Share

Bab 3

last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-16 21:29:49

"Mama! Mulai sekarang jangan jemput Dinda lagi!" Sentak bocah kelas dua SD itu, kakinya dihentak-hentakkan ke tanah.

"Lho, kenapa?" Tanyaku spontan.

Jelas aku heran, kenapa tiba-tiba Dinda melarang kau menjemputnya? Ada apa? Biasanya dia selalu protes kalau aku menggunakan jasa ojol, menggantikan aku yang tak sempat menjemput karena sedang melayani klien.

Hanya berdua hidup di kota ini, membuatku tak punya keluarga atau saudara yang bisa dimintai tolong. Apa-apa harus kulakukan sendiri.

"Kok yang jemput Kang Ojol sih, Ma? Kan aku maunya dijemput Mama!" Protes Dinda karena aku urung menjemputnya waktu itu.

"Mama kerja, Sayang," ujarku beralasan.

"Kan, bisa ditinggal sebentar, Ma."

"Pekerjaannya nggak bisa ditinggal, Sayang. Bos Mama bisa marah besar." Mana mungkin aku meninggalkan klien yang lagi On, bisa komplain dia sama Mami Monic dan aku kena denda.

Sebenarnya aku lebih suka melayani klien disiang hari, agar tidak perlu pulang malam. Ya, biar terlihat seperti pekerja pada umumnya, pergi pagi pulang soren. Tapi karena Dinda sering protes, akhirnya aku sering menolak klien yang minta dilayani siang hari. Demi bisa mengantar jemput Dinda sekolah. Lalu kenapa tiba-tiba dia tidak mau lagi kuantar jemput?

"Pokoknya Mama jangan antar jemput aku lagi! Aku malu, Ma!" Dinda menjawab dengan nada ketus, tak lagi manja seperti biasanya.

Biasanya aku langsung tancap gas, kalau Dinda sudah naik ke boncengan. Tapi kali ini aku justru turun dari motor, memasang standar dan menghampiri Dinda yang duduk di atas motor dengan wajah ditekuk.

"Malu kenapa? Coba ngomong sama Mama," bujukku dengan suara lembut, sambil mengelus lembut punggung Dinda.

Tak kusangka, Dinda menepis tanganku. "Jangan pegang-pegang!" Sentaknya kasar.

Dadaku berdenyut nyeri, anak yang susah payah kurawat dan kubesarkan bisa-bisanya bersikap kasar padaku. Apa yang membuat Dinda berubah seperti itu? Pertanyaan itu kini memenuhi benakku.

"Dinda!" Untuk pertama kali sejak dia lahir ke dunia, aku membentaknya.

Selama ini aku begitu menyayanginya, rela melakukan apa saja asal dia bahagia. Bahkan aku rela mela*c*r demi agar dia bisa hidup layak, tidak kekurangan. Kini dia berani membentakku. Jelas aku kecewa dan sakit hati.

Sontak tangis Dinda pecah, air mata yang tadi sempat kering kini kembali tumpah. Tanpa mengucapkan sepatah kata Dinda turun dari motor dan lari ke arah jalan. Tapi pikir panjang aku mengejar Dinda.

"Dinda! Ayo pulang, Nak!" Dengan nafas terengah-engah kupanggil Dinda, agar dia mau pulang. Apapun masalahnya tak baik masalah diselesaikan di pinggir jalan seperti ini.

Bukannya berhenti, Dinda justru mempercepat langkahnya, membuatku tertinggal cukup jauh.

"Dinda! Mama minta maaf! Ayo kita pulang, Nak." Teriakku lantang, karena tak dia tak mau berhenti dan aku sudah kelelahan.

Langkah Dinda terhenti, dia menoleh sejenak menatapku penuh kebencian. "Dinda nggak mau pulang! Dinda benci Mama!"

Itu kata terakhir yang Dinda ucapkan, sebelum akhirnya sebuah mobil angkutan umum yang tengah oleng menabraknya.

Aku yang masih syok hanya bisa terpaku di tempatku berdiri, tak menyangka kejadian naas itu menimpa putri semata wayangku.

