"Mas, jujur. Kamu sudah lama tahu kalau Abah menikah lagi?" Mas Rahman terlihat kaget, sepertinya dia tidak menyangka aku akan bertanya seperti itu. "Aku .... Aku .... " Mas Rahman tergagap mendengar pertanyaanku. Melihat itu aku semakin yakin, kalau sebenarnya Mas Rahman tahu Abah punya istri lagi. Dasar laki-laki, untuk urusan begituan pasti saling dukung. Apa ini sebabnya Abah dulu begitu mendukung Mas Rahman menikahiku? Tak peduli Umi mati-matian menentang. Orang kartu As nya dipegang Mas Rahman. Licik memang. "Mey, dengar dulu penjelasanku! Ini tidak seperti yang kamu sangka," mohon Mas Rahman dengan wajah melas. Karena terlanjur kecewa dan tak ingin mendengar kalimat pembelaan, aku memilih bangkit dan duduk di dekat ranjang Umi. Wanita itu nampak tertidur pulas. Kalau sebelumnya aku sering merasa kesal, entah mengapa sekarang terbit iba di hatiku. Sebagai sesama wanita, aku merasa ikut tersakiti mendengar Abah menikah lagi. Aku jadi mikir, apa Mas Rahman akan melakukan hal y
"Mey!" Aku melengos, lalu menjauh dari laki-laki bergelar suamiku itu. Ya, sejak obrolan sore itu aku mendiamkan Mas Rahman. Jujur aku gondok banget sama dia. Kok bisa-bisanya mendukung Abah menikah lagi? Apa dia nggak kasihan sama Umi? Jangan-jangan dia mendukung Abah, karena dia juga punya niat melakukan hal sama. Dasar, semua laki-laki sama saja! Pemuja selan*****an."Udah dong, ngembeknya .... Aku minta maaf." Suara itu terdengar begitu memelas. Tapi aku tidak luluh begitu saja. Ini bentuk solidaritas sesama perempuan, kalau ada kaum kami tersakiti yang lain merasa terluka. Aku menuju lemari, mengambil pakaian dan memasukkannya ke dalam tas. Bersiap ke rumah sakit karena hari ini giliranku jaga. Tanpa mempedulikan Mas Rahman yang terus saja merengek, macam anak kecil minta mainan sama emaknya.Aku, Abah, dan Mas Rahman sepakat bergiliran, menjaga Umi selama di rawat di rumah sakit. Karena kami harus kerja, tak mungkin jaga bareng-bareng. Lagi pula kebijakan rumah sakit hanya men
Setahun berlalu, kondisi Umi sudah mengalami banyak kemajuan. Wajahnya lebih segar, sinar matanya lebih hidup. Bahkan beliau sudah bisa berjalan meski masih tertatih-tatih, ini berkat terapi yang beliau jalani, serta semangat untuk sembuh yang tinggi. "Aku tidak mau terlihat menyedihkan, Mey. Meski hati hancur, aku tidak mau orang menatapku dengan tatapan iba. Aku tak mau dikasihani." Begitu ucap Umi kala pertama kali menjalani terapi. Setahun merubah banyak hal, termasuk hubunganku dengan Umi. Yang dulunya seperti anjing dan kucing, kini jadi seperti ibu dan anak. Kalau orang yang tidak mengenal kami, mungkin dikiranya aku anak kandung Umi, bukan menantunya. "Iya, Mi. Umi harus kembali seperti sedia kala, kan, lebih enak kalau Umi bisa menjalani aktivitas tanpa keterbatasan," ucapku menyemangati. Mungkin karena setiap hari aku yang merawat Umi, menyediakan semua kebutuhannya. Kami jadi lebih dekat. Yang lebih menyenangkan dari semua ini, Umi tak memikirkan Abah yang punya istri
Aku baru akan menyebut angka, ketika suara bariton memaksaku menatapnya. "Jadi kalian masih ketemuan di belakangku?""Ma---Mas Rahman, i--ini tidak seperti yang kamu pikirkan." Aku tergagap saat berkata, seperti maling yang tertangkap basah sedang mencuri. "Sudah selesai, kan? Ayo pulang!" Suaranya terdengar begitu tegas, nampak sekali kalau suamiku ini tidak mau dibantah. Kemudian, Mas Rahman maju dan menarik tanganku. Memang sedikit keras, tapi tidak kasar."Nggak usah kasar, Bro. Woles aja!" Rey cari gara-gara. Dia berkata seperti itu sambil tersenyum sinis, sebuah tindakan yang bisa diartikan sebagai tantangan. Untuk beberapa saat dua laki-laki itu saling tatap, dengan sorot yang sama-sama mengerikan. Sungguh aku takut. Takut kalau keduanya hilang kendali. Sebagai istrinya, aku paham betul Mas Rahman sudah berusaha menekan emosinya, agar tidak terjadi kegaduhan. Tapi dengan tak tahu dirinya Rey memancing keributan. Ya Allah .... Apa yang harus kulakukan? Tak ingin apa yang
