantor, tidak sengaja bertemu dengan Laila. Dia baru saja membeli keperluan di warung sepertinya. Aku menyapa Laila. Kembali, debar halus itu hadir, melihat senyum manis tanpa polesan make up.
“Tumben jalan kaki, Mas?” Tanya Laila saat langkah kami hanya berjarak dua meter saja.
“Eh, iya, La! Melemaskan
Dari informasi yang diberikan Dirman, Pak Irsya mau menemui aku di sebuah tempat wisata hutan di dekat sini. Aku disuruh menunggu di sana.Dirman dengan setia menemani, namun dalam jarak yang tiak dekat. Dirinya ingin memberikan kami privasi.Kini, aku duduk berhadapan dengan Pak Irsya di sebuah papan kayu yang terletak diantar bunga-bunga di taman.Mengatur napas dan menyiapkan mental untuk menghadapi sikap ayah tiri anak-anakku yang mungkin tidak akan bersahabat.“Katakan! Ada perlu apa sampai jauh-jauh kamu menemuiku kemari?” tanpa basa-basi, Pak Irsya langsung bertanya.“Pak Irsya, maaf! Saya tahu, saya lancang. Saya tahu, kesalahan saya terhadap anak-anak, juga Nia, sangat banyak,”“Semua sudah berlalu. Mereka bertiga sudah bahagia,” Pak Irsya langsung memotong ucapanku.“Bolehkah saya bertemu anak-anak, Pak? Tolong, izinkan saya bertemu dengan Dinta dan Danis. Karena bagaimanapun, saya a
Dokter sudah kembali ke ruangannya. Tinggallah aku berdua dengan Anti. Canggung, itu pasti! Kami bukan pasangan istri seperti yang lain.“Kenapa bisa jatuh?” hanya kalimat itu yang terlintas untuk membuka percakapan.“Licin tadi mulai gerimis. Maklum, Mas! Aku kan hidup sendiri. ke mana-mana tidak ada yang mengantar,” jawaban Anti seolah ingin memojokkanku.“Itu pilihan yang kamu ambil sendiri, Anti! Jadi, segala resiko harus ditanggung,” Anti terdiam tidak menjawab.“Suster, ini tidak perlu opname, kan?” aku bertanya pada perawat yang melintas.“Tidak perlu, Pak. Sebentar lagi kalau resep sudah keluar, anda menebus obat dan ke bagian administrasi. Setelah itu boleh pulang.”“Kamu mau pulang sama siapa?”“Ya sama kamu-lah, mas! Kenapa musti tanya?”“Ya, barangkali mau menghubungi orang tua kamu,” ujarku enteng. Sudah tidak ada rasa k
NiaTetes-tetes embun masih tersisa dari dedaunan di depan rumah. Hujan semalam meninggalkan dingin yang masih terasa di sekitar rumah. Sehingga diri, malas beranjak keluar.Aku berdiri termenung di depan jendela. Hawa segar dan dingin menyeruak di hidung ini. Sebuah tangan melingkar di perut.“Serius amat? Tidak sedang mengingat masa lalu ‘kan?” harum tubuhnya membuat hati ini sangat nyaman. Kusandarkan kepala pada dada bidangnya. Sebuah kecupan kurasakan di ubun-ubun. “Kenapa diam?” tanyanya kemudian. Aku masih dalam posisi memejamkan mata. Menikmati setiap degup jantung yang berbunyi dari pria yang telah memberikanku banyak hal.“Aku sedang menikmati waktu. Ingin rasanya menghentikannya untuk selamanya, agar tubuh kita tidak pernah terpisah,” jawabku sembari memegang lengan kekar yang kini menaikkan lingkarannya ke dada.“Jangan menggombal. Masih pagi. Nanti terjadi hal yang diinginkan bagaimana?&r
Keadaan mereka bukan urusanku saat ini. Mau bahagia atau susah, aku dari dulu sudah berkomitmen untuk tidak mau tahu urusan mereka. Hanya menghargai Jamilah saja. Namun, ada yang menarik perhatianku. Mas Agam tidak sama Anti? Kenapa? Ah, sudahlah! Aku tidak mau tahu.Obrolan kami melebar ke mana-mana. Dinta dan danis bermain di halaman rumah Jamilah yang luas. Dan ada ayunan di sana.Sebuah motor berhenti. Jamilah keluar untuk melihat.“Ni, itu ibunya Agam …” wajah Jamilah terlihat pucat.“Hah? Serius kamu, Mil? Aku pamit,, ya?”“Jangan, Ni! Aku udah nyuruh orang masak. Kamu harus makan di sini. Udah jauh-jauh datang kok, Ni …”“Tapi kan, Mil …”“Gak papa, Ni! Sekalian, kamu pamer kalau kamu udah kaya sekarang,” ucap Jamilah berbisik mendekat padaku,”Aku jadi ingat, pertemuan kamimbeberapa hari yang lalu. Ah, males sekali rasanya. Terd
