Dulu, aku beranggapan perempuan yang melabrak suaminya yang sedang selingkuh itu lebai. Buat apa buang-buang waktu untuk mengurusi hal sepele seperti itu? Kalau masih cinta, ya bertahan! Terima resiko punya suami tukang selingkuh, tukang main perempuan. Kalau sudah tidak tahan, ya sana! Ke pengadilan agama saja! Tuntut cerai! Habis perkara. Nggak usah banyak drama! Main labrak seenaknya, bikin malu saja! Sekarang fikiranku terbuka, semua berbeda ketika statusku sudah menjadi istri sah. Melihat suamiku berduaan dengan wanita lain saja hatiku terluka, apalagi kalau sampai aku menyaksikan sendiri suami selingkuh, main sama pel*cur. Aku nggak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hatiku. Entah Mas Rahman sedang membahas urusan bisnis, atau memang ada affair dengan wanita itu. Yang jelas saat ini hatiku benar-benar terluka. Tapi melihat posisi mereka duduk tadi, siapapun pasti curiga kalau keduanya ada affair. Saat memutuskan menerima pinangan Mas Rahman, aku berharap menjadi istri satu
"Kondisi rahimnya bagus, sehat, nggak ada masalah," ucap Dokter Obsgin yang memerisaku. Akhirnya kami berdua memeriksakan kesehatan organ reproduksi kami, demi menjalani program kehamilan. Menikah dua tahun tanpa momongan, membuat kami kadang lelah dan bosan menjawab pertanyaan dari banyak pihak. Entah itu keluarga, teman, atau kenalan Mas Rahman. Sudah isi, belum? Itu bukan kalimat yang menyenangkan untuk didengar, menurut kami. "Hasil pemeriksaan Bapak fertil, kan?" Kami kompak mengangguk. "Itu berarti kalian berdua subur." Sebelum periksa ke dokter Obsgin, Mas Rahman terlebih dulu periksa ke androlog. Memastikan dirinya subur. "Tapi kenapa istri saya nggak kunjung hamil, Dok? Padahal bikin tiap hari, lho." Duh, rasanya ingin menenggelamkan diri ke sungai Amazone tanpa pernah muncul lagi. Segala bikin tiap hari diomongin. Kalau memang iya, nggak perlu juga dibicarakan. Malu, Bambang! Lagipula, mana ada bikin tiap hari? Tiap bulan tamu bulananku rutin datang, emang pas aku lagi
"Umi gimana, Mey?" Mas Rahman menerobos masuk kamar Umi, dengan wajah panik. "Masih belum sadar, Mas. Padahal sudah aku baluri minyak kayu putih badannya, sudah dikasih ke hidungnya juga. Tapi, kok nggak sadar-sadar ya, Mas. Ini sudah setengah jam, lho," ucapku frustasi. "Bagaimana ceritanya, Umi sampai pingsan begini?" Mas Rahman yang kini duduk di sisi ranjang, tepat di samping Umi terbaring itu, menatapku dengan wajah khawatir. Begitu selesai mendapat telfon dari nomor tak dikenal tadi, Umi langsung mencercaku. "Dari siapa, Mey? Kenapa wajahmu jadi pucat begitu?" Aku sempat ingin merahasiakan kabar buruk ini, tapi Umi terus mendesak. "Apa yang kamu sembunyikan dari Umi, Mey?""Itu tadi telfon dari Mbak, eh, Bu Naya. Istri mudanya Abah." Aku sering bingung sendiri kalau mau manggil istri kedua Abah ini dengan sebutan apa? Mau manggil Bu, tapi usianya hanya selisih 5 tahun denganku. Mau manggil Mbak, rasanya tidak sopan. Dia itu istrinya Abah yang berarti mertuaku juga. "Untuk a
Terdengar Mas Rahman menghela nafas panjang, yang aku tahu artinya bahwa ada beban berat yang disimpan Mas Rahman. Sikapnya ini sukses membuat pikiranku semrawut. "Kenapa, Mas? Abah baik-baik saja, kan?" "Abah kenapa, Mey?" Sela Umi dengan wajah khawatir. "Nggak pa-pa, Mi. Abah baik-baik saja," bohongku. Mendengar nada bicara Mas Rahman, aku tahu kondisi Abah menghawatirkan. Tapi aku tak ingin membuat Umi panik. "Aku mau bicara sama Rahman." Umi berusaha mengambil alih ponsel dari tanganku, tapi aku menepis lembut tangan Umi. Meski aku belum tahu pasti keadaan Abah, tapi dari nada bicara Mas Rahman, aku tahu Abah tidak baik-baik saja. Karena itu aku mau Umi tahu langsung dari Mas Rahman, bisa syok dia nanti. Biarlah nanti aku bicara pelan-pelan padanya. Meski sempat menolak, akhirnya Umi mengangguk juga. Karena tak ingin di dengar Umi, aku memutuskan keluar dari kamar Umi untuk bicara dengan Mas Rahman. "Ya, Mas. Gimana? Tadi Umi maksa mau bicara langsung sama kamu," aduku.Te
