“Ya. Tentu saja.”
Ralla tampak terkejut dengan jawabanku. Ia masih terdiam, bahkan saat aku melanjutkan langkahku ke kamar.
Benar. Pernikahan ini harus terjadi. Meski aku harus mengikhlaskan keluarga tiriku mendapatkan sejumlah uang dari pernikahan ini.
Akan tetapi, aku tetap tidak menyangka betapa ajaibnya uang bisa mengubah serigala kejam menjadi domba baik hati.
Saat ini kami sedang berada di toko gaun pengantin. Sekarang, di hadapan orang yang dikirimkan oleh keluarga Ravimore, mereka kembali berubah menjadi malaikat baik hati yang digambarkan sangat menyayangiku, bukan keluarga tiri yang menjadikanku pembantu di rumahku sendiri.
“Bagaimana kalau gaun ini?” tanya Ibu kepadaku dengan senyuman yang luar biasa ramah. “Modelnya sangat indah, cocok dengan kulit halus kamu, Minna.”
Rasanya, seperti mengenang kembali saat keluarga ibu tiriku datang pertama kali ke kediaman kami. Ia terlihat sangat baik. Bahkan Kak Jasmine, yang hanya lebih tua satu tahun dariku, berperan menjadi seorang kakak yang penuh perhatian.
Aku, yang baru saja menghadapi kematian ibuku, sangat terhibur dengan perhatian Ibu dan saudari-saudari tiriku. Mereka memelukku dengan penuh kasih, seakan aku adalah bagian dari mereka semua.
Aku bahkan pernah berpikir jika mereka adalah malaikat yang datang untuk melindungiku. Siapa sangka, setelah berhasil menikahi Ayah, sikap mereka mulai berubah perlahan-lahan.
Dan saat Ayah meninggal, mereka berubah sepenuhnya.
“Lihat. Cantik, bukan?” Ibu kembali berkata sembari mematut diriku di depan cermin.
Kutatap gaun yang Ibu pilih dari pantulan di cermin. Itu gaun dengan model yang sangat kuno. Mungkin model seperti itu pernah terkenal, tapi entah di beberapa puluh tahun yang lalu.
“Bagaimana kalau yang ini?” Kak Jasmine muncul dengan sebuah gaun yang sangat norak. “Ini cocok banget loh sama kepribadianmu, adikku.”
Jelas ia berniat mempermalukanku.
Aku pun bisa melihat seringaian sinisnya meski samar.
“Oh, atau yang ini!” Kak Jasmine kembali menunjukkan gaun jelek lain dengan semangat menggebu.
Satu-satunya yang tampak tak antusias di ruangan itu hanyalah Lilly. Sejak tadi, ia hanya duduk di sofa butik tanpa mengatakan apa pun. Setiap tatapan mata kami bertemu, Lilly pasti langsung memalingkan wajahnya.
Apakah ia benar-benar bersedih atas pernikahanku?
“Atau mungkin yang ini lebih cocok!” Lagi-lagi Kak Jasmine muncul dengan gaun jelek dengan warna yang lebih usang dari pada gaun yang dipilihkan Ibu. Sepertinya ia memiliki kemampuan untuk menemukan hal-hal jelek di tempat tersembunyi.
“Maaf, Nona Jasmine, tapi gaun-gaun di bagian sana sudah tidak layak digunakan,” ujar pemilik butik gaun pengantin itu dengan wajah kikuk.
“Ah, sayang sekali, padahal adik saya sangat menyukai gaun ini.”
Si sinting!
Aku berjalan mengitari butik dengan santai, berpura-pura tidak menyadari tatapan tajam Kak Jasmine. Sebentar lagi kepalaku pasti bisa berlubang kalau dia terus menatapku seperti itu.
Lalu tatapan mataku tertuju pada sebuah gaun yang sangat indah di tengah butik.
Gaun itu berwarna putih, dengan taburan permata cantik seperti bintang yang berkilauan. Meski bagian atasnya sedikit terbuka, tapi gaun ini adalah gaun terindah yang pernah kulihat.
“Ga-gaun ini–”
“Pilihan bagus, Nona Minna Rossa! Gaun ini adalah karya terbaik di butik kami. Gaun ini dibuat langsung oleh Zaruad Hazar, desainer kebanggaan kami.” Senyuman pemilik butik itu mengembang lebar sambil menjelaskan gaun di hadapanku. “Kalau Nona memilih gaun ini, Nona akan menjadi orang pertama yang mengenakannya di Indonesia.”
“Apa!?” Kak Jasmine berteriak, tampak tidak suka. “Ga… gaun itu terlalu berlebihan buatmu, Minna!”
