Bukan hanya Abah, aku pun merasa bersalah. Merasa bersalah pada diri sendiri, kenapa aku terima permintaan Umi untuk menikah dengan Mas Rahman. Harusnya aku tak ambil peduli dengan rengekan Umi waktu itu, sampai nangis darah sekalipun harusnya aku tak perlu menuruti permintaannya. Kalau akhirnya seperti ini, aku diperlakukan seperti manusia yang nggak punya harga diri. Bahkan di depanku Umi tega ngomong seperti itu, seolah perasaanku tak perlu dijaga. Akhirnya kami duduk bertiga di ruang tamu, harusnya berempat, tapi Mas Rahman ke luar kota, katanya ada mobil bekas yang dijual murah, dia mau cek barangnya langsung. Abah sengaja mengumpulkan kami untuk membahas gosip miring yang beredar di luar sana, efek pertemuanku dengan Bu Indri tadi pagi. Umi menyalahkanku, menganggap aku ini biang masalah yang harusnya dibuang. "Istighfar, Mi. Nyebut! Mereka sudah menikah secara resmi, berdosa kita kalau merusak ikatan suci mereka. Rahman begitu mencintai, Mey, begitu pula sebaliknya. Kenapa ha
Entah bagaimana cara Abah membujuk Umi, wanita itu akhirnya menyetujui rencana kami untuk menggelar resepsi, meski setengah hati. Tapi setengah hatinya Umi tetap saja all out. Dia mana mau menggelar acara spesial anaknya asal-asalan? Harus mewah meriah dan berkesan. "Rahman itu anak tunggal, orang tuanya terpandang, secara ekonomi juga mapan. Apa kata orang nanti, kalau ngunduh mantunya hanya sederhana. Kita bikin acara besar, atau tidak sama sekali!" Ultimatum Umi ketika kami membahas acara resepsi. "Buat apa, sih, Mi? Buang-buang uang saja, lebih baik uangnya disimpan untuk kebutuhan yang lain," kata Mas Rahman mencoba memberi pengertian Umi, karena Mas Rahman berencana membiayai sendiri resepsi pernikahan kami. Mas Rahman rela menggunakan semua tabungannya demi resepsi kami, dia ingin semua orang tahu kalau kami sudah menikah, dan tak lagi kesalah pahaman apalagi fitnah. "Nggak! Pokoknya kita harus menggelar pesta besar-besaran, titik! Kalau kalian nggak ribet, biar Umi yang uru
"Mey, kamu makannya jangan banyak-banyak! Nanti badanmu melar!" Umi berkata sambil mengurangi nasi yang sudah ku tuang ke piringku. Aku hanya bisa menghela nafas, sambil melirik suamiku yang tengah asik menikmati sarapannya. Berharap mendapat pembelaan dari anak semata wayang mertuaku itu, tapi sayangnya lelaki itu hanya mengangkat bahu. Kode bahwa aku harus menghadapi Umi sendiri. Padahal aku sudah mengurangi porsi makanku, tapi menurut Umi masih kebanyakan. Kalau sebelumnya aku cuek saja Umi mengatur porsi makanku, karena saat di show room nanti aku bisa makan sepuasnya. Tinggal pesen grab food, beres deh. Tapi sekarang aku sudah dipingit, nggak boleh keluar rumah lagi, karena harus menjalani serangkaian perawatan, agar aku terlihat cantik dan mangklingi saat resepsi nanti. Jadi nggak bisa nambah makan lagi, dong. Aku bisa lemes kalau begini. Padahal menurut banyak orang, badanku sudah proporsional. Nggak gemuk, nggak kurus. Pas-pasan, body goals istilah kerennya. Tapi Umi masih
Meski harus melewati banyak drama, akhirnya resepsi digelar juga. Semua rangkaian acara yang sudah direncanakan, berjalan semestinya. Seluruh keluarga besar Abah dan Umi hadir, banyak diantara mereka tak menyangka kalau kami sudah lebih dulu menikah sebelum resepsi. "Lho, kok, hanya resepsi? Akad nikahnya kapan? Kenapa kami tak diundang?" Begitu lah pertanyaan mereka. "Akad nikahnya pas Rahman masuk rumah sakit, karena mendadak jadi nggak ngundang. Yang penting semuanya berjalan lancar, mohon doanya agar Rahman dan istrinya bahagia, langgeng hingga mau memisahkan," jawab Abah diplomatis. Sementara aku hanya bisa pasang senyum manis, tatkala banyak yang menanyakan latar belakangku. Tak ingin merasa terpojok, Mas Rahman dan Abah yang menjawab pertanyaan keluarga besarnya itu. Jangan tanya bagaimana dengan Umi, beliau sibuk sendiri. Untung saja aku sekarang sudah bekerja, meski hanya bantu suami di show roomnya. Tapi setidaknya aku tidak nganggur. Apakah keluarga besarku hadir? Tent
