"Rumor tentang Pak Killian dan istri-istrinya itu sangat menyeramkan! Bahkan katanya ada yang sampai meninggal di dua bulan pertama pernikahan mereka!" Normalnya, orang-orang akan kabur jika harus mendampingi Killian Ravimore karena pria itu terkenal kejam dan tanpa perasaan, dengan empat istri yang sudah kabur karena perlakuannya. Namun, tidak bagi Minna Rossa, gadis yang terpaksa menjadi pembantu di rumahnya sendiri setelah ayahnya meninggal, diperbudak oleh ibu serta saudara tirinya seperti sosok Cinderella. Jelas aja Minna tidak akan melepaskan kesempatan untuk keluar dari penyiksaan keluarga tirinya. Bagi gadis itu, tidak ada yang lebih parah dibandingkan harus menghadapi hari-hari penuh siksaan dari keluarga tirinya. Akan tetapi, itu sebelum ia bertemu dengan Killian, pria tegap berwajah dingin yang meninggalkannya di altar setelah mengucap janji suci hanya demi menghadiri rapat! Ternyata ujian Minna belum berakhir. Ada tantangan lain yang harus ia hadapi, dan tantangan itu bernama Killian Ravimore!
View More“Dengar, Minna, kamu akan menikah dengan Pak Killian Ravimore untuk menjadi istri kelimanya.”
Deg.
Wajahku sontak tertunduk dalam. Jantungku mulai berdetak tak beraturan. Mati-matian aku menahan napasku yang terengah agar mereka tidak menyadarinya.
Tidak, aku tidak boleh meledak di sini. Aku harus bisa menahannya.
“Astaga! Ibu! Yang benar saja!!” Lilly, adik tiriku, berteriak histeris. Kulihat air mata langsung menggenangi pelupuk matanya yang indah. “Bu, Ibu pasti bercanda kan?!”
Air mata mulai mengalir di kedua pipi adik tiriku itu.
Ah, ia terlihat seperti malaikat yang tengah putus asa. Seakan titah pernikahan ini ditujukan kepadanya, bukan kepadaku.
“Hah.” Di kursi yang lain, sosok kakak tiriku bersidekap sambil tersenyum mengejek. “Anak sepertimu memang cocok jadi istri kelima.”
Kak Jasmine berujar sinis kepadaku, seperti biasa.
“Kak Jasmine!” hardik Lilly kepada sang kakak, lalu ia kembali menoleh kepada ibunya. “Ibu, tolong pikirkan lagi. Rumor tentang Pak Killian dan istri-istrinya itu sangat menyeramkan! Bahkan katanya ada yang sampai meninggal di dua bulan pertama pernikahan mereka! Bagaimana kalau Kak Minna juga terluka?”
“Cukup, Lilly,” tegur Ibu sambil mengibaskan tangannya. Ia bangkit berdiri, berjalan ke jendela, seakan tengah memikirkan sesuatu. Wajahnya tampak serius. “Pernikahan ini sangat penting.”
Aku mendengus dalam hati. Tentu saja pernikahan ini sangat penting. Tanpa pernikahan ini, rumah dan seluruh aset kami akan ditarik oleh bank karena terlilit utang yang menggunung sampai langit.
Setelah kematian ayahku, harta yang sudah dikumpulkan oleh orang tuaku selama bertahun-tahun habis dalam sekedipan mata. Bahkan kami mulai memiliki utang di mana-mana.
Sekarang, demi membayar semua utang-utang dan mencari dana pemasukan baru, keluarga parasit ini menjualku.
Jelas mereka tidak peduli apakah aku akan diceraikan atau bahkan tewas mengenaskan.
“Lagi pula itu cuma rumor belaka,” tambah ibu tiriku kepada Lilly, bukan kepadaku.
Memang aku hanya seperti boneka tanpa jiwa saja di sini.
“Ibu! Tapi–”
“Ssst. Berhenti, Lilly! Kita harusnya bersyukur karena orang seperti Pak Killian yang terhormat itu mau menikahi gadis menjijikan seperti Minna.” Kak Jasmine menatapku seakan aku adalah seongok sampah. “Padahal mungkin, dia lebih cocok dijadikan pelayan di rumah megah mereka.”
Sialan, rasanya ingin kutinju hidung penuh fillernya itu sampai bengkok!
Tapi hal itu hanya akan membuatku dipukuli habis-habisan.
