"Kamu jangan memonopoli semua harta Mas Fauzi sendiri. Aku ini istrinya juga, kami sudah menikah secara resmi. Itu artinya aku juga punya hak, apalagi aku sedang hamil darah daging Abah. Adik kamu juga. Pokoknya, aku mau warisan dibagi adil! Titik" Aku kenal sekali dengan suara itu. Itu Bu Naya, kenapa tiba-tiba dia ngomong seperti itu? "Baru kemarin Abah dimakamkan, anda sudah ribut soal warisan? Dimana hati nurani anda?" Balas Mas Rahman. Ruang makan terletak di depan kamar Umi. Jadi aku bisa dengan jelas mendengar suara debat antara Bu Naya dan Mas Rahman. "Sing padu iku sopo, Mey?" (Yang debat itu siapa, Mey) Umi bertanya sambil mengunyah."Nggak tahu, Mi." Meski aku tahu betul siapa pemilik suara yang tengah adu debat itu, di depan Umi aku pura-pura tidak tahu. Aku tidak mau wanita ringkih ini jadi kepikiran, kalau tahu siapa yang sedang ribut di depan, dan apa yang diributkan. Nanti memperburuk kondisi Umi yang sedang terpuruk. "Coba kamu lihat! Suaranya kok kayak suamimu
"Bu Naya pergi, dijemput mobil kayak punyanya Bapak tadi, Mbak," jelas Mbak Susi ketika kutanya keberadaan Bu Naya. Menjelang Maghrib keluar rumah tanpa ijin, dijemput mobil sekelas pajero. Aku yakin itu bukan taksi online, karena moda transportasi tersebut biasanya menggunakan mobil sejuta umat. Aku jadi penasaran, siapa yang menjemput Bu Naya? Ada urusan apa mereka? Memang aku tidak punya hak tahu apa yang dilakukan Bu Naya, tapi sebagai tamu alangkah baiknya keluar masuk harus sepengetahuan si pemilik rumah. Menurutku sangat tidak sopan, tidak menghargai tuan rumah. Sejak Bu Naya menginap di rumah ini, aku memang kurang sreg dengan sikapnya yang mbosi. Suka main perintah seenaknya pada pembantu di rumah ini, memang mereka dibayar untuk mengerjakan tugas mengurus dan melayani pemilik rumah. Tapi Bu Naya kan, tamu. Bukan Nyonya rumah ini, harusnya dia tahu diri dan bisa jaga sikap. Ditambah lagi keberaniannya menuntut warisan Abah yang baru beberapa hari meninggal, dan sekarang p
Saat itu juga, Bu Naya dan teman laki-lakinya disidang oleh Mas Rahman. Awalnya mereka berdua mengaku ada urusan bisnis, hingga terpaksa pulang lewat tengah malam. Tapi Mas Rahman bukan tipe orang yang mudah percaya begitu saja, apalagi sejak awal dia sudah mencurigai Bu Naya punya andil dalam kecelakaan yang dialami Abah. Dia terus mencerca Bu Naya dan teman laki-lakinya itu. "Bisnis apa yang melibatkan laki-laki dan perempuan, hingga harus pulang malam? Bisnis lendir?" Sindir Mas Rahman. Dua terdakwa itu saling pandang, seperti memberi kode yang aku tak mengerti apa maksudnya. "Kami memang benar-benar ada urusan bisnis, kenapa kamu ngomongnya sinis begitu? Kamu pikir urusan laki-laki dan perempuan hanya soal selang****an?" Balas Bu Naya tak kalah pedas. "Anda bisa berkilah, tapi saya bukan anak kecil yang bisa dengan mudah anda bohongi. Dari gestur tubuh kalian, aku tahu ada hubungan yang ingin kalian tutupi. Ada rahasia yang sengaja kalian simpan. Kalau kalian memilih bungkam,
"Kamu pergi aja, Mas. Biar Umi aku yang jaga. Kamu sudah ijin lama, masa iya mau ijin lagi?" Ucapku berusaha meyakinkan ketika Mas Rahman terlihat ragu, antara ingin menjaga Umi atau pergi mengajar. Kalau urusan show room Mas Rahman bisa santai, ada Rudi orang kepercayaannya yang biasa mengurusi semuanya, kalau Mas Rahman sedang berhalangan datang."Beneran nggak pa-pa?" Aku mengangguk yakin. "Ya udah, kalau begitu aku pergi dulu. Kalau ada apa-apa segera telfon, ya," pintanya dengan wajah khawatir. Mas Rahman lantas mendekap tubuhku, kemudian mencium puncak kepala setelah kucium takzim punggung tangannya. "Aku beruntung memilikimu, Mey," desis Mas Rahman sebelum melepas pelukan, dan akhirnya meningggalkan ruang rawat uminya. "Hati-hati, Mas!" Ucapnya saat mengantar Mas Rahman sampai pintu. Kupandang punggung laki-laki yang telah membersamaiku selama hampir tiga tahun itu, hingga menghilang di belokan. Kalau dia merasa beruntung memilikiku, aku pun sama. Bahkan aku sangat bersyuk
