Semua Bab Istri Lima Belas Ribu: Bab 181 - Bab 190
608 Bab
Bagian 184
Siang hari, Udin datang ke rumah, dan mengatakan siap menemani aku bertemu Agam.“Aira diajak ya, Din? Dia selalu tanya Pakde-nya terus.”“Tidak usah, Kang! Ini bukan waktu yang tepat. Kalau dibawa juga, belum tentu Agam mau seperti dulu sama Aira. Kalau sikap Agam tidak sesuai dengan apa yang sampean harapkan, apa tidak semakin kasihan Aira-nya? Dia juga belum sembuh total ‘kan? Takutnya nambah penyakit.”Setelah menunggu lama, aku yang menunggu tentunya. Kang Hanif hanya duduk sambil memilin jenggotnya, akhirnya, diputuskanlah untuk kami berangkat hanya berdua.Menembus jalan di tengah hutan yang masih asri, terasa sangat menyegarkan pandangan untuk diriku yang setiap hari berkutat dengan deru suara mesin jahit. Jalan beraspal dengan kanan kirinya berjajar pohon pinus, juga tanaman liar lainnya, semakin menghadirkan kedamaian dalam hati.Sejenak berpikir, pantas saja Agam yang memang sedang dirundung masalah sangat b
Baca selengkapnya
Bagian 185
Kulempar pandangan mata menembus jendela besar. Nampak di sana, gugusan pegunungan yang berwarna hijau. Dengan sebuah tower menjulang tinggi, menandakan bahwa, di sana ada kehidupan. Panas matahari yang menyengat seolah terserap oleh hembusan udara yang dingin, menjadikan sinarnya terasa hangat bila menyapu kulit. Agam benar-benar menolak untuk pulang ke rumah. Meski aku juga berusaha membujuknya. Bukan tanpa alasan, hanya ingin agar dirinya tidak hidup dalam kesendirian yang sepi.“Apa rencanamu terhadap Anti, Gam?” Tanyaku memecah kesunyian. Hanya gelengan kepala yang kudapat sebagai jawabannya.“Memangnya kamu kenapa sampai seperti itu sama Anti, Gam?” Kang Hanif ikut bertanya.“Bila aku katakan apa itu alasannya, akankah Bapak peduli? Bukankah selama ini, aku seperti anak yang terbuang? Jadi, apa pun yang menimpaku sekarang, akan aku tanggung sendiri, Pak …”“Agam, apa kamu benar-benar tidak peduli lagi
Baca selengkapnya
Bagian 186
“Lik Udin kenapa sih, selalu bicara seperti itu? Seno itu tidak kenapa-napa di sana. Jangan membuat hati aku yang tenang nanti malah gelisah dan penuh curiga. Orang sedang usaha, dibantu doa, Lik. Kalau Seno berhasil, siapa tahu bisa ajak-ajak saudara yang nganggur di sini.” Mendengar nada yang jengkel dari Eka, aku diam. Yang penting sudah mengingatkan. Selebihnya, bila terjadi sesuatu hal, aku tidak disalahkan. Bila tidak terjadi, itu yang diharapkan.Hari telah berganti minggu, sejak keberangkatan Seno ke Kalimantan. Sejauh ini, menurut Eka, Seno masih suka berkirim kabar walaupun hanya tiga hari sekali paling cepat. Aneh, masa, jauh dari istri paling cepat menghubungi selama itu?Ada hal lain yang mengganjal juga. Menurut Eka, setiap kali telepon, Seno selalu berkata, titip Sarah. Jaga dia. Seperti orang sedang berpamitan.Saat aku membeli benang ke pasar, kulihat Iyan menjadi tukang parkir di sana. Terlihat memprihatinka. Dia yang selama ini hid
Baca selengkapnya
Bagian 187
