Dirinya bukan berarti baik-baik dengan keputusan berdamai dengan Agam. Masih aja sepercik rasa khawatir namun, pria itu berusaha mempertahankan apa yang telah ia dapatkan dengan menjalin hubungan baik dengan Agam. Berharap dengan hal itu, Nia tidak akan terbebas dari rasa mengasihani dan memikirkan nasib mantan suaminya.
"Agam," panggilan dari Pak Irsya membuat Agam yang tengah asyik memperhatikan tingkah Dinta dan Danis menoleh.
"Ya, Pak …." Mereka saling bertatapan.
"Perbaiki diri terus. Agar hal yang baik akan kamu temui setelah ini." Agam mengangguk paham.
Nia yang sedari tadi keluar, masuk membawa dua bantal baru, juga sebuah plastik besar yang isinya makanan.
Ibu dari Dinta dan Danis itu langsung mencari baskom untuk meletakkan berbagai makanan yang ia bawa. Lalu, kembali ke luar dan masuk dengan membawa perlengkapan dua anaknya yang akan menginap.
"Mas Danis, hati-hati lho, ya! Adeknya jangan sampai ditindih." Pesan Nia pada ana
Hai! Mohon maaf ya, untuk hari kemarin tidak uploud. Suami Othor lagi manjah, pengin ditemenin touring, hehe .... Ok, jadi kenapa cerita ini panjang? Karena ada banyak hal yang ingin Othor sampaikan. Intinya, agar pesan dalam cerita ini bisa tersampaikan di hati pembaca semuanya. Semoga cerita ini menghibur, semoga pembaca bisa mengambil hikmah dari setiap perbuatan buruk yang dilakukan para tokoh dan, semoga pembaca tersayang Othor rezekinya lancar. Amin .... Jangan lupa! Baca kekonyolan Si Fani dalam cerita Balada Cinta Fani.
"Cium pipi kanan, cium pipi kiri, hidungnya, keningnya, dagunya …." Danis terus berujar sambil menciumi adik bayinya."Gantian, Dek!" seru Dinta."Sebentar, Kakak ... Adek belum puas." Danis menyahut tanpa menoleh. Perhatiannya fokus pada adik kecil yang sangat ia sukai."Tapi 'kan, dari tadi kamu terus, Dek, yang cium-cium Bilal." Dinta cemberut."Ini, ini, iya, iya, Adek ngalah,"Agam yang duduk di kursi sambil menyantap makanan yang dibawa Nia, tidak berhenti tersenyum. Malam yang indah bagi dirinya. Sekalipun tanpa sosok pendamping yang menemani, namun, apa yang terjadi di hadapannya saat ini adalah kebahagiaan yang sangat sempurna.Bilal, sosok bayi malang yang tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu, tetapi, masih ada Dinta dan Danis yang memberi ketulusan rasa tanpa syarat apapun.Hingga menjelang jam sembilan malam, Agam bercengkrama dengan ketiga anaknya. Entah kebetulan atau memang ikatan sebuah rasa persaudar
Di sela-sela acara makan mereka, Agam merasa tenggorokannya tercekat. Menyadari bahwa, ini adalah saat terakhir kebersamaan dirinya dengan kedua anaknya. Entah kapan, kesempatan seperti ini akan terulang kembali."Kakak sama Adek, kapan-kapan main ke sini lagi, ya?" tanya Agam ragu. Kedua anak yang ia tanya hanya mengangguk saja.Agam benar-benar memanfaatkan momen sebelum Dinta dan Danis dijemput kembali oleh ibunya. Pria itu mengajak anak-anak bermain, sekalipun hatinya begitu diliputi sedih.Nia dan Pak Irsya datang lebih awal. Pukul dua mereka sudah sampai. Agam segera menyalami keduanya dan kembali pada Bilal yang menangis minta susu. Gurat-gurat kecewa ditampakkan kedua kakak beradik yang masih ingin bermain bersama adik bayinya."Ibu kenapa cepat datang?" tanya Danis dengan mimik muka sedih."Iya, kami masih mau di sini. Katanya sore?" Dinta ikut protes."Soalnya sore Ibu mau ada acara kondangan." Nia mencoba memberi pengertian. Semen
Apa yang dikatakan Anti barusan membuat hati Erina meradang. Rasa empati yang tadi sempat singgah, musnah seketika."Siapa sih, Mbak, yang mau gagal terus? Aku juga sudah berusaha maksimal. Tapi kan Allah belum menentukan. Mau gimana lagi?" Erina menjawab dengan mimik muka sedih. Anti sama sekali tidak merasa bersalah telah menyinggung temannya itu."Kamu banyak dosa kali, Rin! Makanya gak lolos-lolos. Coba deh, kamu ingat-ingat, kamu punya salah apa sama orang!" Erina semakin malas meladeni omongan Anti."Mbak, jadi keputusannya Mbak Anti tetap mau minta balikan sama Mas Tohir, tapi masih mau mendekatki polisi Feri?" tanya Erina memastikan. Sebagai bahan informasi untuk Tohir nanti."Ya, sedapatnya aja. Kalau bisa sih,punya suami, punya selingan juga, Rin," kelakar Anti disudahi dengan tawa renyah. "Ah, lupa! Kamu kan jomblowati forever. Mana tahu rasanya pindah-pindah lelaki. Satu aja belum punya." Anti cekikikan sendiri dengan kalimat yang ia sampaikan
Hari telah berganti. Kini, Bilal sudah lewat umur empat puluh hari jadi, sudah bisa dibawa ke luar rumah. Agam mulai menata hidupnya kembali. Terjun lagi di dunia pertanian yang beberapa bulan ini ia geluti.Pagi hingga siang, menjelang sore, Bilal dititipkan di rumah Tuti. Sedang Agam bekerja di kantor sembari mengurus kebun barunya.Suatu malam, saat Bilal telah terlelap, Agam berpikir teringat kata-kata Dinta yang menyuruhnya untuk pindah dari kantor. Bila dipikir, memang kantor bukanlah tempat yang nyama untuk ditempati seorang bayi. Letaknya agak terpisah dari rumah warga. Namun, harus ke mana dia?Bila ingin terjangkau dari tempat tinggal kedua anaknya yang lain, itu artinya harus pindah. Akan tetapi bila pindah, sulit sekali mengontrol tanaman yang ia tanam. Lagipula, belum tentu bertemu dengan orang sebaik Tuti juga Yanto.Dinta dan Danis belum pernah datang lagi. Hanya, mereka hampir setiap hari melakukan panggilan video dengan adik bayinya.
"Laila menemani aku saja di sini. Menjaga Bilal, ya, La? Takutnya aku harus pulang pas anak-anak pulang sekolah nanti," usul Tuti yang disambut senyum sumringah dari Laila."Iya, Mbak! Gak apa-apa. Lagian, aku gak ada kerjaan di rumah." Agam hanya menanggapi dengan senyuman yang wajar. Bukan karena sudah hilang getar-getar halus dalam dada untuk janda muda itu, tapi saat ini benar-benar hanya ingin memperbaiki hidup, membahagiakan Dinta dan kedua adiknya dengan cara sederhananya.Siang itu juga, dirinya meluncur menaiki mobil pick up yang disewa untuk membawa berbagai perlengkapan di pasar nanti. Uang untung penjualan tanaman cabe, sisa membayar kontrakan masih cukup untuk membeli barang yang ia butuhkan."Gak beli kursinya sekalian, Mas?" tanya sopir yang diajak tadi memberi saran saat Agam memilih lemari."Enggak dulu, Mas! Itu bukan rumah hak milik. Jadi, sabar aja," jawab Agam sambil terus memperhatikan deretan furniture di hadapannya."Saya ya
Agam merasa kebingungan karena, Tuti tidak bisa menjaga Bilal dikarenakan anak bungsunya jatuh dari motor dan harus dirawat di Puskesmas rawat inap. "Maaf ya, Mas? Aku sedih ninggalin Bilal tapi, gimana lagi, Dwi gak ada yang jagain." Begitu kata Tuti dalam sambungan teleponnya. "Mbak Tuti ada saran siapa gitu yang bisa aku mintai bantuan?" Agam bertanya penuh harap. Tuti diam tidak menjawab, berpikir siapa yang kira-kira bisa ia minta bantuan menjaga anak Agam. "Palingan Laila, Mas. Kalau dia bagaimana? Mas Agam setuju-kah?" Mendengar satu nama disebut, Agam jadi bimbang. Sejujurnya, dirinya ingin menghindar dari janda tanpa anak itu. Hatinya sedang ingin menikmati semua sendiri. "Kalau orang lain, ada gak Mbak?" Hati Agam begitu cemas. Saat ini, sudah tidak tinggal di kantor jadi, tidak bisa mengajak Bilal ke ruang kerja. "Emang kenapa, Mas?" tanya Tuti penuh selidik. "Mbak, aku kan pria sendiri. Laila juga janda. Aku tidak mau ada g
Agam mencoba melupakan kekecewaan yang ditunjukkan Laila. Sebisa mungkin, ingin agar semua berjalan baik-baik saja. Tapi tidak dengan Tuti. Sepulangnya dari puskesmas, istri Yanto itu menemui Agam dan menanyakan tentang apa yang dialami Laila."Mbak Tuti, aku pernah terlibat kasus yang benar-benar mencoreng nama baikku. Juga membuatku harus dipindah tugaskan. Aku orang perantauan di sini, Mbak. Tidak ingin mendapatkan masalah. Aku benar-benar menghindari hal itu." Agam menjelaskan semua keluh kesah dalam hati secara jujur. Tuti terlihat mulai memahami hal itu."Maaf, Mas Agam, soalnya Laila tersinggung. Aku pikir, Mas Agam benci dia," ujar Tuti penuh sesal."Tidak ada alasan untuk aku membenci Laila. Aku sangat berterimakasih dengan apa yang ia lakukan. Hanya saja, aku memang menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan fitnah. Karena kemarin, Laila hanya bersama Bilal saja di rumah ini. Dan saat aku pulang, kami berdua sebagai manusia dewasa dalam satu rumah. Aku
"Begini, Pak! Langsung saja, kedatangan aku kemari bukan untuk meminta makan, apalagi belas kasihan. Aku hanya mau bilang, tanah yang aku beli dengan Nia mau aku jual. Jadi, Bapak boleh ambil apapun yang Bapak tanam di sana yang sekiranya sudah bisa diambil. Hanis ini, aku mau ke Kang Juri yang biasa jadi makelar tanah." Agam menjelaskan tanpa meminta persetujuan."Ya tidak bisa seperti itu, Gam. Jangan seenaknya saja kamu. Kamu harus meminta persetujuan dari kami. Gak bisa kamu seperti itu. Itu namanya kamu semena-mena!" Pak Hanif terlihat tidak terima dengan apa yang ia dengar."Semena-mena dari mananya, Pak? Itu milik aku sendiri. Bukan menjual tanah warisan," celetuk Agam kesal."Jangan harap kamu bisa jual tanah itu. Tanah yang sudah dikelola Bapak selama bertahun-tahun. Sebagai sumber penghasilan dan buat beli rokok juga!" Iyan tiba-tiba muncul dan ikut menyambung. Bak ada kabel yang menghubungkan."Kata siapa aku tidak bisa menjual? Itu sertifikat
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”