"Sebenarnya Om Rey itu siapa?" Deg! Mendengar pertanyaan Dinda, seketika membuat perasaanku tidak enak. Kenapa dia tiba-tiba bertanya tentang Rey? Sudah lebih dari dua tahun mereka tidak bertemu, selama itu pula Dinda tak pernah menyinggung soal Rey. Mereka berbeda lingkungan, hidup Dinda hanya seputar rumah dan sekolah, jarang sekali keluar rumah kalau nggak penting banget. Itupun perginya bersamaku dan Mas Rahman, biasanya kita keluar makan atau sekedar jalan-jalan.Sedangkan Rey? Yang kutahu dokter spesialis itu sibuk banget, apalagi pediatrik macam dia. Sering kulihat praktek dokter anak antrian pasiennya mengular. Kapan dan dimana Rey ketemu Dinda? "Kok Dinda nanyain, Om Rey? Memang pernah ketemu OM Rey dimana?" Tanyaku pelan, tanpa menunjukkan kekagetanku. "Kemarin Om Rey datang ke sekolah, Ma. Dinda dengar Om Rey ngomong sama Bu Guru, kalau dia itu Papanya Dinda. Apa benar begitu, Ma? Selama ini Mama nggak pernah cerita soal Papa. Mama selalu mengalihkan pembicaraan, kalau D
"Mas, gimana Abah?" Bukannya menjawab, Mas Rahman malah memberiku kode dengan tatapan mata disertai gelengan samar. Yang artinya aku tak boleh banyak bertanya. Pagi ini bersama Umi menyusul Mas Rahman ke rumah sakit, selain membawakan baju ganti dan makanan, kami juga menjenguk Abah. "Iya, Man. Abahmu sudah bangun belum?" Timpal Umi. Mas Rahman menatapku sekilas, lalu menatap Umi. Tatapan itu .... Aku tahu betul apa arti tatapan suamiku. Ada beban berat yang tengah dia pikul sendiri, ada beban yang hanya ingin dia bagi denganku, bukan dengan Umi. Niat ingat membicarakan tentang Dinda yang mulai dekat dengan Rey jadi batal, keadaan tidak memungkinkan. Mas Rahman menghela nafas panjang, sebelum akhirnya buka suara. "Abah di ruang ICU, Mi. Sejak kemarin Abah belum sadar." Suara itu terdengar begitu berat. "Ta---tapi Abahmu akan sembuh, kan, Man? Dia akan kembali seperti sedia kala, kan?" Mata Umi berkaca-kaca saat berkata. Mas Rahman menunduk beberapa saat, lalu kembali menatap Umi.
Kalau sudah begitu aku jadi tidak tega, tapi keadaan Umi benar-benar tidak memungkinkan untuk diajak bicara. Bahkan sejak tadi kehadiran kami sama sekali tak dia pedulikan. "Yang ngeyel ngajak saya ke Semarang itu, Mas Fauzi. Beliau bilang akan menutup mata dengan tenang, kalau melihat saya berdamai dengan Mbak Farida." Bu Naya menjeda ucapannya. Dihapusnya air mata yang dari tadi membanjiri pipi mulusnya. Dari pipi tangan Bu Naya turun ke perut, lalu mengelus nya lembut. "Mas Fauzi ingin anaknya kelak di akui dan diterima Mbak Farida dan Mas Rahman." "Mak--maksudnya, Bu Naya hamil?" Wanita yang lebih pantas jadi kakaknya Mas Rahman itu mengangguk pelan.Kalau saja Bu Naya tidak mengelus perutnya, aku tidak akan tahu kalau wanita cantik ini hamil. Gamis lebarnya menyamarkan perut yang membuncit itu."Mas Fauzi seneng sekali, akhirnya saya mengandung anaknya.""Bu--Bu Naya hamil?" Mas Rahman yang dari tadi sibuk memijit kaki Umi itu pun, bertanya. "Iya, adik kamu," jawab Bu Naya ma
Aku mengangguk sambil tersenyum, lalu meninggalkan ruangan Sarah. Langkahku mantap terayun menuju ICU, namun disaat bersamaan beberapa orang nakes berlari ke ruang yang sama dengan wajah tegang. Tak lama kemudian Mas Rahman keluar dengan wajah sembab, dan langsung menubrukku. "Abah, Mey .... " Mas Rahman menangis sesenggukan sambil memelukku erat. Tanpa perlu dijelaskan, aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Abah berpulang, meninggalkan kami semua. "Sabar ya, Mas. Ini suratan takdir, kita harus bisa menerima dengan ikhlas. Mas Rahman pasti kuat." Ku elus lembut punggung suamiku. Pria yang biasanya terlihat berwibawa ini, sekarang seperti anak kecil. Dia menangis meratapi kepergian Abah. Beberapa tahun menjadi istrinya, baru kali ini aku melihat Mas Rahman sesedih ini. Aku bahkan bisa merasakan air matanya membasahi pundakku. Aku tahu, Mas Rahman merasa kehilangan luar biasa. Abah adalah sosok orang tua, guru, teman juga sahabat buat Mas Rahman. Sebelum pernikahan kedua Abah terbo
