Baru satu suapan masuk ke mulut, tiba-tiba ponselku berdering nyaring. Aku berusaha mengabaikannya dengan tetap menikmati makan malam kali ini, tapi benda pipih itu terus meraung minta diangkat. "Angkat, Mey! Mungkin penting." Tanpa menjawab, aku mengambil ponsel yang kusimpan di saku piyamaku. Ada nama Bu Naya yang terpampang di layarnya, membuatku bertanya-bertanya. Ada apa dengan istri muda Abah itu? Ya menurutku aneh, setelah sekian purnama menghilang, tiba-tiba dia kembali menelfon. Pasti ada apa-apanya. Apa dia masih ingin menuntut warisan Abah? "Siapa?" Mas Rahman bertanya tanpa suara, ketika aku baru mengangkat panggilan. "Bu Naya," jawabku dengan gerakan bibir saja. Priaku itu mengangguk lalu melanjutkan makannya. "Assalamu'alaikum, Bu. A----" Belum sempat ku selesaikan ucapanku, Bu Naya sudah memotongnya. "Mbak Mey, aku bisa minta tolong, nggak? Penting ini, mendesak banget." Sontak dahiku mengernyit, mendengar ucapan Bu Naya. Penting dan mendesak, biasanya itu berhu
Sampai sekarang, jauh setelah Abah meninggal. Mas Rahman masih benci pada Bu Naya, apalagi sejak Bu Naya menikah lagi, tak lama setelah Abah meninggal. Kebencian Mas Rahman makin menjadi. Waktu tilik bayi ke Solo itu, kalau bukan kupaksa dan dipaksa Umi, dia tidak bakalan mau. Itulah kenapa Bu Naya selalu menelfon aku kalau sedang butuh. Selain tak punya nomer telfon suamiku, Bu Naya sungkan menghubungi mantan anak tirinya ini. "Mey, Mey.... Jadi orang jangan terlalu polos!" Baru saja Mas Rahman menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba ponselku kembali berdering. Dan kembali nomor Bu Naya yang menghubungi. "Perempuan itu lagi?" Aku mengangguk pelan. "Angkat! Jangan lupa load speaker!" Perintahnya. "Aku harus jawab apa nanti?" Bu Naya menelfon ku karena butuh uang, sedangkan Mas Rahman belum memberi jawaban, bersedia atau tidak memberi uang untuk pengobatan Reza. "Bilang saja aku akan ke Solo, dan melunasi seluruh biaya rumah sakit," jawabnya datar. Tanpa banyak tanya, aku melakukan
Seperti yang Mas Rahman katakan semalam, bahwa kami akan ke Solo pagi-pagi sekali. Maka di sinilah kami sekarang, di mobil dalam perjalanan menuju Solo. Kami berangkat dari rumah jam enam, karena ingin segera sampai rumah sakit agar bisa melunasi biaya pengobatan Reza. Kami berangkat berdua saja, Dinda tidak ikut bukan karena harus sekolah, melainkan karena ini hari sabtu. Week end adalah jadwalnya menghabiskan waktu bersama Rey. Enaknya kalau akur sama mantan, saat aku bepergian seperti ini yang jagain anak. "Kita langsung ke rumah sakit, Mas?" Tanyaku setelah mobil yang dikendarai Mas Rahman, memasuki wilayah Solo. "Tentu saja. Bukannya kedatangan kita untuk melunasi biaya pengobatan Reza?" Datar saja dia berkata. Tak riak khawatir atau panik. Ah, mungkin ini hanya perasaanku saja. Mas Rahman tipe penyayang, dia paling peduli kalau ada keluarga yang sakit. Reza kan, adik satu ayah dengan Mas Rahman. "Takutnya mereka sudah pulang, Mas. Kan, Reza sudah diijinkan pulang sejak kemar
"Dalem meniko sampun disita, Bank. Bu Naya mboten ten mriki maleh," jelas wanita itu. ("Rumah itu sudah di sita Bank. Bu Naya tidak tinggal di sini lagi.") Sebuah fakta yang mencengangkan. Rumah peninggalan Abah dijadikan jaminan hutang di Bank, dan kini disita? Yang jadi pertanyaanku, untuk apa uang sebanyak itu? Apa Bu Naya punya bisnis lalu tertipu, kemudian bangkrut atau bagaimana? Aku dan Mas Reza kembali saling pandang. Baru beberapa bulan kami tidak berjumpa, tiba-tiba mendapat kabar yang sangat mengejutkan. Rumah peninggalan Abah tergadai. "Njenengan perso Bu Naya pindah wonten pundi, Bu?" ("Ibu tahu kemana Bu Naya pindah?") Tanyaku to the point, karena tak ingin pembahasan Bu Naya semakin panjang. Ya meski kuakui aku kepo, dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan Bu Naya, hingga menggadaikan rumahnya. Tapi membicarakan dengan tetangga Bu Naya bukan hal baik, nanti jatuhnya ghibah. "Ngapuntene, kalau soal itu saya ndak tahu. Wong Bu Naya pindahnya diam-diam, nggak pamita
