POV Tohir
Anti, sebuah nama yang sulit aku lupakan. Tentang sebuah cinta yang bercampur benci. Tentang sebuah rindu yang tak mungkin bisa aku rengkuh nikmat perjumpaannya.
Selamanya dia akan ada dalam relung hati sebagai wanita yang pernah bertahta dalam hidup ini.
Nyatanya, kesempurnaan materi bukan jaminan seseorang akan bahagia. Istri yang sangat aku perjuangkan kemewahan dalam hidup, ternyata menorehkan sejuta luka tidak hanya untuk diriku, akan tetapi pada Nadia, buah cinta kami berdua.
Usai palu hakim diketuk, menandai akhir dari hubungan suci kami, aku merasa kehilangan arah. Sempat tidak punya semangat untuk mencari lagi pundi-pundi rupiah karena tujuan hidupku telah pergi namun, akhirnya sedikit demi sedikit diri ini mulai bangkit dan berusaha menerima kenyataan.
Ibu, sosok yang paling membenci Anti. Segala sumpah serapah diberikan pada wanita yang pernah menyandang gelar sebagai menantu kebanggaannya itu.
"Lihat saja, hidupnya akan
Suatu hari, aku ada urusan ke polsek. KTP hilang entah ke mana. Untuk mengurus ke dukcapil, perlu meminta surat kehilangan dari kantor polisi. Di sana, aku bertemu dengan polisi yang berdinas yang kebetulan dia adalah adik dari teman yang sering berlayar bersama. Aku kemudian mengajaknya sekadar ngopi sambil bicara santai. "Mantan istri Mas Tohir namanya Anti?" tanya dia langsung tanpa basa-basi saat barusaja duduk dan tengah menunggu pesanan di warung depan polsek. "Iya, kok kamu tahu?" pria bertubuh tegap itu tersenyum. "Dia sering datang ke rumahku," jawabnya jujur. Aku mengernyit heran. "Untuk apa?" rasa penasaran semakin besar membuat ingin mengorek informasi darinya. Senyum mengejek tersungging di sana. "Entahlah, Mas! Aku bingung. Mau bilang kalau dia hendak menggoda, sepertinya kurang pantas. Kondisinya sedang hamil. Hendak menghilangkan pikiran kotor itu, nyatanya, dia seringkali datang ke rumah dengan dandanan yang menor. Juga sering
[Mas, apa kabar? Nadia apa kabar?] tanya Anti suatu sore saat aku sedang bersantai.[Baik,] jawabku singkat.[Jangan lupa makan ya, Mas? Oh iya, perut aku sudah mulai kram ini,] lapor Anti tanpa aku bertanya.[Bawa bersantai. Nanti kalau sakit lagi, kasih tahu aku,] balasku sengaja memberi harapan.[Bapak tanya, Mas kapan main lagi?][Kalau sudah ada waktu longgar]"Hir! Ibu tidak mau tahu, kamu harus cari calon istri. Ibu sudah bilang sama orang-orang di pasar kalau kamu bentar lagi mau nikah. Pokoknya, Ibu tidak mau kamu dekat lagi sama Anti," omelan seperti itu hampir setiap hari aku mendengar."Sabar, Bu! Aku juga sedang mencari. Nanti saatnya akan tiba," jawabku santai. Bukan tanpa alasan. Aku memang tengah dekat dengan seseorang. Dia sahabat Anti. Seorang guru honorer yang sudah berumur hampir tiga puluhan tapi belum menikah juga. Meskipun bukan seorang PNS, itu bukan menjadi masalah buatku. Status pekerjaan seseorang tidak menj
"Dari mana kalian? Kok pulang bareng? Bukannya kamu tadi pergi sama teman kamu, Nad?" bila sudah bertanya, ibuku mirip detektif."Itu, Mbah, anu ..." Nadia bercerita tentang apa yang dia lakukan bersama aku dan Erina tadi."Bawa ke sini dulu, Hir! Sebelum kamu menemui orang tuanya. Ibu trauma. Pokoknya, Ibu harus kenal dulu.""Ya kalau trauma terus, aku gak bisa nikah dong, Bu!" sungut aku sebal."Lha, apa Ibu nyuruh kamu gak nikah? Ibu cuma pengin ketemu sama calon kamu. Nadia, Mbah mau tanya. Itu pacar ayahmu menor gak dandannya? Terus, gaya bicaranya genit apa tidak? Harusnya kamu tadi amati dengan saksama. Biar ayah kamu gak salah pilih!""Kami gak pacaran, Bu! Aku dah kenal dia lama. Tadi langsung ngajak dia nikah,""Sembarangan kamu! Ujug-ujug ngajak nikah,""Lhah katanya suruh cepat cari calon? Gimana sih, Bu?""Ya tapi kan gak gitu caranya, Hir!"Terus, harus gimana? Dulu kan Anti juga Ibu yang menjodohkan," deng
POV AgamMobil Tohir sudah berlalu pergi. Aku tahu karena, bagian kaca mobilnya terbuka. Adakah yang lebih menyakitkan dari ini? Menggendong bayi merah yang ditinggal pergi ibu dan kakek neneknya tanpa belas kasihan? Dibuang begitu saja seolah dia adalah barang yang harus disingkirkan.Kupandangi Bilal yang masih menangis. Segera, tangan ini merogoh kantong celana dan mengambil botol susu yang masih ada isinya serta memasukkan ke dalam mulut mungilnya."Mas, itu kenapa bayinya digendong tanpa selendang? Pamali lho, Mas! Kena sawan nanti." seorang ibu paruh baya yang lewat menegur."Saya tidak punya selendang, Bu ..." jawab aku jujur. Kristal bening yang sejak tadi aku tahan, jatuh satu per satu menetes di pipi."Istrinya ke mana, Mas?""Sudah pergi,""Maksudnya?" aku diam tidak menjawab. Memilih menenangkan anak dalam gendongan. "Aku ada selendang itu, Mas! Tadi buat gendong cucu tapi, biarlah. Sebentar, ya, aku ambil dulu?" tanpa men