“Jadi, Minna Rossa.” Ibu kali ini berkata padaku. Tatapannya seakan bisa mengiris tipis-tipis tubuhku menjadi beberapa bagian. “Jangan buat masalah. Pernikahan ini harus berjalan dengan sempurna.”
Ibu menekankan setiap kata-katanya dengan serius.
“TIDAK!” Lilly masih menangis histeris. Gadis itu tampak tidak ingin mengorbankan diriku. Tapi, aku tahu, usahanya akan sia-sia saja. “Kak Minna, tolong katakan sesuatu! Kakak juga nggak mau kan menikah dengan Pak Killian!”
Aku ingin meminta Lilly berhenti menangis. Karena itu sama sekali tidak membantu. Tidak peduli seberapa banyak ia meneteskan air mata, keputusan Ibu takkan pernah berubah. Aku harus menjadi tumbal demi kehidupan mereka yang nyaman.
“Kak Minna! Katakan kalau Kakak juga keberatan!”
Lalu apa? Satu kata saja, maka aku akan dikunci di ruangan dan tidak diberi makan selama berhari-hari.
Mengabaikan rengekan Lilly, Ibu kembali menatapku dan berkata, “Sekarang masuk ke kamarmu. Besok kita akan fitting gaun pengantin.”
Besok?
“Ibu! Tolong pikirkan kembali!” Lilly masih berusaha membujuk dengan air matanya.
Tahan. Aku harus menahannya. Sebentar lagi, semua ini akan berakhir.
Toh, lebih cepat keluar dari sini lebih baik.
Di mana pun akan lebih baik daripada di sini.
Dengan menundukkan kepala, aku mengangguk pelan.
“Baik, Bu,” ucapku, kalu keluar dari ruangan itu.
Sesaat sebelum pintu di belakang punggungku tertutup, aku bisa mendengar suara tawa Ibu dan Kak Jasmine yang menggelegar puas. Sepertinya mereka sangat bahagia karena bisa kembali memanfaatkan hidupku hingga titik darah penghabisan.
Kuembuskan napas perlahan. Bersamaan dengan itu, air mataku mengalir.
Akhirnya … sebuah kesempatan untuk keluar dari rumah ini.
“Nona Minna!”
Aku menoleh ke sumber suara. Ralla, satu-satunya orang yang masih berpihak kepadaku di rumah itu sekaligus asisten rumah tangga yang rela tidak mendapat gaji selama beberapa waktu karena utang-utang keluarga kami tampak berlari tergesa ke arahku.
“Ka … kabar pernikahan Nona…” Gadis itu tergagap sambil berderai air mata. “Apa itu benar?”
Aku mengangguk. “Iya, Ralla.”
Gadis itu langsung memelukku. “Nonaku yang malang…” tangisnya sedih.
Melihat ketulusannya membuat dadaku nyeri. Sudah lama aku tidak menerima kehangatan seperti itu.
Di rumah ini, hanya tersisa dua asisten rumah tangga. Martha, tangan kanan ibu tiriku, dan Ralla. Sedangkan pembantu yang lain sudah hengkang kaki satu per satu sejak kematian ayah.
“Mereka bilang orang itu sangat menyeramkan. Dia juga tua bangka yang sudah menikah berkali-kali. Bagaimana mungkin Nyonya setuju menikahkan Nona dengan orang sejahat itu?” Ralla kembali berkata, membuat hatiku makin sakit.
Aku bersumpah, jika semuanya membaik, hal pertama yang akan kulakukan adalah menyelamatkan Ralla dari rumah ini.
“Bahkan katanya dia membunuh salah satu istrinya juga, Nona….”
Pelukan Ralla terasa semakin erat, membuatku mulai kesulitan bernapas. Namun entah mengapa aku tidak ingin melepaskannya.
“Tapi Nona Minna tenang saja. Saya akan melakukan apa pun untuk selamatkan Nona dan menggagalkan pernikahan ini!”
“HEH!” Aku melepaskan pelukannya dengan wajah panik.
Apa sebenarnya yang sedang dia katakan?!
“Nona… Saya sungguh-sungguh. Nona bisa menggunakan saya. Asalkan pernikahan ini batal, saya akan melakukan apapun!”
Pletak. Aku menyentil kening gadis itu.
“Jangan macam-macam, Ralla. Pernikahan ini harus terjadi!”
