POV Agam
Mobil Tohir sudah berlalu pergi. Aku tahu karena, bagian kaca mobilnya terbuka. Adakah yang lebih menyakitkan dari ini? Menggendong bayi merah yang ditinggal pergi ibu dan kakek neneknya tanpa belas kasihan? Dibuang begitu saja seolah dia adalah barang yang harus disingkirkan.
Kupandangi Bilal yang masih menangis. Segera, tangan ini merogoh kantong celana dan mengambil botol susu yang masih ada isinya serta memasukkan ke dalam mulut mungilnya.
"Mas, itu kenapa bayinya digendong tanpa selendang? Pamali lho, Mas! Kena sawan nanti." seorang ibu paruh baya yang lewat menegur.
"Saya tidak punya selendang, Bu ..." jawab aku jujur. Kristal bening yang sejak tadi aku tahan, jatuh satu per satu menetes di pipi.
"Istrinya ke mana, Mas?"
"Sudah pergi,"
"Maksudnya?" aku diam tidak menjawab. Memilih menenangkan anak dalam gendongan. "Aku ada selendang itu, Mas! Tadi buat gendong cucu tapi, biarlah. Sebentar, ya, aku ambil dulu?" tanpa men
"Sudah, Mas! Lupakan yang telah berlalu. Aku minta maaf juga atas sikap Mas Irsya, dia takut sekali kehilangan kami soalnya,""Iya, Nia! Aku tahu. Aku hanya perlu bertemu dengan Dinta dan Danis saja," Nia mengangguk dan menyeka air matanya."Ya Allah, Mas ... itu bayi kamu, kasihan sekali. Bawa sini, aku yang gendong sambil nunggu teman kamu datang," kulihat wajah yang tenang dalam dekapan tangan ini dan menimbang permintaan Nia."Nia, boleh titip sebentar? Aku lapar. Belum sempat makan dari pagi," ujarku jujur. "Kamu, kamu kasih tahu dulu suami kamu,, ya? Takutnya ada yang salah paham lihat kita ...""Gak papa, Mas! Gampang! Bawa sini, sana kamu makan dulu," aku bangkit dan melepas gendongan serta mengulurkan Bilal pada Nia."Titip ya, Nia ..." Nia mengangguk. Aku segera bergegas pergi. Dan saat kembali, Nia terlihat sedang memeluk anakku sambil menangis."Sudah, Mas?" tanya dia sembari menyeka kristal bening yang masih tersisa."Sud
POV NIAAku masih berdiri di sini, menatap kepergian mobil yang membawa Mas Agam, juga anaknya. Entahlah, gerimis yang membasahi tubuh ini seakan tidak terasa dinginnya.Aku pernah membencinya. Dulu, sangat muak terhadap pria yang memperlakukan kami bertiga secara semena-mena tapi, melihat dirinya seperti itu sungguh hati ini merasa sangat kasihan.Hal yang paling aku benci dari diriku adalah, mudah sekali mengasihani orang. Rasa ini sangat sensitif terhadap penderitaan yang dialami oleh orang-orang sekeliling. Sekadar kasihan, tidak lebih. Bukan cinta lama bersemi kembali akan tetapi, hanya sepercik sakit yang menggores relung hati, melihat dia yang pernah satu atap bersama, dirundung duka yang penuh nestapa.Anti, sosok wanita berhati, ah, aku tidak ingin mengumpat. Tega sekali melepaskan bayi merah yang dia kandung selama sembilan bulan. Bila memang dirinya membenci Mas Agam, harusnya, hanya Mas Agam yang dia buang, bukan sesosok makhluk tanpa dosa yan
Aku bangkit, dan turun dari ranjang. Membuka lemari dan mengulurkan surat yang beberapa bulan ini aku sembunyikan darinya."Apa ini?""Surat tanah yang aku beli bersama Mas Agam. Dia mengirimkan sebagai kado pernikahan kita," lembaran itu hanya diterima tanpa dibuka. Dirinya diam. Nampak tengah berpikir. Aku hanya duduk sembari sabar menunggu, apa yang akan dikatakan olehnya."Berikan pada Agam! Dinta dan Danis tidak membutuhkan. Apa yang aku miliki sangat lebih dari benda ini, Nia. Dan aku berharap, dengan ini, sakit dalam hati kamu melihat penderitaan Agam akan hilang. Dan aku, akan mengizinkannya untuk menemui Dinta dan Danis kapanpun. Ingat! Hanya bertemu. Bukan untuk membawa mereka pergi," aku hampir tidak percaya dengan apa yang kudengar tadi. Dengan cepat, kupeluk erat tubuh lelaki yang berhati mulia itu."terima kasih, Mas. Aku janji, tidak akan meninggalkanmu. Aku janji, akan selalu mendampingi Mas sampai maut memisahkan kita," kami saling tatap.
