Nia
Tetes-tetes embun masih tersisa dari dedaunan di depan rumah. Hujan semalam meninggalkan dingin yang masih terasa di sekitar rumah. Sehingga diri, malas beranjak keluar.
Aku berdiri termenung di depan jendela. Hawa segar dan dingin menyeruak di hidung ini. Sebuah tangan melingkar di perut.
“Serius amat? Tidak sedang mengingat masa lalu ‘kan?” harum tubuhnya membuat hati ini sangat nyaman. Kusandarkan kepala pada dada bidangnya. Sebuah kecupan kurasakan di ubun-ubun. “Kenapa diam?” tanyanya kemudian. Aku masih dalam posisi memejamkan mata. Menikmati setiap degup jantung yang berbunyi dari pria yang telah memberikanku banyak hal.
“Aku sedang menikmati waktu. Ingin rasanya menghentikannya untuk selamanya, agar tubuh kita tidak pernah terpisah,” jawabku sembari memegang lengan kekar yang kini menaikkan lingkarannya ke dada.
“Jangan menggombal. Masih pagi. Nanti terjadi hal yang diinginkan bagaimana?&r
Keadaan mereka bukan urusanku saat ini. Mau bahagia atau susah, aku dari dulu sudah berkomitmen untuk tidak mau tahu urusan mereka. Hanya menghargai Jamilah saja. Namun, ada yang menarik perhatianku. Mas Agam tidak sama Anti? Kenapa? Ah, sudahlah! Aku tidak mau tahu.Obrolan kami melebar ke mana-mana. Dinta dan danis bermain di halaman rumah Jamilah yang luas. Dan ada ayunan di sana.Sebuah motor berhenti. Jamilah keluar untuk melihat.“Ni, itu ibunya Agam …” wajah Jamilah terlihat pucat.“Hah? Serius kamu, Mil? Aku pamit,, ya?”“Jangan, Ni! Aku udah nyuruh orang masak. Kamu harus makan di sini. Udah jauh-jauh datang kok, Ni …”“Tapi kan, Mil …”“Gak papa, Ni! Sekalian, kamu pamer kalau kamu udah kaya sekarang,” ucap Jamilah berbisik mendekat padaku,”Aku jadi ingat, pertemuan kamimbeberapa hari yang lalu. Ah, males sekali rasanya. Terd
“Maaf, Bu! Itu rumah Rani dan Iyan. Aku tidak berhak ke sana,” jawabku lirih. Entah Ibu mendengar atau tidak.“Agam! Jangan seperti itu terus! Hentikan permusuhan kalian. Ibu ingin anak-anak Ibu akur.”“Bu, besok aku ke sana. Setelah salat Id,” aku memutus telepon karena sudah tidak ingin lagi membahas tentang Iyan.Paginya, setelah salat, aku benar-benar meluncur ke rumah Ibu. Bagaimanapun, mereka orang tua yang harus aku mintai maaf.Sesampainya di rumah masa kecilku dulu, suasana sangat berbeda dengan tahun lalu. Dulu, rumah selalu ramai. Menjadi tujuan semua sanak family setelah melangsungkan salat sunah. Entah kenapa, sekarang sangat sepi. Aira duduk di tepi teras, melihat lalu lalang orang yang tidak ada satupun yang menyapa.“Aira …” aku memanggil gadis kecil yang telihat semakin kurus. Aira menoleh, dan tersenyum semringah.“Pakde …” anak Iyan berlari menubrukk
Aku meluncur menuju kediaman Anti. Tapi rumah masih sepi. Aku memberanikan dii membuka pintu sambil memanggil namanya.“Ya, Mas, aku di kamar.” Mendengar jawaban itu, gegas langkah kaki ini tertuju pada kamarnya.“Bagaimana?”“Mulai pegal ini pinggang,” seketika napas keluar dari mulut ini. Bayanganku di jalan tadi, Anti sudah dalam keadaan yang benar-benar mau melahirkan.“Jadi, belum mau lahiran gitu?” tanyaku memastikan.“Coba kamu panggil bidan Mas!”“Baik,” jawabku dan langsung berdiri.”Kamu tidak kenapa-napa, aku tinggal sendiri?” beberapa langkah aku berheni dan menoleh.“Gak papa, Mas,” jawabnya masih dengan nada seperti biasanya. Itu artinya, Anti memang belum merasakan kontraksi.Kulajukan motor melewati jalan gang yang di kanan kirinya terdapat rumah yang rata-rata halamannya ditumbuhi pohon-pohon mangga yang rindang. Sete
