"Justru karena kita lagi banyak masalah, bercinta membuat otak kita rileks, dan bisa berfikir jernih," jawabnya enteng. "Dasar mesum!""Ya wajar, lah! Namanya juga laki-laki!" Dan jawaban Mas Rahman membuat perasaanku diteror kekhawatiran. Dan ketakutan itu makin menjadi, ketika ponselku berbunyi dan nama Dinda terpampang di sana. Ada ada dengan anak itu? "Dari siapa, Mey?" Mas Rahman bertanya, ketika aku terlihat ragu mengangkat panggilan itu. "Dinda, Mas.""Kenapa nggak diangkat?""Bingung mau ngomong apa?" Bohong ku, padahal jantungku kebat-kebat takut mendengar kabar buruk dari anakku. "Ngomong biasa aja, seolah kamu tidak apa-apa. Jangan marah atau mengomeli dia, tapi tunjukkan perhatianmu. Agar Dinda tahu kamu menyanyanginya, dan menghargai setiap keputusannya. Dinda sudah bukan anak-anak lagi, Mey. Dia sudah beranjak dewasa, kita harus memperlakukan dia sesuai usianya," terang Mas Rahman. Aku mengambil nafas panjang dan mengembuskannya pelan-pelan, sebelum akhirnya mengan
Azan baru saja selesai berkumandang, saat Mas Rahman tiba-tiba datang dengan wajah kusut dan kantung mata tebal. Aku yakin semalaman dia tidak tidur, wajahnya terlihat begitu mengenaskan. "Rey sudah pulang? Kok, Mas menyusul kesini?" "Ambilin handuk, sama siapin baju ganti, Mey. Aku mau mandi." Bukannya menjawab pertanyaanku, laki-laki malah memberikan perintah. Aku yang kebetulan baru selesai mandi, dan handuk bekas ku masih di pundak, belum sempat aku gantung di tempatnya, pun mengulurkan handuk itu pada suamiku. Karena dia tidak sabar, menungguku mengambil handuknya sendiri dari tas. "Pakai ini nggak pa-pa?" Laki-laki itu langsung menyambar handuk dari tanganku. "Sudah, nggak pa-pa," ucapnya, lalu melesat ke kamar mandi. Aku hanya bisa menghela nafas panjang, melihat kelakuan suamiku. Setelah beberapa menit dia keluar dari kamar mandi, dengan wajah lebih segar. "Huf, seger," gumam laki-laki itu sambil melangkah ke arah sofa tempatku duduk. "Ini Baju gantinya?" Tanyanya menun
"Grompyang!" Suara besi beradu dengan lantai sukses mengagetkan kami berdua. "Umi!" Pekik kami bersamaan. Spontan aku dan Mas Rahman berlari ke arah Umi. Rupanya mertuaku itu berniat turun dari ranjang, tapi tangannya tak sengaja menyenggol piring milik rumah sakit yang terbuat dari stainless, hingga menimbulkan suara berisik dan mengagetkan kami. Kupikir Umi jatuh. "Umi mau kemana?" Tanyaku sambil membantu wanita itu duduk di tepi ranjang, sementara Mas Rahman membereskan lantai yang kotor. "Mau pulang, Mey. Kasihan Dinda, gara-gara kamu nungguin Umi di sini dia jadi nggak keurus."Aku menghela nafas panjang. Rupanya Umi mendengar obrolan kami, tapi hanya sepotong, hingga beliau salah paham. Itu sebabnya kalau menerima informasi jangan hanya sepotong-sepotong, bisa salah tafsir dan menyebabkan kesalah pahaman. "Iya, nanti kita pulang. Umi tidur lagi aja. Atau mau jalan-jalan? Mumpung masih pagi, udara masih bersih. Biar Umi nggak bosen aja di kamar," bujukku lembut. "Nggak mau,
Alhamdulillah .... Setelah hampir satu minggu menjalani rawat inap, akhirnya Umi diijinkan pulang. Cinta pertama Mas Rahman itu sudah sehat, kondisinya sudah pulih seperti semula. Selama menjalani perawatan, Umi relatif nurut nggak banyak nuntut, nggak rewel kayak biasanya. Ini karena Umi sudah nggak sabar menimang cucu dariku. "Gimana Mey mau hamil, kalau kecapekan terus, Mi. Bolak-balik ke rumah sakit itu melelahkan, ditambah ngurus suami dan anak. Tambah setres aku, Mi. Umi cepet sembuh, dong. Biar saya bisa fokus promil, biar cepet hamil. Umi nggak pengen punya cucu, apa?" Kalau bicara soal cucu, Umi paling semangat. Sudah lama wanita 57 tahun ini ingin punya cucu, dari keturunannya sendiri. Begitu aku berjanji akan ikut promil, demi mewujudkan mimpinya, Umi jadi semangat sembuh. Minum obat nggak usah dipaksa, minum vitamin tak perlu diingatkan, semua makanan yang disediakan dimakan. Saking kepengennya punya cucu. "Ya pengen, Met. Umi sering iri lihat teman-teman Umi pada bawa
