“Mampus gue!” ucap Deska sambil tepok jidatnya.
Oh, God! Kenapa tadi Deska bicara sesumbar di depan Radit? Deska menyesalinya. Amat sangat menyesal. Dia bicara tanpa dipikirkan terlebih dahulu akibatnya. Jadinya, kacau balau begini, kan? Dari mana dia bisa mendapatkan ponsel limited edition itu?
Deska harus memutar otak, mencari cara menyelesaikan permasalahan itu dengan Radit. Dalam hati Deska bertekad, pokoknya setelah menyelesaikan urusannya, dia ogah berhubungan lagi dengan mahasiswa abadi yang songong dan berlagu itu.
“Nyebelin banget sih, tuh orang!” ketus Deska. Sembari mendengus kesal.
“Des! Lo diapain sama Radit?” tanya Dinda, salah seorang teman sekelasnya menghampiri.
Deska pasang wajah sendu. “Tamat riwayat gue, Din,” cerita Deska setengah-setengah.
Dinda mengerutkan keningnya hingga berlipat-lipat. Tamat gimana maksudnya? Dinda mana ngerti kalau kalimat Deska setengah-setengah begitu. Intinya, Deska bersalah karena sudah menyenggol ponsel mahalnya Radit. Habis itu, Radit datang dan mengingatkan Deska kembali untuk segera mempertanggung jawabkan perbuatannya. Alias harus ganti rugi.
Masalahnya, ponsel itu limited edition. Deska tidak tahu harus mencarinya ke mana. Barang langka begitu paling cuma berapa sih ada di dunia ini. Iya, kan? Semakin dipikirkan, semakin frustasi saja Deska membayangkannya.
“Lo udah minta maaf sama dia belum?” Dinda mengalihkan pembicaraan.
“Udah,” sahut Deska.
“Terus?” tanya Dinda lagi. Dia masih menunggu kelanjutan cerita Deska.
“Ya, gitu deh. Dia tetap minta ganti rugi,” jawab Deska ogah-ogahan. Dia sedang tidak bersemangat menjawabnya.
“Astaga! Kebangetan ya, tuh orang! Untungnya dia ganteng banget. Kalau buruk rupa udah gue acak-acak tuh mukanya,” Dinda sewot. Dia mewakili perasaan Deska saat ini. Gara-gara ikutan kesal.
Deska tersenyum tipis menanggapinya. Dinda bukannya menenangkan hati Deska yang sedang kalut malah memberikan pendapat yang tidak ada solusinya. Sama-sama kacau, kan? Malah memperkeruh suasana batin Deska saat ini.
“Terus, lo maunya gimana, Des? Gimana caranya lo ngehadepin dia?” Dinda harap-harap cemas.
Dinda merasa iba melihat teman dekatnya bakalan jadi sasaran empuk Radit and the gang. Bisa-bisa, fenomena Shancai dikerjai Tao Ming Tse terulang lagi pada Deska yang malang.
“Entahlah. Mau nggak mau, gue harus hadepin dia. Itu upaya terakhir gue berurusan sama dia. Kalau dia mau marah ya silakan aja. Masa bodoh juga terserah sih. Gue pasrah menerima keadaannya, Din,” Deska putus asa. Tak tahu lagi harus ngapain. Dia belum sempat memikirkan sebab-akibatnya. Otaknya terlalu lelah dan dia lagi malas mikir saat ini.
“Kasihan banget sih, lo. Gue jadi ikutan sedih dengernya,” Dinda meraih tangan Deska. Dia berusaha menguatkan teman dekatnya itu. Agar tetap semangat dan tidak depresi.
“Thanks ya, Din. Lo udah ngasihani gue. Tapi, sekarang gue lapar. Traktir gue makan, ya,” ucap Deska sambil mengalihkan perhatian Dinda.
Dinda masang muka cemberut. “Kebiasaan lo!”
Meski begitu, Dinda tetap saja mengiyakan permintaan temannya itu. Mau gimana lagi. Hanya Dinda satu-satunya teman yang dimiliki Deska di kampus. Kebetulan saja mereka satu jurusan dan ada di kelas yang sama. Ke mana-mana selalu bersama. Sudah seperti ban sepeda saja. Berduaan mulu. Itu karena keduanya kurang populer di kampus. Mana ada yang mau temenan sama Deska. Banyak yang menjulukinya si gadis buruk rupa.