"Ada yang ingat, ada yang lupa. Tidak semuanya aku ingat. Karena, ada kenangan buruk yang memang sudah aku kubur dalam-dalam," jawaban telak yang diberikan Tohir, membuat Anti tidak berkutik. Senyum manja yang sebelumnya tersungging, kembali redup."Mas, aku minta maaf, ya? Dulu, aku termakan rayuan Agam. Seandainya saja, dia tidak hadir untuk menganggu, pastilah kebahagiaan masih selalu menghiasi kehidupan keluarga kecil kita. Aku menyesal ...""Iya, jadikan sebagai pelajaran. Untuk kamu kelak menjadi istri yang setia. Sebesar apa pun rayuan itu datang, bila hatimu itu penuh dengan iman dan rasa takut pada Allah, pasti tidak akan tergoda. Jangan menyalakan satu pihak, Anti. Karena perselingkuhan terjadi antara dua orang. Belajarlah menyadari dan mengakui kesalahan. Bukan melempar itu pada orang lain," meskipun apa yang diucapkan mantan suaminya itu terdengar lemah lembut, namun terasa menusuk relung hati Anti."Kamu tidak kasihan sama bayi kamu, Anti? Apakah ka
Mobil yang dikendarai Agam menembus pekatnya kabut di siang menjelang sore itu. Tidak ada sepatah katapun terucap di dalam kuda besi yang meluncur dengan kecepatan sedang itu. Sang sopir merasa enggan, hendak mengajak bercakap dengan pria yang memangku anak bayi yang baru lahir dengan tatapan sendu.Agam larut dalam pikirannya. Ada banyak hal ia risaukan. Meskipun kehadiran malaikat kecil tanpa dosa itu tidak ia anggap beban. Namun, tetap saja, beberapa kebiasaan dalam menjalani aktivitas sehari-harinya harus disesuaikan dengan keberadaan anak hasil hubungan gelapnya bersama Anti.Mobil telah sampai di halaman kantor, yang menjadi rumah sementara bagi Agam saat ini. Gerimis kecil masih tersisa, seakan langit ikut merasakan pedihnya hati, sesosok makhluk kecil tiada daya yang kehadirannya tidak disambut dengan senyum dan dekapan penuh cinta."Mas Agam tunggu dulu, aku yang turun terus cari payung. Biar dedek bayinya tidak kehujanan," perintah sopir yang usi
Beberapa hari berlalu, Agam mulai menyesuaikan diri dengan keadaan yang sekarang. Malam ia lewati sendiri, belajar semua hal dari awal. Mengganti popok, memberi susu, menidurkan saat menangis. Hanya memandikan saja yang tidak ia lakukan. Memilih meminta bantuan pada Tuti sekaligus menjaga saat dirinya harus mengantor.Siang itu, bapak dan ibu Agam datang menjenguk dengan niat melihat cucu mereka yang baru lahir.Tidak ada rasa bahagia mendapat kunjungan dari orang tuanya karena hatinya telah mati dengan sikap tak peduli yang selalu ia dapat.Agam yang saat itu sedang melipat pakaian dengan Bilal tidur lelap di atas ayunan yang berbentuk keranjang, hanya melirik seklias tanpa menyapa."Salim ayo, sama Pakde!" bukannya menanyakan kabar, pertama kali yang ibunya tunjukkan malah cucu kesayangan dan kebanggaannya."Pakde ..." Aira memanggil manja namun, tidak dihiraukan oleh Agam. Hatinya sudah beku bahkan terhadap anak yang dulu sangat ia sanjung itu.
Dirinya bukan berarti baik-baik dengan keputusan berdamai dengan Agam. Masih aja sepercik rasa khawatir namun, pria itu berusaha mempertahankan apa yang telah ia dapatkan dengan menjalin hubungan baik dengan Agam. Berharap dengan hal itu, Nia tidak akan terbebas dari rasa mengasihani dan memikirkan nasib mantan suaminya. "Agam," panggilan dari Pak Irsya membuat Agam yang tengah asyik memperhatikan tingkah Dinta dan Danis menoleh. "Ya, Pak …." Mereka saling bertatapan. "Perbaiki diri terus. Agar hal yang baik akan kamu temui setelah ini." Agam mengangguk paham. Nia yang sedari tadi keluar, masuk membawa dua bantal baru, juga sebuah plastik besar yang isinya makanan. Ibu dari Dinta dan Danis itu langsung mencari baskom untuk meletakkan berbagai makanan yang ia bawa. Lalu, kembali ke luar dan masuk dengan membawa perlengkapan dua anaknya yang akan menginap. "Mas Danis, hati-hati lho, ya! Adeknya jangan sampai ditindih." Pesan Nia pada ana
"Cium pipi kanan, cium pipi kiri, hidungnya, keningnya, dagunya …." Danis terus berujar sambil menciumi adik bayinya."Gantian, Dek!" seru Dinta."Sebentar, Kakak ... Adek belum puas." Danis menyahut tanpa menoleh. Perhatiannya fokus pada adik kecil yang sangat ia sukai."Tapi 'kan, dari tadi kamu terus, Dek, yang cium-cium Bilal." Dinta cemberut."Ini, ini, iya, iya, Adek ngalah,"Agam yang duduk di kursi sambil menyantap makanan yang dibawa Nia, tidak berhenti tersenyum. Malam yang indah bagi dirinya. Sekalipun tanpa sosok pendamping yang menemani, namun, apa yang terjadi di hadapannya saat ini adalah kebahagiaan yang sangat sempurna.Bilal, sosok bayi malang yang tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu, tetapi, masih ada Dinta dan Danis yang memberi ketulusan rasa tanpa syarat apapun.Hingga menjelang jam sembilan malam, Agam bercengkrama dengan ketiga anaknya. Entah kebetulan atau memang ikatan sebuah rasa persaudar