"Din, ditunggu papamu di depan, tuh!" Ujarku dari ambang pintu kamar anakku.Gadis yang tengah tengkurap di atas kasur sambil membaca buku itu, menoleh sekilas lalu kembali fokus pada bukunya. Seakan tak menganggap kehadiranku. "Kok masih baca buku, sih? Buruan dandan sana! Papa mau ngajak kamu jalan-jalan katanya," imbuhku, tapi gadis itu sama sekali tak bereaksi. Aku hanya bisa menghala nafas panjang, lalu berjalan ke arahnya. Setelah duduk di tepi ranjang, ku elus lembut anak yang sebentar lagi menginjak masa remaja inj. "Kamu nggak boleh gitu, Din. Papa sudah jauh-jauh kesini, pengen ketemu kamu, pengen jalan-jalan sama kamu. Kok, kamu malah begini, sih? Nggak kasihan sama Papa, kamu?" Ucapku lembut. Dinda meletakkan bukunya, lalu membalik badan hingga kami saling bertatapan. "Lagi males jalan-jalan, Ma .... " rajuknya manja, lalu bergelayut manja di lenganku. Sekali lagi ku elus lembut puncak kepalanya, berharap gadis 12 tahun ini luluh hatinya. Bagaimanapun juga mereka aya
Damai itu indah. Aku setuju dengan ungkapan itu, setidaknya itu yang terjadi padaku. Sejak memutuskan berdamai dengan Rey, dan saling kerja sama dalam membesarkan Dinda, hidupku terasa lebih tenang dan nyaman. Tak ada bersitegang dan adu debat. Aku lihat Rey juga banyak berubah, sifat kebapakannya sudah keluar. Menurut Dinda pun begitu, papanya sekarang lebih woles katanya. Nikmat mana yang kau dustakan? Umi sudah sembuh, sudah bisa beraktivitas seperti biasa, meski tak seperti dulu lagi. Tapi setidaknya dia bisa mengurus dirinya sendiri, tidak lagi merepotkan sepert. Bahkan mertuaku ini sudah akrab dengan Rey. Mas Rahman juga, sudah seperti teman kalau ketemu Rey, ngobrol ngalor ngidul khas laki-laki. Ya, meski cemburunya nggak pernah bisa hilang, karena bagaimanapun juga aku dan Rey pernah ada cerita. Dan aku memaklumi itu. Senang rasanya, menjalani hidup tanpa banyak masalah. Aku berharap, kedamaian ini berlangsung selamanya. "Papa sekarang itu lebih sabar, gak gampang marah,
Baru satu suapan masuk ke mulut, tiba-tiba ponselku berdering nyaring. Aku berusaha mengabaikannya dengan tetap menikmati makan malam kali ini, tapi benda pipih itu terus meraung minta diangkat. "Angkat, Mey! Mungkin penting." Tanpa menjawab, aku mengambil ponsel yang kusimpan di saku piyamaku. Ada nama Bu Naya yang terpampang di layarnya, membuatku bertanya-bertanya. Ada apa dengan istri muda Abah itu? Ya menurutku aneh, setelah sekian purnama menghilang, tiba-tiba dia kembali menelfon. Pasti ada apa-apanya. Apa dia masih ingin menuntut warisan Abah? "Siapa?" Mas Rahman bertanya tanpa suara, ketika aku baru mengangkat panggilan. "Bu Naya," jawabku dengan gerakan bibir saja. Priaku itu mengangguk lalu melanjutkan makannya. "Assalamu'alaikum, Bu. A----" Belum sempat ku selesaikan ucapanku, Bu Naya sudah memotongnya. "Mbak Mey, aku bisa minta tolong, nggak? Penting ini, mendesak banget." Sontak dahiku mengernyit, mendengar ucapan Bu Naya. Penting dan mendesak, biasanya itu berhu
Sampai sekarang, jauh setelah Abah meninggal. Mas Rahman masih benci pada Bu Naya, apalagi sejak Bu Naya menikah lagi, tak lama setelah Abah meninggal. Kebencian Mas Rahman makin menjadi. Waktu tilik bayi ke Solo itu, kalau bukan kupaksa dan dipaksa Umi, dia tidak bakalan mau. Itulah kenapa Bu Naya selalu menelfon aku kalau sedang butuh. Selain tak punya nomer telfon suamiku, Bu Naya sungkan menghubungi mantan anak tirinya ini. "Mey, Mey.... Jadi orang jangan terlalu polos!" Baru saja Mas Rahman menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba ponselku kembali berdering. Dan kembali nomor Bu Naya yang menghubungi. "Perempuan itu lagi?" Aku mengangguk pelan. "Angkat! Jangan lupa load speaker!" Perintahnya. "Aku harus jawab apa nanti?" Bu Naya menelfon ku karena butuh uang, sedangkan Mas Rahman belum memberi jawaban, bersedia atau tidak memberi uang untuk pengobatan Reza. "Bilang saja aku akan ke Solo, dan melunasi seluruh biaya rumah sakit," jawabnya datar. Tanpa banyak tanya, aku melakukan