Setengah jam kemudian, napas mereka tersengal-sengal karena kelelahan.
“Ayo, kita istirahat! Minum sama makan jajan dulu,, ya?” ajakku. Kemudian duduk di sofa yang disediakan untuk penunggu anak-anak. Danis yang duduk di bawah, menyandarkan kepalanya pada paha ini sembari memakan cemilan.
“Yah, lama kita main kerbau-kerbauan,” celetuk Danis.
“Ok, Ayah jadi kerbau. Adek sama Kakak naik,, ya?” perintahku kemudian. Aku tidak menghiraukan dimana sekarang berada. Yang terpenting, kami melakukan permainan yang dulu sering dilakukan saat masih bersama. Berkali-keli, tubuh Danis dan Dinta terjatuh dari atas punggung menimbulkan gelak tawa keduanya. Tidak terasa, sudut netra ini memanas. Entah sebuah sedih atau bahagia.
Permainan berganti, Dinta meminta gendong di belakang, sedangkan Danis di depan. Mereka minta dibawa ke tempat mandi bola. Beruntungnya, hanya ada satu anak kecil lain di arena ini. Sehingga aku sedikit bebas menuruti permintaan kedua ana
Hai! Maaf ya, terlambat uploud. Karena ada kesibukan di dunia nyata. Oh iya, sudah ada cerita tentang Fani ya. Ayok, ikuti keseruan tingkah adik Nia dalam petualangan mencari cinta sejatinya dalam judul "Balada Cinta Fani". Bagi penggemar Umar, ada dia juga di sana.
Part 155 Sampai di rumh Anti, sudah ada beberapa kerabat di sana. Aku langsung masuk tanpa mengindahkan tatapan sinis oleh mereka. “Bapak, suami Ibu Anti?” tanya seorang bidan yang kebetulan berpapasan di pintu penghubung ruang tamu dengan ruang tengah. “Iya,” jawabku gugup. “Bagaimana keadaan istri saya, Bu?” “Harus dibawa ke rumah sakit,” ucap bidan ramah. “Apa kamu bilang tadi? Istri? Gak malu ngakuin Anti sebagai istri?” ibu Anti muncul dari dalam kamar. Bahkan, menyebutnya sebagai ibu mertua saja, rasanya hati ini ragu. Bidan menatap heran pada kami secara bergantian. “Boleh saya ke dalam?” untuk menghindari perdebatan, aku me
Keluar dari ruang operasi, aku masih melihat Tohir berada di sana. Memandangku dengan tatapan yang sulit aku artikan."Tohir, tunggu di sini sampai Anti keluar, kan?" bapak Anti bertanya penuh harap. Aku menatap Tohir yang mengangguk menanggapi permintaan mantan mertuanya itu."Agam, cari keperluan bayi sana! Mau lahiran kok, tanpa persiapan gitu, malu-maluin aja! Dulu, Anti sama Tohir gak seperti ini," ibu mertua palsu berujar sambil terus menampakan wajah sinis. Aku bergeming bingung. Jujur, sama sekali tidak tahu, apa saja keperluan bayi yang baru lahir. Bila tidak lengkap, sudah pasti akan kena marah lagi."Maaf, Bu, bisa dikatakan apa saja yang harus aku beli? Biar tidak salah atau kurang," untuk sekian lama menahan diri tidak berbicara dengan wanita yang selalu berbicara sinis, akhirnya mulut ini memb
Sepeninggal Tohir dari ruangan ini, hanya ada aku berdua bersama Anti. Tanpa ada obrolan apa pun. Aku duduk termenung di sofa, memandang tubuh Anti yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Naluriku ingin mendekat padanya. Tubuh ini bangkit dan berjalan menuju bed yang hanya berjarak beberapa langkah saja.“Kamu butuh sesuatu?” aku bertanya saat sudah berada tepat di samping kepalanya. Anti menggeleng lemah. “Kamu tidak ingin melihat anak kita?” mendengar pertanyaan barusan, dirinya baru tertarik untuk menatap wajahku. Agak lama kami saling bersitatap.Hening, hanya detak jarum jam yang terdengar memenuhi seluruh sudut ruangan ini.“Dia laki-laki. Kulitnya putih seperti kamu. Untung saja, hidungnya tidak mirip. Hidungnya, mewarisi punyaku yang mancung. Dia tampan, dia pasti akan tumbuh menjadi anak yang menggemaskan.” aku bercerita sendiri. Mencoba berkelakar, dengan harap, merajut kembali hubungan yang sudah sangat renggang
“Mas, tolong kembalikan bed ini ke tempat semula. Aku mau tidur. Sepertinya, obat yang aku minum ada obat tidurnya. Aku mulai mengantuk."“Anti, jangan siksa anak yang tidak berdosa ini. Ayo, kita latih dia menyusu,” aku berkata dengan nada lembut. Anti terisak, lalu menangis. Menutup muka dengan satu telapak tangan yang tidak diinfus. Semakin lama, isakannya berubah menjadi tangisan.“Nadia, Nadia, Nadia ...” sesekali, mulutnya memanggil nama itu.Aku bingung, hendak menenangkan siapa. Anak dalam gendonganku menangis keras.“Anti, berhentilah menangis! Aku tidak akan memintamu untuk menyusui anak kita. Nanti, biar aku cari susu formula ke toko depan,” usai diriku berkata demikian, Anti baru berhenti menangis. Namun, isakan sesekali masih terdengar.“Ea ... ea ...” bayi dalam gendonganku menangis kencang.“Sabar ya, Sayang ... Ibu masih sakit perutnya. Belum bisa menyusui kamu. Nant