"Mey!" Suara yang sangat kukenal itu lantang menyerukan namaku. Duh, orang ini. Kok nggak ada kapok-kapoknya, padahal Mas Rahman sudah memperingatkan dia agar tidak lagi mendekatiku. Dia masih penasaran rupanya. Gegas aku mendorong kursi roda Umi menuju pintu keluar, tanpa mempedulikan panggilan itu. Cukup sekali aku berseteru dengan suamiku gara-gara dia. Aku tak ingin kejadian tempo hari terulang lagi. Aku nggak mau Mas Rahman ngambek lagi. Kemarin aku diamkan berhari-hari, hanya karena memenuhi keinginannya untuk bicara. Meski hari ini Mas Rahman tidak bisa menjemput kami, dan meminta kami naik taksi. Aku tetap harus hati-hati, kan. Apalagi sekarang aku sedang bersama Umi. Beliau bisa mengadukan kejadian ini pada anaknya. Dan kesalah pahaman kembali terjadi, kalo sudah begitu aku yang rugi. Sebenarnya aku sudah meminta Umi pindah rumah sakit, untuk melanjutkan terapinya. Atau melakukan terapi di rumah saja. Toh kondisi sudah jauh lebih baik, meski masih pelan, Umi sudah bisa
"Lalu, apa maksud dan tujuannya mengajakmu bicara berdua? Apa dia mau ngajak balikan? Apa itu juga yang menjadi alasan kamu menunda kehamilan?" Duh, kenapa masalahnya malah melebar kemana-mana? Siapa yang menunda kehamilan? Kalau aku diberi pilihan, tentu aku ingin hamil secepatnya, memeberikan keturunan pada suamiku yang bisa menjadi perekat pernikahan kami. Tapi kalau Allah belum memberi kepercayaan aku bisa apa? Memang kami berdua belum memeriksakan kesehatan, bukan karena tidak mau, tapi kami berdua memang sibuk. Masih ditambah harus mengurus Umi yang sakit, dan sempat lumpuh. Kami tak ada waktu itu. "Kenapa diam, Mey?" Sentak Umi, karena aku tak segera menjawab. Aku harus menjelaskan sejelas-jelasnya pada Umi, agar tidak semakin salah paham. "Rey mengajak saya bicara berdua, karena ingin menebua kesalahannya di masa lalu, Mi. Saya pernah cerita, kalau lelaki yang menghamili saya menolak bertanggung jawab, kan?" Umi mengangguk. "Menebus kesalahan yang bagaimana?""Dia ingin
Dulu, aku beranggapan perempuan yang melabrak suaminya yang sedang selingkuh itu lebai. Buat apa buang-buang waktu untuk mengurusi hal sepele seperti itu? Kalau masih cinta, ya bertahan! Terima resiko punya suami tukang selingkuh, tukang main perempuan. Kalau sudah tidak tahan, ya sana! Ke pengadilan agama saja! Tuntut cerai! Habis perkara. Nggak usah banyak drama! Main labrak seenaknya, bikin malu saja! Sekarang fikiranku terbuka, semua berbeda ketika statusku sudah menjadi istri sah. Melihat suamiku berduaan dengan wanita lain saja hatiku terluka, apalagi kalau sampai aku menyaksikan sendiri suami selingkuh, main sama pel*cur. Aku nggak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hatiku. Entah Mas Rahman sedang membahas urusan bisnis, atau memang ada affair dengan wanita itu. Yang jelas saat ini hatiku benar-benar terluka. Tapi melihat posisi mereka duduk tadi, siapapun pasti curiga kalau keduanya ada affair. Saat memutuskan menerima pinangan Mas Rahman, aku berharap menjadi istri satu
"Kondisi rahimnya bagus, sehat, nggak ada masalah," ucap Dokter Obsgin yang memerisaku. Akhirnya kami berdua memeriksakan kesehatan organ reproduksi kami, demi menjalani program kehamilan. Menikah dua tahun tanpa momongan, membuat kami kadang lelah dan bosan menjawab pertanyaan dari banyak pihak. Entah itu keluarga, teman, atau kenalan Mas Rahman. Sudah isi, belum? Itu bukan kalimat yang menyenangkan untuk didengar, menurut kami. "Hasil pemeriksaan Bapak fertil, kan?" Kami kompak mengangguk. "Itu berarti kalian berdua subur." Sebelum periksa ke dokter Obsgin, Mas Rahman terlebih dulu periksa ke androlog. Memastikan dirinya subur. "Tapi kenapa istri saya nggak kunjung hamil, Dok? Padahal bikin tiap hari, lho." Duh, rasanya ingin menenggelamkan diri ke sungai Amazone tanpa pernah muncul lagi. Segala bikin tiap hari diomongin. Kalau memang iya, nggak perlu juga dibicarakan. Malu, Bambang! Lagipula, mana ada bikin tiap hari? Tiap bulan tamu bulananku rutin datang, emang pas aku lagi