Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata
"Gantengnya cucu Eyang ...." Umi berkata sambil menimang putraku, yang baru kulahirkan beberapa jam yang lalu itu. Cucu pertamanya, cucu yang sudah dia nanti bertahun-tahun lamanya. "Wes, diborong Rahman semua ini, Mey. Kamu nggak kebagian apa-apa. Plek ketiplek bapaknya waktu masih bayi," lanjut Umi, tanpa mengalihkan pandangannya pada bayiku. Meski ada iri menelusup di hati, karena wajah anakku yang ternyata sangat mirip bapaknya. Tapi juga bahagia sekaligus bangga, bisa memberi anak pada suami, dan cucu untuk mertuaku, dengan wajah yang identik dengan wajah mereka. "Kalian sudah siap nama, kan?""Sudah, Mi," jawabku singkat. Aku belum berani banyak bicara, luka bekas operasi masih begitu nyeri, kalau aku bergerak sedikit saja. Bahkan aku belum berani bicara banyak, karena takut. "Siapa?""Alfarisqi Rahman, Mi. Panggilannya Alfa." Umi baru datang setelah operasi selesai. Karena tak mau ambil resiko, karena kesehatan Umi sering bermasalah. Kami berangkat ke rumah sakit sendiri.
"Menikahlah denganku, Mey. Tinggalkan pekerjaanmu, kita mulai hidup baru," ucap Rahman dengan tatapan penuh permohonan. Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Ini bukan yang pertama, entah berapa kali dia mengutarakan niatnya mempersuntingku, berkali-kali pula kutolak keinginannya. Tapi itu tak menyurutkan niatnya memperistiku. Bukannya sok jual mahal, atau aku tidak tertarik dengan Rahman. Tapi aku cukup tahu diri, siapa lah diri ini. Janda anak satu, sedangkan dia? Perjaka thing-thing, meski tak setampan opa-opa Korea, Rahman bisa dibilang good looking. Kulitnya sawo matang khas pria Indonesia, rahangnya tegas. Santun perainganya, dan yang paling aku suka, tatap matanya yang teduh.Kalau soal janda, mungkin masih bisa ditoleransi. Tapi profesi ku? Itu yang membuat aku inscure, dan tak berani menerima lamaran Rahman. Aku ini wanita panggilan, pekerjaanku memberi kepuasan pada laki-laki hidung belang dengan imbalan sejumlah uang. Apa pantas bersanding dengan pemuda se-alim Rahman
"Mari, Bu Yayuk." Aku mengangguk sopan, tak lupa tersenyum manis pada ibu dua anak yang tengah menjemur baju itu. Ku dorong motorku hingga ke depan pagar, mengilunci mengunci pintu gerbang. Kupikir Bu Yayuk sudah masuk, karena kulihat semua cuciannya sudah dijemur semua. Ternyata dia masih menatapku dari balik pagar rumahnya. "Buru-buru amat, Mbak Mey? Padahal tadi sudah dapat satu pelanggan, lho. Kok masih nyari pelanggan lagi. Kejar target, ya?" Ujar Bu Yayuk, sepertinya dia belum puas kalau belum memojokkan aku. Mulut kok julidnya minta ampun. Pengen rasanya kuremas bibir bergincu merah cabe itu, agar tidak sembarangan kalau berkata. Selama tinggal di sini, aku tak pernah sibuk ngurus urusan tetangga, aku juga tidak pernah mengganggu mereka. Termasuk Bu Yayuk juga. Kenapa dia begitu usil dengan kehidupanku? Mau kejar target, mau kejar duit, suka-suka aku lah! Ngapain dia yang repot. "Mimpi apa Ustadz Fauzi itu? Anak semata wayangnya rusak gara-gara kenal kamu. Saranku, Mbak Mei
"Mama! Mulai sekarang jangan jemput Dinda lagi!" Sentak bocah kelas dua SD itu, kakinya dihentak-hentakkan ke tanah. "Lho, kenapa?" Tanyaku spontan. Jelas aku heran, kenapa tiba-tiba Dinda melarang kau menjemputnya? Ada apa? Biasanya dia selalu protes kalau aku menggunakan jasa ojol, menggantikan aku yang tak sempat menjemput karena sedang melayani klien.Hanya berdua hidup di kota ini, membuatku tak punya keluarga atau saudara yang bisa dimintai tolong. Apa-apa harus kulakukan sendiri. "Kok yang jemput Kang Ojol sih, Ma? Kan aku maunya dijemput Mama!" Protes Dinda karena aku urung menjemputnya waktu itu. "Mama kerja, Sayang," ujarku beralasan. "Kan, bisa ditinggal sebentar, Ma.""Pekerjaannya nggak bisa ditinggal, Sayang. Bos Mama bisa marah besar." Mana mungkin aku meninggalkan klien yang lagi On, bisa komplain dia sama Mami Monic dan aku kena denda. Sebenarnya aku lebih suka melayani klien disiang hari, agar tidak perlu pulang malam. Ya, biar terlihat seperti pekerja pada um