***
Sejak ponsel limited editionnya rusak, Radit terpaksa harus menggunakan ponsel murahan yang dibelinya dari seorang teman. Ya, lumayanlah. Nggak terlalu murah-murah banget. Itu juga habis ngutang. Dia belum ada pemasukan lagi minggu-minggu ini. Si Nyonya yang menjadi kekasih gelapnya belum memberinya uang bulanan lagi.
Setelah mendapatkan ponsel baru dan mengaktifkannya lagi, banyak pesan bermunculan di layar notifikasinya. Salah satunya dari si Nyonya. Peri cantik penyelamat hidupnya. Buru-buru Radit menghubunginya terlebih dulu. Dia selalu memprioritaskan si Nyonya di urutan pertama. Yang lainnya, nanti saja. Jika tidak terlalu penting-penting amat.
“Dit, kok susah banget ngehubungin kamu? Kamu ke mana aja tadi?” semprot Serafina. Padahal baru beberapa jam tidak komunikasi saja, langsung sewot si Nyonya.
“Maaf, Sayang. Tadi, ponselku jatuh disenggol orang. Terus, rusak deh,” jelas Radit tanpa merasa bersalah. “Jadinya, aku kepaksa beli ponsel dari teman. Itu juga ngutang dulu. Karena belum dapat duit,” dia terkekeh. Setelah blak-blakan bicara dengan Serafina.
“Ya ampun! Terus gimana, orang yang nyenggol itu mau gantiin ponsel kamu nggak? Aku beliin kamu ponsel itu mahal banget, lho, Dit. Sekarang, kan udah nggak ada lagi,” Serafina mengingatkan.
“Iya, maaf ya. Aku yang salah. Aku ceroboh karena tidak menjaga barang-barang pemberian kamu dengan baik,” sesal Radit.
Nada suaranya dibuat sedemikian rupa. Memelas ala-ala kupu-kupu rasa buaya, hingga membuat Serafina merasa tersentuh mendengarnya. Biar dikira Radit bertanggung jawab dan menyesali perbuatannya. Cari muka banget nih cowok! Tetapi, Serafina menyukainya. Itulah kelebihan Radit.
Usai berbincang-bincang dengan Serafina di telepon, Radit menutup ponselnya sambil merebahkan tubuh di kasurnya yang empuk. Saat dia menerawang ke langit-langit kamarnya, sekilas dia mengingat wajah mahasiswi berkacamata tebal itu.
“Gadis itu, cukup lumayan. Namanya Deska,” Radit mengingat-ingat lagi.
“Tapi, dia nggak kelihatan seperti anak orang kaya. Mungkin dia hanya gadis dari kalangan keluarga biasa-biasa aja. Ah, malas jadinya,” ujar Radit. Saat dia berbicara sendiri.
Radit bangun dari tidurnya. Dia jadi kepikiran soal Deska. Bagaimana bisa gadis biasa seperti Deska mau mempertanggung jawabkan perbuatannya dengan cara mengganti ponsel Radit yang super mahal itu? Ada-ada saja, pikirnya. Radit agak meremehkan Deska rupanya.
“Dasar gadis kampung!” ejek Radit dalam hati.
Untungnya, Deska bukan tipe gadis yang disukai Radit. Penampilannya di bawah standar rata-rata. Jauh beda dengan Serafina, kata Radit membanding-bandingkan. Deska tidak secantik Nyonya kaya raya itu. Bodynya pun nggak semontok Serafina. Setiap lekukan tubuh Serafina berisi, padat, dan begitu menggoda. Sedangkan Deska, semuanya kelihatan sama rata. Tidak ada yang menarik untuk dipandang.
Radit berjalan menuju meja riasnya. Di sana ada sebuah cermin besar dan dia berbicara sendiri. Lagi. Dasar tukang halu! Begitulah Radit saat dia mengekspresikan diri setelah bertemu dengan gadis-gadis temuannya di kampus. Ada bermacam-macam tipe gadis yang sudah dia ceritakan. Biarkan saja, cermin itu yang menjadi tempat curhatnya saat ini.
“Dia kurang olah raga kali, ya? Sayang banget padahal. Ah, satu hal lagi. Kacamata tebal itu sangat mengganggu penglihatan gue. Cowok mana pun pasti nggak bakalan suka dengan penampilan dekilnya itu. Cewek kok dandanannya gitu amat sih?” Radit tersenyum sinis.
TING-TONG!
Bel apartemen Radit berbunyi. Dia segera menuju pintu lalu membukakannya. Setelah pintu terkuak, ada seorang pria berteriak dengan lantang di hadapannya.
“PAKEEETTTT!” ucap pria itu sambil mengacungkan barang di tangannya.
