Share

Bab 71

last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-14 19:28:18

Mobil yang kutumpangi berhenti di depan rumah kami, usai membayar sejumlah uang, aku pun turun. Tak berselang lama, sebuah mobil SUV warna putih berhenti tepat di depanku. Dan betapa terkejutnya aku, demi melihat siapa yang menjadi pengemudi mobil itu.

"Mey, apa kabar?" Tanya sosok berkacamata hitam, dari dalam mobil yang kacanya terbuka sebagian itu.

Dan yang lebih mengejutkan lagi, Dinda duduk di jok sebelah laki-laki itu. Kepalanya tertunduk dalam.

"Dinda! Turun!" Tanpa menunggu dua kali, gadis itu membuka pintu mobil dan turun ke luar. Dia berjalan ke arahku masih dengan kepala tertunduk.

"Masuk!" Titahku tegas.

Tanpa berpamitan pada Rey, bahkan menoleh pun tidak. Dinda masuk ke dalam rumah.

Kini aku tinggal aku dan Rey yang saling beradu pandang. Lelaki itu akhirnya turun dan menghampiriku.

"Selain merusak ibunya, ternyata kamu juga berniat merusak anaknya," ucapku dingin dan ketus.

Laki-laki ini sudah melanggar janjinya padaku, untuk tidak menemui Dinda sementara waktu.
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 72

    "Oke, aku mengerti sekarang. Suamimu memang lebih berharga dari semuanya, termasuk Dinda. Kalau begini, aku jadi mikir untuk mengambil alih hak asuh Dinda." Usai berkata, Rey masuk ke dalam mobilnya. Tak lama kemudian dia membawa kendaraan roda empat itu, meninggalkan aku yang masih berdiri terpaku. "Kalau begini, aku jadi mikir untuk mengambil alih hak asuh Dinda" Kalimat itu kini terngiang-ngiang di telingaku. Aku jadi mikir, bagaimana kalau Rey membuktikan ucapannya? Bersamaan dengan itu, mobil Mas Rahman mendekat. Aku segera berlari membuka pintu pagar lebar-lebar, kemudian menutupnya kembali setelah mobil itu terparkir di dalam garasi. "Yang tadi ngomong sama kamu kayak dokter Rey, ya? Atau aku hanya salah lihat?" Tanya Mas Rahman setelah turun dari mobil dan menghampiriku yang tengah menunggunya. Rupanya Mas Rahman sempat melihatku ngobrol sama Rey tadi. Doaku, semoga Mas Rahman tidak salah paham, apalagi sampai cemburu. Masalah Dinda sudah cukup membuat pusing kepalaku, a

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-16
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 73

    Perlahan kubuka pintu yang tidak terkunci itu. Sebelum memutuskan melangkah masuk, aku tertegun sejenak, melihat di atas ranjang Dinda terlungkup dengan dua tangan menyangga dagu. Tanpa perlu diceritakan, aku tahu Dinda baru saja menangis. "Dind! Solat maghrib dulu, yuk! Habis itu kita makan malam," ucapku lembut sambil berjalan mendekat ranjang. Gadis itu bergeming, dia tetap pada posisinya. Tertelungkup sambil menyangga kepala. Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja, aku terus berusaha meluluhkan hati gadis yang hampir menginjak masa remaja itu. "Banyak tugas yang harus kamu kerjakan, lho. Kata Bu Ina, besok harus dikumpulkan," kataku lagi. Kali ini aku duduk di sebelah Dinda, bisa kulihat jelas mata sembab gadis itu. Pelan ku elus kepala anak gadisku. "Yuk, sholat sekarang! Keburu waktu maghrib habis. Nanti, ngerjain tugasnya Mama bantu," bujukku lembut, meski tak ada respon dari anak semata wayangku itu. Meski sempat bingung, akhirnya memilih menuruti saran Mas Rahman. Aku

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-17
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 74