“Anti, ayo, pulang!” terlalu asyik mengobrol, Anti sampai tidak menyadari kedatanganku. Dirinya begitu terkejut mendengar ajakanku pulang.Ekor mata ini melirik pria gagah yang masih naik di atas motor besar. Pantas bila Anti tergoda. Penampilannya sangat bersih. Ditambah, pekerjaan yang bergengsi di kalangan masyarakat desa, menambah wibawa tersendiri pada lelaki yang konon berstatus duda. Eh tapi, benarkah itu orangnya?“Suaminya Bu Anti,, ya?” Pak Polisi yang gagah perkasa itu mengajakku bersalaman. Senyumnya sangat ramah. Aku menyambut uluran tangan kekarnya.“Iya, Pak! Suami formalitas,”aku berusaha tersenyum saat menjawab demikian. Sudut netra ini menangkap Anti yang terlihat gugup. Pak Polisi hanya mengangguk saja.“Pamit dulu ya, Bu Anti, Mas ...”“Agam. Nama saya Agam, Pak,” jawabku karena terlihat sekali beliau ingin tahu siapa aku.“Iya, Mas Agam. Saya pamit dulu,,
Setengah jam kemudian, napas mereka tersengal-sengal karena kelelahan. “Ayo, kita istirahat! Minum sama makan jajan dulu,, ya?” ajakku. Kemudian duduk di sofa yang disediakan untuk penunggu anak-anak. Danis yang duduk di bawah, menyandarkan kepalanya pada paha ini sembari memakan cemilan. “Yah, lama kita main kerbau-kerbauan,” celetuk Danis. “Ok, Ayah jadi kerbau. Adek sama Kakak naik,, ya?” perintahku kemudian. Aku tidak menghiraukan dimana sekarang berada. Yang terpenting, kami melakukan permainan yang dulu sering dilakukan saat masih bersama. Berkali-keli, tubuh Danis dan Dinta terjatuh dari atas punggung menimbulkan gelak tawa keduanya. Tidak terasa, sudut netra ini memanas. Entah sebuah sedih atau bahagia. Permainan berganti, Dinta meminta gendong di belakang, sedangkan Danis di depan. Mereka minta dibawa ke tempat mandi bola. Beruntungnya, hanya ada satu anak kecil lain di arena ini. Sehingga aku sedikit bebas menuruti permintaan kedua ana
Part 155 Sampai di rumh Anti, sudah ada beberapa kerabat di sana. Aku langsung masuk tanpa mengindahkan tatapan sinis oleh mereka. “Bapak, suami Ibu Anti?” tanya seorang bidan yang kebetulan berpapasan di pintu penghubung ruang tamu dengan ruang tengah. “Iya,” jawabku gugup. “Bagaimana keadaan istri saya, Bu?” “Harus dibawa ke rumah sakit,” ucap bidan ramah. “Apa kamu bilang tadi? Istri? Gak malu ngakuin Anti sebagai istri?” ibu Anti muncul dari dalam kamar. Bahkan, menyebutnya sebagai ibu mertua saja, rasanya hati ini ragu. Bidan menatap heran pada kami secara bergantian. “Boleh saya ke dalam?” untuk menghindari perdebatan, aku me
Keluar dari ruang operasi, aku masih melihat Tohir berada di sana. Memandangku dengan tatapan yang sulit aku artikan."Tohir, tunggu di sini sampai Anti keluar, kan?" bapak Anti bertanya penuh harap. Aku menatap Tohir yang mengangguk menanggapi permintaan mantan mertuanya itu."Agam, cari keperluan bayi sana! Mau lahiran kok, tanpa persiapan gitu, malu-maluin aja! Dulu, Anti sama Tohir gak seperti ini," ibu mertua palsu berujar sambil terus menampakan wajah sinis. Aku bergeming bingung. Jujur, sama sekali tidak tahu, apa saja keperluan bayi yang baru lahir. Bila tidak lengkap, sudah pasti akan kena marah lagi."Maaf, Bu, bisa dikatakan apa saja yang harus aku beli? Biar tidak salah atau kurang," untuk sekian lama menahan diri tidak berbicara dengan wanita yang selalu berbicara sinis, akhirnya mulut ini memb
Sepeninggal Tohir dari ruangan ini, hanya ada aku berdua bersama Anti. Tanpa ada obrolan apa pun. Aku duduk termenung di sofa, memandang tubuh Anti yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Naluriku ingin mendekat padanya. Tubuh ini bangkit dan berjalan menuju bed yang hanya berjarak beberapa langkah saja.“Kamu butuh sesuatu?” aku bertanya saat sudah berada tepat di samping kepalanya. Anti menggeleng lemah. “Kamu tidak ingin melihat anak kita?” mendengar pertanyaan barusan, dirinya baru tertarik untuk menatap wajahku. Agak lama kami saling bersitatap.Hening, hanya detak jarum jam yang terdengar memenuhi seluruh sudut ruangan ini.“Dia laki-laki. Kulitnya putih seperti kamu. Untung saja, hidungnya tidak mirip. Hidungnya, mewarisi punyaku yang mancung. Dia tampan, dia pasti akan tumbuh menjadi anak yang menggemaskan.” aku bercerita sendiri. Mencoba berkelakar, dengan harap, merajut kembali hubungan yang sudah sangat renggang
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”