Ia menggantungkan gaun jelek pilihannya tadi di sembarang tempat, lalu menghampiriku dengan langkah kasar. Tangannya langsung mencengkeram lenganku.
“Jangan macam-macam, bodoh! Kamu pikir kamu pantas pakai gaun semewah ini?!” desisnya di telingaku sambil terus memperhatikan kepala pelayan keluarga Ravimore. Ia pasti takut drama ‘keluarga bahagia’ kami terbongkar.
“Iya, Minna, gaun ini sepertinya terlalu mewah. Ini pasti sangat mahal.” Ibu menatap prihatin gaun itu. “Kita nggak boleh bersikap boros, ingat?” tanyanya, melembut.
Hah! Coba siapa yang bicara itu?!
Kutarik kembali tanganku yang sempat terulur pada gaun itu. Meski aku sangat menyukainya, tapi aku tidak ingin mengambil risiko pernikahan ini dibatalkan hanya karena aku salah memilih gaun.
Bagaimanapun caranya aku harus tetap menikah dan keluar dari rumah itu!
“Kalau Nona Minna menyukai gaun ini, Nona bisa mencobanya.” Wanita yang mengenalkan dirinya sebagai kepala pelayan keluarga Ravimore itu akhirnya berbicara.
“Ah, Bu Helga, ini … terlalu berlebihan untuk keluarga kami. Kami akan memilih gaun yang lain,” ujar Ibu merendah. Lalu pada penjaga toko, ia buru-buru berkata, “Tolong tunjukkan gaun yang lebih sederhana dan harganya terjangkau.”
Sekilas, aku bisa melihat ketidaksukaan pemilik butik itu atas permintaan Ibu, meski ia tidak berkomentar apa pun.
Justru, kepala pelayan keluarga Ravimore lah yang menyanggah permintaan Ibu.
“Tidak perlu, Bu Amy,” ucap Bu Helga. “Kalau Nona Minna menyukai gaun ini, Nona Minna bisa memilikinya.”
“Tapi gaun ini terlalu mahal!” teriak Kak Jasmine kesal. “Ini juga buatan desainer terkenal!”
Ya, ya. Mana mungkin ia sudi melihatku menggunakan gaun semewah itu.
“Mohon maaf, Nona Jasmine.” Bu Helga tetap bersikap hormat meskipun Kak Jasmine berteriak-teriak. “Tapi sungguh gaun seperti ini sama sekali tidak mahal bagi keluarga Ravimore.”
Kata-kata itu langsung membuat wajah Kak Jasmine merah padam.
“Lagi pula Pak Killian sudah berpesan, bahwa saya harus memenuhi seluruh keinginan Nona Minna, tanpa batasan apa pun.” Bu Helga menekankan seluruh perkataannya dengan sungguh-sunggu.
Rasanya jiwaku hampir saja melayang bersama udara. Betapa indahnya kekuatan uang.
“Ehm!” Ibu berdeham pelan, yang membuat lamunanku hancur seketika. “Maaf, Bu Helga, kami sama sekali tidak berniat menyinggung keluarga Ravimore. Tapi mungkin Minna kami juga memiliki pendapat yang lain. Selama ini saya selalu mengajari anak-anak saya untuk tidak bersikap boros. Gaun ini memang sangat luar biasa. Minna pasti merasa terpesona dengan keindahan gaun ini. Namun saya yakin, Minna juga bisa bijak dalam memilih.”
Wah! Kalau Ibu debut menjadi artis, dia pasti akan langsung mendapatkan penghargaan sejak episode pertama penayangan!
“Jadi, Nona Minna.” Pemilik butik menghela napas panjang, mencoba menengahi perdebatan itu. “Nona Minna mau memilih gaun yang ini, atau mau mencari gaun yang lain?”
Pemilik butik itu tersenyum profesional, meski mungkin sedikit kesal karena gagal menjual barang termahal di butiknya hari ini.
Aku bisa merasakan semua mata menatapku.
Lilly dengan tatapan khawatirnya, Kak Jasmine dengan tatapan penuh kemarahan dan iri dengki yang bisa melubangi kepalaku, Ibu dengan tatapan yang tak bisa kugambarkan lagi, serta Bu Helga, dengan tatapan ramah, memberikan kesempatan kepadaku untuk memutuskan.
Aku tersenyum sesamar mungkin, dengan seksama memainkan peranku sebagai Cinderella yang tertindas dan tidak berdaya di antara mereka.
“Iya. Ibu sudah mengajari kami untuk hidup sederhana dan tidak boros,” kataku pelan dengan tatapan sedih. Aku bahkan berusaha mati-matian untuk mengeluarkan air mata, mencoba menangis.