    "Mah, capek .... Belajarnya sudah, ya? Dilanjut besok pagi, boleh?" Tanya Dinda manja. Ah, senang rasanya, melihat Dinda kembali bersikap manja padaku. Dinda ku sudah kembali. Setelah selesai sholat isya tadi, aku membantu Dinda mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan ke wali kelasnya. Sebagai hukuman karena bolos tiga hari tanpa ijin. Aku berusaha membangun bonding di antara kami. Aku ingin Dinda selalu terbuka padaku, menceritakan segala keluh kesahnya tanpa merasa sungkan. Mengenai permintaannya yang ingin tinggal bersama Rey, jelas kutolak mentah-mentah. Dinda anakku, tanggung jawabku, aku tidak akan membiarkan dia tinggal bersama orang lain, meski itu ayah biologisnya. "Ya sudah, habis sholat subuh dilanjut lagi. Tapi Mama nggak bisa bantu, lho. Kan harus bantuin Mbok Nah, Mbak Susi jaga Eyang di rumah sakit," jawabku seraya membantu Dinda membereskan buku-bukunya. "Eyang masuk rumah sakit, ya? Kok, Mama nggak jaga?" Aku menghentikan aktivitasku sejenak. "Mama giliran jaga p

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-18
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 75

    Setelah melalui diskusi panjang, aku dan Mas Rahman akhirnya memutuskan untuk menemui Reynald. Banyak hal perlu kami bicarakan, membahas Dinda tentu saja. Tak mungkin aku terus menghindari laki-laki ini, bukannya menyelesaikan masalah, tapi justru menambah rumit keadaan. Aku bahkan tak mau menunda lagi, langsung gas usai mengantar Dinda sekolah. Takut masalah makin lebar dan tak terselesaikan. Bisa saja, tanpa sepengetahuanku Dinda masih bertemu Rey, dan laki-laki itu memanfaatkan keadaan dengan menghasut Dinda. Oh ya, mulai hari ini aku memutuskan mengantar jemput Dinda sendiri, tak lagi memakai jasa mobil jemputan, agar tidak kecolongan lagi seperti kemarin. Toh, aku sudah tidak lagi bekerja, full IRT sekarang. Saking nggak mau kecolongan, aku sengaja menunggui Dinda masuk kelas, baru kemudian meninggalkan sekolah Dinda. Kekhawatiranku bukan tanpa alasan. Setelah tahu seperti apa kelakuan papanya dimasa lalu, ternyata Dinda tetap menyayangi laki-laki itu. Dia bilang, "tapi dia pap

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-19
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 76

    Benar saja, mobil itu berhenti di depan pagar bersamaan dengan klakson yang berbunyi keras. Tak lama kemudian datang wanita paruh baya, membuka gerbang lebar-lebar. Setelahnya Mobil itu masuk pekaranganTanpa menunggu lagi, aku dan Mas Rahman bergegas turun, bermaksud menemui Rey. Mas Rahman tak punya waktu banyak, siang ini dia ada janji dengan orang. Dan betapa terkejutnya kami, demi melihat siapa yang berjalan di belakang Rey. "Dinda!""Mama!"Dinda tak dapat menyembunyikan ketakutannya, dia langsung bersembunyi di belakang punggung Reynald, begini melihatku datang. Aku merangsek, tapi Mas Rahman menahan langkahku dengan menggenggam tangan ini. Suamiku itu memberi kode dengan menggeleng pelan, saat tatapan kami berserobok. "Kita bicarakan baik-baik," ucapnya pelan, menyerupai bisikan. Diremasnya lembut jemariku, hingga emosi ini sedikit mereda. "Lho, ada tamu rupanya. Silahkan masuk," ucap Rey ramah, dengan wajah tanpa dosa. Kalau tanganku tidak digenggam Mas Rahman, mungkin a

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-20
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 77