Orang-orang yang berada di tempat itu langsung berlari, sebagian menolong Dinda, sebagian lagi mengejar angkot yang berusaha melarikan diri. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi, semua berubah menjadi gelap.

* * * * * * * * * * * *

Perlahan mataku mengerjab, pertama kali yang tertangkap indera penglihatanku adalah ruangan yang serba putih. Bau obat yang menusuk hidung, membuatku sadar bahwa aku berada di rumah sakit.

"Mama Dinda sudah sadar? Syukur lah, saya sempat panik tadi." Seorang laki-laki muda, yang kuingat sebagai salah satu guru Dinda berdiri di samping brangkar tempatku berbaring.

Mendengar laki-laki itu menyebut nama Dinda, membuatku teringat kembali kejadian yang membawaku ke tempat ini.

"Dinda! Dinda mana, Pak?" Spontan aku bangkit sekaligus duduk, begitu kesadaranku pulih seutuhnya.

"Tenang, Bu, tenang! Dinda sedang mendapat penanganan dari dokter, kita tunggu hasilnya, ya? Ibu minum dulu!" Pak Guru itu mengosongkan botol air mineral yang isinya masih penuh.

Aku hanya menatap botol air minum itu, lalu menatap Pak Guru dengan tatapan bingung.

"Dinda kenapa, Pak? Dia baik-baik saja, kan?" Cercaku.

"Diminum dulu, Bu! Ibu pasti haus." Tanpa menjawab Pak Guru yang kulupa namanya itu, menjejalkan botol minuman yang sudah dibuka tutupnya itu ke tanganku.

Tanpa berkata apa-apa aku langsung menyesap minuman itu, hingga tinggal setengahnya. Ternyata aku memang haus, terbukti ada sedikit rasa lega ketika minuman melewati tenggorokan, dan memenuhi lambungku.

"Sudah enakan?" Aku mengangguk pelan. "Ibu istirahat saja dulu, kalau sudah mendingan nanti kita ke ruangan Dinda," lanjutnya setelah melihatku seperti orang linglung.

"Dinda mengalami kecelakaan, dan Ibu pingsan di pinggir jalan. Kami pihak sekolah memutuskan membawa kalian berdua ke rumah sakit terdekat. Dinda mengalami benturan di kepala, mengenai parah dan tidaknya saya sendiri belum tahu. Saya belum bertemu dokter, dan belum mendapatkan penjelasan apa-apa." Tanpa diminta Pak Guru Rifan menjelaskan kronologi kejadian yang menimpa Dinda.

Kalau yang itu aku masih ingat betul, Dinda berlari sambil menangis, lalu sebuah angkot menabraknya. Hingga Dinda terkapar di atas aspal.

"Oh, ya, kita belum kenalan tadi. Saya Rifan, wali kelas Dinda. Nanti kita akan sering ketemu di acara penerimaan rapot ya, Bu." Laki-laki tersenyum ramah sambil mengulurkan tangan.

Aku merasa laki-laki ini sengaja menyembunyikan sesuatu, dengan bersikap ramah dan mengalihkan pembicaraan.

"Apa yang terjadi dengan Dinda, Pak?" Kejarku.

"Dinda mengalami kecelakaan, Bu."

"Bukan yang itu. Yang saya tanyakan, apa yang terjadi di sekolah, kenapa Dinda nangis-nangis hingga menyebabkan kecelakaan terjadi?" Laki-laki menghela nafas.

"Dinda dibuli teman-temannya, Bu. Entah siapa yang memulai, yang jelas satu kelas meledak Dinda 'anak pel*cur'."

Kini aku mengerti, kenapa Dinda menolak aku antar jemput. Kenapa Dinda bilang malu punya Mama aku. Ternyata profesi asliku sudah sampai di telinga Dinda. Ini yang aku takutkan.

Yang bersekolah di sekolah Dinda memang kebanyakan anak-anak dari komplek ku, mungkin mereka mendengar dari orang tua mereka, dan menyebarkannya di sekolah. Jelas Dinda malu, dikatain anak pela*ur.

