Radit berjalan keluar dari kosannya. Dia sempat putus asa dengan nasibnya sendiri. Sepanjang perjalanan dia berpikir keras, bagaimana caranya dia harus mendapatkan uang? Ketika melewati sebuah gedung apartemen, Radit berandai-andai bisa memiliki salah satunya. Tunggu! Apa itu? Fokus Radit teralihkan.
Radit melihat seorang wanita hendak menyebrang jalan dalam keadaan mabuk. Dia berpikir cepat, jangan-jangan wanita itu hendak melakukan tindakan bodoh, bunuh diri misalnya. Dengan cara menabrakan dirinya ke depan mobil yang lalu lalang di jalan raya.
“Tidak bisa dibiarkan!” Radit berlari sekuat tenaga menghampiri wanita itu. Dia begitu mencemaskan wanita yang tidak dikenalnya itu.
“TUNGGU NYONA! JANGAN LAKUKAN ITU!” teriak Radit sembari meraih tangan wanita itu, lalu memeluknya begitu erat.
Deg!
“Memangnya kamu siapa? Berani menyentuhku.” Nyonya itu menyingkirkan tubuh Radit yang menempel padanya.
“Maaf, Nyonya. Saya tidak bermaksud kurang ajar pada Anda,” sesal Radit. Dia meminta maaf pada Nyonya itu. “Saya hanya tidak ingin Anda melakukan hal bodoh itu,” alasannya.
“Kamu tidak sedang mencari kesempatan, bukan?” tuduh Nyonya itu.
“Tidak!” sangkal Radit. “Saya tidak berani.”
“Kamu lumayan tampan, Anak muda,” Nyonya yang mabuk itu mendekati Radit lagi. “Antarkan aku ke apartemenku. Kamu mau, kan?” ajaknya sambil tersenyum menggoda.
Melihat Nyonya itu dalam keadaan mabuk, tentu saja membuat Radit tidak tega membiarkannya berjalan sendirian. Apalagi malam-malam begini. Akhirnya, dia mengantarkan Nyonya itu ke apartemennya, sesuai perintahnya.
Sesampainya di sebuah apartemen mewah, Radit mengantar Nyonya itu sampai di depan pintu apartemennya.
“Kamu tidak masuk dulu? Aku akan memberimu minuman enak di dalam sana,” Nyonya itu menawarkan.
“Tidak, terima kasih, Nyonya,” tolak Radit.
“Ayolah, masuk saja!” ajak Nyonya itu sambil meraih tangan Radit, membawanya masuk ke dalam apartemennya.
Radit disuruhnya duduk di sofa. Sambil menunggu Nyonya itu memberikan minuman untuknya. Dia melihat-lihat sekitar apartemen mewah milik Nyonya itu. Nyaman sekali berada di sini, pikir Radit sekilas. Dia menundukkan pandangannya. Sambil memikirkan nasib malangnya. Bahkan, saat ini dia tidak punya tempat tinggal lagi.
“Nyonya, saya harus pergi,” pamit Radit. Nyonya itu langsung menahannya.
“Bermalamlah di sini, Sayang,” goda Nyonya itu sambil mendekati Radit dan merayunya. Apa?
Radit tercengang mendengar permintaannya. Bermalam di sini, maksudnya? Radit tidak ingin memikirkan hal-hal negatif yang sekarang bersarang di otaknya. Tidak. Itu tidak boleh dilakukannya. Dia tidak bisa memanfaatkan wanita mabuk itu. Meski sebenarnya dia sangat membutuhkan tempat tinggal.
“Aku sangat kesepian. Suamiku bepergian lagi ke luar negeri meninggalkanku. Aku sangat merindukannya. Tetapi, dia tidak,” cerita Nyonya itu. “Maukah kamu menemaniku malam ini? Aku akan membayarmu sangat mahal, Anak muda,” tawarnya.
Deg!
Jantung Radit berdegup kencang. Ini pertama kalinya dia ditawari Nyonya kaya raya itu untuk menemaninya semalaman. Radit ragu. Dia pikir, dia tidak akan bisa melakukannya.
“Maaf Nyonya, saya bukan pria seperti yang Anda pikirkan,” tolak Radit lagi. Dia gengsian.
