Anti masih belum mau berbicara denganku. Pun terhadap anak kami, sama sekali dirinya tidak berniat untuk hanya sekadar menatap wajahnya.
Orang tuanya juga, tidak pernah menganggap bahwa di ruangan ini ada sesosok makhluk yang seharusnya menarik untuk diperhatikan. Hanya beberapa pengunjung saja yang selalu menggendong bayi yang belum sempat aku beri nama.
Hari kedua, aku menghubungi Ibu, memberitahu kalau anakku sudah lahir.
"Ibu bingung, Gam! Mau ke sana sama siapa. Nanti ya, coba, Ibu ajak bapak kamu. Tapi, Aira sama siapa? Rani juga tidak ada yang jagain," jawaban Ibu membuat aku semakin menjadi manusia yang tidak ada nilainya sama sekali bahkan di hadapan keluargaku.
"Bu, apa Ibu tidak ingin melihat cucu Ibu? Tolonglah, Bu ... jangan selalu jadikan Aira sebagai alasan untuk membedakan yang lainnya,"
"Bukan begitu, Gam! Ibu juga ingin melihat tapi, kamu tahu sendiri 'kan, bagaimana keadaan adikmu, Rani?"
"Berhenti mengatakan kalau Rani ad
Mereka bersusah payah membujuk. Akan tetapi, niat hati ini sudah bulat. apa pun resikonya, akan aku hadapi. Ada istri Mas Yanto yang siap membantu. Lik Mira dan Lik Udin menemaniku sampai sore. Mereka baru pulang lepas magrib. Setelah memastikan aku sudah makan. Alhamdulillah, masih ada yang peduli dengan diriku. Keesokan harinya, bapak dan ibu Anti mulai berkemas. Siang nanti lepas dhuhur, dokter sudah membolehkan pulang. Akupun sama, mengemasi semua popok bayi yang sudah aku laundry di rumah sakit ini. Miris, mereka sama sekali tidak mau menyentuh anakku. "Tohir nanti ke sini buat jemput 'kan, Pak?" bertanya ibu Anti pada suaminya. "Iya, lha sudah janji kok. Nanti kan Tohir yang ngurus semua administrasi," jawabnya mantap. "Maaf, Pak. Untuk urusan administrasi, tolong jangan Mas Tohir yang mengurus. Itu tanggungjawab saya," aku ikut menyahut. "Ya kalau gitu, kamu urus anakmu saja. Anti biar diurus sama Tohir," percuma berdeba
POV TohirAnti, sebuah nama yang sulit aku lupakan. Tentang sebuah cinta yang bercampur benci. Tentang sebuah rindu yang tak mungkin bisa aku rengkuh nikmat perjumpaannya.Selamanya dia akan ada dalam relung hati sebagai wanita yang pernah bertahta dalam hidup ini.Nyatanya, kesempurnaan materi bukan jaminan seseorang akan bahagia. Istri yang sangat aku perjuangkan kemewahan dalam hidup, ternyata menorehkan sejuta luka tidak hanya untuk diriku, akan tetapi pada Nadia, buah cinta kami berdua.Usai palu hakim diketuk, menandai akhir dari hubungan suci kami, aku merasa kehilangan arah. Sempat tidak punya semangat untuk mencari lagi pundi-pundi rupiah karena tujuan hidupku telah pergi namun, akhirnya sedikit demi sedikit diri ini mulai bangkit dan berusaha menerima kenyataan.Ibu, sosok yang paling membenci Anti. Segala sumpah serapah diberikan pada wanita yang pernah menyandang gelar sebagai menantu kebanggaannya itu."Lihat saja, hidupnya akan
Suatu hari, aku ada urusan ke polsek. KTP hilang entah ke mana. Untuk mengurus ke dukcapil, perlu meminta surat kehilangan dari kantor polisi. Di sana, aku bertemu dengan polisi yang berdinas yang kebetulan dia adalah adik dari teman yang sering berlayar bersama. Aku kemudian mengajaknya sekadar ngopi sambil bicara santai. "Mantan istri Mas Tohir namanya Anti?" tanya dia langsung tanpa basa-basi saat barusaja duduk dan tengah menunggu pesanan di warung depan polsek. "Iya, kok kamu tahu?" pria bertubuh tegap itu tersenyum. "Dia sering datang ke rumahku," jawabnya jujur. Aku mengernyit heran. "Untuk apa?" rasa penasaran semakin besar membuat ingin mengorek informasi darinya. Senyum mengejek tersungging di sana. "Entahlah, Mas! Aku bingung. Mau bilang kalau dia hendak menggoda, sepertinya kurang pantas. Kondisinya sedang hamil. Hendak menghilangkan pikiran kotor itu, nyatanya, dia seringkali datang ke rumah dengan dandanan yang menor. Juga sering
