Share

Bab 51

last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-23 20:04:42

"Mey!" Aku melengos, lalu menjauh dari laki-laki bergelar suamiku itu.

Ya, sejak obrolan sore itu aku mendiamkan Mas Rahman. Jujur aku gondok banget sama dia. Kok bisa-bisanya mendukung Abah menikah lagi? Apa dia nggak kasihan sama Umi? Jangan-jangan dia mendukung Abah, karena dia juga punya niat melakukan hal sama. Dasar, semua laki-laki sama saja! Pemuja selan*****an.

"Udah dong, ngembeknya .... Aku minta maaf." Suara itu terdengar begitu memelas. Tapi aku tidak luluh begitu saja. Ini bentuk solidaritas sesama perempuan, kalau ada kaum kami tersakiti yang lain merasa terluka.

Aku menuju lemari, mengambil pakaian dan memasukkannya ke dalam tas. Bersiap ke rumah sakit karena hari ini giliranku jaga. Tanpa mempedulikan Mas Rahman yang terus saja merengek, macam anak kecil minta mainan sama emaknya.

Aku, Abah, dan Mas Rahman sepakat bergiliran, menjaga Umi selama di rawat di rumah sakit. Karena kami harus kerja, tak mungkin jaga bareng-bareng. Lagi pula kebijakan rumah sakit hanya men
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 52

    Setahun berlalu, kondisi Umi sudah mengalami banyak kemajuan. Wajahnya lebih segar, sinar matanya lebih hidup. Bahkan beliau sudah bisa berjalan meski masih tertatih-tatih, ini berkat terapi yang beliau jalani, serta semangat untuk sembuh yang tinggi. "Aku tidak mau terlihat menyedihkan, Mey. Meski hati hancur, aku tidak mau orang menatapku dengan tatapan iba. Aku tak mau dikasihani." Begitu ucap Umi kala pertama kali menjalani terapi. Setahun merubah banyak hal, termasuk hubunganku dengan Umi. Yang dulunya seperti anjing dan kucing, kini jadi seperti ibu dan anak. Kalau orang yang tidak mengenal kami, mungkin dikiranya aku anak kandung Umi, bukan menantunya. "Iya, Mi. Umi harus kembali seperti sedia kala, kan, lebih enak kalau Umi bisa menjalani aktivitas tanpa keterbatasan," ucapku menyemangati. Mungkin karena setiap hari aku yang merawat Umi, menyediakan semua kebutuhannya. Kami jadi lebih dekat. Yang lebih menyenangkan dari semua ini, Umi tak memikirkan Abah yang punya istri

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-24
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 53

    Aku baru akan menyebut angka, ketika suara bariton memaksaku menatapnya. "Jadi kalian masih ketemuan di belakangku?""Ma---Mas Rahman, i--ini tidak seperti yang kamu pikirkan." Aku tergagap saat berkata, seperti maling yang tertangkap basah sedang mencuri. "Sudah selesai, kan? Ayo pulang!" Suaranya terdengar begitu tegas, nampak sekali kalau suamiku ini tidak mau dibantah. Kemudian, Mas Rahman maju dan menarik tanganku. Memang sedikit keras, tapi tidak kasar."Nggak usah kasar, Bro. Woles aja!" Rey cari gara-gara. Dia berkata seperti itu sambil tersenyum sinis, sebuah tindakan yang bisa diartikan sebagai tantangan. Untuk beberapa saat dua laki-laki itu saling tatap, dengan sorot yang sama-sama mengerikan. Sungguh aku takut. Takut kalau keduanya hilang kendali. Sebagai istrinya, aku paham betul Mas Rahman sudah berusaha menekan emosinya, agar tidak terjadi kegaduhan. Tapi dengan tak tahu dirinya Rey memancing keributan. Ya Allah .... Apa yang harus kulakukan? Tak ingin apa yang

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-25
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 54