Aku masih duduk di samping brangkar di mana Adinda terbaring, dengan selang menancap dibeberapa bagian tubuhnya. Sejak tadi aku hanya bisa menangis sambil terus menggenggam erat tangannya. Dinda sudah menjalani operasi, tapi dia belum sadar juga padahal sudah hampir lima jam aku menunggu. Mata Dinda masih saja Terpejam, membuat aku seperti kehilangan harapan. Aku merasa dunia sudah begitu tak adil padaku. Kenapa hidupku selalu di rundung masalah? Kenapa? Apa pendosa sepertiku tak pantas bahagia? Tiba-tiba ingatanku kembali ke masa lalu, masa dimana tiba-tiba Dinda hadir dalam hidupku, saat usiaku begitu belia, saat aku belum siap mengadapi kejamnya dunia. "Rey, aku hamil." Sambil berkata aku menunjukkan test pack bergaris dua milikku pada Reynald pacarku. Kami sudah menjalin hubungan cinta sejak kelas 11, kini saat ujian kelulusan di depan mata, aku mendapati kenyataan diri ini berbadan dua. Wajah Rey mendadak pucat, bahkan tangannya tremor saat mengambil test pack dari genggaman
"Mey! Sekali lagi Umi tanya. Siapa laki-laki yang sudah menghamili kamu, Mey!" Suara Umi tak lagi terdengar lembut, melainkan melengking tinggi saking jengkelnya karena dari tadi aku hanya membisu. "Mey! Jawab Mey! Kamu tidak bisa terus-terusan nutupin identitas baj*ng*n itu, Mey!" Bukannya menjawab, tangisku justru semakin kencang. "Plak!" Tamparan Umi mendarat di pipiku, perih dan panas itu yang kurasakan, tapi itu tak sebanding dengan sakit yang dirasakan Umi. Karena anak gadisnya hamil di luar nikah. Umi sampai menamparku, itu berarti aku sudah membuat kesalahan yang tidak bisa dimaafkan. Ingin sekali aku mengatakan bahwa Rey lah laki-laki itu, tapi mengingat penolakannya waktu itu membuatku memilih bungkam. "Katakan, Mey, katakan! Jangan hanya membisu kamu!" Umi mencengkeram bahuku, dan mengguncangnya kasar. "Kamu mau bunuh Umi, Mey. Bunuh Umi saja, Mey! Bunuh! Daripada kamu permalukan kami seperti ini!" Umi berkata sambil menangis tersedu. Aku masih bergeming, mulutku terk
"Abah .... " Umi menghambur ke pelukan Abah, begitu sadar dari pingsannya.Umi sudah berada di kamarnya sendiri sekarang. Saat jatuh pingsan tadi, Abah segera membawa Umi keluar dari kamarku. Abah yang tidak tahu apa-apa terlihat bingung, demi menenangkan kekasih hatinya, Abah balas memeluk Umi dan mengelus lembut punggungnya. Membiarkan Umi menumpahkan tangisnya di sana. "Sekarang cerita! Kenapa Umi sampai pingsan tadi? Ada apa?" Tanya Abah setelah Umi terlihat lebih tenang. "Yang menghamili Mey ternyata --- ternyata ---" Tangis Umi kembali pecah. Abah menghela nafas, melepas beban yang menyesakkan dadanya. Hari ini terlalu banyak kejadian yang mengejutkan pria penuh wibawa itu. Kejutan yang tak pernah Abah ingin kan tentu saja. "Ternyata apa, Mi? Ngomong yang bener! Kalau kamu nangis terus begini, kepala Abah tambah pusing," gumam Abah sambil terus mengelus punggung Umi, sementara tangan lainnya digunakan untuk memijit keningnya. "Laki-laki baj*ngan itu, ter --- ternyata anak
"Gantengnya cucu Eyang ...." Umi berkata sambil menimang putraku, yang baru kulahirkan beberapa jam yang lalu itu. Cucu pertamanya, cucu yang sudah dia nanti bertahun-tahun lamanya. "Wes, diborong Rahman semua ini, Mey. Kamu nggak kebagian apa-apa. Plek ketiplek bapaknya waktu masih bayi," lanjut Umi, tanpa mengalihkan pandangannya pada bayiku. Meski ada iri menelusup di hati, karena wajah anakku yang ternyata sangat mirip bapaknya. Tapi juga bahagia sekaligus bangga, bisa memberi anak pada suami, dan cucu untuk mertuaku, dengan wajah yang identik dengan wajah mereka. "Kalian sudah siap nama, kan?""Sudah, Mi," jawabku singkat. Aku belum berani banyak bicara, luka bekas operasi masih begitu nyeri, kalau aku bergerak sedikit saja. Bahkan aku belum berani bicara banyak, karena takut. "Siapa?""Alfarisqi Rahman, Mi. Panggilannya Alfa." Umi baru datang setelah operasi selesai. Karena tak mau ambil resiko, karena kesehatan Umi sering bermasalah. Kami berangkat ke rumah sakit sendiri.
Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata
Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata
Tiga bulan berlalu, perutku mulai terlihat membuncit. Meski tak separah di Tri semester pertama, aku masih merasakan mual di pagi hari. Sebenarnya aku ingin beraktivitas, biar kehamilan ini tidak terlalu manja ini kehamilan kedua, harusnya aku kuat dan lebih siap, kan. Lagi pula aku juga sudah bosan kalau harus bad rest terus. Tapi Mas Rahman melarang. Katanya, "aku tidak mau anakku kenapa-napa, jangan ambil resiko!" Kalau aku ngeyel. "Dengan beraktivitas janin akan lebih sehat, Mas. Aku juga nggak stress dikurung terus." Tapi apa jawabnya? "Dah, nurut aja! Nggak usah banyak protes! Ini semua demi anak kita. Berkorban sedikit apa susahnya, sih?" Ternyata, perlakuan manis Mas Rahman hamil bukan untukku, tapi untuk anaknya. Dasar laki-laki, mau enaknya sendiri! Untung sayang. "Mas, capek. Pijitin!" Kuletakkan kedua kakiku di atas pangkuan Mas Rahman, yang sedang sibuk dengan laptopnya, memeriksa laporan keuangan show room. Tanpa bicara, Mas Rahman menutup laptopnya dan meletakkan di
"Dibilang males, ngeyel!" Mas Rahman terkekeh. "Mas Rahman menyembunyikan sesuatu, ya?" Todongku. Aku sudah nggak betah menahan rasa penasaran, dari tadi sikap Mas Rahman mencurigakan. "Mau tahu aja, apa mau tahu banget?" Selorohnya. Aku mencebik kesal, tawa Mas Rahman makin menjadi. "Sus, tadi sudah dikasih tahu belum?" Mas Rahman bertanya pada Suster Lusi. "Belum, Pak. Nggak berani saya." Sebenarnya rahasia apa yang mereka sembunyikan, sih? Aku benar-benar kepo! "Sekarang aja, Sus!" Usai Mas Rahman berkata, Suster Lusi berjalan ke arah pintu. Aku menatap bingung suamiku, tapi dia hanya senyum penuh arti, membuat rasa penasaran di hati makin menjadi. Kami masih saling tatap ketik dari terdengar suara riuh dari arah pintu. "Surprise....! Selamat ulang tahun ...." Sontak aku menoleh ke sumber suara. Di sana ada Umi dan Dinda, mereka datang membawa buket bunga. Sementara Suster Lusi membawa kue tart yang di atasnya terdapat lilin angka, yang sudah menyala. Speechless, itu ya
Pertama kali membuka mata, ruangan serba putih menyapa indera penglihatanku. Tanpa perlu dijelaskan, aku tahu sedang berada di ruang perawatan. Bau obat dan selang infus yang menancap di punggung tanganku, jawabannya. Apa ada masalah dengan lukaku? Infeksi? Atau kenapa? Pertanyaan itu memenuhi kepalaku, tapi aku tidak merasakan apa-apa di area itu. Pertanyaan-pertanyaan itu masih berputar-putar di kepalaku, hingga pintu terbuka dan menampilkan sosok wanita berseragam serba hijau menghampiriku. "Alhamdulillah .... Bu Rahman sudah siuman. Apa yang dirasakan, Bu? Masih pusing?" Tanya wanita bertag name Lusi itu, ramah. "Sedikit, Sus. Suami saya mana, ya? Kok nggak keliahatan?" Aku tak menemukan Mas Rahman ketika sadar tadi, dan sampai sekarang pun laki-laki itu kunjung muncul. Tak biasanya dia meninggalkan aku sendiri kalau sedang sakit, apalagi ini di rumah sakit. "Pak Rahman ijin pulang sebentar, Bu. Mengambil baju ganti katanya, dan beliau menitipkan Ibu pada saya," jelas wanita