"Sebenarnya ini bukan pertama kalinya terjadi, saya sudah menasehati anak-anak untuk tidak lagi membully Dinda. Tapi entah kenapa anak-anak tidak mau mendengar nasehat saya. Kejadiannya saat jam istirahat, Bu. Jadi saya tidak berada di kelas, semua yang terjadi diluar kuasa saya. Sebagai guru, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, karena kelalaian saya Dinda mengalami tindakan yang tidak menyenangkan," ucap Pak Rifan panjang lebar.

Rahasia yang kusembunyikan selama bertahun-tahun akhirnya terbongkar, aku harus apa? Harus bagaimana menjelaskan pada Dinda setelah dia sadar nanti? Apa dia bisa menerima alasanku?

"Ya Tuhan.... Tolong aku. Bantu aku menghadapi masalah ini, Tuhan ...." Doaku dalam hati. Tapi apakah doa pendosa sepertiku didengar oleh Tuhan?

Bersambung ....

Bab terkait

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 4

    Aku masih duduk di samping brangkar di mana Adinda terbaring, dengan selang menancap dibeberapa bagian tubuhnya. Sejak tadi aku hanya bisa menangis sambil terus menggenggam erat tangannya. Dinda sudah menjalani operasi, tapi dia belum sadar juga padahal sudah hampir lima jam aku menunggu. Mata Dinda masih saja Terpejam, membuat aku seperti kehilangan harapan. Aku merasa dunia sudah begitu tak adil padaku. Kenapa hidupku selalu di rundung masalah? Kenapa? Apa pendosa sepertiku tak pantas bahagia? Tiba-tiba ingatanku kembali ke masa lalu, masa dimana tiba-tiba Dinda hadir dalam hidupku, saat usiaku begitu belia, saat aku belum siap mengadapi kejamnya dunia. "Rey, aku hamil." Sambil berkata aku menunjukkan test pack bergaris dua milikku pada Reynald pacarku. Kami sudah menjalin hubungan cinta sejak kelas 11, kini saat ujian kelulusan di depan mata, aku mendapati kenyataan diri ini berbadan dua. Wajah Rey mendadak pucat, bahkan tangannya tremor saat mengambil test pack dari genggaman

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-16
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 5

    "Mey! Sekali lagi Umi tanya. Siapa laki-laki yang sudah menghamili kamu, Mey!" Suara Umi tak lagi terdengar lembut, melainkan melengking tinggi saking jengkelnya karena dari tadi aku hanya membisu. "Mey! Jawab Mey! Kamu tidak bisa terus-terusan nutupin identitas baj*ng*n itu, Mey!" Bukannya menjawab, tangisku justru semakin kencang. "Plak!" Tamparan Umi mendarat di pipiku, perih dan panas itu yang kurasakan, tapi itu tak sebanding dengan sakit yang dirasakan Umi. Karena anak gadisnya hamil di luar nikah. Umi sampai menamparku, itu berarti aku sudah membuat kesalahan yang tidak bisa dimaafkan. Ingin sekali aku mengatakan bahwa Rey lah laki-laki itu, tapi mengingat penolakannya waktu itu membuatku memilih bungkam. "Katakan, Mey, katakan! Jangan hanya membisu kamu!" Umi mencengkeram bahuku, dan mengguncangnya kasar. "Kamu mau bunuh Umi, Mey. Bunuh Umi saja, Mey! Bunuh! Daripada kamu permalukan kami seperti ini!" Umi berkata sambil menangis tersedu. Aku masih bergeming, mulutku terk

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-16
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 6