“Paket apaan?” Radit heran. Perasaan, dia tidak memesan barang dari online shop? Terus, itu paket apaan dong?
***
Aneh sekali. Tidak ada nama pengirimnya saat Radit menerima paketnya. Kurir ekspedisi yang mengirimkannya pun tidak mengatakan apa-apa soal data pengirimnya. Katanya, itu sudah sesuai dengan pihak ekspedisi. Kurir tinggal mengantarkan barangnya saja.Radit jadi makin penasaran. Dia langsung membuka paketnya itu. Tidak lupa, dia juga menyalakan kamera ponsel lalu merekamnya. Ritual membuka bungkusan paket rahasia itu harus diabadikan terlebih dahulu. Siapa tahu, isi paketnya aneh-aneh. Untuk antisipasi saja kalau ada oknum hatersnya yang sengaja bikin ulah padanya.“Unboxing dulu, guys! Kita lihat, paket apaan nih yang dikirim seseorang buat gue.” Radit membuka bungkusan paketnya dengan perlahan-lahan.Dasar tukang pamer! Radit membuka paket itu sambil live di sosial media. Para pengikutnya di sosial media langsung membanjirinya dengan beragam komentar.“Awas, itu bom!”“Wah, kira-kira apaan tuh Kak Radit?&ldquo
Deska menjawab dengan anggukan kepala. Namun Radit masih belum puas dengan jawaban yang diberikan Deska. Deska dapat mengetahui kecurigaan Radit lewat ekspresinya.“Serius?” tanya Radit memastikan.“Iya, serius, Kak,” Deska meyakinkan Radit.“Nggak mungkin. Cewek kayak Lo nggak mungkin bisa beli ponsel mahal kayak gini,” sangkal Radit dengan kerutan di dahi yang semakin terlihat jelas.“Lah, ‘kan, buktinya sekarang ada. Itu yang di tangan Kak Radit. Intinya, sekarang utangku sama Kak Radit udah lunas, ya. Jadi aku permisi dulu, Kak,” Deska pamit.Baru saja Deska membalikkan badan untuk segera menjauhi Radit, tiba-tiba tangannya dicekal.“Tunggu!” sergah Radit.Deska memasang mimik wajah penasaran. Dia sudah jengah dengan kelakuan Radit yang aneh dan seenaknya sendiri selama ini.“Jangan bilang kalau kamu nyuri,” terka Radit.Mendengar itu Deska
Radit mulai mengumpulkan bukti-bukti tentang jati diri Deska berdasarkan opini dari teman se-gengnya. Dia menyelidiki tentang pinjaman online terlebih dahulu. Tentu saja dia butuh koneksi untuk mengungkit hal ini.Akhirnya, Radit memanfaatkan Serafina untuk membantunya mencari informasi terkait jasa pinjaman tersebut. Serafina yang notabenenya memiliki banyak kenalan itu pun dengan mudah menemukan orang yang diinginkan Radit.Radit berterima kasih kepada Serafina karena sudah membantunya lagi untuk menyelesaikan masalahnya. Semua keinginan Serafina akan Radit penuhi sebagai balas jasa yang telah dilakukan kekasihnya itu.Ternyata memang benar. Jasa pinjaman online itu hanya bisa dilakukan oleh orang kalangan atas. Radit bertanya kepada “orang dalam” di tempat jasa pinjaman itu. Katanya, pada tanggal Radit menerima paket tidak ada transaksi peminjaman uang dari negara Indonesia. Tidak ada juga transaksi pengembalian uang pinjaman pad
“Lo nipu gue, ya?” tukas Radit.Deska mengerutkan dahi sebentar sebelum membalas, “Nipu kakak? Maksudnya gimana, ya?”“Nggak usah pura-pura nggak tahu, deh,” tuduh Radit lagi hingga menyudutkan Deska.Deska masih bergeming melihat Radit yang sedang kesal padanya. “Lo manipulasi struk pembelian ponsel dan itu bukan ponsel yang baru aja lo beli. Melainkan ponsel yang dibeli bulan lalu sama lo, ‘kan?” tebak Radit.Deg!Jantung Deska seolah berhenti sejenak barusan. Bagaimana bisa Radit menyadarinya secepat itu? Memang benar Radit bukan orang bodoh. Tapi, tidak mungkin juga dia sepintar itu untuk mengetahuinya dalam waktu sehari semalam saja.“Dih, ditanyain malah bengong. Jawab atuh, yang sejujurnya!” perintah Radit seolah tak ingin dibantah.Merasa dirinya sudah berada di ujung tanduk, akhirnya Deska memilih untuk mengatakan yang sebenarnya. “E-emang aku yang memani
