Terdengar Mas Rahman menghela nafas panjang, yang aku tahu artinya bahwa ada beban berat yang disimpan Mas Rahman. Sikapnya ini sukses membuat pikiranku semrawut. "Kenapa, Mas? Abah baik-baik saja, kan?" "Abah kenapa, Mey?" Sela Umi dengan wajah khawatir. "Nggak pa-pa, Mi. Abah baik-baik saja," bohongku. Mendengar nada bicara Mas Rahman, aku tahu kondisi Abah menghawatirkan. Tapi aku tak ingin membuat Umi panik. "Aku mau bicara sama Rahman." Umi berusaha mengambil alih ponsel dari tanganku, tapi aku menepis lembut tangan Umi. Meski aku belum tahu pasti keadaan Abah, tapi dari nada bicara Mas Rahman, aku tahu Abah tidak baik-baik saja. Karena itu aku mau Umi tahu langsung dari Mas Rahman, bisa syok dia nanti. Biarlah nanti aku bicara pelan-pelan padanya. Meski sempat menolak, akhirnya Umi mengangguk juga. Karena tak ingin di dengar Umi, aku memutuskan keluar dari kamar Umi untuk bicara dengan Mas Rahman. "Ya, Mas. Gimana? Tadi Umi maksa mau bicara langsung sama kamu," aduku.Te
"Sebenarnya Om Rey itu siapa?" Deg! Mendengar pertanyaan Dinda, seketika membuat perasaanku tidak enak. Kenapa dia tiba-tiba bertanya tentang Rey? Sudah lebih dari dua tahun mereka tidak bertemu, selama itu pula Dinda tak pernah menyinggung soal Rey. Mereka berbeda lingkungan, hidup Dinda hanya seputar rumah dan sekolah, jarang sekali keluar rumah kalau nggak penting banget. Itupun perginya bersamaku dan Mas Rahman, biasanya kita keluar makan atau sekedar jalan-jalan.Sedangkan Rey? Yang kutahu dokter spesialis itu sibuk banget, apalagi pediatrik macam dia. Sering kulihat praktek dokter anak antrian pasiennya mengular. Kapan dan dimana Rey ketemu Dinda? "Kok Dinda nanyain, Om Rey? Memang pernah ketemu OM Rey dimana?" Tanyaku pelan, tanpa menunjukkan kekagetanku. "Kemarin Om Rey datang ke sekolah, Ma. Dinda dengar Om Rey ngomong sama Bu Guru, kalau dia itu Papanya Dinda. Apa benar begitu, Ma? Selama ini Mama nggak pernah cerita soal Papa. Mama selalu mengalihkan pembicaraan, kalau D
"Mas, gimana Abah?" Bukannya menjawab, Mas Rahman malah memberiku kode dengan tatapan mata disertai gelengan samar. Yang artinya aku tak boleh banyak bertanya. Pagi ini bersama Umi menyusul Mas Rahman ke rumah sakit, selain membawakan baju ganti dan makanan, kami juga menjenguk Abah. "Iya, Man. Abahmu sudah bangun belum?" Timpal Umi. Mas Rahman menatapku sekilas, lalu menatap Umi. Tatapan itu .... Aku tahu betul apa arti tatapan suamiku. Ada beban berat yang tengah dia pikul sendiri, ada beban yang hanya ingin dia bagi denganku, bukan dengan Umi. Niat ingat membicarakan tentang Dinda yang mulai dekat dengan Rey jadi batal, keadaan tidak memungkinkan. Mas Rahman menghela nafas panjang, sebelum akhirnya buka suara. "Abah di ruang ICU, Mi. Sejak kemarin Abah belum sadar." Suara itu terdengar begitu berat. "Ta---tapi Abahmu akan sembuh, kan, Man? Dia akan kembali seperti sedia kala, kan?" Mata Umi berkaca-kaca saat berkata. Mas Rahman menunduk beberapa saat, lalu kembali menatap Umi.