Umi menyambut antusias kedatangan kami, tapi Dinda justru bersikap sebaliknya Dia menampakkan wajah cemberut, tak bersemangat dan malas-malasan membantu membawa barang-barangku. "Yang punya hajat itu suadaramu yang mana sih, Mey? Kok kamu nggak pernah cerita? Pakai ngelarang aku nyusul pula, kan nggak enak sebagai besan nggak ikut hadir di acara mereka," cerca Umi begitu aku masuk rumah. Saat aku mengabari tak bisa pulang, dengan alasan ada suadara umiku yang punya hajat, Umi memaksa datang. Katanya demi menjaga tali silaturahim, tapi aku melarangnya. Alasannya rumahnya jauh dan pelosok, nanti Umi nyasar. Padahal nggak ada saudaraku yang punya hajat, itu semua hanya kebohongan demi menutupi fakta yang sebenarnya terjadi. Mana ada saudara Umi yang ingat aku? Di mata mereka aku ini hanya aib. "Sepupu jauh Umi saya, Mi. Mereka tinggal di pelosok, Mi. Aku sudah memberi amplop mereka, dan mengatakan itu dari Umi, " bohongku. Pepatah yang mengatakan sekali orang berbohong, maka akan ter
Setelah tiga hari di rawat di rumah sakit Solo, akhirnya kami diijinkan pulang. Meski melalui drama pulang paksa, karena menurut dokter lukaku belum pulih benar. Tapi kami memaksa pulang, toh ini hanya luka luar bukan luka dalam yang mengkhawatirkan. Aku tak mungkin berlama-lama di Solo, sementara di rumah Umi cemas menanti kami. Ada Dinda yang butuh kami. Juga kasihan Mas Rahman yang harus bolak-balik Solo-Semarang, Semarang- Solo. Mas Rahman tak mungkin meninggalkan pekerjaannya. Oh ya, kami terpaksa menyembunyikan keadaan yang sebenarnya dari Umi, karena tak mau wanita jelang enam puluh tahun itu khawatir dan kepikiran. Mas Rahman terpaksa berbohong, mengatakan ada keluargaku yang punya hajat dan memaksaku nginep di sana. Padahal keluargaku yang di Solo sudah lama tak menganggapku ada. Sementara pada Dinda, aku mengatakan kalau masih ada urusan di Solo. Selama dirawat di Solo, ibunya Bu Naya dua kali menjengukku. Beliau berkali-kali minta maaf atas kesalahan anaknya, tapi anehnya
Rupanya kesabarannya sudah habis untuk menghadapiku, kini dia mulai main kasar. Tak ada lagi sikap anggun dan kemayu yang selama ini melekat dalam dirinya. Bu Naya sama sekali berubah. "Uang apa? Bu Naya bilang butuh uang untuk melunasi biaya pengobatan, kenapa sekarang malah menolak? Bahkan melarang saya ketemu Reza. Sekarang saya jadi curiga, jangan-jangan Bu Naya .... " Ucapanku terhenti, karena aku merasa ada benda runcing yang dingin menempel di pinggangku. Tubuhku kaku seketika, otakku memberi sinyal bahaya. Aku ingin teriak dan minta tolong, tapi sayangnya rasa perih dan nyeri luar biasa tiba-tiba menyergap, membuat otakku buntu seketika. "Mey!" Samar kudengar namaku diteriakkan, setelah itu semua menjadi gelap. * * * * * * * * *Bau obat menyengat menyapa indera penciuman, memaksaku membuka mata demi mengetahui dimana aku berada sekarang. Ruangan serba putih menjadi pemandangan pertamaku, hingga akhirnya mataku terbuka sempurna. Lamat-lamat kuingat kejadian sebelum akhirn