    "Bagaimana kalau saya menolak, dan tetap mengajukan gugatan ke pengadilan?" Apa maksud Reynald berkata seperti itu? Nantangin Mas Rahman, atau bagaimana? Tak habis pikir aku memikirkan sikap dokter spesialis anak ini, kupikir semakin bertambah umur, semakin dewasa pula cara dia berfikir. Ternyata aku salah, bertambahnya umur Reynald hanya menambah egonya. Bahkan pendidikannya yang tinggi seolah tak memperngaruhi cara dia berfikir. Untuk pertama kalinya dalam seumur hidupku, aku bersyukur dulu dia menolak bertanggung jawab. Andai aku menjadi istrinya, bisa dipastikan bakal mengalami tekanan batin. Hidup bersama laki-laki egois seperti dia. Mas Rahman menghela nafas panjang, sebelum kembali angkat bicara. "Itu diluar kuasa saya. Dokter. Tapi, apa anda tidak sayang dengan waktu dan uang anda, dengan melakukan hal yang sia-sia?" Rey menatap sinis suamiku. "Maksud anda apa?""Saat Mey mengandung Dinda, anda menolak bertanggung jawab, bahkan menuduh Mey tidur dengan laki-laki lain. Susah

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-21
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 78

    "Mas, kenapa kamu kasih ijin Dinda nginep di rumah Reynald, sih," protesku tak terima, saat kami dalam perjalanan pulang. Aku benar-benar nggak ngerti dengan jalan pikiran suamiku ini. Kok, bisa-bisanya mengijinkan Dinda nginep di rumah Reynald. Memang dia ayah kandungnya, tapi hatiku masih belum rela membiarkan mereka sedekat itu. Dan sebelnya lagi, Mas Rahman bahkan menawarkan diri mengantar pakaian ganti Dinda, untuk dipakai selama dia tinggal di rumah itu, nanti sore. Gimana nggak emosi, coba? Harusnya dia mendengar pendapatku dulu, atau meminta persetujuanku. Bukannya main kasih ijin. Bagaimanapun juga aku ini ibu kandungnya Dinda, yang mengandung dan melahirkannya. Kalau kayak gini aku merasa nggak dianggap. "Nanti kalau dia krasan, gimana? Terus nggak mau diajak pulang, malah tinggal di sana terus. Kan, repot, Mas!" lanjutku.Laki-laki yang tengah fokus nyetir itu, seolah tak ambil peduli dengan segala protes yang kulayangkan. Membuatku kesal dan spontan menggebuk gemas leng

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-22
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 79

    "Justru karena kita lagi banyak masalah, bercinta membuat otak kita rileks, dan bisa berfikir jernih," jawabnya enteng. "Dasar mesum!""Ya wajar, lah! Namanya juga laki-laki!" Dan jawaban Mas Rahman membuat perasaanku diteror kekhawatiran. Dan ketakutan itu makin menjadi, ketika ponselku berbunyi dan nama Dinda terpampang di sana. Ada ada dengan anak itu? "Dari siapa, Mey?" Mas Rahman bertanya, ketika aku terlihat ragu mengangkat panggilan itu. "Dinda, Mas.""Kenapa nggak diangkat?""Bingung mau ngomong apa?" Bohong ku, padahal jantungku kebat-kebat takut mendengar kabar buruk dari anakku. "Ngomong biasa aja, seolah kamu tidak apa-apa. Jangan marah atau mengomeli dia, tapi tunjukkan perhatianmu. Agar Dinda tahu kamu menyanyanginya, dan menghargai setiap keputusannya. Dinda sudah bukan anak-anak lagi, Mey. Dia sudah beranjak dewasa, kita harus memperlakukan dia sesuai usianya," terang Mas Rahman. Aku mengambil nafas panjang dan mengembuskannya pelan-pelan, sebelum akhirnya mengan

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-23

Bab terbaru

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 99

    "Gantengnya cucu Eyang ...." Umi berkata sambil menimang putraku, yang baru kulahirkan beberapa jam yang lalu itu. Cucu pertamanya, cucu yang sudah dia nanti bertahun-tahun lamanya. "Wes, diborong Rahman semua ini, Mey. Kamu nggak kebagian apa-apa. Plek ketiplek bapaknya waktu masih bayi," lanjut Umi, tanpa mengalihkan pandangannya pada bayiku. Meski ada iri menelusup di hati, karena wajah anakku yang ternyata sangat mirip bapaknya. Tapi juga bahagia sekaligus bangga, bisa memberi anak pada suami, dan cucu untuk mertuaku, dengan wajah yang identik dengan wajah mereka. "Kalian sudah siap nama, kan?""Sudah, Mi," jawabku singkat. Aku belum berani banyak bicara, luka bekas operasi masih begitu nyeri, kalau aku bergerak sedikit saja. Bahkan aku belum berani bicara banyak, karena takut. "Siapa?""Alfarisqi Rahman, Mi. Panggilannya Alfa." Umi baru datang setelah operasi selesai. Karena tak mau ambil resiko, karena kesehatan Umi sering bermasalah. Kami berangkat ke rumah sakit sendiri.