"Bu! Anda boleh membenci aku! Seharian, Ibu selalu berkata pada aku dengan nada yang kasar. Tapi, tidak dengan anak yang tidak berdosa ini. Dia cucu Ibu. Sekalipun terlahir atas dasar dosa namun, anak ibu juga ikut andil dalam hal ini," tidak tahan, akhirnya aku ikut menyahut. Ingin berkata lebih kasar lagi namun, urung. Ingat kalau ini rumah sakit. "Sudah, sudah! Perut aku sakit," Anti berteriak lemah dan pecah tangisnya. "Kamu lihat sendiri 'kan, Agam? Anti kesakitan karena ulah kamu," "Jangan terus memojokkan Agam, Bu Lik! Kasihan ... jangan sampai menyesal lagi, lho!" "Aku hanya akan menyesali bila, Tohir tidak jadi kembali sama Anti." "Ya sudah, kalau tidak mau dikasih tahu. Yang penting, kami dah sampaikan informasi kalau Tohir dengar-dengar mau nikah," "Tidak bakalan! Saya akan pastikan, Tohir kembali lagi sama Anti. Kalian jangan mencoba menghasut kami demi dia!" Karena lelah berdebat, saudara Anti pamit pulang.
Anti masih belum mau berbicara denganku. Pun terhadap anak kami, sama sekali dirinya tidak berniat untuk hanya sekadar menatap wajahnya.Orang tuanya juga, tidak pernah menganggap bahwa di ruangan ini ada sesosok makhluk yang seharusnya menarik untuk diperhatikan. Hanya beberapa pengunjung saja yang selalu menggendong bayi yang belum sempat aku beri nama.Hari kedua, aku menghubungi Ibu, memberitahu kalau anakku sudah lahir."Ibu bingung, Gam! Mau ke sana sama siapa. Nanti ya, coba, Ibu ajak bapak kamu. Tapi, Aira sama siapa? Rani juga tidak ada yang jagain," jawaban Ibu membuat aku semakin menjadi manusia yang tidak ada nilainya sama sekali bahkan di hadapan keluargaku."Bu, apa Ibu tidak ingin melihat cucu Ibu? Tolonglah, Bu ... jangan selalu jadikan Aira sebagai alasan untuk membedakan yang lainnya,""Bukan begitu, Gam! Ibu juga ingin melihat tapi, kamu tahu sendiri 'kan, bagaimana keadaan adikmu, Rani?""Berhenti mengatakan kalau Rani ad
Mereka bersusah payah membujuk. Akan tetapi, niat hati ini sudah bulat. apa pun resikonya, akan aku hadapi. Ada istri Mas Yanto yang siap membantu. Lik Mira dan Lik Udin menemaniku sampai sore. Mereka baru pulang lepas magrib. Setelah memastikan aku sudah makan. Alhamdulillah, masih ada yang peduli dengan diriku. Keesokan harinya, bapak dan ibu Anti mulai berkemas. Siang nanti lepas dhuhur, dokter sudah membolehkan pulang. Akupun sama, mengemasi semua popok bayi yang sudah aku laundry di rumah sakit ini. Miris, mereka sama sekali tidak mau menyentuh anakku. "Tohir nanti ke sini buat jemput 'kan, Pak?" bertanya ibu Anti pada suaminya. "Iya, lha sudah janji kok. Nanti kan Tohir yang ngurus semua administrasi," jawabnya mantap. "Maaf, Pak. Untuk urusan administrasi, tolong jangan Mas Tohir yang mengurus. Itu tanggungjawab saya," aku ikut menyahut. "Ya kalau gitu, kamu urus anakmu saja. Anti biar diurus sama Tohir," percuma berdeba
POV TohirAnti, sebuah nama yang sulit aku lupakan. Tentang sebuah cinta yang bercampur benci. Tentang sebuah rindu yang tak mungkin bisa aku rengkuh nikmat perjumpaannya.Selamanya dia akan ada dalam relung hati sebagai wanita yang pernah bertahta dalam hidup ini.Nyatanya, kesempurnaan materi bukan jaminan seseorang akan bahagia. Istri yang sangat aku perjuangkan kemewahan dalam hidup, ternyata menorehkan sejuta luka tidak hanya untuk diriku, akan tetapi pada Nadia, buah cinta kami berdua.Usai palu hakim diketuk, menandai akhir dari hubungan suci kami, aku merasa kehilangan arah. Sempat tidak punya semangat untuk mencari lagi pundi-pundi rupiah karena tujuan hidupku telah pergi namun, akhirnya sedikit demi sedikit diri ini mulai bangkit dan berusaha menerima kenyataan.Ibu, sosok yang paling membenci Anti. Segala sumpah serapah diberikan pada wanita yang pernah menyandang gelar sebagai menantu kebanggaannya itu."Lihat saja, hidupnya akan