    "Mey!" Suara yang sangat kukenal itu lantang menyerukan namaku. Duh, orang ini. Kok nggak ada kapok-kapoknya, padahal Mas Rahman sudah memperingatkan dia agar tidak lagi mendekatiku. Dia masih penasaran rupanya. Gegas aku mendorong kursi roda Umi menuju pintu keluar, tanpa mempedulikan panggilan itu. Cukup sekali aku berseteru dengan suamiku gara-gara dia. Aku tak ingin kejadian tempo hari terulang lagi. Aku nggak mau Mas Rahman ngambek lagi. Kemarin aku diamkan berhari-hari, hanya karena memenuhi keinginannya untuk bicara. Meski hari ini Mas Rahman tidak bisa menjemput kami, dan meminta kami naik taksi. Aku tetap harus hati-hati, kan. Apalagi sekarang aku sedang bersama Umi. Beliau bisa mengadukan kejadian ini pada anaknya. Dan kesalah pahaman kembali terjadi, kalo sudah begitu aku yang rugi. Sebenarnya aku sudah meminta Umi pindah rumah sakit, untuk melanjutkan terapinya. Atau melakukan terapi di rumah saja. Toh kondisi sudah jauh lebih baik, meski masih pelan, Umi sudah bisa

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-26
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 55

    "Lalu, apa maksud dan tujuannya mengajakmu bicara berdua? Apa dia mau ngajak balikan? Apa itu juga yang menjadi alasan kamu menunda kehamilan?" Duh, kenapa masalahnya malah melebar kemana-mana? Siapa yang menunda kehamilan? Kalau aku diberi pilihan, tentu aku ingin hamil secepatnya, memeberikan keturunan pada suamiku yang bisa menjadi perekat pernikahan kami. Tapi kalau Allah belum memberi kepercayaan aku bisa apa? Memang kami berdua belum memeriksakan kesehatan, bukan karena tidak mau, tapi kami berdua memang sibuk. Masih ditambah harus mengurus Umi yang sakit, dan sempat lumpuh. Kami tak ada waktu itu. "Kenapa diam, Mey?" Sentak Umi, karena aku tak segera menjawab. Aku harus menjelaskan sejelas-jelasnya pada Umi, agar tidak semakin salah paham. "Rey mengajak saya bicara berdua, karena ingin menebua kesalahannya di masa lalu, Mi. Saya pernah cerita, kalau lelaki yang menghamili saya menolak bertanggung jawab, kan?" Umi mengangguk. "Menebus kesalahan yang bagaimana?""Dia ingin

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-27
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 56

    Dulu, aku beranggapan perempuan yang melabrak suaminya yang sedang selingkuh itu lebai. Buat apa buang-buang waktu untuk mengurusi hal sepele seperti itu? Kalau masih cinta, ya bertahan! Terima resiko punya suami tukang selingkuh, tukang main perempuan. Kalau sudah tidak tahan, ya sana! Ke pengadilan agama saja! Tuntut cerai! Habis perkara. Nggak usah banyak drama! Main labrak seenaknya, bikin malu saja! Sekarang fikiranku terbuka, semua berbeda ketika statusku sudah menjadi istri sah. Melihat suamiku berduaan dengan wanita lain saja hatiku terluka, apalagi kalau sampai aku menyaksikan sendiri suami selingkuh, main sama pel*cur. Aku nggak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hatiku. Entah Mas Rahman sedang membahas urusan bisnis, atau memang ada affair dengan wanita itu. Yang jelas saat ini hatiku benar-benar terluka. Tapi melihat posisi mereka duduk tadi, siapapun pasti curiga kalau keduanya ada affair. Saat memutuskan menerima pinangan Mas Rahman, aku berharap menjadi istri satu

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-28
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 57