  Ruang tamu yang berukurn sedang dengan nuansa hijau. Tidak ada sebuah fotopun terpajang di sana. Istri Utadz Mirza membawa minuman untuk kami. Beliau juga tidak kalah ramah dari sang suami. Setelah berbasa-basi sebentar, aku langsung mengutarakan maksud kedatangan ke mari.“Orang yang pernah terkena gangguan jin, apalagi sampai parah, susah untuk sembuhnya, Mas. Sembuh total maksudnya. Karena, ibarat tubuh Mbak Rani itu sebuah rumah, pintunya sudah terbuka. Mereka dengan mudah masuk ke dalam, bila si pemilik tidak berusaha mengunci.” Ustadz Mirza menjelaskan sembari memperagakan kedua tangannya seperti gerakan membuka. Aku mengangguk-angguk, tanda memahami apa yang disampaikan.“Bagaimana cara menguncinya, Ustadz?” Aku bertanya, berharap mendapat pencerahan dan penjelasan.“Dengan memperkuat ibadah, mas! Tidak ada orang yang sakit, hanya disembuhkan oleh orang lain saja, tanpa si sakit itu berusaha dan be
Baca selengkapnya
Bagian 188
AgamAda rasa kasihan pada Bapak harus melihatnya memikirkan masalah seorang diri tapi, biarlah itu sudah menjadi resiko beliau. Aku paham, bagaimanapun Bapak terlihat pilih kasih dan tidak adil padaku. Namun, bagaimanapun, beliau adalah orang tuaku. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Sudah menjadi pilihan hati untuk memilih hidup bersama dengan Iyan dan Rani.Kewajibanku sebagai anak adalah berbakti. Dan selama ini sudah kulakukan itu. Selebihnya, urusan Iyan, bukan lagi tanggungjawabku.Melupakan semua masalah yang terjadi baik dalam rumah tanggaku maupun keluarga, aku mencoba menyibukkan diri bercocok tanam. Bahkan sekarang, kebun belakang kantor sudah aku sulap menjadi taman cabai. Memanfaatkan lahan kosong yang tentunya sudah dengan izin kepala kantor. Beliau menyambut baik niatku dan kegiatan ini.Dengan modal dari tabungan yang tersisa, aku membeli ratusan plastik polybag. Memilih menggunakan media tanam ini supaya lebih hemat tenaga, karena aku tida
Baca selengkapnya
Bagian 189
“Adek, Ayah tidak akan menculik Adek kok …”“Papa takut, Ayah mengajak kami tinggal sama Ayah …” Danis yang polos, berbicara dengan jujurnya.“Tidak, Sayang! Ayah tidak punya rumah bagus untuk mengajak kalian tinggal.”“Ayah, Ayah kalau telepon jangan lama-lama,, ya? Soalnya kalau lama, Papa suka protes sama Ibu. Papa tidak mau, Ayah sering telepon …” apa yang diucapkan Dinta barusan membuat dada ini nyeri. Seburuk apa pun, aku ayah mereka.“Ya sudah, Ayah tutup ya, teleponnya? Sampaikan sama Ibu, sama Papah, maaf kalau Ayah mengganggu. Kakak dan Adek, sehat-sehat, ya? Ayah selalu merindukan kalian …”“Ayah juga, ya? Sehat-sehat di sana? Kakak tutup dulu ya, Yah?” Tanpa mengucap salam penutup, panggilan video diakhiri begitu saja oleh Dinta. Hati ini sakit.Sebesar apa pun salahku dulu, apa aku tidak berhak untuk berubah? Apa aku tidak boleh b
Baca selengkapnya
Bagian 190
“Ayah sudah bilang ‘kan? Aira jangan ikut bermain, di rumah saja sama Mbah, atau Bude Eka,” bujukku berusaha menenangkan perasaannya.“Aira bosan di rumah, Yah …” kadang aku tidak habis pikir dengan Sarah anak Mbak Eka. Dia jarang sekali mau datang ke sini untuk hanya sekadar menamni Aira yang kesepian.“Ayok, main sama Ayah …” ajakku berusaha menghibur. “Ayah jadi kuda, Aira yang naik,, ya?”“Ayah kan perutnya sakit, sama kayak Aira …” ah iya, lupa! Aku yang sekarang adalah seorang pria lemah. Kuajak Aira masuk rumah.Aku kini duduk di depan Aira, dia menggunakan alat-alat make up ibunya untuk merias wajah ini. Ah, Rani, tidakkah ada keinginan untukmu sembuh? Lihatlah aku yang menanggung semuanya sendiri. Meski keadaannya tidak parah tapi, Rani masih sering terbengong dan enggan bekerja. Terkadang juga tiba-tiba teriak histeris. Hal itulah yang membuatku memustuskan di