"Sudah tiga bulan Naya pergi tanpa kabar, meninggalkan anak-anaknya di rumah ini tanpa mempedulikan kebutuhan mereka. Saya ini sudah tua sudah tidak bekerja, tidak punya penghasilan hanya mengandalkan hasil menyewakan rumah, mana cukup untuk menghidupi kami semua. Apalagi Sarah sudah besar, sudah ngerti jajan, sekolahnya pun bayar, Reza juga harus minum sufor. Uang darimana untuk membiayai semua itu? Apalagi uang pensiun suami saya habis tak bersisa dipotong pinjaman yang uangnya dipakai Naya. Dari dulu saya tidak setuju dia menjalin hubungan dengan laki-laki bernama Adi Guntoro itu. Pemalas hanya jual tampan saja, padahal hidup butuh biaya. Dasar Naya nya saja yang bo doh, gen deng! Matanya dibutakan cinta. Sudah berkali-kali dibuat susah sama si Adi itu, masih saja mau hidup bersama. Dulu, waktu dia menikah dengan Mas Fauzi, saya senang luar biasa. Naya berubah menjadi lebih baik, mau sholat, kehidupannya lebih tertata. Tapi sejak Laki-laki tak tahu diri itu kembali, hidup Naya jad
"Terus sekarang kita gimana, Mas?" Tanyaku ketika kami sudah berada di mobil."Pulang, Mey. Memang mau kemana lagi? Nyari perempuan itu?" Sinis Mas Rahman. "Ya mungkin kamu kasihan sama Reza, terus mau bantu nyari emaknya," sahutku nylekit. Mas Rahman dari dulu nggak pernah mau diajak membahas mantan ibu tirinya itu, padahal dulu sempat mendukung pernikahannya dengan Abah. "Ngapain, bukan urusanku," ketusnya. "Ya udah, kita pulang aja," pungkasku akhirnya. Kalau Mas Rahman dalam mode ketus gini, nggak usah diajak ngomong apalagi debat. Sumpah hanya bikin sakit hati, apalagi kalau topiknya adalah Bu Naya. Wes, mending diem, diem, diem. Titik. Suasana di mobil jadi hening, hanya suara dari radio meramaikan suasana. Mas Rahman fokus nyetir, sementara aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Keheningan masih terus mengisi perjalanan kami, hingga ponsel mendadak berisik. Sebelum mengangkat telfon, aku menoleh ke arah Mas Rahman. Laki-laki itu fokus menatap ke depan, sama sekali tak terpe
Rupanya kesabarannya sudah habis untuk menghadapiku, kini dia mulai main kasar. Tak ada lagi sikap anggun dan kemayu yang selama ini melekat dalam dirinya. Bu Naya sama sekali berubah. "Uang apa? Bu Naya bilang butuh uang untuk melunasi biaya pengobatan, kenapa sekarang malah menolak? Bahkan melarang saya ketemu Reza. Sekarang saya jadi curiga, jangan-jangan Bu Naya .... " Ucapanku terhenti, karena aku merasa ada benda runcing yang dingin menempel di pinggangku. Tubuhku kaku seketika, otakku memberi sinyal bahaya. Aku ingin teriak dan minta tolong, tapi sayangnya rasa perih dan nyeri luar biasa tiba-tiba menyergap, membuat otakku buntu seketika. "Mey!" Samar kudengar namaku diteriakkan, setelah itu semua menjadi gelap. * * * * * * * * *Bau obat menyengat menyapa indera penciuman, memaksaku membuka mata demi mengetahui dimana aku berada sekarang. Ruangan serba putih menjadi pemandangan pertamaku, hingga akhirnya mataku terbuka sempurna. Lamat-lamat kuingat kejadian sebelum akhirn
Setelah tiga hari di rawat di rumah sakit Solo, akhirnya kami diijinkan pulang. Meski melalui drama pulang paksa, karena menurut dokter lukaku belum pulih benar. Tapi kami memaksa pulang, toh ini hanya luka luar bukan luka dalam yang mengkhawatirkan. Aku tak mungkin berlama-lama di Solo, sementara di rumah Umi cemas menanti kami. Ada Dinda yang butuh kami. Juga kasihan Mas Rahman yang harus bolak-balik Solo-Semarang, Semarang- Solo. Mas Rahman tak mungkin meninggalkan pekerjaannya. Oh ya, kami terpaksa menyembunyikan keadaan yang sebenarnya dari Umi, karena tak mau wanita jelang enam puluh tahun itu khawatir dan kepikiran. Mas Rahman terpaksa berbohong, mengatakan ada keluargaku yang punya hajat dan memaksaku nginep di sana. Padahal keluargaku yang di Solo sudah lama tak menganggapku ada. Sementara pada Dinda, aku mengatakan kalau masih ada urusan di Solo. Selama dirawat di Solo, ibunya Bu Naya dua kali menjengukku. Beliau berkali-kali minta maaf atas kesalahan anaknya, tapi anehnya