"Gantengnya cucu Eyang ...." Umi berkata sambil menimang putraku, yang baru kulahirkan beberapa jam yang lalu itu. Cucu pertamanya, cucu yang sudah dia nanti bertahun-tahun lamanya. "Wes, diborong Rahman semua ini, Mey. Kamu nggak kebagian apa-apa. Plek ketiplek bapaknya waktu masih bayi," lanjut Umi, tanpa mengalihkan pandangannya pada bayiku. Meski ada iri menelusup di hati, karena wajah anakku yang ternyata sangat mirip bapaknya. Tapi juga bahagia sekaligus bangga, bisa memberi anak pada suami, dan cucu untuk mertuaku, dengan wajah yang identik dengan wajah mereka. "Kalian sudah siap nama, kan?""Sudah, Mi," jawabku singkat. Aku belum berani banyak bicara, luka bekas operasi masih begitu nyeri, kalau aku bergerak sedikit saja. Bahkan aku belum berani bicara banyak, karena takut. "Siapa?""Alfarisqi Rahman, Mi. Panggilannya Alfa." Umi baru datang setelah operasi selesai. Karena tak mau ambil resiko, karena kesehatan Umi sering bermasalah. Kami berangkat ke rumah sakit sendiri.
Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata
Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata
Tiga bulan berlalu, perutku mulai terlihat membuncit. Meski tak separah di Tri semester pertama, aku masih merasakan mual di pagi hari. Sebenarnya aku ingin beraktivitas, biar kehamilan ini tidak terlalu manja ini kehamilan kedua, harusnya aku kuat dan lebih siap, kan. Lagi pula aku juga sudah bosan kalau harus bad rest terus. Tapi Mas Rahman melarang. Katanya, "aku tidak mau anakku kenapa-napa, jangan ambil resiko!" Kalau aku ngeyel. "Dengan beraktivitas janin akan lebih sehat, Mas. Aku juga nggak stress dikurung terus." Tapi apa jawabnya? "Dah, nurut aja! Nggak usah banyak protes! Ini semua demi anak kita. Berkorban sedikit apa susahnya, sih?" Ternyata, perlakuan manis Mas Rahman hamil bukan untukku, tapi untuk anaknya. Dasar laki-laki, mau enaknya sendiri! Untung sayang. "Mas, capek. Pijitin!" Kuletakkan kedua kakiku di atas pangkuan Mas Rahman, yang sedang sibuk dengan laptopnya, memeriksa laporan keuangan show room. Tanpa bicara, Mas Rahman menutup laptopnya dan meletakkan di
"Dibilang males, ngeyel!" Mas Rahman terkekeh. "Mas Rahman menyembunyikan sesuatu, ya?" Todongku. Aku sudah nggak betah menahan rasa penasaran, dari tadi sikap Mas Rahman mencurigakan. "Mau tahu aja, apa mau tahu banget?" Selorohnya. Aku mencebik kesal, tawa Mas Rahman makin menjadi. "Sus, tadi sudah dikasih tahu belum?" Mas Rahman bertanya pada Suster Lusi. "Belum, Pak. Nggak berani saya." Sebenarnya rahasia apa yang mereka sembunyikan, sih? Aku benar-benar kepo! "Sekarang aja, Sus!" Usai Mas Rahman berkata, Suster Lusi berjalan ke arah pintu. Aku menatap bingung suamiku, tapi dia hanya senyum penuh arti, membuat rasa penasaran di hati makin menjadi. Kami masih saling tatap ketik dari terdengar suara riuh dari arah pintu. "Surprise....! Selamat ulang tahun ...." Sontak aku menoleh ke sumber suara. Di sana ada Umi dan Dinda, mereka datang membawa buket bunga. Sementara Suster Lusi membawa kue tart yang di atasnya terdapat lilin angka, yang sudah menyala. Speechless, itu ya
