“Adek, Ayah tidak akan menculik Adek kok …”
“Papa takut, Ayah mengajak kami tinggal sama Ayah …” Danis yang polos, berbicara dengan jujurnya.
“Tidak, Sayang! Ayah tidak punya rumah bagus untuk mengajak kalian tinggal.”
“Ayah, Ayah kalau telepon jangan lama-lama,, ya? Soalnya kalau lama, Papa suka protes sama Ibu. Papa tidak mau, Ayah sering telepon …” apa yang diucapkan Dinta barusan membuat dada ini nyeri. Seburuk apa pun, aku ayah mereka.
“Ya sudah, Ayah tutup ya, teleponnya? Sampaikan sama Ibu, sama Papah, maaf kalau Ayah mengganggu. Kakak dan Adek, sehat-sehat, ya? Ayah selalu merindukan kalian …”
“Ayah juga, ya? Sehat-sehat di sana? Kakak tutup dulu ya, Yah?” Tanpa mengucap salam penutup, panggilan video diakhiri begitu saja oleh Dinta. Hati ini sakit.
Sebesar apa pun salahku dulu, apa aku tidak berhak untuk berubah? Apa aku tidak boleh b
“Ayah sudah bilang ‘kan? Aira jangan ikut bermain, di rumah saja sama Mbah, atau Bude Eka,” bujukku berusaha menenangkan perasaannya.“Aira bosan di rumah, Yah …” kadang aku tidak habis pikir dengan Sarah anak Mbak Eka. Dia jarang sekali mau datang ke sini untuk hanya sekadar menamni Aira yang kesepian.“Ayok, main sama Ayah …” ajakku berusaha menghibur. “Ayah jadi kuda, Aira yang naik,, ya?”“Ayah kan perutnya sakit, sama kayak Aira …” ah iya, lupa! Aku yang sekarang adalah seorang pria lemah. Kuajak Aira masuk rumah.Aku kini duduk di depan Aira, dia menggunakan alat-alat make up ibunya untuk merias wajah ini. Ah, Rani, tidakkah ada keinginan untukmu sembuh? Lihatlah aku yang menanggung semuanya sendiri. Meski keadaannya tidak parah tapi, Rani masih sering terbengong dan enggan bekerja. Terkadang juga tiba-tiba teriak histeris. Hal itulah yang membuatku memustuskan di
POV AgamMengesampingkan segala resiko yang mungkin kuhadapi, aku memutuskan untuk datang menemui Dinta. Niat baik yang terpatri dalam hati, semoga mendapatkan rida dari Allah.Aku sengaja izin pada atasan. Beliau tidak keberatan karena selama ini memang aku tidak pernah bolos bekerja.Kali ini, aku akan memberikan hadiah yang tidak murahan untuk Dinta.Menempuh jarak ratusan kilometer untuk sampai di rumah mantan istriku. Melewati hutan lalu sampai di pusat kabupaten kemudian melanjutkan perjalanan kembali dengan melalui hutan pinus lagi.Sampai di pasar, aku berhenti, memakirkan kendaraan pada tempat yang dsediakan lalu menuju sebuah toko perhiasan.Ada debar bahagia dan sedih beradu menjadi satu. Seumur-umur, baru kali ini, dengan niat yang tulus hendak membelikan sebuah benda berharga untuk Dinta.Deretan toko pakaian sekaan melambai-lambai menyuruhku mampir. Apalagi bila yang kulihat adalah toko pakaian anak-anak. Dalam hati berk
Sepeninggal bapak tua itu, aku masih termangu di atas kendaraan. Menatap jalanan aspal lurus di dapanku yang teduh oleh rimbunnya pohon di samping kiri jalan. Dengan berat hati, kulajukan motor juga menuju rumah Nia.Tidak kutemui bapak yang tadi. Karena beliau biasanya mengambil jalan pintas setapak agar lebih cepat sampai.Memasuki gang rumah Nia, sudah terlihat suasana yang ramai. Ada beberapa pedagang mainan yang mangkal di sekitar rumah. Sebuah panggung besar terlihat berdiri di halaman. Nyaliku kembali menciut. Kutepikan motor di halaman salah satu warga. Turun dengan dada berdebar-debar.Melangkah memasuki pengarangan Nia yang langsung berjalan melewati panggung, netra ini menyapu seluruh tempat. Lagi, ada rasa sakit dalam hati ini. Kuhembuskan napas secara perlahan. Berusaha menahan air mata agar tidak jatuh.Rumah Nia tidak terlalu ramai, namun tetap terlihat ada aktivitas di sana. Berkali-kali mencoba mencari kebradaan kedua anakku namun nihil.
