"Kondisi rahimnya bagus, sehat, nggak ada masalah," ucap Dokter Obsgin yang memerisaku. Akhirnya kami berdua memeriksakan kesehatan organ reproduksi kami, demi menjalani program kehamilan. Menikah dua tahun tanpa momongan, membuat kami kadang lelah dan bosan menjawab pertanyaan dari banyak pihak. Entah itu keluarga, teman, atau kenalan Mas Rahman. Sudah isi, belum? Itu bukan kalimat yang menyenangkan untuk didengar, menurut kami. "Hasil pemeriksaan Bapak fertil, kan?" Kami kompak mengangguk. "Itu berarti kalian berdua subur." Sebelum periksa ke dokter Obsgin, Mas Rahman terlebih dulu periksa ke androlog. Memastikan dirinya subur. "Tapi kenapa istri saya nggak kunjung hamil, Dok? Padahal bikin tiap hari, lho." Duh, rasanya ingin menenggelamkan diri ke sungai Amazone tanpa pernah muncul lagi. Segala bikin tiap hari diomongin. Kalau memang iya, nggak perlu juga dibicarakan. Malu, Bambang! Lagipula, mana ada bikin tiap hari? Tiap bulan tamu bulananku rutin datang, emang pas aku lagi
"Umi gimana, Mey?" Mas Rahman menerobos masuk kamar Umi, dengan wajah panik. "Masih belum sadar, Mas. Padahal sudah aku baluri minyak kayu putih badannya, sudah dikasih ke hidungnya juga. Tapi, kok nggak sadar-sadar ya, Mas. Ini sudah setengah jam, lho," ucapku frustasi. "Bagaimana ceritanya, Umi sampai pingsan begini?" Mas Rahman yang kini duduk di sisi ranjang, tepat di samping Umi terbaring itu, menatapku dengan wajah khawatir. Begitu selesai mendapat telfon dari nomor tak dikenal tadi, Umi langsung mencercaku. "Dari siapa, Mey? Kenapa wajahmu jadi pucat begitu?" Aku sempat ingin merahasiakan kabar buruk ini, tapi Umi terus mendesak. "Apa yang kamu sembunyikan dari Umi, Mey?""Itu tadi telfon dari Mbak, eh, Bu Naya. Istri mudanya Abah." Aku sering bingung sendiri kalau mau manggil istri kedua Abah ini dengan sebutan apa? Mau manggil Bu, tapi usianya hanya selisih 5 tahun denganku. Mau manggil Mbak, rasanya tidak sopan. Dia itu istrinya Abah yang berarti mertuaku juga. "Untuk a
Terdengar Mas Rahman menghela nafas panjang, yang aku tahu artinya bahwa ada beban berat yang disimpan Mas Rahman. Sikapnya ini sukses membuat pikiranku semrawut. "Kenapa, Mas? Abah baik-baik saja, kan?" "Abah kenapa, Mey?" Sela Umi dengan wajah khawatir. "Nggak pa-pa, Mi. Abah baik-baik saja," bohongku. Mendengar nada bicara Mas Rahman, aku tahu kondisi Abah menghawatirkan. Tapi aku tak ingin membuat Umi panik. "Aku mau bicara sama Rahman." Umi berusaha mengambil alih ponsel dari tanganku, tapi aku menepis lembut tangan Umi. Meski aku belum tahu pasti keadaan Abah, tapi dari nada bicara Mas Rahman, aku tahu Abah tidak baik-baik saja. Karena itu aku mau Umi tahu langsung dari Mas Rahman, bisa syok dia nanti. Biarlah nanti aku bicara pelan-pelan padanya. Meski sempat menolak, akhirnya Umi mengangguk juga. Karena tak ingin di dengar Umi, aku memutuskan keluar dari kamar Umi untuk bicara dengan Mas Rahman. "Ya, Mas. Gimana? Tadi Umi maksa mau bicara langsung sama kamu," aduku.Te
"Sebenarnya Om Rey itu siapa?" Deg! Mendengar pertanyaan Dinda, seketika membuat perasaanku tidak enak. Kenapa dia tiba-tiba bertanya tentang Rey? Sudah lebih dari dua tahun mereka tidak bertemu, selama itu pula Dinda tak pernah menyinggung soal Rey. Mereka berbeda lingkungan, hidup Dinda hanya seputar rumah dan sekolah, jarang sekali keluar rumah kalau nggak penting banget. Itupun perginya bersamaku dan Mas Rahman, biasanya kita keluar makan atau sekedar jalan-jalan.Sedangkan Rey? Yang kutahu dokter spesialis itu sibuk banget, apalagi pediatrik macam dia. Sering kulihat praktek dokter anak antrian pasiennya mengular. Kapan dan dimana Rey ketemu Dinda? "Kok Dinda nanyain, Om Rey? Memang pernah ketemu OM Rey dimana?" Tanyaku pelan, tanpa menunjukkan kekagetanku. "Kemarin Om Rey datang ke sekolah, Ma. Dinda dengar Om Rey ngomong sama Bu Guru, kalau dia itu Papanya Dinda. Apa benar begitu, Ma? Selama ini Mama nggak pernah cerita soal Papa. Mama selalu mengalihkan pembicaraan, kalau D
"Mas, gimana Abah?" Bukannya menjawab, Mas Rahman malah memberiku kode dengan tatapan mata disertai gelengan samar. Yang artinya aku tak boleh banyak bertanya. Pagi ini bersama Umi menyusul Mas Rahman ke rumah sakit, selain membawakan baju ganti dan makanan, kami juga menjenguk Abah. "Iya, Man. Abahmu sudah bangun belum?" Timpal Umi. Mas Rahman menatapku sekilas, lalu menatap Umi. Tatapan itu .... Aku tahu betul apa arti tatapan suamiku. Ada beban berat yang tengah dia pikul sendiri, ada beban yang hanya ingin dia bagi denganku, bukan dengan Umi. Niat ingat membicarakan tentang Dinda yang mulai dekat dengan Rey jadi batal, keadaan tidak memungkinkan. Mas Rahman menghela nafas panjang, sebelum akhirnya buka suara. "Abah di ruang ICU, Mi. Sejak kemarin Abah belum sadar." Suara itu terdengar begitu berat. "Ta---tapi Abahmu akan sembuh, kan, Man? Dia akan kembali seperti sedia kala, kan?" Mata Umi berkaca-kaca saat berkata. Mas Rahman menunduk beberapa saat, lalu kembali menatap Umi.