Harga dirinya sangat tinggi. Dia tidak bisa merendahkan dirinya apalagi menyamakannya seperti pria murahan. Lantas, dia bangkit dari sofa dan beranjak meninggalkan apartemen.
“Jika kamu tidak mau menemaniku, aku akan melompat dari sini,” ancam Nyonya itu sambil menunjuk ke arah jendela kaca yang mengarah ke balkon apartemennya. Dia begitu frustasi dan putus asa.
“Maaf, Nyonya,” sekali lagi Radit meminta maaf. Dia pergi meninggalkan Nyonya itu sendirian di apartemennya.
Selang beberapa menit kemudian, Radit penasaran sekali dengan yang dilakukan Nyonya itu. Apa dia benar-benar akan melompat dari apartemennya? pikirnya langsung ke arah sana.
Radit berlari sekencang-kencangnya menuju apartemen itu lagi. Dia harus memastikannya sendiri agar tidak khawatir. Jika wanita kesepian itu tidak berbuat bodoh sampai harus melompat dari lantai 13 apartemennya.
Sesampainya di apartemen, Radit terlihat panik dan segera meminta bantuan pada petugas keamanan di apartemen tersebut.
“Pak! Tolong, ada seorang wanita yang hendak melompat dari atas gedung ini. Kita harus segera menyelamatkannya,” Radit memberitahu dalam keadaan panik. Dia menunjuk ke lantai 13. Benar saja, wanita gila itu sudah berdiri di atas balkon.
“Astaga! Itu kan Nyonya pemilik gedung apartemen ini,” sahut petugas keamanan itu. Rupanya dia mengenali wanita itu.
Para petugas keamanan segera berkumpul dan mempersiapkan kemungkinan yang ada. Entah itu menyiapkan matras atau apa pun. Sementara, Radit tidak diizinkan petugas memasuki gedung apartemen. Biar mereka saja yang akan menanganinya, kata salah seorang petugas memberitahunya.
Wanita itu berteriak histeris. Dia mengalami depresi yang cukup berat dan hendak melompat dari atas balkon apartemennya. Radit jadi geregetan karena gerak lambat yang dilakukan oleh para petugas kemanan itu.
Ah, lama sekali! Radit jadi tidak sabaran. Jika dia tidak segera bertindak bisa saja wanita itu mati di hadapannya.
Radit tidak peduli meski petugas keamanan sudah melarangnya. Dia nekat masuk ke dalam gedung apartemen, mengikuti langkah para petugas yang lebih dulu naik ke lantai 13. Radit bersama petugas segera membuka pintu kamar apartemen.
Sesampainya di sana, wanita malang itu sudah berdiri di atas pagar. Angin malam bertiup kencang saat itu. Sehingga menggoyahkan tubuh Nyonya pemilik apartemen itu. Para petugas keamanan langsung berpencar. Namun, tak ada satu pun yang bisa menenangkan wanita malang itu selain Radit.
“JANGAN NYONYA! BAIKLAH, JIKA ITU KEMAUAN ANDA, SAYA AKAN MENEMANI ANDA DI SINI!” teriak Radit seraya membujuknya. Terpaksa dia mengatakan hal itu di depan Nyonya itu. Dia berjalan perlahan-lahan mendekati wanita itu.
Wanita yang berurai air mata itu menoleh pada Radit. Dia masih terlihat sangat depresi dan nekat mengakhiri hidupnya sendiri dengan cara melompat dari balkon. Radit harus segera menyelamatkannya.
Wanita kaya raya itu memang sangat cantik. Sayang sekali jika dia harus mati muda. Mengenaskan dan tragis. Radit tidak menginginkan hal itu terjadi kepada wanita yang baru dikenalnya itu.
Radit memberanikan diri untuk berbicara baik-baik dengan wanita itu. Bahkan, dia mengulurkan tangannya pada wanita kaya raya yang baru saja ditemuinya malam itu.
“Jangan mendekat!” tolak Nyonya itu sembari memerintah pada Radit. Oke. Radit tidak akan mendekat. Dia menuruti kemauannya.
“Aku akan melompat dari sini jika kamu masih membohongiku,” ancam Nyonya itu.
“Tenanglah Nyonya! Saya tidak akan membohongi Anda,” Radit menenangkannya dulu. Setelah itu, barulah dia akan mengalihkan perhatiannya.