"Sudah, Mas! Lupakan yang telah berlalu. Aku minta maaf juga atas sikap Mas Irsya, dia takut sekali kehilangan kami soalnya,""Iya, Nia! Aku tahu. Aku hanya perlu bertemu dengan Dinta dan Danis saja," Nia mengangguk dan menyeka air matanya."Ya Allah, Mas ... itu bayi kamu, kasihan sekali. Bawa sini, aku yang gendong sambil nunggu teman kamu datang," kulihat wajah yang tenang dalam dekapan tangan ini dan menimbang permintaan Nia."Nia, boleh titip sebentar? Aku lapar. Belum sempat makan dari pagi," ujarku jujur. "Kamu, kamu kasih tahu dulu suami kamu,, ya? Takutnya ada yang salah paham lihat kita ...""Gak papa, Mas! Gampang! Bawa sini, sana kamu makan dulu," aku bangkit dan melepas gendongan serta mengulurkan Bilal pada Nia."Titip ya, Nia ..." Nia mengangguk. Aku segera bergegas pergi. Dan saat kembali, Nia terlihat sedang memeluk anakku sambil menangis."Sudah, Mas?" tanya dia sembari menyeka kristal bening yang masih tersisa."Sud
POV NIAAku masih berdiri di sini, menatap kepergian mobil yang membawa Mas Agam, juga anaknya. Entahlah, gerimis yang membasahi tubuh ini seakan tidak terasa dinginnya.Aku pernah membencinya. Dulu, sangat muak terhadap pria yang memperlakukan kami bertiga secara semena-mena tapi, melihat dirinya seperti itu sungguh hati ini merasa sangat kasihan.Hal yang paling aku benci dari diriku adalah, mudah sekali mengasihani orang. Rasa ini sangat sensitif terhadap penderitaan yang dialami oleh orang-orang sekeliling. Sekadar kasihan, tidak lebih. Bukan cinta lama bersemi kembali akan tetapi, hanya sepercik sakit yang menggores relung hati, melihat dia yang pernah satu atap bersama, dirundung duka yang penuh nestapa.Anti, sosok wanita berhati, ah, aku tidak ingin mengumpat. Tega sekali melepaskan bayi merah yang dia kandung selama sembilan bulan. Bila memang dirinya membenci Mas Agam, harusnya, hanya Mas Agam yang dia buang, bukan sesosok makhluk tanpa dosa yan
Aku bangkit, dan turun dari ranjang. Membuka lemari dan mengulurkan surat yang beberapa bulan ini aku sembunyikan darinya."Apa ini?""Surat tanah yang aku beli bersama Mas Agam. Dia mengirimkan sebagai kado pernikahan kita," lembaran itu hanya diterima tanpa dibuka. Dirinya diam. Nampak tengah berpikir. Aku hanya duduk sembari sabar menunggu, apa yang akan dikatakan olehnya."Berikan pada Agam! Dinta dan Danis tidak membutuhkan. Apa yang aku miliki sangat lebih dari benda ini, Nia. Dan aku berharap, dengan ini, sakit dalam hati kamu melihat penderitaan Agam akan hilang. Dan aku, akan mengizinkannya untuk menemui Dinta dan Danis kapanpun. Ingat! Hanya bertemu. Bukan untuk membawa mereka pergi," aku hampir tidak percaya dengan apa yang kudengar tadi. Dengan cepat, kupeluk erat tubuh lelaki yang berhati mulia itu."terima kasih, Mas. Aku janji, tidak akan meninggalkanmu. Aku janji, akan selalu mendampingi Mas sampai maut memisahkan kita," kami saling tatap.
"Ada yang ingat, ada yang lupa. Tidak semuanya aku ingat. Karena, ada kenangan buruk yang memang sudah aku kubur dalam-dalam," jawaban telak yang diberikan Tohir, membuat Anti tidak berkutik. Senyum manja yang sebelumnya tersungging, kembali redup."Mas, aku minta maaf, ya? Dulu, aku termakan rayuan Agam. Seandainya saja, dia tidak hadir untuk menganggu, pastilah kebahagiaan masih selalu menghiasi kehidupan keluarga kecil kita. Aku menyesal ...""Iya, jadikan sebagai pelajaran. Untuk kamu kelak menjadi istri yang setia. Sebesar apa pun rayuan itu datang, bila hatimu itu penuh dengan iman dan rasa takut pada Allah, pasti tidak akan tergoda. Jangan menyalakan satu pihak, Anti. Karena perselingkuhan terjadi antara dua orang. Belajarlah menyadari dan mengakui kesalahan. Bukan melempar itu pada orang lain," meskipun apa yang diucapkan mantan suaminya itu terdengar lemah lembut, namun terasa menusuk relung hati Anti."Kamu tidak kasihan sama bayi kamu, Anti? Apakah ka
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”