    "Abah .... " Umi menghambur ke pelukan Abah, begitu sadar dari pingsannya.Umi sudah berada di kamarnya sendiri sekarang. Saat jatuh pingsan tadi, Abah segera membawa Umi keluar dari kamarku. Abah yang tidak tahu apa-apa terlihat bingung, demi menenangkan kekasih hatinya, Abah balas memeluk Umi dan mengelus lembut punggungnya. Membiarkan Umi menumpahkan tangisnya di sana. "Sekarang cerita! Kenapa Umi sampai pingsan tadi? Ada apa?" Tanya Abah setelah Umi terlihat lebih tenang. "Yang menghamili Mey ternyata --- ternyata ---" Tangis Umi kembali pecah. Abah menghela nafas, melepas beban yang menyesakkan dadanya. Hari ini terlalu banyak kejadian yang mengejutkan pria penuh wibawa itu. Kejutan yang tak pernah Abah ingin kan tentu saja. "Ternyata apa, Mi? Ngomong yang bener! Kalau kamu nangis terus begini, kepala Abah tambah pusing," gumam Abah sambil terus mengelus punggung Umi, sementara tangan lainnya digunakan untuk memijit keningnya. "Laki-laki baj*ngan itu, ter --- ternyata anak

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-17
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 7

    Meski susah payah, akhirnya kaleng berbentuk tabung itu berhasil kubuka. Tanpa pikir panjang kutenggak cairan itu hingga hampir tandas. Pahit getir menyapa lidah, tapi tak menyurutkan niatku untuk menghabiskannya. Belum hilang rasa pahit yang menyiksa lidah, tiba-tiba dadaku terasa sesak leherku seperti tercekik. Aku kesulitan bernafas, mata berkunang-kunang kepala pusing luar biasa. Hingga semua menjadi gelap, aku tak ingat apa-apa lagi. "Mey ...!" Hanya teriakan histeris Umi yang kuingat terakhir kali, sebelum kesadaranku benar-benar hilang. Perlahan aku membuka mata, hal pertama yang tertangkap indera penglihatanku adalah ruangan serba putih. Seketika aku berfikir, bahwa aku berada di alam lain. Tapi bau obat yang menusuk hidung membuatku sadar, aku tengah berada di rumah sakit. Di tanganku tertancap selang infus, begitu juga hidungku yang terdapat selang alat bantu nafas. Padahal aku berharap mati saja, daripada hidup hanya menjadi aib dan beban orang tua. Tapi rupanya Allah b

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-17
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 8

    Umi dan Abah benar-benar membuktikan ucapan mereka. Setelah kesehatanku pulih, aku langsung di kirim ke rumah Mbah Putri yang terletak di kaki gunung Slamet. Bahkan kami langsung berangkat dari rumah sakit, tidak mampir dulu ke rumah. Rupanya Abah dan Umi sudah mempersiapkan semua. Meski tak ingin, mau tak mau harus tinggal di sini tanpa bisa menolak. Menyembunyikan diri sekaligus menyembunyikan aib. Kini aku sadar, nama baik dan harga diri keluarga lebih dari segalanya bagi kedua orang tuaku. Bahkan dari aku, anak kandungnya. Selama perjalanan ke rumah Mbah Putri suasana di malam mobil sangat hening, hanya suara murottal dari tape mobil saja yang terdengar. Mereka tenggelam dalam fikiran masing-masing. "Ingat Mey! Jaga diri baik-baik, jaga sikap, jaga nama baik keluarga. Kejadian ini harus kamu jadikan pelajaran! Umi tidak mau dengar laporan kamu melakukan kesalahan lagi!" Pesan Umi sebelum meninggalkanku di rumah Mbah Putri. Sementara Abah, hanya diam tak bersuara. Sejak percoba

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-23
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 9