“Nyonya! Apa Anda pernah menonton film Titanic?” tanya Radit mengalihkan perhatian. Wanita itu mengernyit. Dalam keadaan darurat seperti ini ngapain juga Radit menanyakan tentang film jadul itu?
“Jika Anda pernah menontonnya, anggap saja sekarang posisi Anda sama seperti yang dilakukan Rose DeWitt Bukater. Dia juga akan bunuh diri dengan cara melompat ke dasar laut Atlantik,” Radit memberitahu wanita itu.
“Lantas? Apa kamu yang akan memerankan Jack Dawson-nya?” cibir wanita itu. Dia berhasil mengingat adegan heroik di film Titanic itu.
“Tepat sekali. Sekarang, ulurkan tangan Anda, Nyonya! Apa Anda tidak tahu seberapa menyakitkan jatuh dari ketinggian gedung apartemen dari lantai 13 ini?” bujuk Radit.
“Aku tidak tahu. Aku tidak peduli. Aku tidak akan merasakan sakitnya karena aku akan segera mati di sini, di tempat ini,” ketus wanita itu.
“Jika Anda tewas di tempat, itu lebih baik. Tetapi, bagaimana jika Anda masih hidup dan malah menanggung semua perbuatan bodoh Anda? Lumpuh misalnya,” Radit memengaruhinya.
“Apa?” Wanita itu membelalak kaget. “Jangan memprovokasiku!” bentaknya.
“Terserah Nyonya saja kalau begitu. Saya sudah memperingatkan Anda.”
Angin berhembus lagi. Kali ini lebih kencang. Saat itu tubuh si Nyonya hampir kehilangan keseimbangan. Sontak saja Radit berlari ke arahnya dan meraih tangannya.
“AAAARRRGGGGHHH! TOLONG AKU!” teriak wanita itu. Dia terpeleset dan sekarang bergelantungan di pagar besi.
“Saya akan menolong Anda. Bertahanlah!” Radit sedang berusaha menenangkannya. “Pegang tangan saya, Nyonya!”
“Aku sudah memegang tanganmu, Bodoh!” Wanita itu masih sempat mengumpat.
“Cepat angkat tubuh Anda ke atas!” perintah Radit.
“Gimana caranya? Aku tidak tahan lagi. Cepat selamatkan aku! Aku takut sekali,” mohon Nyonya itu.
Para petugas keamanan yang menyaksikan adegan mengharukan itu segera membantu Radit, menarik tubuh sang pemilik apartemen. Setelah berhasil menariknya, Radit pun mengangkat tubuh wanita itu hingga keduanya jatuh bersamaan di balkon. Posisi wanita itu kini sudah berada di atas tubuh Radit. Ups!
Keduanya saling beradu pandang. Radit mengamati wajah cantik wanita kaya raya itu lekat-lekat. Bisa dipastikan, wanita yang berusia sekitar emat puluhan itu masih terlihat segar dan sangat menarik perhatian Radit malam ini. Haruskah dia menolaknya lagi? Jika hanya untuk menemani wanita itu semalaman, kenapa tidak? Radit mulai berubah pikiran.