“Apa Ayah punya uang untuk membeli ini?” Pertanyaan Dinta barusan menyentak hati ini kembali. Teringat lagi, dahulu kala, aku selalu mengatakan padanya bahwa aku tidak punya uang. Sebagai sebuah alasan agar dirinya tidak meminta banyak hal.“Punya. Ayah sekarang selalu punya uang. Jadi, mulai sekarang, jika Kakak menginginkan sesuatu, bilang sama Ayah,, ya?” Jawabku berbohong. Aku akan memperbaiki semua hal. Hubunganku dengan mereka harus lebih baik dari dulu. Di sisa umur, diriku ingin selalu ada di saat mereka membutuhkan. Semoga saja ada rezeki, bila memang suatu hari Dinta dan Danis benar-benar meminta sesuatu hal, semoga saat itu Allah memberikanku jalan rezeki.“Tidak usah, Ayah … Papa Irsya punya uang banyak,” ujar Danis polos. Ah, iya. Lagi-lagi aku lupa kalau mereka kini sudah memiliki seorang pelindung yang tidak kurang suatu apa pun.“Mas Agam …” suara panggilan itu, aku mengenalnya. Wanita
Kaki ini melangkah gontai, saat tangisan Dinta belum juga reda. Sekali lagi, netra menatap dua buah hati yang terlihat terluka atas kejadian hari ini. Lagi, aku menjadi penyebab mereka menangis.Dalam hati berjanji, akan merengkuh sakitnya rindu dalam sepi dan sendiri. Karena nyatanya, hadirku selalu menciptakan tangis untuk dua makhluk yang sangat aku cintai.“Ayah …” masih terdengar teriakan Dinta memanggil, saat tubuh ini sudah bersiap di atas kendaraan. Aku menoleh, bayang tubuhnya mengabur karena air mata cukup menghalangi pandangan. “Hati-hati di jalan …” bukan rasa bahagia yang tercipta sebab diperhatikan oleh dia yang pernah aku sakiti, akan tetapi justru semakin sakit dan menyayat hati, sedikit perhatian yang diberikan olehnya itu.“Ayah … kapan-kapan main ke sini lagi,, ya?” Danis dengan polosnya berteriak. Tubuh kecilnya langsung diangkat sang kakek ke dalam gendongan. Aku hanya mengacungkan dua
“Maaf Anti, bila memang acara diskusi kali ini akan berlangsung lama,sudikah bila, aku meminta segelas air putih? Karena tenggorokan ini sangat kering …” mengorbankan rasa malu, aku memberanikan diri untuk meminta sesuatu hal sangat dibutuhkan tubuh saat ini. Anti memandang ibunya. Muak rasanya, hanya segelas air saja, menunggu persetujuan dari sang ibu. Tak lama, Anti berdiri, masuk ke dapur dan kembali lagi dengan segelas air putih.Kuteguk habis, minuman tanpa rasa yang diberikan oleh dia, wanita yang masih menjadi istriku.“Jadi bagaimana Agam? Apakah kamu bersedia membiayai seluruh acara tujuh bulanan Anti sesuai yang kami inginkan?” bapak Anti kembali bertanya tanpa memberikan sikap ramah. Aku menarik napas perlahan dan menghembuskannya dengan pelan. Senyum tersungging dari bibir ini. Merasa mendapatkan sebuah ide untuk menjawab.“Sebelum saya menjawab pertanyaan, lebih tepatnya permintaan dari Bapak dan Ibu, izinkan sa
“Harusnya kamu menolak, Agam! Anti sudah berkeluarga, Agam, kenapa kamu malah memanfaatkan dia? Tidak bisakah, kamu menghindar?” ibu Anti ternyata sama egoisnya dengan ibu-ku. Membela anak meskipun salah. Pantas saja, Na begitu marah pada Ibu waktu itu. Kini, aku berada pada posisi yang sama. Ah, kenapa apa yang pernah diperbuat seseorang, berbalik keadaan di suatu ketika?“Saya kan baik hati, Bu. Saya menolong anak Ibu yang gatel, selalu mendekat dan merayu saya. Kasihan Bu, udah gak tahan, jadi, saya merelakan diri ikut berbuat dosa, demi membuat anak Ibu merasa nikmat. Saya relakan keperjakan saya untuk memberi Anti kepuasan. Bahkan bila tahu kejadiannya akan seperti ini, waktu itu, aku adukan saja kelakuannya pada ayahnya Nadia,” tidak tahan lagi, aku mengucapkan sesuatu yang seharusnya tidak diucapkan.“Agam! Berhenti merendahkan Anti seperti itu!” bapak Anti berteriak. Entah karena malu, atau marah? Beda tipis-lah. Anti menundu
Sebuah harapan baru terbit dalam hati ini. Tentunya, Dinta yang barusaja menghubungi aku, tidak lepas dari izin Nia. Dan sudah barang tentu pula Pak Irsya mengetahui. Semoga, ini awal yang baik.Aku tidak bisa merubah keadaan yang sudah terjadi, oleh karena salahku. Namun, aku masih bisa mengubah keadaan ini menjadi hubungan yang lebih baik. Berpisah tidak harus menjadikan kami seperti musuh. Bismillah, semoga Allah meridai.Kelopak mata terasa berat, ada rasa lega yang menyelimuti hati ini. Senyum tersungging, sebelum diri ini benar-benar terlelap.Pagi hari, diriku bangun dengan perasaan yang jauh lebih baik. Sebuah pesan masuk kembali menjadi semangat baru untuk hari ini.[Pagi Ayah, semoga Ayah hari ini bahagia] senyum terpatri kala membaca doa sederhana yang Dinta berikan.[Pagi juga, Kakak Cantik! Semoga Kakak juga bahagia] balasku.Setelah menjalani rutinitas pagi, aku melihat kebun belakang yang tanamannya masih basah terkena e