Senyum Ibu mengembang lebar. “Nah, ini baru putri kesayanganku,” ucapnya bangga, tidak peduli dengan ekspresi yang aku tampilkan.
Tapi aku belum selesai.
“Gaun ini sangat cantik dan elegan.” Aku menyentuh gaun itu dengan ujung jemariku. Rasanya bahkan lebih lembut dari pada yang kubayangkan. “Gaun ini pasti sangat berharga. Saya tahu, orang seperti saya … mana mungkin pantas memakai gaun seindah ini .…”
Kak Jasmine tersenyum sinis sambil melipat tangan di dada. Ia tampak cukup puas dengan pengakuanku.
“Nona Minna…” Pemilik butik itu menatapku iba.
“Tapi karena pernikahan ini hanya akan terjadi sekali seumur hidup, boleh kan ada sedikit pengecualian? Mungkin … ini satu-satunya kesempatan saya menggunakan gaun secantik ini.” Aku menatap Bu Helga dengan mata yang basah. “Bu Helga, apa boleh saya menyewa gaun ini?”
Senyum pemilik butik mengembang selebar Samudra.
“Minna! Apa-apaan itu?” desis Ibu marah. “Kamu–”
“Menyewa?” Bu Helga memotong omelan Ibu. Raut wajah Bu Helga tampak tidak nyaman.
Oh, tidak. Apakah ia tidak suka?
Jantungku berdetak kencang karena khawatir.
Apa aku melakukan kesalahan? Apa aku seharusnya tidak memilih gaun mahal ini? Apa ini semacam tes keserakahan atau apalah itu?
Gawat! Bagaimana kalau pernikahannya dibatalkan?!
***
Gawat! Bagaimana kalau pernikahannya dibatalkan?! Bu Helga menghela napas dan berkata, “Membeli, bukan menyewa, Nona Minna. Gaun ini tidak boleh digunakan orang lain setelah Nona.” Kedua mataku terbelalak lebar. “Su--sungguh?” tanyaku tak percaya. Senyum Bu Helga sedikit terukir. “Ya, Nona, Nona bisa memilikinya kalau Nona suka.” Air mataku benar-benar merebak tanpa diminta. Aku menatap wanita itu dengan pandangan tak percaya. “Ya! Ya! Saya suka!” “MINNA!” teriak Ibu dan Kak Jasmine penuh amarah. Sepertinya mereka lupa tentang drama ‘keluarga bahagia’ kami. Namun, aku tidak peduli. Satu poin untuk kemenanganku! Aku yakin sekali saat ini Kak Jasmine sedang mati-matian menahan diri untuk tidak merebut gaun dan sepatu cantikku. Ia hanya bisa gigit jari, bahkan setelah kepala pelayan mengantarkan kami kembali ke rumah. Sejak dulu, Kak Jasmine memang selalu ingin merebut apa pun yang kumiliki. Dulu, saat aku masih menganggapnya sebagai kakak yang baik, aku membiarkan Kak
Laki-laki itu benar-benar br*ngsek! Aku yakin, kalau ada kejuaraan pria paling br*ngsek di dunia, ia pasti mendapat juara utama! Bisa-bisanya ia pergi setelah memasang cincin pada jari manisnya sendiri, meninggalkanku di hadapan para tamu yang siap memangsa! Setelah kejadian yang mengejutkan di pelaminan tadi, di tengah kekacauan yang ditinggalkan pria itu, semuanya terasa sangat ramai. Bisikkan-bisikkan sinis mulai terdengar. Tawa-tawa mencemooh, tatapan-tatapan menjatuhkan, dengusan-dengusan menjijikan, semuanya membaur menjadi satu bersama udara di dalam ballroom. Kalau gadis normal, pasti akan menangis dan meminta pembatalan pernikahan saat itu juga. Tapi tentu saja aku berbeda. Apa peduliku dengan apa yang pria itu lakukan? Justru, dengan santai aku tersenyum di depan fotografer, mengikuti arahan pose darinya. Hari ini aku sangat cantik dengan gaun pengantinku yang luar biasa menakjubkan. Untuk apa aku memikirkan ia yang pergi. Aku justru harus mengabadikan keindahan yang m
“Kak Marian, aku punya ide. Apa sebaiknya kita tukar saja pengantin untuk Kak Killian? Kak Killian juga pasti berharap mempunyai pengantin secantik anak itu.” Di belakang telingaku, Kak Jasmine terkekeh sinis. “Apa kubilang, kamu memang sampah, Minna. Kamu sama sekali nggak cocok dengan pakaian semewah ini.” Aku bersidekap, lalu balas menatap matanya. “Terus apa masalahnya? Kalau aku nggak cocok, memangnya Kakak cocok?” “Apa? Dasar sampah!” Wajah Kak Jasmine memerah marah. Aku yakin, jika bukan karena dehaman Windi, Kak Jasmine pasti langsung melayangkan tamparan kepadaku. “Lilly, Minna, Jasmine, cepat masuk!” desak Ibu, menghentikan perseteruanku dengan Kak Jasmine. “Awas saja kamu!” desis Kak Jasmine penuh dendam saat aku melenggang anggun ke ruang makan. Sebenarnya, bukan sikap Kak Jasmine yang kukhawatirkan. Namun, ekspresi aneh Lilly yang membuatku sangat tidak nyaman. *** Sudah seminggu aku tinggal di mansion itu, tapi aku masih belum bisa melupakan sikap aneh Lilly.