    "Kondisi rahimnya bagus, sehat, nggak ada masalah," ucap Dokter Obsgin yang memerisaku. Akhirnya kami berdua memeriksakan kesehatan organ reproduksi kami, demi menjalani program kehamilan. Menikah dua tahun tanpa momongan, membuat kami kadang lelah dan bosan menjawab pertanyaan dari banyak pihak. Entah itu keluarga, teman, atau kenalan Mas Rahman. Sudah isi, belum? Itu bukan kalimat yang menyenangkan untuk didengar, menurut kami. "Hasil pemeriksaan Bapak fertil, kan?" Kami kompak mengangguk. "Itu berarti kalian berdua subur." Sebelum periksa ke dokter Obsgin, Mas Rahman terlebih dulu periksa ke androlog. Memastikan dirinya subur. "Tapi kenapa istri saya nggak kunjung hamil, Dok? Padahal bikin tiap hari, lho." Duh, rasanya ingin menenggelamkan diri ke sungai Amazone tanpa pernah muncul lagi. Segala bikin tiap hari diomongin. Kalau memang iya, nggak perlu juga dibicarakan. Malu, Bambang! Lagipula, mana ada bikin tiap hari? Tiap bulan tamu bulananku rutin datang, emang pas aku lagi

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-29
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 58

    "Umi gimana, Mey?" Mas Rahman menerobos masuk kamar Umi, dengan wajah panik. "Masih belum sadar, Mas. Padahal sudah aku baluri minyak kayu putih badannya, sudah dikasih ke hidungnya juga. Tapi, kok nggak sadar-sadar ya, Mas. Ini sudah setengah jam, lho," ucapku frustasi. "Bagaimana ceritanya, Umi sampai pingsan begini?" Mas Rahman yang kini duduk di sisi ranjang, tepat di samping Umi terbaring itu, menatapku dengan wajah khawatir. Begitu selesai mendapat telfon dari nomor tak dikenal tadi, Umi langsung mencercaku. "Dari siapa, Mey? Kenapa wajahmu jadi pucat begitu?" Aku sempat ingin merahasiakan kabar buruk ini, tapi Umi terus mendesak. "Apa yang kamu sembunyikan dari Umi, Mey?""Itu tadi telfon dari Mbak, eh, Bu Naya. Istri mudanya Abah." Aku sering bingung sendiri kalau mau manggil istri kedua Abah ini dengan sebutan apa? Mau manggil Bu, tapi usianya hanya selisih 5 tahun denganku. Mau manggil Mbak, rasanya tidak sopan. Dia itu istrinya Abah yang berarti mertuaku juga. "Untuk a

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-30
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 59

    Terdengar Mas Rahman menghela nafas panjang, yang aku tahu artinya bahwa ada beban berat yang disimpan Mas Rahman. Sikapnya ini sukses membuat pikiranku semrawut. "Kenapa, Mas? Abah baik-baik saja, kan?" "Abah kenapa, Mey?" Sela Umi dengan wajah khawatir. "Nggak pa-pa, Mi. Abah baik-baik saja," bohongku. Mendengar nada bicara Mas Rahman, aku tahu kondisi Abah menghawatirkan. Tapi aku tak ingin membuat Umi panik. "Aku mau bicara sama Rahman." Umi berusaha mengambil alih ponsel dari tanganku, tapi aku menepis lembut tangan Umi. Meski aku belum tahu pasti keadaan Abah, tapi dari nada bicara Mas Rahman, aku tahu Abah tidak baik-baik saja. Karena itu aku mau Umi tahu langsung dari Mas Rahman, bisa syok dia nanti. Biarlah nanti aku bicara pelan-pelan padanya. Meski sempat menolak, akhirnya Umi mengangguk juga. Karena tak ingin di dengar Umi, aku memutuskan keluar dari kamar Umi untuk bicara dengan Mas Rahman. "Ya, Mas. Gimana? Tadi Umi maksa mau bicara langsung sama kamu," aduku.Te

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-01

Bab terbaru

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 99

    "Gantengnya cucu Eyang ...." Umi berkata sambil menimang putraku, yang baru kulahirkan beberapa jam yang lalu itu. Cucu pertamanya, cucu yang sudah dia nanti bertahun-tahun lamanya. "Wes, diborong Rahman semua ini, Mey. Kamu nggak kebagian apa-apa. Plek ketiplek bapaknya waktu masih bayi," lanjut Umi, tanpa mengalihkan pandangannya pada bayiku. Meski ada iri menelusup di hati, karena wajah anakku yang ternyata sangat mirip bapaknya. Tapi juga bahagia sekaligus bangga, bisa memberi anak pada suami, dan cucu untuk mertuaku, dengan wajah yang identik dengan wajah mereka. "Kalian sudah siap nama, kan?""Sudah, Mi," jawabku singkat. Aku belum berani banyak bicara, luka bekas operasi masih begitu nyeri, kalau aku bergerak sedikit saja. Bahkan aku belum berani bicara banyak, karena takut. "Siapa?""Alfarisqi Rahman, Mi. Panggilannya Alfa." Umi baru datang setelah operasi selesai. Karena tak mau ambil resiko, karena kesehatan Umi sering bermasalah. Kami berangkat ke rumah sakit sendiri.