Kalau sudah begitu aku jadi tidak tega, tapi keadaan Umi benar-benar tidak memungkinkan untuk diajak bicara. Bahkan sejak tadi kehadiran kami sama sekali tak dia pedulikan. "Yang ngeyel ngajak saya ke Semarang itu, Mas Fauzi. Beliau bilang akan menutup mata dengan tenang, kalau melihat saya berdamai dengan Mbak Farida." Bu Naya menjeda ucapannya. Dihapusnya air mata yang dari tadi membanjiri pipi mulusnya. Dari pipi tangan Bu Naya turun ke perut, lalu mengelus nya lembut. "Mas Fauzi ingin anaknya kelak di akui dan diterima Mbak Farida dan Mas Rahman." "Mak--maksudnya, Bu Naya hamil?" Wanita yang lebih pantas jadi kakaknya Mas Rahman itu mengangguk pelan.Kalau saja Bu Naya tidak mengelus perutnya, aku tidak akan tahu kalau wanita cantik ini hamil. Gamis lebarnya menyamarkan perut yang membuncit itu."Mas Fauzi seneng sekali, akhirnya saya mengandung anaknya.""Bu--Bu Naya hamil?" Mas Rahman yang dari tadi sibuk memijit kaki Umi itu pun, bertanya. "Iya, adik kamu," jawab Bu Naya ma
Aku mengangguk sambil tersenyum, lalu meninggalkan ruangan Sarah. Langkahku mantap terayun menuju ICU, namun disaat bersamaan beberapa orang nakes berlari ke ruang yang sama dengan wajah tegang. Tak lama kemudian Mas Rahman keluar dengan wajah sembab, dan langsung menubrukku. "Abah, Mey .... " Mas Rahman menangis sesenggukan sambil memelukku erat. Tanpa perlu dijelaskan, aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Abah berpulang, meninggalkan kami semua. "Sabar ya, Mas. Ini suratan takdir, kita harus bisa menerima dengan ikhlas. Mas Rahman pasti kuat." Ku elus lembut punggung suamiku. Pria yang biasanya terlihat berwibawa ini, sekarang seperti anak kecil. Dia menangis meratapi kepergian Abah. Beberapa tahun menjadi istrinya, baru kali ini aku melihat Mas Rahman sesedih ini. Aku bahkan bisa merasakan air matanya membasahi pundakku. Aku tahu, Mas Rahman merasa kehilangan luar biasa. Abah adalah sosok orang tua, guru, teman juga sahabat buat Mas Rahman. Sebelum pernikahan kedua Abah terbo
Acara pemakaman Abah berjalan hikmat dan lancar, banyak kolega dan rekan beliau yang datang melayat. Tak ketinggalan tetangga sekitar juga datang. Selama hidupnya, Abah dikenal sebagai orang yang ramah, dan baik hati tak pernah memandang orang dari status sosialnya, semua diperlakukan sama. Tak heran kalau banyak yang ingin memberi penghormatan terakhir pada Abah begitu membludak. Apalagi Abah sudah puluhan tahun mengajar, mantan muridnya sudah ribuan. Tak heran prosesi pemakaman Abah jadi berjubel penuh manusia. Demi bisa mengantar Abah ke peristirahatan terakhir, Umi akhirnya pulang paksa meski keadaannya masih begitu lemah. Umi juga sempat pingsan, begitu diberitahu Abah sudah meninggal. Aku bisa melihat bagaimana sedihnya Umi kehilangan lelaki yang begitu dia cintai, lelaki pertama dan terakhir yang pernah menghuni hati Umi. Sejak jenazah datang hingga diberangkatkan ke pemakanan, air mata tak henti mengalir di pipi Umi. Bukan hanya Umi, aku pun sangat bersedih dan merasa kehilan