    Aku hanya bisa menangis tergugu, meratapi nasib malang akibat kesalahanku sendiri. "Sudah, Ning. Jangan nangis terus, tangis Ning hanya memperberat langkah Abah di alam sana." Mbak Khalifah terus menghiburku, tapi itu tidak berarti apa-apa. Aku sedih, benar-benar sedih. Saat abahku berpulang, aku tidak diijinkan pulang sekedar melihat jenazahnya untuk terakhir kali. Mbah Putri melarang ku ikut, karena perutku sudah sangat besar akan jadi bahan gunjingan di sana. Nanti kasihan Abah. Begitu kata Mbah Putri. Usia kandunganku sudah menginjak 39 minggu, sudah dekat dekat HPL. Meski memaksa ikut, Mbah Putri tetap bersikeras melarang. "Abahmu pesen. Apapun yang terjadi, jangan sampai ada yang tahu kehamilanmu," ujar Mbah Putri karena aku terus merengek minta ikut. "Tapi, Mbah. Aku ini anaknya." Aku berusaha memprotes tapi, berharap Mbah Putri luluh, tapi wanita sepuh itu tetap pada pendiriannya. Aku tak boleh ikut, karena akan membuka aib yang mati-matian mereka tutupi. Akhirnya Mbah

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-24
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 10

    Mungkin Umi sudah kebelet tapi sungkan membangunkanku, hingga beliau nekat ke kamar mandi sendiri. Dan akhirnya jatuh. Aku masih tak tahu harus melakukan apa. Minta tolong tetangga untuk membawa Umi ke rumah sakit? Rasanya tidak mungkin, selain sikap tetangga yang tak ramah, uang dari mana untuk membayar biaya rumah sakit? Sedangkan aku hanya memegang uang yang tak seberapa. Kalau akhirnya Umi terpaksa dirawat, siapa yang menjaganya nanti? Tak mungkin aku meninggalkan anakku sendirian di rumah, sedangkan di rumah sakit tidak boleh membawa anak kecil. Aku benar-benar pusing memikirkan semuanya sendiri, rasanya pengen nangis pengen menjerit, tapi sadar semua itu tidak akan menyelesaikan masalah. Abizar sudah ku hubungi, berharap dia pulang agar ada yang membantuku menjaga dan merawat Umi, dan yang terpenting ada yang diajak musyawarah kalau ada masalah seperti ini. Tapi Abizar baru bisa pulang besok, namanya naik angkutan umum perjalanannya memakan waktu lebih lama. Aku membaringka

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-24
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 11

    Saat terbangun aku sudah terbaring di tempat tidur, di sisiku nampak wanita awal empat puluh tahunan berdiri. "Syukur, kamu sudah sadar. Saya sampai panik tadi, melihat kamu tergeletak di depan mobil saya. Kamu itu gimana, sih? Nggak lihat ada mobil lewat, apa? Untung mobil saya remnya pakem, kalau tidak kamu sudah keplindes tadi! Hampir saja saya dimasa sama warga gara-gara, kamu! Sekarang gimana? Ada yang sakit, nggak? Pusing, nggak? Kamu baik-baik saja, kan? Nggak gegar otak, kan?" Cerocos wanita cantik bernampilan modis yang berdiri di samping tempatku berbaring. Aku yang belum sadar sepenuhnya hanya bisa manatap dia dengan tatapan bingung, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi sebelum aku terbaring di sini. Ah ya, aku ingat sekarang. Aku sengaja menyebrang saat ada mobil yang melintas, berharap tertabrak dan langsung mati di tempat, agar tak lagi merasakan kepahitan hidup. Mungkin Nyonya pemilik mobil itu.Tapi seingatku aku menyebrang sambil menggendong Adinda, sekarang

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-24

Bab terbaru

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 99

    "Gantengnya cucu Eyang ...." Umi berkata sambil menimang putraku, yang baru kulahirkan beberapa jam yang lalu itu. Cucu pertamanya, cucu yang sudah dia nanti bertahun-tahun lamanya. "Wes, diborong Rahman semua ini, Mey. Kamu nggak kebagian apa-apa. Plek ketiplek bapaknya waktu masih bayi," lanjut Umi, tanpa mengalihkan pandangannya pada bayiku. Meski ada iri menelusup di hati, karena wajah anakku yang ternyata sangat mirip bapaknya. Tapi juga bahagia sekaligus bangga, bisa memberi anak pada suami, dan cucu untuk mertuaku, dengan wajah yang identik dengan wajah mereka. "Kalian sudah siap nama, kan?""Sudah, Mi," jawabku singkat. Aku belum berani banyak bicara, luka bekas operasi masih begitu nyeri, kalau aku bergerak sedikit saja. Bahkan aku belum berani bicara banyak, karena takut. "Siapa?""Alfarisqi Rahman, Mi. Panggilannya Alfa." Umi baru datang setelah operasi selesai. Karena tak mau ambil resiko, karena kesehatan Umi sering bermasalah. Kami berangkat ke rumah sakit sendiri.