Pertama kali membuka mata, ruangan serba putih menyapa indera penglihatanku. Tanpa perlu dijelaskan, aku tahu sedang berada di ruang perawatan. Bau obat dan selang infus yang menancap di punggung tanganku, jawabannya. Apa ada masalah dengan lukaku? Infeksi? Atau kenapa? Pertanyaan itu memenuhi kepalaku, tapi aku tidak merasakan apa-apa di area itu. Pertanyaan-pertanyaan itu masih berputar-putar di kepalaku, hingga pintu terbuka dan menampilkan sosok wanita berseragam serba hijau menghampiriku. "Alhamdulillah .... Bu Rahman sudah siuman. Apa yang dirasakan, Bu? Masih pusing?" Tanya wanita bertag name Lusi itu, ramah. "Sedikit, Sus. Suami saya mana, ya? Kok nggak keliahatan?" Aku tak menemukan Mas Rahman ketika sadar tadi, dan sampai sekarang pun laki-laki itu kunjung muncul. Tak biasanya dia meninggalkan aku sendiri kalau sedang sakit, apalagi ini di rumah sakit. "Pak Rahman ijin pulang sebentar, Bu. Mengambil baju ganti katanya, dan beliau menitipkan Ibu pada saya," jelas wanita
Umi menyambut antusias kedatangan kami, tapi Dinda justru bersikap sebaliknya Dia menampakkan wajah cemberut, tak bersemangat dan malas-malasan membantu membawa barang-barangku. "Yang punya hajat itu suadaramu yang mana sih, Mey? Kok kamu nggak pernah cerita? Pakai ngelarang aku nyusul pula, kan nggak enak sebagai besan nggak ikut hadir di acara mereka," cerca Umi begitu aku masuk rumah. Saat aku mengabari tak bisa pulang, dengan alasan ada suadara umiku yang punya hajat, Umi memaksa datang. Katanya demi menjaga tali silaturahim, tapi aku melarangnya. Alasannya rumahnya jauh dan pelosok, nanti Umi nyasar. Padahal nggak ada saudaraku yang punya hajat, itu semua hanya kebohongan demi menutupi fakta yang sebenarnya terjadi. Mana ada saudara Umi yang ingat aku? Di mata mereka aku ini hanya aib. "Sepupu jauh Umi saya, Mi. Mereka tinggal di pelosok, Mi. Aku sudah memberi amplop mereka, dan mengatakan itu dari Umi, " bohongku. Pepatah yang mengatakan sekali orang berbohong, maka akan ter
Setelah tiga hari di rawat di rumah sakit Solo, akhirnya kami diijinkan pulang. Meski melalui drama pulang paksa, karena menurut dokter lukaku belum pulih benar. Tapi kami memaksa pulang, toh ini hanya luka luar bukan luka dalam yang mengkhawatirkan. Aku tak mungkin berlama-lama di Solo, sementara di rumah Umi cemas menanti kami. Ada Dinda yang butuh kami. Juga kasihan Mas Rahman yang harus bolak-balik Solo-Semarang, Semarang- Solo. Mas Rahman tak mungkin meninggalkan pekerjaannya. Oh ya, kami terpaksa menyembunyikan keadaan yang sebenarnya dari Umi, karena tak mau wanita jelang enam puluh tahun itu khawatir dan kepikiran. Mas Rahman terpaksa berbohong, mengatakan ada keluargaku yang punya hajat dan memaksaku nginep di sana. Padahal keluargaku yang di Solo sudah lama tak menganggapku ada. Sementara pada Dinda, aku mengatakan kalau masih ada urusan di Solo. Selama dirawat di Solo, ibunya Bu Naya dua kali menjengukku. Beliau berkali-kali minta maaf atas kesalahan anaknya, tapi anehnya
Rupanya kesabarannya sudah habis untuk menghadapiku, kini dia mulai main kasar. Tak ada lagi sikap anggun dan kemayu yang selama ini melekat dalam dirinya. Bu Naya sama sekali berubah. "Uang apa? Bu Naya bilang butuh uang untuk melunasi biaya pengobatan, kenapa sekarang malah menolak? Bahkan melarang saya ketemu Reza. Sekarang saya jadi curiga, jangan-jangan Bu Naya .... " Ucapanku terhenti, karena aku merasa ada benda runcing yang dingin menempel di pinggangku. Tubuhku kaku seketika, otakku memberi sinyal bahaya. Aku ingin teriak dan minta tolong, tapi sayangnya rasa perih dan nyeri luar biasa tiba-tiba menyergap, membuat otakku buntu seketika. "Mey!" Samar kudengar namaku diteriakkan, setelah itu semua menjadi gelap. * * * * * * * * *Bau obat menyengat menyapa indera penciuman, memaksaku membuka mata demi mengetahui dimana aku berada sekarang. Ruangan serba putih menjadi pemandangan pertamaku, hingga akhirnya mataku terbuka sempurna. Lamat-lamat kuingat kejadian sebelum akhirn