Kalau sudah begitu aku jadi tidak tega, tapi keadaan Umi benar-benar tidak memungkinkan untuk diajak bicara. Bahkan sejak tadi kehadiran kami sama sekali tak dia pedulikan. "Yang ngeyel ngajak saya ke Semarang itu, Mas Fauzi. Beliau bilang akan menutup mata dengan tenang, kalau melihat saya berdamai dengan Mbak Farida." Bu Naya menjeda ucapannya. Dihapusnya air mata yang dari tadi membanjiri pipi mulusnya. Dari pipi tangan Bu Naya turun ke perut, lalu mengelus nya lembut. "Mas Fauzi ingin anaknya kelak di akui dan diterima Mbak Farida dan Mas Rahman." "Mak--maksudnya, Bu Naya hamil?" Wanita yang lebih pantas jadi kakaknya Mas Rahman itu mengangguk pelan.Kalau saja Bu Naya tidak mengelus perutnya, aku tidak akan tahu kalau wanita cantik ini hamil. Gamis lebarnya menyamarkan perut yang membuncit itu."Mas Fauzi seneng sekali, akhirnya saya mengandung anaknya.""Bu--Bu Naya hamil?" Mas Rahman yang dari tadi sibuk memijit kaki Umi itu pun, bertanya. "Iya, adik kamu," jawab Bu Naya ma
Aku mengangguk sambil tersenyum, lalu meninggalkan ruangan Sarah. Langkahku mantap terayun menuju ICU, namun disaat bersamaan beberapa orang nakes berlari ke ruang yang sama dengan wajah tegang. Tak lama kemudian Mas Rahman keluar dengan wajah sembab, dan langsung menubrukku. "Abah, Mey .... " Mas Rahman menangis sesenggukan sambil memelukku erat. Tanpa perlu dijelaskan, aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Abah berpulang, meninggalkan kami semua. "Sabar ya, Mas. Ini suratan takdir, kita harus bisa menerima dengan ikhlas. Mas Rahman pasti kuat." Ku elus lembut punggung suamiku. Pria yang biasanya terlihat berwibawa ini, sekarang seperti anak kecil. Dia menangis meratapi kepergian Abah. Beberapa tahun menjadi istrinya, baru kali ini aku melihat Mas Rahman sesedih ini. Aku bahkan bisa merasakan air matanya membasahi pundakku. Aku tahu, Mas Rahman merasa kehilangan luar biasa. Abah adalah sosok orang tua, guru, teman juga sahabat buat Mas Rahman. Sebelum pernikahan kedua Abah terbo
Acara pemakaman Abah berjalan hikmat dan lancar, banyak kolega dan rekan beliau yang datang melayat. Tak ketinggalan tetangga sekitar juga datang. Selama hidupnya, Abah dikenal sebagai orang yang ramah, dan baik hati tak pernah memandang orang dari status sosialnya, semua diperlakukan sama. Tak heran kalau banyak yang ingin memberi penghormatan terakhir pada Abah begitu membludak. Apalagi Abah sudah puluhan tahun mengajar, mantan muridnya sudah ribuan. Tak heran prosesi pemakaman Abah jadi berjubel penuh manusia. Demi bisa mengantar Abah ke peristirahatan terakhir, Umi akhirnya pulang paksa meski keadaannya masih begitu lemah. Umi juga sempat pingsan, begitu diberitahu Abah sudah meninggal. Aku bisa melihat bagaimana sedihnya Umi kehilangan lelaki yang begitu dia cintai, lelaki pertama dan terakhir yang pernah menghuni hati Umi. Sejak jenazah datang hingga diberangkatkan ke pemakanan, air mata tak henti mengalir di pipi Umi. Bukan hanya Umi, aku pun sangat bersedih dan merasa kehilan
"Bu Naya yang memasukkan berkat itu ke kamar, Mbak. Waktu saya tanya, dia bilang, " bukan urusanmu! Kamu itu hanya pembantu!" Adu Mbak Susi. Aku jadi geram sendiri pada perempuan itu. Maksudnya apa menyembunyikan berkat sebanyak itu? Nggak mungkin mau dia makan sendiri, kan? Aku menghela nafas panjang, bingung juga menghadapi kelakuan istri muda almarhum ini. Kok, bisa-bisanya menyembunyikan berkat."Ambil semua berkat, Mbak, kita bawa ke depan! Banyak tamu pria yang belum kebagian," ucapku tegas. "Kalau Bu Naya nanya, gimana?" Wanita itu menatapku ragu. Mungkin dalam pikirannya, Bu Naya juga harus dihormati, seperti halnya Umi, karena dia juga istri Abah. "Biar itu jadi urusan saya, Mbak." Wanita itu mengangguk, kemudian masuk ke kamar dan mulai mengambil tumpukan nasi kotak itu. "Lho ... lho ... lho ..., kok berkatnya diambil semua? Gimana, sih? Itu kan buat keluarga saya," protes Bu Naya, saat berkat hanya tinggal beberapa kotak saja. Aku yang tengah membantu Mbak Susi mengan
"Kamu jangan memonopoli semua harta Mas Fauzi sendiri. Aku ini istrinya juga, kami sudah menikah secara resmi. Itu artinya aku juga punya hak, apalagi aku sedang hamil darah daging Abah. Adik kamu juga. Pokoknya, aku mau warisan dibagi adil! Titik" Aku kenal sekali dengan suara itu. Itu Bu Naya, kenapa tiba-tiba dia ngomong seperti itu? "Baru kemarin Abah dimakamkan, anda sudah ribut soal warisan? Dimana hati nurani anda?" Balas Mas Rahman. Ruang makan terletak di depan kamar Umi. Jadi aku bisa dengan jelas mendengar suara debat antara Bu Naya dan Mas Rahman. "Sing padu iku sopo, Mey?" (Yang debat itu siapa, Mey) Umi bertanya sambil mengunyah."Nggak tahu, Mi." Meski aku tahu betul siapa pemilik suara yang tengah adu debat itu, di depan Umi aku pura-pura tidak tahu. Aku tidak mau wanita ringkih ini jadi kepikiran, kalau tahu siapa yang sedang ribut di depan, dan apa yang diributkan. Nanti memperburuk kondisi Umi yang sedang terpuruk. "Coba kamu lihat! Suaranya kok kayak suamimu