Sinting! Orang gila mana yang seenaknya memecat orang seperti itu?! Dasar pria tidak berperasaan! Itu kan bukan salah mereka! Sialan! Gara-gara masalah ini, aku terpaksa menemui pria itu secara langsung. Aku kan tidak mungkin diam saja ketika ada orang yang dipecat karena kelakuanku! Tapi… ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Sudah hampir 20 menit aku berdiri di depan pintu ruang kerjanya. Jangankan untuk menemuinya, mengetuk pintunya saja aku tidak bernyali. Apa sebaiknya aku biakan saja mereka dipecat? Gila! Itu tidak mungkin! “Nona Minna?” “Pak Sekretaris!” pekikku kaget. Ia muncul seperti hantu. Bahkan langkah kakinya saja tidak terdengar. Wajah tampan pria muda itu tersenyum ramah. “Nona mau menemui Pak Killian?” tanyanya sambil memiringkan kepala. Sejujurnya, aku sama sekali tidak ingin menemui pria itu. Namun, kalau aku tidak bergerak, seluruh tukang kebun dan Windi mungkin akan benar-benar dipecat. “Nona?” Aku melirik ngeri pria yang berdiri di belakang sekretar
Killian Ravimore Aku tidak peduli siapa gadis yang mereka bawa kali ini. Semuanya sama. Tidak berguna. Palsu. Menjijikan. Namun, biarlah mereka malkukan apa yang mereka mau. Asal itu bisa mengunci moncong mereka, seperti biasa. Namun, ada yang aneh dengan gadis itu. Ia tidak pernah muncul di hadapanku. Seperti ayam kecil yang khawatir dimangsa, kaki pendeknya akan berlari saat mendengar langkahku. Pintu kamarnya akan tertutup rapat saat mobilku melewati gerbang. Ia akan menghentikan kunyahannya ketika aku membuka pintu ruang makan, gadis bodoh itu bahkan sampai berpura-pura pingsan di hadapanku. Dan kemarin, seperti ayam yang ketakutan, ia jatuh di kantorku. Ia aneh dan sangat bodoh. Padahal gadis-gadis idiot sebelumnya akan menempel seperti lintah. Mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Meski itu artinya melemparkan diri mereka sebagai umpan anj*ng. Namun gadis itu mati-matian menghindariku seperti penyakit. “Pak Killian, ini informasi
“Bagaimana pienya, Nona?”Aku memasukkan sesendok penuh pie apel ke dalam mulut. Rasa renyah menyatu dengan selai apel yang lembut. Rasa asam dan manisnya membaur sempurna di mulutku.Menakjubkan!“Ini super lezat, Gerad!” pujiku sungguh-sungguh. Aku tidak melebih-lebihkan. Ini memang pie terlezat yang pernah kucicipi.Wajah tua pria itu bersinar cerah seperti lampu taman di malam hari.Ia terlihat sangat terharu atas pujian yang kuberikan. Padahal, itu sama sekali tidak perlu. Seluruh makanan yang dibuat Gerad selalu memiliki rasa yang menakjubkan!“Ini juga lezat!”Aku menggigit cookie almond yang masih terasa hangat. Rasa cokelatnya yang sedikit pahit, manis dari susu, dan almond yang gurih menari bersama di mulutku.“Astaga, Gerad, ini makanan-makanan surga!” pujiku sungguh-sungguh.Sejujurnya, saat pertama kali melihat Gerad, aku hampir saja pingsan ketak
"ASTAGA, HUGO! APA YANG KAMU LAKUKAN?!”Helga datang berlari di belakang tubuh Dokter Fabian.Lalu pintu ruangan itu ditutup, dikunci rapat. Seluruh tirai diturunkan, saat pistol Hugo masih menempel di kepalaku.Kalau aku mati hari ini, mustahil aroma darahnya akan tercium keluar.“HUGO! APA KAMU SUDAH GILA?!” Helga berlari ke arahku, setelah memastikan Dokter Fabian menangani pria itu.Namun, Hugo tetap tak bergeming.“Saya hanya melakukan tugas saya, Helga.”“Tapi dia Nona Minna!”“Aturan ini berlaku untuk semua orang.”Kepalaku dipenuhi suara-suara bising yang aneh.Meski ujung pistol itu masih berada di belakang kepalaku, tapi aku sama sekali tidak merasa takut.Meski hanya dalam sebuah gerakan singkat, Hugo bisa melubangi kepalaku, tapi bukan itu yang membuat jiwaku terhenyak.Pemandangan bagaimana Dokter Fabian melakukan seluruh upayanya unt