Gadis itu tampak terkejut. “Ta-tapi, Nona.…”
“Lihat aku, Ralla! Apa aku kelihatan seperti orang yang putus asa?!” Aku menatap tajam kedua mata gadis polos itu. “Aku justru sangat bahagia karena pernikahan ini! Cuma ini satu-satunya cara supaya aku bisa keluar dari rumah terkutuk ini. Jadi jangan hancurkan rencanaku.”
Susah payah aku menyembunyikan senyum bahagiaku di hadapan mereka, sekarang bisa-bisanya Ralla yang justru akan menghancurkan impian terbesarku saat ini!
“Aku benar-benar mengharapkan pernikahan ini, Ralla.” Aku mengulangi ucapanku.
“Ta-tapi, Nona … Nona akan jadi istri kelima!”
“Apa itu masalah? Itu jauh lebih baik dari pada organ tubuhku dijual mereka!”
“Orang itu juga katanya jahat!”
“Jadi aku tinggal menghindari dia dan jangan buat masalah aja, kan? Dan kamu lupa sejahat apa Ibu dan Kak Jasmine?”
“Tapi dia jauh lebih tua dari Nona!”
“Tapi dia kaya, Ralla! Kekayaannya bahkan nggak akan habis selama 7 turunan!”
“Nona! Nona mau menggadaikan hidup Nona demi harta?”
Itu pertanyaan klise yang menohok. Manusia memiliki insting untuk menjunjung harga diri mereka. Namun, mengingat hidupku yang jauh lebih buruk sebagai Cinderella di rumah ini, kurasa menunggu pangeran itu adalah keputusan yang bodoh. Yang ada aku sudah mati saat pangeran itu datang.
Di hadapan Ralla, satu-satunya orang yang kupercayai, senyumku mengembang begitu lebar.
“Ya,” jawabku tulus. “Tentu saja!”
***
1 bulan sebelumnya.“Stockholm syndrome.”Kata-kata Laura kembali terngiang.“Apa?”“Itu adalah gangguan psikologis pada korban penculikan. Di mana korban justru mengembangkan perasaan simpati, bahkan kasih sayang terhadap pelakunya.”“Saya tau! Tapi itu tidak mungkin! Mana mungkin ada orang yang memiliki perasaan seperti itu kepada orang yang sudah menyakitinya?” Joachim, dengan seluruh upayanya menyangkal keras.Aku sedikit khawatir menempatkan mereka di satu ruang yang sama. Namun, wanita itu menepati janjinya. Ia mengabaikan Joachim seakan obsesinya tidak pernah ada sama sekali. “Kamu pikir apa alasan gadis berusia 22 tahun tetap berada di tempat yang menyakitkan seperti itu?!”“Karena dia dikurung!”“Jangan membuatku tertawa, Joachim. Dia tidak dipasung. Dia bebas. Dia memiliki akses luas. Terlepas dari seluruh perlakuan keluarga tirinya, dia dibiarkan bebas di dalam rumah. Dia bukan lagi gadis kecil berusia 6 tahun! Dia gadis dewasa berusia 22 tahun. Dia bisa meminta bantuan ke
Apa arti luka?Apakah itu ketika kau pecah, tergores, bersimbah darah, hingga kau berpikir itu akan menjadi sambutan kematianmu?Aku sudah berkali-kali berada di ambang rasa sakit itu.Kupikir aku sudah merasakan semuanya, tapi ternyata, itu hanyalah sebagian kecil dari potongan rasa sakit yang diciptakan segores luka.Klik.Pintu terbuka perlahan. Mengusik keheningan yang memenuhi jiwaku.“Kak Minna? Ke-kenapa Kakak bisa ada di sini?!”Aku selalu bertanya-tanya, mengapa dulu aku tidak memepertahankan apa yang Ibu tinggalkan? Mengapa aku membiarkan mereka membakar seluruh potret Ibu? Mengapa aku tidak menyembunyikan salah satunya di antara celah yang hanya aku sendiri yang mengetahuinya?Mengapa aku membiarkan mereka menghilangkan seluruh jejak Ibu?Mengapa aku membiarkan mereka membuatku melupakan Ibu?“Kak Minna! Apa yang Kakak lakukan di sini?! Pergi!”Aku bergeming. Menatap hampa ruang kelas yang kosong. Kesempatan yang tak pernah kudapatkan. Kesempatan yang mereka rebut dengan kej