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 98

    Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 97

    Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 96

    Tiga bulan berlalu, perutku mulai terlihat membuncit. Meski tak separah di Tri semester pertama, aku masih merasakan mual di pagi hari. Sebenarnya aku ingin beraktivitas, biar kehamilan ini tidak terlalu manja ini kehamilan kedua, harusnya aku kuat dan lebih siap, kan. Lagi pula aku juga sudah bosan kalau harus bad rest terus. Tapi Mas Rahman melarang. Katanya, "aku tidak mau anakku kenapa-napa, jangan ambil resiko!" Kalau aku ngeyel. "Dengan beraktivitas janin akan lebih sehat, Mas. Aku juga nggak stress dikurung terus." Tapi apa jawabnya? "Dah, nurut aja! Nggak usah banyak protes! Ini semua demi anak kita. Berkorban sedikit apa susahnya, sih?" Ternyata, perlakuan manis Mas Rahman hamil bukan untukku, tapi untuk anaknya. Dasar laki-laki, mau enaknya sendiri! Untung sayang. "Mas, capek. Pijitin!" Kuletakkan kedua kakiku di atas pangkuan Mas Rahman, yang sedang sibuk dengan laptopnya, memeriksa laporan keuangan show room. Tanpa bicara, Mas Rahman menutup laptopnya dan meletakkan di

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 95

    "Dibilang males, ngeyel!" Mas Rahman terkekeh. "Mas Rahman menyembunyikan sesuatu, ya?" Todongku. Aku sudah nggak betah menahan rasa penasaran, dari tadi sikap Mas Rahman mencurigakan. "Mau tahu aja, apa mau tahu banget?" Selorohnya. Aku mencebik kesal, tawa Mas Rahman makin menjadi. "Sus, tadi sudah dikasih tahu belum?" Mas Rahman bertanya pada Suster Lusi. "Belum, Pak. Nggak berani saya." Sebenarnya rahasia apa yang mereka sembunyikan, sih? Aku benar-benar kepo! "Sekarang aja, Sus!" Usai Mas Rahman berkata, Suster Lusi berjalan ke arah pintu. Aku menatap bingung suamiku, tapi dia hanya senyum penuh arti, membuat rasa penasaran di hati makin menjadi. Kami masih saling tatap ketik dari terdengar suara riuh dari arah pintu. "Surprise....! Selamat ulang tahun ...." Sontak aku menoleh ke sumber suara. Di sana ada Umi dan Dinda, mereka datang membawa buket bunga. Sementara Suster Lusi membawa kue tart yang di atasnya terdapat lilin angka, yang sudah menyala. Speechless, itu ya

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 94

    Pertama kali membuka mata, ruangan serba putih menyapa indera penglihatanku. Tanpa perlu dijelaskan, aku tahu sedang berada di ruang perawatan. Bau obat dan selang infus yang menancap di punggung tanganku, jawabannya. Apa ada masalah dengan lukaku? Infeksi? Atau kenapa? Pertanyaan itu memenuhi kepalaku, tapi aku tidak merasakan apa-apa di area itu. Pertanyaan-pertanyaan itu masih berputar-putar di kepalaku, hingga pintu terbuka dan menampilkan sosok wanita berseragam serba hijau menghampiriku. "Alhamdulillah .... Bu Rahman sudah siuman. Apa yang dirasakan, Bu? Masih pusing?" Tanya wanita bertag name Lusi itu, ramah. "Sedikit, Sus. Suami saya mana, ya? Kok nggak keliahatan?" Aku tak menemukan Mas Rahman ketika sadar tadi, dan sampai sekarang pun laki-laki itu kunjung muncul. Tak biasanya dia meninggalkan aku sendiri kalau sedang sakit, apalagi ini di rumah sakit. "Pak Rahman ijin pulang sebentar, Bu. Mengambil baju ganti katanya, dan beliau menitipkan Ibu pada saya," jelas wanita