[Mas, apa kabar? Nadia apa kabar?] tanya Anti suatu sore saat aku sedang bersantai.[Baik,] jawabku singkat.[Jangan lupa makan ya, Mas? Oh iya, perut aku sudah mulai kram ini,] lapor Anti tanpa aku bertanya.[Bawa bersantai. Nanti kalau sakit lagi, kasih tahu aku,] balasku sengaja memberi harapan.[Bapak tanya, Mas kapan main lagi?][Kalau sudah ada waktu longgar]"Hir! Ibu tidak mau tahu, kamu harus cari calon istri. Ibu sudah bilang sama orang-orang di pasar kalau kamu bentar lagi mau nikah. Pokoknya, Ibu tidak mau kamu dekat lagi sama Anti," omelan seperti itu hampir setiap hari aku mendengar."Sabar, Bu! Aku juga sedang mencari. Nanti saatnya akan tiba," jawabku santai. Bukan tanpa alasan. Aku memang tengah dekat dengan seseorang. Dia sahabat Anti. Seorang guru honorer yang sudah berumur hampir tiga puluhan tapi belum menikah juga. Meskipun bukan seorang PNS, itu bukan menjadi masalah buatku. Status pekerjaan seseorang tidak menj
"Dari mana kalian? Kok pulang bareng? Bukannya kamu tadi pergi sama teman kamu, Nad?" bila sudah bertanya, ibuku mirip detektif."Itu, Mbah, anu ..." Nadia bercerita tentang apa yang dia lakukan bersama aku dan Erina tadi."Bawa ke sini dulu, Hir! Sebelum kamu menemui orang tuanya. Ibu trauma. Pokoknya, Ibu harus kenal dulu.""Ya kalau trauma terus, aku gak bisa nikah dong, Bu!" sungut aku sebal."Lha, apa Ibu nyuruh kamu gak nikah? Ibu cuma pengin ketemu sama calon kamu. Nadia, Mbah mau tanya. Itu pacar ayahmu menor gak dandannya? Terus, gaya bicaranya genit apa tidak? Harusnya kamu tadi amati dengan saksama. Biar ayah kamu gak salah pilih!""Kami gak pacaran, Bu! Aku dah kenal dia lama. Tadi langsung ngajak dia nikah,""Sembarangan kamu! Ujug-ujug ngajak nikah,""Lhah katanya suruh cepat cari calon? Gimana sih, Bu?""Ya tapi kan gak gitu caranya, Hir!"Terus, harus gimana? Dulu kan Anti juga Ibu yang menjodohkan," deng
POV AgamMobil Tohir sudah berlalu pergi. Aku tahu karena, bagian kaca mobilnya terbuka. Adakah yang lebih menyakitkan dari ini? Menggendong bayi merah yang ditinggal pergi ibu dan kakek neneknya tanpa belas kasihan? Dibuang begitu saja seolah dia adalah barang yang harus disingkirkan.Kupandangi Bilal yang masih menangis. Segera, tangan ini merogoh kantong celana dan mengambil botol susu yang masih ada isinya serta memasukkan ke dalam mulut mungilnya."Mas, itu kenapa bayinya digendong tanpa selendang? Pamali lho, Mas! Kena sawan nanti." seorang ibu paruh baya yang lewat menegur."Saya tidak punya selendang, Bu ..." jawab aku jujur. Kristal bening yang sejak tadi aku tahan, jatuh satu per satu menetes di pipi."Istrinya ke mana, Mas?""Sudah pergi,""Maksudnya?" aku diam tidak menjawab. Memilih menenangkan anak dalam gendongan. "Aku ada selendang itu, Mas! Tadi buat gendong cucu tapi, biarlah. Sebentar, ya, aku ambil dulu?" tanpa men
"Sudah, Mas! Lupakan yang telah berlalu. Aku minta maaf juga atas sikap Mas Irsya, dia takut sekali kehilangan kami soalnya,""Iya, Nia! Aku tahu. Aku hanya perlu bertemu dengan Dinta dan Danis saja," Nia mengangguk dan menyeka air matanya."Ya Allah, Mas ... itu bayi kamu, kasihan sekali. Bawa sini, aku yang gendong sambil nunggu teman kamu datang," kulihat wajah yang tenang dalam dekapan tangan ini dan menimbang permintaan Nia."Nia, boleh titip sebentar? Aku lapar. Belum sempat makan dari pagi," ujarku jujur. "Kamu, kamu kasih tahu dulu suami kamu,, ya? Takutnya ada yang salah paham lihat kita ...""Gak papa, Mas! Gampang! Bawa sini, sana kamu makan dulu," aku bangkit dan melepas gendongan serta mengulurkan Bilal pada Nia."Titip ya, Nia ..." Nia mengangguk. Aku segera bergegas pergi. Dan saat kembali, Nia terlihat sedang memeluk anakku sambil menangis."Sudah, Mas?" tanya dia sembari menyeka kristal bening yang masih tersisa."Sud
POV NIAAku masih berdiri di sini, menatap kepergian mobil yang membawa Mas Agam, juga anaknya. Entahlah, gerimis yang membasahi tubuh ini seakan tidak terasa dinginnya.Aku pernah membencinya. Dulu, sangat muak terhadap pria yang memperlakukan kami bertiga secara semena-mena tapi, melihat dirinya seperti itu sungguh hati ini merasa sangat kasihan.Hal yang paling aku benci dari diriku adalah, mudah sekali mengasihani orang. Rasa ini sangat sensitif terhadap penderitaan yang dialami oleh orang-orang sekeliling. Sekadar kasihan, tidak lebih. Bukan cinta lama bersemi kembali akan tetapi, hanya sepercik sakit yang menggores relung hati, melihat dia yang pernah satu atap bersama, dirundung duka yang penuh nestapa.Anti, sosok wanita berhati, ah, aku tidak ingin mengumpat. Tega sekali melepaskan bayi merah yang dia kandung selama sembilan bulan. Bila memang dirinya membenci Mas Agam, harusnya, hanya Mas Agam yang dia buang, bukan sesosok makhluk tanpa dosa yan