Dan di sinilah aku sekarang, di ruang rawat inap. Menunggu Umi yang tengah tertidur pulas. Rupanya Umi terjatuh di kamar mandi tadi pagi, sementara di rumah hanya ada Mbok Nah dan Mbak Susi yang panik luar biasa, tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Bukannya menelpon dokter keluarga, malah menelpon Mas Rahman yang akhirnya ikut panik juga. Mas Rahman membawa Umi ke rumah sakit untuk mendapat tindakan, dengan mobilnya sendiri. Dia menyetir seperti orang kesetanan, ugal-ugalan. Untung tidak ada razia lalu lintas, hingga tidak kena tilang, karena mobil melebihi batas kecepatan.Menurut dokter yang memeriksa Umi, tensi tinggi hingga merasa pusing dan kesulitan mengendalikan tubuh, lalu akhirnya terjatuh. Tak ada luka fisik yang berarti, hanya sedikit lebam tak. Tapi kemungkinan besar Umi akan lumpuh setengah badan, beliau mengalami paraplegia. Akibat benturan keras menyebabkan otak Umi kehilangan kemampuan sensorik dan motorik. Mas Rahman sempat syok mendengar penjelasan dokter, tapi ak
l"Ceritanya bagaimana, Mey? Kok, sampai Umi dibawa ke rumah sakit?" Abah bertanya padaku, karena Umi hanya menangis tanpa bicara sejak kedatangan beliau. Mas Rahman hanya mengabari Abah, kalau Umi dilarikan ke rumah sakit, tanpa menjelaskan kronologinya. Kini aku harus menceritakan kejadian sebenarnya, termasuk diagnosa dokter. "Padahal waktu Abah tinggal, Umimu baik-baik saja. Memang dia sedikit murung gara-gara masalah dengan Anita, tapi kupikir tidak akan berpengaruh pada kesehatannya." Ada nada sesal dalam suara beliau. "Umi lagi banyak pikiran, Bah. Umi butuh teman bicara, butuh tempat bersandar, tapi Abah justru tidak ada saat Umi butuhkan," ucapku berusaha memancing reaksi mertuaku itu. "Hhhh!" Abah mengembuskan nafas kasar, lalu meraup wajahnya kemudian menatap Umi dalam-dalam. "Abah kan, harus kerja, Mi. Harus ceramah sana-sini, nggak mungkin menemani Umi dua puluh empat jam. Umi kalau butu teman bicara, ngomong sama Mey saja. Kalian sama-sama perempuan, pasti bisa sali
l"Ceritanya bagaimana, Mey? Kok, sampai Umi dibawa ke rumah sakit?" Abah bertanya padaku, karena Umi hanya menangis tanpa bicara sejak kedatangan beliau. Mas Rahman hanya mengabari Abah, kalau Umi dilarikan ke rumah sakit, tanpa menjelaskan kronologinya. Kini aku harus menceritakan kejadian sebenarnya, termasuk diagnosa dokter. "Padahal waktu Abah tinggal, Umimu baik-baik saja. Memang dia sedikit murung gara-gara masalah dengan Anita, tapi kupikir tidak akan berpengaruh pada kesehatannya." Ada nada sesal dalam suara beliau. "Umi lagi banyak pikiran, Bah. Umi butuh teman bicara, butuh tempat bersandar, tapi Abah justru tidak ada saat Umi butuhkan," ucapku berusaha memancing reaksi mertuaku itu. "Hhhh!" Abah mengembuskan nafas kasar, lalu meraup wajahnya kemudian menatap Umi dalam-dalam. "Abah kan, harus kerja, Mi. Harus ceramah sana-sini, nggak mungkin menemani Umi dua puluh empat jam. Umi kalau butu teman bicara, ngomong sama Mey saja. Kalian sama-sama perempuan, pasti bisa sali
"Mas, jujur. Kamu sudah lama tahu kalau Abah menikah lagi?" Mas Rahman terlihat kaget, sepertinya dia tidak menyangka aku akan bertanya seperti itu. "Aku .... Aku .... " Mas Rahman tergagap mendengar pertanyaanku. Melihat itu aku semakin yakin, kalau sebenarnya Mas Rahman tahu Abah punya istri lagi. Dasar laki-laki, untuk urusan begituan pasti saling dukung. Apa ini sebabnya Abah dulu begitu mendukung Mas Rahman menikahiku? Tak peduli Umi mati-matian menentang. Orang kartu As nya dipegang Mas Rahman. Licik memang. "Mey, dengar dulu penjelasanku! Ini tidak seperti yang kamu sangka," mohon Mas Rahman dengan wajah melas. Karena terlanjur kecewa dan tak ingin mendengar kalimat pembelaan, aku memilih bangkit dan duduk di dekat ranjang Umi. Wanita itu nampak tertidur pulas. Kalau sebelumnya aku sering merasa kesal, entah mengapa sekarang terbit iba di hatiku. Sebagai sesama wanita, aku merasa ikut tersakiti mendengar Abah menikah lagi. Aku jadi mikir, apa Mas Rahman akan melakukan hal y