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 98

    Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 97

    Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 96

    Tiga bulan berlalu, perutku mulai terlihat membuncit. Meski tak separah di Tri semester pertama, aku masih merasakan mual di pagi hari. Sebenarnya aku ingin beraktivitas, biar kehamilan ini tidak terlalu manja ini kehamilan kedua, harusnya aku kuat dan lebih siap, kan. Lagi pula aku juga sudah bosan kalau harus bad rest terus. Tapi Mas Rahman melarang. Katanya, "aku tidak mau anakku kenapa-napa, jangan ambil resiko!" Kalau aku ngeyel. "Dengan beraktivitas janin akan lebih sehat, Mas. Aku juga nggak stress dikurung terus." Tapi apa jawabnya? "Dah, nurut aja! Nggak usah banyak protes! Ini semua demi anak kita. Berkorban sedikit apa susahnya, sih?" Ternyata, perlakuan manis Mas Rahman hamil bukan untukku, tapi untuk anaknya. Dasar laki-laki, mau enaknya sendiri! Untung sayang. "Mas, capek. Pijitin!" Kuletakkan kedua kakiku di atas pangkuan Mas Rahman, yang sedang sibuk dengan laptopnya, memeriksa laporan keuangan show room. Tanpa bicara, Mas Rahman menutup laptopnya dan meletakkan di

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 95

    "Dibilang males, ngeyel!" Mas Rahman terkekeh. "Mas Rahman menyembunyikan sesuatu, ya?" Todongku. Aku sudah nggak betah menahan rasa penasaran, dari tadi sikap Mas Rahman mencurigakan. "Mau tahu aja, apa mau tahu banget?" Selorohnya. Aku mencebik kesal, tawa Mas Rahman makin menjadi. "Sus, tadi sudah dikasih tahu belum?" Mas Rahman bertanya pada Suster Lusi. "Belum, Pak. Nggak berani saya." Sebenarnya rahasia apa yang mereka sembunyikan, sih? Aku benar-benar kepo! "Sekarang aja, Sus!" Usai Mas Rahman berkata, Suster Lusi berjalan ke arah pintu. Aku menatap bingung suamiku, tapi dia hanya senyum penuh arti, membuat rasa penasaran di hati makin menjadi. Kami masih saling tatap ketik dari terdengar suara riuh dari arah pintu. "Surprise....! Selamat ulang tahun ...." Sontak aku menoleh ke sumber suara. Di sana ada Umi dan Dinda, mereka datang membawa buket bunga. Sementara Suster Lusi membawa kue tart yang di atasnya terdapat lilin angka, yang sudah menyala. Speechless, itu ya

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 94

    Pertama kali membuka mata, ruangan serba putih menyapa indera penglihatanku. Tanpa perlu dijelaskan, aku tahu sedang berada di ruang perawatan. Bau obat dan selang infus yang menancap di punggung tanganku, jawabannya. Apa ada masalah dengan lukaku? Infeksi? Atau kenapa? Pertanyaan itu memenuhi kepalaku, tapi aku tidak merasakan apa-apa di area itu. Pertanyaan-pertanyaan itu masih berputar-putar di kepalaku, hingga pintu terbuka dan menampilkan sosok wanita berseragam serba hijau menghampiriku. "Alhamdulillah .... Bu Rahman sudah siuman. Apa yang dirasakan, Bu? Masih pusing?" Tanya wanita bertag name Lusi itu, ramah. "Sedikit, Sus. Suami saya mana, ya? Kok nggak keliahatan?" Aku tak menemukan Mas Rahman ketika sadar tadi, dan sampai sekarang pun laki-laki itu kunjung muncul. Tak biasanya dia meninggalkan aku sendiri kalau sedang sakit, apalagi ini di rumah sakit. "Pak Rahman ijin pulang sebentar, Bu. Mengambil baju ganti katanya, dan beliau menitipkan Ibu pada saya," jelas wanita