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 93

    Umi menyambut antusias kedatangan kami, tapi Dinda justru bersikap sebaliknya Dia menampakkan wajah cemberut, tak bersemangat dan malas-malasan membantu membawa barang-barangku. "Yang punya hajat itu suadaramu yang mana sih, Mey? Kok kamu nggak pernah cerita? Pakai ngelarang aku nyusul pula, kan nggak enak sebagai besan nggak ikut hadir di acara mereka," cerca Umi begitu aku masuk rumah. Saat aku mengabari tak bisa pulang, dengan alasan ada suadara umiku yang punya hajat, Umi memaksa datang. Katanya demi menjaga tali silaturahim, tapi aku melarangnya. Alasannya rumahnya jauh dan pelosok, nanti Umi nyasar. Padahal nggak ada saudaraku yang punya hajat, itu semua hanya kebohongan demi menutupi fakta yang sebenarnya terjadi. Mana ada saudara Umi yang ingat aku? Di mata mereka aku ini hanya aib. "Sepupu jauh Umi saya, Mi. Mereka tinggal di pelosok, Mi. Aku sudah memberi amplop mereka, dan mengatakan itu dari Umi, " bohongku. Pepatah yang mengatakan sekali orang berbohong, maka akan ter

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 92

    Setelah tiga hari di rawat di rumah sakit Solo, akhirnya kami diijinkan pulang. Meski melalui drama pulang paksa, karena menurut dokter lukaku belum pulih benar. Tapi kami memaksa pulang, toh ini hanya luka luar bukan luka dalam yang mengkhawatirkan. Aku tak mungkin berlama-lama di Solo, sementara di rumah Umi cemas menanti kami. Ada Dinda yang butuh kami. Juga kasihan Mas Rahman yang harus bolak-balik Solo-Semarang, Semarang- Solo. Mas Rahman tak mungkin meninggalkan pekerjaannya. Oh ya, kami terpaksa menyembunyikan keadaan yang sebenarnya dari Umi, karena tak mau wanita jelang enam puluh tahun itu khawatir dan kepikiran. Mas Rahman terpaksa berbohong, mengatakan ada keluargaku yang punya hajat dan memaksaku nginep di sana. Padahal keluargaku yang di Solo sudah lama tak menganggapku ada. Sementara pada Dinda, aku mengatakan kalau masih ada urusan di Solo. Selama dirawat di Solo, ibunya Bu Naya dua kali menjengukku. Beliau berkali-kali minta maaf atas kesalahan anaknya, tapi anehnya

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 91

    Rupanya kesabarannya sudah habis untuk menghadapiku, kini dia mulai main kasar. Tak ada lagi sikap anggun dan kemayu yang selama ini melekat dalam dirinya. Bu Naya sama sekali berubah. "Uang apa? Bu Naya bilang butuh uang untuk melunasi biaya pengobatan, kenapa sekarang malah menolak? Bahkan melarang saya ketemu Reza. Sekarang saya jadi curiga, jangan-jangan Bu Naya .... " Ucapanku terhenti, karena aku merasa ada benda runcing yang dingin menempel di pinggangku. Tubuhku kaku seketika, otakku memberi sinyal bahaya. Aku ingin teriak dan minta tolong, tapi sayangnya rasa perih dan nyeri luar biasa tiba-tiba menyergap, membuat otakku buntu seketika. "Mey!" Samar kudengar namaku diteriakkan, setelah itu semua menjadi gelap. * * * * * * * * *Bau obat menyengat menyapa indera penciuman, memaksaku membuka mata demi mengetahui dimana aku berada sekarang. Ruangan serba putih menjadi pemandangan pertamaku, hingga akhirnya mataku terbuka sempurna. Lamat-lamat kuingat kejadian sebelum akhirn

DMCA.com Protection Status