Baca selengkapnya
Bagian 191
POV AgamMengesampingkan segala resiko yang mungkin kuhadapi, aku memutuskan untuk datang menemui Dinta. Niat baik yang terpatri dalam hati, semoga mendapatkan rida dari Allah.Aku sengaja izin pada atasan. Beliau tidak keberatan karena selama ini memang aku tidak pernah bolos bekerja.Kali ini, aku akan memberikan hadiah yang tidak murahan untuk Dinta.Menempuh jarak ratusan kilometer untuk sampai di rumah mantan istriku. Melewati hutan lalu sampai di pusat kabupaten kemudian melanjutkan perjalanan kembali dengan melalui hutan pinus lagi.Sampai di pasar, aku berhenti, memakirkan kendaraan pada tempat yang dsediakan lalu menuju sebuah toko perhiasan.Ada debar bahagia dan sedih beradu menjadi satu. Seumur-umur, baru kali ini, dengan niat yang tulus hendak membelikan sebuah benda berharga untuk Dinta.Deretan toko pakaian sekaan melambai-lambai menyuruhku mampir. Apalagi bila yang kulihat adalah toko pakaian anak-anak. Dalam hati berk
Baca selengkapnya
Bagian 192
Sepeninggal bapak tua itu, aku masih termangu di atas kendaraan. Menatap jalanan aspal lurus di dapanku yang teduh oleh rimbunnya pohon di samping kiri jalan. Dengan berat hati, kulajukan motor juga menuju rumah Nia.Tidak kutemui bapak yang tadi. Karena beliau biasanya mengambil jalan pintas setapak agar lebih cepat sampai.Memasuki gang rumah Nia, sudah terlihat suasana yang ramai. Ada beberapa pedagang mainan yang mangkal di sekitar rumah. Sebuah panggung besar terlihat berdiri di halaman. Nyaliku kembali menciut. Kutepikan motor di halaman salah satu warga. Turun dengan dada berdebar-debar.Melangkah memasuki pengarangan Nia yang langsung berjalan melewati panggung, netra ini menyapu seluruh tempat. Lagi, ada rasa sakit dalam hati ini. Kuhembuskan napas secara perlahan. Berusaha menahan air mata agar tidak jatuh.Rumah Nia tidak terlalu ramai, namun tetap terlihat ada aktivitas di sana. Berkali-kali mencoba mencari kebradaan kedua anakku namun nihil.
Baca selengkapnya
Bagian 193
“Apa Ayah punya uang untuk membeli ini?” Pertanyaan Dinta barusan menyentak hati ini kembali. Teringat lagi, dahulu kala, aku selalu mengatakan padanya bahwa aku tidak punya uang. Sebagai sebuah alasan agar dirinya tidak meminta banyak hal.“Punya. Ayah sekarang selalu punya uang. Jadi, mulai sekarang, jika Kakak menginginkan sesuatu, bilang sama Ayah,, ya?” Jawabku berbohong. Aku akan memperbaiki semua hal. Hubunganku dengan mereka harus lebih baik dari dulu. Di sisa umur, diriku ingin selalu ada di saat mereka membutuhkan. Semoga saja ada rezeki, bila memang suatu hari Dinta dan Danis benar-benar meminta sesuatu hal, semoga saat itu Allah memberikanku jalan rezeki.“Tidak usah, Ayah … Papa Irsya punya uang banyak,” ujar Danis polos. Ah, iya. Lagi-lagi aku lupa kalau mereka kini sudah memiliki seorang pelindung yang tidak kurang suatu apa pun.“Mas Agam …” suara panggilan itu, aku mengenalnya. Wanita
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1718192021
...
61
DMCA.com Protection Status