"Maaf, Mama Dinda. Saya mau mengkonfirmasi, Dinda sudah tiga hari nggak masuk sekolah tanpa ijin. Apa Dinda sakit, atau bagaimana?"Deg! Tiba-tiba perasaanku tidak enak. Jadi tiga hari ini Dinda bolos sekolah, kemana dia? Kalau anak SMA atau SMP, mungkin mereka bolosnya pergi nongkrong sama teman-temannya. Lalu anak anak kelas 5 SD macam Dinda ngapain aja? Setahuku Dinda tak punya banyak teman, dia juga tak suka keluar main. Pulang sekolah biasanya dia langsung mandi dan makan, habis magrib mengerjakan tugas atau belajar. Sekolah Dinda full day school, waktunya habis untuk belajar. Apa karena bosan terus dia bolos sekolah? "Dinda tiga hari tidak masuk sekolah, Bu?" Aku masih belum percaya apa yang wali kelas Dinda katakan. "Iya, Bu. Apa sih, untungnya saya berbohong?" Iya, juga ya. Tak mungkin wali kelas Dinda bercanda dengan informasi sepenting ini. "Tapi tiga hari ini Dinda selalu berangkat sekolah, Bu. Saya sendiri yang mengantar dia sampai depan rumah, hingga naik mobil jempu
Mobil yang kutumpangi berhenti di depan rumah kami, usai membayar sejumlah uang, aku pun turun. Tak berselang lama, sebuah mobil SUV warna putih berhenti tepat di depanku. Dan betapa terkejutnya aku, demi melihat siapa yang menjadi pengemudi mobil itu. "Mey, apa kabar?" Tanya sosok berkacamata hitam, dari dalam mobil yang kacanya terbuka sebagian itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, Dinda duduk di jok sebelah laki-laki itu. Kepalanya tertunduk dalam. "Dinda! Turun!" Tanpa menunggu dua kali, gadis itu membuka pintu mobil dan turun ke luar. Dia berjalan ke arahku masih dengan kepala tertunduk. "Masuk!" Titahku tegas. Tanpa berpamitan pada Rey, bahkan menoleh pun tidak. Dinda masuk ke dalam rumah. Kini aku tinggal aku dan Rey yang saling beradu pandang. Lelaki itu akhirnya turun dan menghampiriku. "Selain merusak ibunya, ternyata kamu juga berniat merusak anaknya," ucapku dingin dan ketus. Laki-laki ini sudah melanggar janjinya padaku, untuk tidak menemui Dinda sementara waktu.
"Oke, aku mengerti sekarang. Suamimu memang lebih berharga dari semuanya, termasuk Dinda. Kalau begini, aku jadi mikir untuk mengambil alih hak asuh Dinda." Usai berkata, Rey masuk ke dalam mobilnya. Tak lama kemudian dia membawa kendaraan roda empat itu, meninggalkan aku yang masih berdiri terpaku. "Kalau begini, aku jadi mikir untuk mengambil alih hak asuh Dinda" Kalimat itu kini terngiang-ngiang di telingaku. Aku jadi mikir, bagaimana kalau Rey membuktikan ucapannya? Bersamaan dengan itu, mobil Mas Rahman mendekat. Aku segera berlari membuka pintu pagar lebar-lebar, kemudian menutupnya kembali setelah mobil itu terparkir di dalam garasi. "Yang tadi ngomong sama kamu kayak dokter Rey, ya? Atau aku hanya salah lihat?" Tanya Mas Rahman setelah turun dari mobil dan menghampiriku yang tengah menunggunya. Rupanya Mas Rahman sempat melihatku ngobrol sama Rey tadi. Doaku, semoga Mas Rahman tidak salah paham, apalagi sampai cemburu. Masalah Dinda sudah cukup membuat pusing kepalaku, a
Perlahan kubuka pintu yang tidak terkunci itu. Sebelum memutuskan melangkah masuk, aku tertegun sejenak, melihat di atas ranjang Dinda terlungkup dengan dua tangan menyangga dagu. Tanpa perlu diceritakan, aku tahu Dinda baru saja menangis. "Dind! Solat maghrib dulu, yuk! Habis itu kita makan malam," ucapku lembut sambil berjalan mendekat ranjang. Gadis itu bergeming, dia tetap pada posisinya. Tertelungkup sambil menyangga kepala. Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja, aku terus berusaha meluluhkan hati gadis yang hampir menginjak masa remaja itu. "Banyak tugas yang harus kamu kerjakan, lho. Kata Bu Ina, besok harus dikumpulkan," kataku lagi. Kali ini aku duduk di sebelah Dinda, bisa kulihat jelas mata sembab gadis itu. Pelan ku elus kepala anak gadisku. "Yuk, sholat sekarang! Keburu waktu maghrib habis. Nanti, ngerjain tugasnya Mama bantu," bujukku lembut, meski tak ada respon dari anak semata wayangku itu. Meski sempat bingung, akhirnya memilih menuruti saran Mas Rahman. Aku