Laskala.Nama itu terasa asing dan familiar secara bersamaan.Aku melewati malam tanpa terpejam hanya untuk mencari jejak di mana aku pernah mendengar nama Laskala sebelumnya.Dua malam yang lalu, setelah mendengar nama itu, aku bisa merasakan perubahan drastis pada sorot matanya.Ia menurunkanku dengan hati-hati dari dekapan, mengambil ponsel yang tersimpan di atas meja, lalu pergi setelah mengecup singkat keningku.Dalam hitungan detik, semua orang yang kupikir menghilang, tiba-tiba saja kembali memenuhi apartment, meskipun pada akhirnya mereka kembali pergi mengikuti langkah pria itu.“Jaga tempat ini sampai aku kembali.”Hanya pesan itu yang tinggalkan. Lalu ia pergi begitu saja, tanpa penjelasan, tanpa kabar. “Nona?” Windi muncul dengan senyuman cerah seperti biasa. Ia meletakkan sepiring stroberi segar yang sudah dipotong rapi ke atas meja. “Nona, Pak Gerad akan berbelanja bahan makanan. Apa ada makanan tertentu yang Nona inginkan untuk makan malam nanti?”Aku menurunkan cangk
“Kemana semua orang?”Dari celah pintu kamar yang sedikit terbuka, aku mengintip diam-diam.“Sedang apa kau?” tanya pria itu, berdiri di belakang punggungku.“Di luar… tidak ada siapa pun.”Tangan panjangnya mendorong pintu hingga terbuka, lalu ia melangkah keluar kamar begitu saja, tanpa memperdulikan keberatanku.Ia berjalan santai ke dapur yang kosong. Bahkan meja makan yang tadi amat ramai, kini hanya menyisakan makanan-makanan lezat tanpa sisa piring yang tertinggal.Aku menatap ke sekeliling apartment. Di mana semua orang? Mengapa mereka bisa lenyap seperti ini?“Makanlah yang banyak.” Pria itu mengelilingi meja dapur, mengambil sebuah apel, menggigitnya sambil menarik kursi meja makan. “Minna? Kau bilang kau lapar.”Mataku mengerjap cepat. Aku memang lapar, tapi ini sangat aneh.“Kemana semua orang?”Aku hampir tidak pernah melewati waktu tanpa Windi dan Arlo. Mereka tidak pernah meninggalkanku sendiri.“Apa terjadi sesuatu?” tanyaku cemas.“Tidak terjadi apapun. Sekarang duduk
Tidak seperti saat menggendong, setidaknya saat ia mendudukanku di sisi ranjang, gerakannya jauh lebih manusiawi, walaupun tidak bisa dikatakan lembut sama sekali.“Aww.” Aku meringis pelan saat ia membuka serbet yang sekarang sudah dipenuhi darah dari tanganku.Sebenarnya lukanya tidak terlalu dalam, darahnya juga sudah berhenti menetes, tapi karena cukup panjang, darahnya hampir memenuhi salah satu sisi serbet, bahkan sampai merembes ke kemeja hitam pria itu.Ketukan di pintu mengiringi kedatangan Dokter Fabian yang membawa kotak P3K.“Maaf, ternyata tidak ada first aid kit di apartment.”Itu menjelaskan keringat yang memenuhi keningnya. Ia pasti harus mengambil kotak itu di mobil.Pria itu menudingku dengan tatapan sengitnya, seakan ketidakberadaan kotak P3K di apartment adalah sebuah kejahatan yang fatal dan sengaja kulakukan. Dokter Fabian menarik kursi di depan meja rias, lalu duduk di hadapanku, memeriksa lukaku dengan seksama.“Apa perlu dijahit?”Pria itu bersidekap, menatap
“Pak Kenan sudah mengirimkan email, Pak. Saya juga sudah meminta tim finance untuk melengkapi data sales periode pertama. Haruskah saya menghubungi bagian operator?”“Tidak perlu. Persiapkan saja datanya, kita akan meeting 15 menit lagi.”“15 menit? Tapi itu…”Ia menoleh, membuat sekretarisnya menelan keberatan apa pun yang tadi sempat tergantung di lidahnya.“Ya, 15 menit lagi. Saya akan siapkan link meetingnya, dan mengirim undangan.”“Bagus. Dan minta juga bagian marketing mengirimkan bahan marketing yang sudah direvisi. Pastikan manager pengembang hadir. Poin yang perlu direvisi dari MoU sudah kusertakan, bereskan itu sekarang, dan segera email kembali.”Dari balik counter dapur, aku tidak bisa berhenti menatap ruang keluarga yang kini sudah diubah menjadi ruang kerja sementara pria itu. Sebenarnya, apartment ini memiliki ruang khusus yang bisa digunakan sebagai ruang kerja, tapi pria itu memilih ruang keluarga.Sekarang, melihat berkas-berkas yang tersebar, aku jadi mengerti.Tap