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 98

    Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 97

    Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 96

    Tiga bulan berlalu, perutku mulai terlihat membuncit. Meski tak separah di Tri semester pertama, aku masih merasakan mual di pagi hari. Sebenarnya aku ingin beraktivitas, biar kehamilan ini tidak terlalu manja ini kehamilan kedua, harusnya aku kuat dan lebih siap, kan. Lagi pula aku juga sudah bosan kalau harus bad rest terus. Tapi Mas Rahman melarang. Katanya, "aku tidak mau anakku kenapa-napa, jangan ambil resiko!" Kalau aku ngeyel. "Dengan beraktivitas janin akan lebih sehat, Mas. Aku juga nggak stress dikurung terus." Tapi apa jawabnya? "Dah, nurut aja! Nggak usah banyak protes! Ini semua demi anak kita. Berkorban sedikit apa susahnya, sih?" Ternyata, perlakuan manis Mas Rahman hamil bukan untukku, tapi untuk anaknya. Dasar laki-laki, mau enaknya sendiri! Untung sayang. "Mas, capek. Pijitin!" Kuletakkan kedua kakiku di atas pangkuan Mas Rahman, yang sedang sibuk dengan laptopnya, memeriksa laporan keuangan show room. Tanpa bicara, Mas Rahman menutup laptopnya dan meletakkan di

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 95

    "Dibilang males, ngeyel!" Mas Rahman terkekeh. "Mas Rahman menyembunyikan sesuatu, ya?" Todongku. Aku sudah nggak betah menahan rasa penasaran, dari tadi sikap Mas Rahman mencurigakan. "Mau tahu aja, apa mau tahu banget?" Selorohnya. Aku mencebik kesal, tawa Mas Rahman makin menjadi. "Sus, tadi sudah dikasih tahu belum?" Mas Rahman bertanya pada Suster Lusi. "Belum, Pak. Nggak berani saya." Sebenarnya rahasia apa yang mereka sembunyikan, sih? Aku benar-benar kepo! "Sekarang aja, Sus!" Usai Mas Rahman berkata, Suster Lusi berjalan ke arah pintu. Aku menatap bingung suamiku, tapi dia hanya senyum penuh arti, membuat rasa penasaran di hati makin menjadi. Kami masih saling tatap ketik dari terdengar suara riuh dari arah pintu. "Surprise....! Selamat ulang tahun ...." Sontak aku menoleh ke sumber suara. Di sana ada Umi dan Dinda, mereka datang membawa buket bunga. Sementara Suster Lusi membawa kue tart yang di atasnya terdapat lilin angka, yang sudah menyala. Speechless, itu ya

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 94

    Pertama kali membuka mata, ruangan serba putih menyapa indera penglihatanku. Tanpa perlu dijelaskan, aku tahu sedang berada di ruang perawatan. Bau obat dan selang infus yang menancap di punggung tanganku, jawabannya. Apa ada masalah dengan lukaku? Infeksi? Atau kenapa? Pertanyaan itu memenuhi kepalaku, tapi aku tidak merasakan apa-apa di area itu. Pertanyaan-pertanyaan itu masih berputar-putar di kepalaku, hingga pintu terbuka dan menampilkan sosok wanita berseragam serba hijau menghampiriku. "Alhamdulillah .... Bu Rahman sudah siuman. Apa yang dirasakan, Bu? Masih pusing?" Tanya wanita bertag name Lusi itu, ramah. "Sedikit, Sus. Suami saya mana, ya? Kok nggak keliahatan?" Aku tak menemukan Mas Rahman ketika sadar tadi, dan sampai sekarang pun laki-laki itu kunjung muncul. Tak biasanya dia meninggalkan aku sendiri kalau sedang sakit, apalagi ini di rumah sakit. "Pak Rahman ijin pulang sebentar, Bu. Mengambil baju ganti katanya, dan beliau menitipkan Ibu pada saya," jelas wanita