“Nyonya, turunlah dari tubuh saya. Anda sudah menindih saya dan itu … berat sekali,” kata Radit blak-blakan. “Oh, maaf. Aku nggak sengaja,” sesal wanita itu. Dia segera menyingkir dari tubuh Radit dan menjaga jarak dengannya. “Nyonya, apa Anda baik-baik saja sekarang?” tanya petugas keamanan itu sekadar memastikannya. “Tidak apa-apa. Kalian pergilah!” usir Nyonya itu pada petugas keamanan. “Baiklah kalau begitu. Jika Anda memerlukan sesuatu panggil kami saja, Nyonya.” Para petugas keamanan segera meninggalkan apartemen milik Nyonya itu. Sementara, di apartemen itu kini tinggal Radit dan Nyonya itu. Mereka hanya berduaan. Perlahan-lahan, perasaan wanita itu kini mulai tenang. Setelah Radit berhasil menyelamatkannya dari maut. Oh iya, mereka belum sempat berkenalan. Wanita itu memanfaatkan waktu untuk berkenalan dengan Radit. Nyonya manis itu memperkenalkan dirinya. Namanya Serafina. Dia adalah pemilik gedung apartemen itu. Suasana di sana agak canggung. Karena mereka tinggal berdu
“Nyonya, tunggu sebentar!” cegah Radit. “Badan saya bau. Saya tidak bisa melakukannya sekarang karena saya bau badan,” alasannya. Serafina tidak peduli. Sejak bertemu dengan Radit, dia sudah berhasrat pada pria tampan itu. Jangan banyak alasan! Karena itu tidak akan memengaruhi niat Serafina agar bisa tidur dengannya. “Jangan menolakku, Radit! Aku kan sudah bilang, aku akan membayarmu sangat mahal jika kamu mau melayaniku,” kata Serafina mengingatkannya lagi. “Iya. Tapi, tidak sekarang Nyonya! Saya merasa belum siap lahir batin melakukannya dengan Anda. Apalagi kita baru saja kenal,” Radit beralasan lagi. Sebisa mungkin dia harus bisa mencegah hal itu agar tidak sampai terjadi. Dia harus mengulur waktu. “Lalu, kapan?” desak Serafina. Radit tampak berpikir dahulu. Dia sengaja mengulur waktu. “Saya mau mandi dulu. Selagi saya mandi, Anda bisa rebahan dulu di tempat tidur. Bagaimana,” Radit mengusulkan. Masuk akal juga menurut Serafina. Baiklah. Serafina akan menunggu Radit sampai d
“Sorry!” Mahasiswi itu segera meminta maaf di hadapan Radit⸺seniornya. “Punya mata nggak sih, lo?” hardik Radit. Dia marah sekali pada gadis itu. “Lihat, tuh! ponsel gue rusak jadinya,” Radit menyalahkannya. “Maaf,” sesal gadis itu. Seraya menundukkan pandangan matanya. Dia tidak berani menatap ke arah Radit yang murka kepadanya. Gara-gara ponselnya rusak. “Terus sekarang gimana? Ponsel gue rusak. Apa lo bisa gantiin?” tanya Radit. Sembari memerhatikan penampilan mahasiswi itu. Gadis itu diam saja, tak menyahutnya. Yang bisa diucapkan gadis tak berdosa itu hanya meminta maaf. Dia sungguh menyesali perbuatannya yang amat ceroboh. “Sebaiknya lo pergi dari hadapan gue. Enyah sana! Mood gue lagi nggak bagus sekarang. Jangan sampai, gue ngelakuin kekerasan sama lo. Ngerti?” usir Radit sambil memperingatkannya. Gadis itu buru-buru pergi. Dia ketakutan sekali menghadapi Radit. Secepat kilat, gadis itu berlari meninggalkan Radit yang masih uring-uringan di taman kampus karena ponselnya r
“Mampus gue!” ucap Deska sambil tepok jidatnya.Oh, God! Kenapa tadi Deska bicara sesumbar di depan Radit? Deska menyesalinya. Amat sangat menyesal. Dia bicara tanpa dipikirkan terlebih dahulu akibatnya. Jadinya, kacau balau begini, kan? Dari mana dia bisa mendapatkan ponsel limited edition itu?Deska harus memutar otak, mencari cara menyelesaikan permasalahan itu dengan Radit. Dalam hati Deska bertekad, pokoknya setelah menyelesaikan urusannya, dia ogah berhubungan lagi dengan mahasiswa abadi yang songong dan berlagu itu.“Nyebelin banget sih, tuh orang!” ketus Deska. Sembari mendengus kesal.“Des! Lo diapain sama Radit?” tanya Dinda, salah seorang teman sekelasnya menghampiri.Deska pasang wajah sendu. “Tamat riwayat gue, Din,” cerita Deska setengah-setengah.Dinda mengerutkan keningnya hingga berlipat-lipat. Tamat gimana maksudnya? Dinda mana ngerti kalau kalimat Deska setengah