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 93

    Umi menyambut antusias kedatangan kami, tapi Dinda justru bersikap sebaliknya Dia menampakkan wajah cemberut, tak bersemangat dan malas-malasan membantu membawa barang-barangku. "Yang punya hajat itu suadaramu yang mana sih, Mey? Kok kamu nggak pernah cerita? Pakai ngelarang aku nyusul pula, kan nggak enak sebagai besan nggak ikut hadir di acara mereka," cerca Umi begitu aku masuk rumah. Saat aku mengabari tak bisa pulang, dengan alasan ada suadara umiku yang punya hajat, Umi memaksa datang. Katanya demi menjaga tali silaturahim, tapi aku melarangnya. Alasannya rumahnya jauh dan pelosok, nanti Umi nyasar. Padahal nggak ada saudaraku yang punya hajat, itu semua hanya kebohongan demi menutupi fakta yang sebenarnya terjadi. Mana ada saudara Umi yang ingat aku? Di mata mereka aku ini hanya aib. "Sepupu jauh Umi saya, Mi. Mereka tinggal di pelosok, Mi. Aku sudah memberi amplop mereka, dan mengatakan itu dari Umi, " bohongku. Pepatah yang mengatakan sekali orang berbohong, maka akan ter

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 92

    Setelah tiga hari di rawat di rumah sakit Solo, akhirnya kami diijinkan pulang. Meski melalui drama pulang paksa, karena menurut dokter lukaku belum pulih benar. Tapi kami memaksa pulang, toh ini hanya luka luar bukan luka dalam yang mengkhawatirkan. Aku tak mungkin berlama-lama di Solo, sementara di rumah Umi cemas menanti kami. Ada Dinda yang butuh kami. Juga kasihan Mas Rahman yang harus bolak-balik Solo-Semarang, Semarang- Solo. Mas Rahman tak mungkin meninggalkan pekerjaannya. Oh ya, kami terpaksa menyembunyikan keadaan yang sebenarnya dari Umi, karena tak mau wanita jelang enam puluh tahun itu khawatir dan kepikiran. Mas Rahman terpaksa berbohong, mengatakan ada keluargaku yang punya hajat dan memaksaku nginep di sana. Padahal keluargaku yang di Solo sudah lama tak menganggapku ada. Sementara pada Dinda, aku mengatakan kalau masih ada urusan di Solo. Selama dirawat di Solo, ibunya Bu Naya dua kali menjengukku. Beliau berkali-kali minta maaf atas kesalahan anaknya, tapi anehnya

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 91

    Rupanya kesabarannya sudah habis untuk menghadapiku, kini dia mulai main kasar. Tak ada lagi sikap anggun dan kemayu yang selama ini melekat dalam dirinya. Bu Naya sama sekali berubah. "Uang apa? Bu Naya bilang butuh uang untuk melunasi biaya pengobatan, kenapa sekarang malah menolak? Bahkan melarang saya ketemu Reza. Sekarang saya jadi curiga, jangan-jangan Bu Naya .... " Ucapanku terhenti, karena aku merasa ada benda runcing yang dingin menempel di pinggangku. Tubuhku kaku seketika, otakku memberi sinyal bahaya. Aku ingin teriak dan minta tolong, tapi sayangnya rasa perih dan nyeri luar biasa tiba-tiba menyergap, membuat otakku buntu seketika. "Mey!" Samar kudengar namaku diteriakkan, setelah itu semua menjadi gelap. * * * * * * * * *Bau obat menyengat menyapa indera penciuman, memaksaku membuka mata demi mengetahui dimana aku berada sekarang. Ruangan serba putih menjadi pemandangan pertamaku, hingga akhirnya mataku terbuka sempurna. Lamat-lamat kuingat kejadian sebelum akhirn

DMCA.com Protection Status