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 93

    Umi menyambut antusias kedatangan kami, tapi Dinda justru bersikap sebaliknya Dia menampakkan wajah cemberut, tak bersemangat dan malas-malasan membantu membawa barang-barangku. "Yang punya hajat itu suadaramu yang mana sih, Mey? Kok kamu nggak pernah cerita? Pakai ngelarang aku nyusul pula, kan nggak enak sebagai besan nggak ikut hadir di acara mereka," cerca Umi begitu aku masuk rumah. Saat aku mengabari tak bisa pulang, dengan alasan ada suadara umiku yang punya hajat, Umi memaksa datang. Katanya demi menjaga tali silaturahim, tapi aku melarangnya. Alasannya rumahnya jauh dan pelosok, nanti Umi nyasar. Padahal nggak ada saudaraku yang punya hajat, itu semua hanya kebohongan demi menutupi fakta yang sebenarnya terjadi. Mana ada saudara Umi yang ingat aku? Di mata mereka aku ini hanya aib. "Sepupu jauh Umi saya, Mi. Mereka tinggal di pelosok, Mi. Aku sudah memberi amplop mereka, dan mengatakan itu dari Umi, " bohongku. Pepatah yang mengatakan sekali orang berbohong, maka akan ter

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 92

    Setelah tiga hari di rawat di rumah sakit Solo, akhirnya kami diijinkan pulang. Meski melalui drama pulang paksa, karena menurut dokter lukaku belum pulih benar. Tapi kami memaksa pulang, toh ini hanya luka luar bukan luka dalam yang mengkhawatirkan. Aku tak mungkin berlama-lama di Solo, sementara di rumah Umi cemas menanti kami. Ada Dinda yang butuh kami. Juga kasihan Mas Rahman yang harus bolak-balik Solo-Semarang, Semarang- Solo. Mas Rahman tak mungkin meninggalkan pekerjaannya. Oh ya, kami terpaksa menyembunyikan keadaan yang sebenarnya dari Umi, karena tak mau wanita jelang enam puluh tahun itu khawatir dan kepikiran. Mas Rahman terpaksa berbohong, mengatakan ada keluargaku yang punya hajat dan memaksaku nginep di sana. Padahal keluargaku yang di Solo sudah lama tak menganggapku ada. Sementara pada Dinda, aku mengatakan kalau masih ada urusan di Solo. Selama dirawat di Solo, ibunya Bu Naya dua kali menjengukku. Beliau berkali-kali minta maaf atas kesalahan anaknya, tapi anehnya

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 91

    Rupanya kesabarannya sudah habis untuk menghadapiku, kini dia mulai main kasar. Tak ada lagi sikap anggun dan kemayu yang selama ini melekat dalam dirinya. Bu Naya sama sekali berubah. "Uang apa? Bu Naya bilang butuh uang untuk melunasi biaya pengobatan, kenapa sekarang malah menolak? Bahkan melarang saya ketemu Reza. Sekarang saya jadi curiga, jangan-jangan Bu Naya .... " Ucapanku terhenti, karena aku merasa ada benda runcing yang dingin menempel di pinggangku. Tubuhku kaku seketika, otakku memberi sinyal bahaya. Aku ingin teriak dan minta tolong, tapi sayangnya rasa perih dan nyeri luar biasa tiba-tiba menyergap, membuat otakku buntu seketika. "Mey!" Samar kudengar namaku diteriakkan, setelah itu semua menjadi gelap. * * * * * * * * *Bau obat menyengat menyapa indera penciuman, memaksaku membuka mata demi mengetahui dimana aku berada sekarang. Ruangan serba putih menjadi pemandangan pertamaku, hingga akhirnya mataku terbuka sempurna. Lamat-lamat kuingat kejadian sebelum akhirn

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status