Aneh sekali. Tidak ada nama pengirimnya saat Radit menerima paketnya. Kurir ekspedisi yang mengirimkannya pun tidak mengatakan apa-apa soal data pengirimnya. Katanya, itu sudah sesuai dengan pihak ekspedisi. Kurir tinggal mengantarkan barangnya saja.Radit jadi makin penasaran. Dia langsung membuka paketnya itu. Tidak lupa, dia juga menyalakan kamera ponsel lalu merekamnya. Ritual membuka bungkusan paket rahasia itu harus diabadikan terlebih dahulu. Siapa tahu, isi paketnya aneh-aneh. Untuk antisipasi saja kalau ada oknum hatersnya yang sengaja bikin ulah padanya.“Unboxing dulu, guys! Kita lihat, paket apaan nih yang dikirim seseorang buat gue.” Radit membuka bungkusan paketnya dengan perlahan-lahan.Dasar tukang pamer! Radit membuka paket itu sambil live di sosial media. Para pengikutnya di sosial media langsung membanjirinya dengan beragam komentar.“Awas, itu bom!”“Wah, kira-kira apaan tuh Kak Radit?&ldquo
Deska menjawab dengan anggukan kepala. Namun Radit masih belum puas dengan jawaban yang diberikan Deska. Deska dapat mengetahui kecurigaan Radit lewat ekspresinya.“Serius?” tanya Radit memastikan.“Iya, serius, Kak,” Deska meyakinkan Radit.“Nggak mungkin. Cewek kayak Lo nggak mungkin bisa beli ponsel mahal kayak gini,” sangkal Radit dengan kerutan di dahi yang semakin terlihat jelas.“Lah, ‘kan, buktinya sekarang ada. Itu yang di tangan Kak Radit. Intinya, sekarang utangku sama Kak Radit udah lunas, ya. Jadi aku permisi dulu, Kak,” Deska pamit.Baru saja Deska membalikkan badan untuk segera menjauhi Radit, tiba-tiba tangannya dicekal.“Tunggu!” sergah Radit.Deska memasang mimik wajah penasaran. Dia sudah jengah dengan kelakuan Radit yang aneh dan seenaknya sendiri selama ini.“Jangan bilang kalau kamu nyuri,” terka Radit.Mendengar itu Deska
Radit mulai mengumpulkan bukti-bukti tentang jati diri Deska berdasarkan opini dari teman se-gengnya. Dia menyelidiki tentang pinjaman online terlebih dahulu. Tentu saja dia butuh koneksi untuk mengungkit hal ini.Akhirnya, Radit memanfaatkan Serafina untuk membantunya mencari informasi terkait jasa pinjaman tersebut. Serafina yang notabenenya memiliki banyak kenalan itu pun dengan mudah menemukan orang yang diinginkan Radit.Radit berterima kasih kepada Serafina karena sudah membantunya lagi untuk menyelesaikan masalahnya. Semua keinginan Serafina akan Radit penuhi sebagai balas jasa yang telah dilakukan kekasihnya itu.Ternyata memang benar. Jasa pinjaman online itu hanya bisa dilakukan oleh orang kalangan atas. Radit bertanya kepada “orang dalam” di tempat jasa pinjaman itu. Katanya, pada tanggal Radit menerima paket tidak ada transaksi peminjaman uang dari negara Indonesia. Tidak ada juga transaksi pengembalian uang pinjaman pad
“Lo nipu gue, ya?” tukas Radit.Deska mengerutkan dahi sebentar sebelum membalas, “Nipu kakak? Maksudnya gimana, ya?”“Nggak usah pura-pura nggak tahu, deh,” tuduh Radit lagi hingga menyudutkan Deska.Deska masih bergeming melihat Radit yang sedang kesal padanya. “Lo manipulasi struk pembelian ponsel dan itu bukan ponsel yang baru aja lo beli. Melainkan ponsel yang dibeli bulan lalu sama lo, ‘kan?” tebak Radit.Deg!Jantung Deska seolah berhenti sejenak barusan. Bagaimana bisa Radit menyadarinya secepat itu? Memang benar Radit bukan orang bodoh. Tapi, tidak mungkin juga dia sepintar itu untuk mengetahuinya dalam waktu sehari semalam saja.“Dih, ditanyain malah bengong. Jawab atuh, yang sejujurnya!” perintah Radit seolah tak ingin dibantah.Merasa dirinya sudah berada di ujung tanduk, akhirnya Deska memilih untuk mengatakan yang sebenarnya. “E-emang aku yang memani