“Maaf, Bu! Itu rumah Rani dan Iyan. Aku tidak berhak ke sana,” jawabku lirih. Entah Ibu mendengar atau tidak.“Agam! Jangan seperti itu terus! Hentikan permusuhan kalian. Ibu ingin anak-anak Ibu akur.”“Bu, besok aku ke sana. Setelah salat Id,” aku memutus telepon karena sudah tidak ingin lagi membahas tentang Iyan.Paginya, setelah salat, aku benar-benar meluncur ke rumah Ibu. Bagaimanapun, mereka orang tua yang harus aku mintai maaf.Sesampainya di rumah masa kecilku dulu, suasana sangat berbeda dengan tahun lalu. Dulu, rumah selalu ramai. Menjadi tujuan semua sanak family setelah melangsungkan salat sunah. Entah kenapa, sekarang sangat sepi. Aira duduk di tepi teras, melihat lalu lalang orang yang tidak ada satupun yang menyapa.“Aira …” aku memanggil gadis kecil yang telihat semakin kurus. Aira menoleh, dan tersenyum semringah.“Pakde …” anak Iyan berlari menubrukk
Aku meluncur menuju kediaman Anti. Tapi rumah masih sepi. Aku memberanikan dii membuka pintu sambil memanggil namanya.“Ya, Mas, aku di kamar.” Mendengar jawaban itu, gegas langkah kaki ini tertuju pada kamarnya.“Bagaimana?”“Mulai pegal ini pinggang,” seketika napas keluar dari mulut ini. Bayanganku di jalan tadi, Anti sudah dalam keadaan yang benar-benar mau melahirkan.“Jadi, belum mau lahiran gitu?” tanyaku memastikan.“Coba kamu panggil bidan Mas!”“Baik,” jawabku dan langsung berdiri.”Kamu tidak kenapa-napa, aku tinggal sendiri?” beberapa langkah aku berheni dan menoleh.“Gak papa, Mas,” jawabnya masih dengan nada seperti biasanya. Itu artinya, Anti memang belum merasakan kontraksi.Kulajukan motor melewati jalan gang yang di kanan kirinya terdapat rumah yang rata-rata halamannya ditumbuhi pohon-pohon mangga yang rindang. Sete
“Anti, ayo, pulang!” terlalu asyik mengobrol, Anti sampai tidak menyadari kedatanganku. Dirinya begitu terkejut mendengar ajakanku pulang.Ekor mata ini melirik pria gagah yang masih naik di atas motor besar. Pantas bila Anti tergoda. Penampilannya sangat bersih. Ditambah, pekerjaan yang bergengsi di kalangan masyarakat desa, menambah wibawa tersendiri pada lelaki yang konon berstatus duda. Eh tapi, benarkah itu orangnya?“Suaminya Bu Anti,, ya?” Pak Polisi yang gagah perkasa itu mengajakku bersalaman. Senyumnya sangat ramah. Aku menyambut uluran tangan kekarnya.“Iya, Pak! Suami formalitas,”aku berusaha tersenyum saat menjawab demikian. Sudut netra ini menangkap Anti yang terlihat gugup. Pak Polisi hanya mengangguk saja.“Pamit dulu ya, Bu Anti, Mas ...”“Agam. Nama saya Agam, Pak,” jawabku karena terlihat sekali beliau ingin tahu siapa aku.“Iya, Mas Agam. Saya pamit dulu,,
Setengah jam kemudian, napas mereka tersengal-sengal karena kelelahan. “Ayo, kita istirahat! Minum sama makan jajan dulu,, ya?” ajakku. Kemudian duduk di sofa yang disediakan untuk penunggu anak-anak. Danis yang duduk di bawah, menyandarkan kepalanya pada paha ini sembari memakan cemilan. “Yah, lama kita main kerbau-kerbauan,” celetuk Danis. “Ok, Ayah jadi kerbau. Adek sama Kakak naik,, ya?” perintahku kemudian. Aku tidak menghiraukan dimana sekarang berada. Yang terpenting, kami melakukan permainan yang dulu sering dilakukan saat masih bersama. Berkali-keli, tubuh Danis dan Dinta terjatuh dari atas punggung menimbulkan gelak tawa keduanya. Tidak terasa, sudut netra ini memanas. Entah sebuah sedih atau bahagia. Permainan berganti, Dinta meminta gendong di belakang, sedangkan Danis di depan. Mereka minta dibawa ke tempat mandi bola. Beruntungnya, hanya ada satu anak kecil lain di arena ini. Sehingga aku sedikit bebas menuruti permintaan kedua ana