Radit terpesona melihat penampilan baru Deska saat ini. Dia tidak menyangka, jika Deska akan berubah menjadi lebih cantik dan menawan dibandingkan dengan sebelumnya. Bak langit dan bumi, perbedaannya terlalu jauh sehingga sulit dicerna akal. Dari sekian banyak mahasiswa yang ada di kampus sekarang, hanya Radit yang menyadari bidadari di depannya adalah Deska.Sebelumnya, Radit pernah melihat sosok Deska tanpa kacamata tempo hari. Itu pun karena Radit melakukannya dengan paksa. Meski tak mau mengakui kebenarannya, Radit tahu pasti bahwa dihadapannya sosok asli dari gadis yang sering dicibirnya dekil dan lusuh.“Cantik,” puji Radit setelah berhasil mengembalikan kesadarannya seperti semula.Deska yang tiba-tiba dipuji oleh Radit merasa kikuk. “Eh … ma-makasih, Kak.”Deska memutar bola matanya, sebal. Dia benci situasi seperti ini. Sebelum tidak bisa mengendalikannya, dia memilih untuk segera pergi dari hadapan Radit. Namun, la
“Hai, Des!” sapa Radit sok akrab. Ketika dia melihat Deska melewatinya di koridor kampus.Deska mengernyitkan dahi, mau ngapain si mahasiswa abadi itu mendekatinya? gerutu Deska dalam hati. Dia tidak suka jika seniornya yang genit itu memanggil-manggil namanya.“Deska!” panggil Radit. “Tungguin aku dong!” Radit menyusulnya. Sejenak, Deska terdiam lalu menoleh ke arahnya.“Aku?” cibir Deska. Radit senyum-senyum sendiri, tebar pesona di depan Deska.Deska tersenyum dengan nada mengejek. Biasanya, ngomongnya gue elo. Kenapa sekarang tiba-tiba Radit jadi ramah dan sopan banget sama Deska? Deska menemukan kejanggalan itu dari sikap Radit yang mulai menunjukkan gejala preman picisan.“Ada apa?” tanya Deska tak sabaran. Dia tidak mau membuang-buang waktunya dengan Radit. Sesekali, dia melirik jam digital di layar ponselnya. Dia hampir terlambat masuk kelas. Terpaksa, dia harus meladeni Radit dahu
“Serafina?” ujar Radit. Dia terkejut dengan kedatangan Serafina di apartemennya.“Aku tanya, barusan kamu ngomong apa?” ulang Serafina. Kali ini terdengar seperti perintah.“Nggak ada,” bual Radit. Dia sengaja menutup-nutupinya.“Bohong! Aku tadi dengar kamu menggumam,” tebak Serafina.“Ah, masa sih? Kamu salah dengar kali,” sangkal Radit.“Kamu yakin, Dit?” Serafina tetap menaruh curiga pada Radit. Sepertinya, kekasih berondongnya itu sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Entah apa.“Aku nggak bilang apa-apa kok. Aku hanya berbicara pada diriku sendiri. Kalau ada yang lebih cantik, pintar, kaya raya, masa depannya lebih cerah dan bersinar dibandingkan denganmu, kenapa enggak?” gurau Radit.“Apa-apaan ini? Kamu bercanda, kan, Dit?” Serafina geram. Dia merasa tersinggung dengan ucapan Radit barusan. Itu sama saja dengan mengejeknya.
“Kalau gitu beri aku waktu, Kak,” tawar Deska.Radit tampak berpikir sejenak, “Hmm... gimana, ya? Aku nggak suka sih buang-buang waktu. Tapi, kalau itu yang kamu mau, mungkin bisa kupertimbangkan lagi.”Deska menghela napas lega. Dia tak menyangka Radit menyetujui permintaannya. Deska berencana mengulur waktu sembari menyusun rencana agar Radit tak dapat mengganggunya dan Dinda lagi.“Tapi ingat! Semakin lama kamu menunda jawabanmu, Dinda akan semakin menderita di tanganku.” Kali ini ucapan Radit benar-benar membuat Deska bergidik ngeri.“Kali ini kamu nggak akan bisa menang, Deska. Semua siasatmu sudah terbaca. Jadi, lebih baik segera akhiri permainan ini. Karena hasilnya sudah terlihat jelas sekarang,” batin Radit senang dengan situasi saat ini.***Hati Dinda belum tenang. Dia masih memikirkan nasib sahabatnya yang tadi di