Part 47“Nona Minna?” Windi berbisik gelisah di sampingku. Sesekali ia melirik ke lantai dua, sebelum kembali menundukkan wajah sambil menelan ludah susah payah.Aku melirik pintu The Oak Tree yang tertutup. Di kejauhan, aku bisa melihat beberapa mobil terparkir di depan toko. Salah satu mobil itu berisi Dokter Fabian, Hugo, dan Jeremy yang diusir oleh pria itu.“Nona yakin ini tidak apa-apa?”Apanya yang tidak apa-apa, semuanya benar-benar kacau sekarang.Meksi aku sudah menempatkan pria itu di meja yang paling jauh dari pengunjung lain karena kondisi gynophobianya, tapi entah bagaimana hanya dengan keberadaannya sendiri saja, perhatian semua orang sangat mudah tertuju kepadanya.Entah karena kemeja hitam yang lebih cocok digunakan ke pemakaman itu, atau karena ekspresi wajahnya ayng menyebalkan, atau entah apa pun itu, tapi rasanya semua wanita di tempat itu terus melirik ke meja mereka.Beberapa gadis muda bahkan secara terang-terangan memotret dengan ponsel.Ah. Aku bisa gila rasan
“Cara menaburkan bubuk cabai diam-diam ke mulut atasan.”Deg.Aku langsung memasukkan ponsel Windi yang tertinggal di ruang staf. Setelah memastikan tidak ada siapa pun di sana, buru-buru aku menghapus riwayat pencarian yang baru saja kubaca dari ponselnya.Atasan siapa yang dia maksud? Apakah itu Kak Ronan? Atau…Astaga, membayangkannya saja sudah membuatku merinding.“Minna, bisa bantu serve table 3?”“Ya!” jawabku dari ruang staf sebelum berlari menuju area kasir. Salah satu rekan seniorku sudah menanti dengan baki berisi dua burger, tiga gelas kopi, dan sepiring kentang goreng.“Table 3,” katanya, sekali lagi. Padahal aku juga bisa melihatnya dari nota pesanan yang tersemat di bawah salah satu gelas kopi. “Trims, Minna.”Aku tersenyum dan mengangguk sebelum membawa pesanan itu ke lantai dua.Di kejauhan, aku bisa melihat Windi yang tengah berbicara dengan seorang gadis kecil di depan rak buku anak-anak, sedangkan Arlo sibuk meracik kopi untuk sepasang kekasih yang mengenakan pakai
“Ehm.” Dokter Fabian berdeham beberapa kali di hadapanku. “Mohon maaf, Nona Minna, tapi… yang tadi itu… cukup… mm… berbahaya…” katanya, sambil mengusap tengkuk dengan kikuk.Tanganku terlipat di dada, wajahku berpaling ke sembarang arah, tapi aku bisa merasakan semburat panas menjalar di kedua pipiku.“Sa… saya mengerti kalau Nona marah, tapi tolong… jangan pukul bagian… i…itu.”Argh, gila!Apa tidak bisa dia berhenti bicara saja?! Kepalaku benar-benar terasa akan meledak karena malu!“Itu pasti sangat menyakitkan.” Jeremy bergumam serius.“Pukulannya keras.” Arlo menjawab, dengan wajah yang jauh lebih serius lagi.Entah sadar atau tidak, ia merapatkan kakinya, meletakkan tangan di depan celana, seakan melindungi sesuatu yang berharga.Aku ternganga tak percaya. Aku benar-benar ingin melemparkan mereka keluar apartment sekarang juga!Dan lagi pula, andai ia tidak mengejutkanku, aku tidak mungkin refleks memukul pria itu di sana! Harusnya ia ikut bertanggung jawab menanggung malu!“Ka…
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments