Beberapa hari berlalu, Agam mulai menyesuaikan diri dengan keadaan yang sekarang. Malam ia lewati sendiri, belajar semua hal dari awal. Mengganti popok, memberi susu, menidurkan saat menangis. Hanya memandikan saja yang tidak ia lakukan. Memilih meminta bantuan pada Tuti sekaligus menjaga saat dirinya harus mengantor.
Siang itu, bapak dan ibu Agam datang menjenguk dengan niat melihat cucu mereka yang baru lahir.
Tidak ada rasa bahagia mendapat kunjungan dari orang tuanya karena hatinya telah mati dengan sikap tak peduli yang selalu ia dapat.
Agam yang saat itu sedang melipat pakaian dengan Bilal tidur lelap di atas ayunan yang berbentuk keranjang, hanya melirik seklias tanpa menyapa.
"Salim ayo, sama Pakde!" bukannya menanyakan kabar, pertama kali yang ibunya tunjukkan malah cucu kesayangan dan kebanggaannya.
"Pakde ..." Aira memanggil manja namun, tidak dihiraukan oleh Agam. Hatinya sudah beku bahkan terhadap anak yang dulu sangat ia sanjung itu.<
Dirinya bukan berarti baik-baik dengan keputusan berdamai dengan Agam. Masih aja sepercik rasa khawatir namun, pria itu berusaha mempertahankan apa yang telah ia dapatkan dengan menjalin hubungan baik dengan Agam. Berharap dengan hal itu, Nia tidak akan terbebas dari rasa mengasihani dan memikirkan nasib mantan suaminya. "Agam," panggilan dari Pak Irsya membuat Agam yang tengah asyik memperhatikan tingkah Dinta dan Danis menoleh. "Ya, Pak …." Mereka saling bertatapan. "Perbaiki diri terus. Agar hal yang baik akan kamu temui setelah ini." Agam mengangguk paham. Nia yang sedari tadi keluar, masuk membawa dua bantal baru, juga sebuah plastik besar yang isinya makanan. Ibu dari Dinta dan Danis itu langsung mencari baskom untuk meletakkan berbagai makanan yang ia bawa. Lalu, kembali ke luar dan masuk dengan membawa perlengkapan dua anaknya yang akan menginap. "Mas Danis, hati-hati lho, ya! Adeknya jangan sampai ditindih." Pesan Nia pada ana
"Cium pipi kanan, cium pipi kiri, hidungnya, keningnya, dagunya …." Danis terus berujar sambil menciumi adik bayinya."Gantian, Dek!" seru Dinta."Sebentar, Kakak ... Adek belum puas." Danis menyahut tanpa menoleh. Perhatiannya fokus pada adik kecil yang sangat ia sukai."Tapi 'kan, dari tadi kamu terus, Dek, yang cium-cium Bilal." Dinta cemberut."Ini, ini, iya, iya, Adek ngalah,"Agam yang duduk di kursi sambil menyantap makanan yang dibawa Nia, tidak berhenti tersenyum. Malam yang indah bagi dirinya. Sekalipun tanpa sosok pendamping yang menemani, namun, apa yang terjadi di hadapannya saat ini adalah kebahagiaan yang sangat sempurna.Bilal, sosok bayi malang yang tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu, tetapi, masih ada Dinta dan Danis yang memberi ketulusan rasa tanpa syarat apapun.Hingga menjelang jam sembilan malam, Agam bercengkrama dengan ketiga anaknya. Entah kebetulan atau memang ikatan sebuah rasa persaudar
Di sela-sela acara makan mereka, Agam merasa tenggorokannya tercekat. Menyadari bahwa, ini adalah saat terakhir kebersamaan dirinya dengan kedua anaknya. Entah kapan, kesempatan seperti ini akan terulang kembali."Kakak sama Adek, kapan-kapan main ke sini lagi, ya?" tanya Agam ragu. Kedua anak yang ia tanya hanya mengangguk saja.Agam benar-benar memanfaatkan momen sebelum Dinta dan Danis dijemput kembali oleh ibunya. Pria itu mengajak anak-anak bermain, sekalipun hatinya begitu diliputi sedih.Nia dan Pak Irsya datang lebih awal. Pukul dua mereka sudah sampai. Agam segera menyalami keduanya dan kembali pada Bilal yang menangis minta susu. Gurat-gurat kecewa ditampakkan kedua kakak beradik yang masih ingin bermain bersama adik bayinya."Ibu kenapa cepat datang?" tanya Danis dengan mimik muka sedih."Iya, kami masih mau di sini. Katanya sore?" Dinta ikut protes."Soalnya sore Ibu mau ada acara kondangan." Nia mencoba memberi pengertian. Semen
Apa yang dikatakan Anti barusan membuat hati Erina meradang. Rasa empati yang tadi sempat singgah, musnah seketika."Siapa sih, Mbak, yang mau gagal terus? Aku juga sudah berusaha maksimal. Tapi kan Allah belum menentukan. Mau gimana lagi?" Erina menjawab dengan mimik muka sedih. Anti sama sekali tidak merasa bersalah telah menyinggung temannya itu."Kamu banyak dosa kali, Rin! Makanya gak lolos-lolos. Coba deh, kamu ingat-ingat, kamu punya salah apa sama orang!" Erina semakin malas meladeni omongan Anti."Mbak, jadi keputusannya Mbak Anti tetap mau minta balikan sama Mas Tohir, tapi masih mau mendekatki polisi Feri?" tanya Erina memastikan. Sebagai bahan informasi untuk Tohir nanti."Ya, sedapatnya aja. Kalau bisa sih,punya suami, punya selingan juga, Rin," kelakar Anti disudahi dengan tawa renyah. "Ah, lupa! Kamu kan jomblowati forever. Mana tahu rasanya pindah-pindah lelaki. Satu aja belum punya." Anti cekikikan sendiri dengan kalimat yang ia sampaikan
Hari telah berganti. Kini, Bilal sudah lewat umur empat puluh hari jadi, sudah bisa dibawa ke luar rumah. Agam mulai menata hidupnya kembali. Terjun lagi di dunia pertanian yang beberapa bulan ini ia geluti.Pagi hingga siang, menjelang sore, Bilal dititipkan di rumah Tuti. Sedang Agam bekerja di kantor sembari mengurus kebun barunya.Suatu malam, saat Bilal telah terlelap, Agam berpikir teringat kata-kata Dinta yang menyuruhnya untuk pindah dari kantor. Bila dipikir, memang kantor bukanlah tempat yang nyama untuk ditempati seorang bayi. Letaknya agak terpisah dari rumah warga. Namun, harus ke mana dia?Bila ingin terjangkau dari tempat tinggal kedua anaknya yang lain, itu artinya harus pindah. Akan tetapi bila pindah, sulit sekali mengontrol tanaman yang ia tanam. Lagipula, belum tentu bertemu dengan orang sebaik Tuti juga Yanto.Dinta dan Danis belum pernah datang lagi. Hanya, mereka hampir setiap hari melakukan panggilan video dengan adik bayinya.
"Laila menemani aku saja di sini. Menjaga Bilal, ya, La? Takutnya aku harus pulang pas anak-anak pulang sekolah nanti," usul Tuti yang disambut senyum sumringah dari Laila."Iya, Mbak! Gak apa-apa. Lagian, aku gak ada kerjaan di rumah." Agam hanya menanggapi dengan senyuman yang wajar. Bukan karena sudah hilang getar-getar halus dalam dada untuk janda muda itu, tapi saat ini benar-benar hanya ingin memperbaiki hidup, membahagiakan Dinta dan kedua adiknya dengan cara sederhananya.Siang itu juga, dirinya meluncur menaiki mobil pick up yang disewa untuk membawa berbagai perlengkapan di pasar nanti. Uang untung penjualan tanaman cabe, sisa membayar kontrakan masih cukup untuk membeli barang yang ia butuhkan."Gak beli kursinya sekalian, Mas?" tanya sopir yang diajak tadi memberi saran saat Agam memilih lemari."Enggak dulu, Mas! Itu bukan rumah hak milik. Jadi, sabar aja," jawab Agam sambil terus memperhatikan deretan furniture di hadapannya."Saya ya
Agam merasa kebingungan karena, Tuti tidak bisa menjaga Bilal dikarenakan anak bungsunya jatuh dari motor dan harus dirawat di Puskesmas rawat inap. "Maaf ya, Mas? Aku sedih ninggalin Bilal tapi, gimana lagi, Dwi gak ada yang jagain." Begitu kata Tuti dalam sambungan teleponnya. "Mbak Tuti ada saran siapa gitu yang bisa aku mintai bantuan?" Agam bertanya penuh harap. Tuti diam tidak menjawab, berpikir siapa yang kira-kira bisa ia minta bantuan menjaga anak Agam. "Palingan Laila, Mas. Kalau dia bagaimana? Mas Agam setuju-kah?" Mendengar satu nama disebut, Agam jadi bimbang. Sejujurnya, dirinya ingin menghindar dari janda tanpa anak itu. Hatinya sedang ingin menikmati semua sendiri. "Kalau orang lain, ada gak Mbak?" Hati Agam begitu cemas. Saat ini, sudah tidak tinggal di kantor jadi, tidak bisa mengajak Bilal ke ruang kerja. "Emang kenapa, Mas?" tanya Tuti penuh selidik. "Mbak, aku kan pria sendiri. Laila juga janda. Aku tidak mau ada g
Agam mencoba melupakan kekecewaan yang ditunjukkan Laila. Sebisa mungkin, ingin agar semua berjalan baik-baik saja. Tapi tidak dengan Tuti. Sepulangnya dari puskesmas, istri Yanto itu menemui Agam dan menanyakan tentang apa yang dialami Laila."Mbak Tuti, aku pernah terlibat kasus yang benar-benar mencoreng nama baikku. Juga membuatku harus dipindah tugaskan. Aku orang perantauan di sini, Mbak. Tidak ingin mendapatkan masalah. Aku benar-benar menghindari hal itu." Agam menjelaskan semua keluh kesah dalam hati secara jujur. Tuti terlihat mulai memahami hal itu."Maaf, Mas Agam, soalnya Laila tersinggung. Aku pikir, Mas Agam benci dia," ujar Tuti penuh sesal."Tidak ada alasan untuk aku membenci Laila. Aku sangat berterimakasih dengan apa yang ia lakukan. Hanya saja, aku memang menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan fitnah. Karena kemarin, Laila hanya bersama Bilal saja di rumah ini. Dan saat aku pulang, kami berdua sebagai manusia dewasa dalam satu rumah. Aku