Menurut Helga, ini adalah sebuah kutukan. Hanya ada dua pilihan untuk orang-orang yang mengetahui rahasia pria itu. Mati di tangan orang-orangnya, atau terpenjara di dalam mansion, selamanya. Dan aku memilih yang kedua. Tentu saja, aku harus membayar konsekuensi atas pilihan yang kuambil. Seorang pria bernama Arlo ditempatkan sebagai pengawalku sekarang. Mereka beralasan itu untuk menjagaku. Padahal aku tau, keberadaannya adalah untuk mengawasiku setiap detik. Mereka juga berusaha membatasi komunikasiku. Meski itu hal yang sia-sia. Karena aku bahkan tidak memiliki ponsel sama sekali. Satu-satunya kemewahan listrik yang bisa kunikmati di rumah hanyalah lampu bohlam samar. Mana mungkin Ibu dan Kak Jasmine membiarkanku memiliki benda mewah seperti ponsel. Jadi, ketika Helga membawakan sebuah ponsel keluaran terbaru, aku tidak yakin apakah harus merasa senang atau tidak. Aku tidak memiliki siapa pun untuk saling bertukar pe
1 bulan sebelumnya.“Stockholm syndrome.”Kata-kata Laura kembali terngiang.“Apa?”“Itu adalah gangguan psikologis pada korban penculikan. Di mana korban justru mengembangkan perasaan simpati, bahkan kasih sayang terhadap pelakunya.”“Saya tau! Tapi itu tidak mungkin! Mana mungkin ada orang yang memiliki perasaan seperti itu kepada orang yang sudah menyakitinya?” Joachim, dengan seluruh upayanya menyangkal keras.Aku sedikit khawatir menempatkan mereka di satu ruang yang sama. Namun, wanita itu menepati janjinya. Ia mengabaikan Joachim seakan obsesinya tidak pernah ada sama sekali. “Kamu pikir apa alasan gadis berusia 22 tahun tetap berada di tempat yang menyakitkan seperti itu?!”“Karena dia dikurung!”“Jangan membuatku tertawa, Joachim. Dia tidak dipasung. Dia bebas. Dia memiliki akses luas. Terlepas dari seluruh perlakuan keluarga tirinya, dia dibiarkan bebas di dalam rumah. Dia bukan lagi gadis kecil berusia 6 tahun! Dia gadis dewasa berusia 22 tahun. Dia bisa meminta bantuan ke
Apa arti luka?Apakah itu ketika kau pecah, tergores, bersimbah darah, hingga kau berpikir itu akan menjadi sambutan kematianmu?Aku sudah berkali-kali berada di ambang rasa sakit itu.Kupikir aku sudah merasakan semuanya, tapi ternyata, itu hanyalah sebagian kecil dari potongan rasa sakit yang diciptakan segores luka.Klik.Pintu terbuka perlahan. Mengusik keheningan yang memenuhi jiwaku.“Kak Minna? Ke-kenapa Kakak bisa ada di sini?!”Aku selalu bertanya-tanya, mengapa dulu aku tidak memepertahankan apa yang Ibu tinggalkan? Mengapa aku membiarkan mereka membakar seluruh potret Ibu? Mengapa aku tidak menyembunyikan salah satunya di antara celah yang hanya aku sendiri yang mengetahuinya?Mengapa aku membiarkan mereka menghilangkan seluruh jejak Ibu?Mengapa aku membiarkan mereka membuatku melupakan Ibu?“Kak Minna! Apa yang Kakak lakukan di sini?! Pergi!”Aku bergeming. Menatap hampa ruang kelas yang kosong. Kesempatan yang tak pernah kudapatkan. Kesempatan yang mereka rebut dengan kej
Laskala.Nama itu terasa asing dan familiar secara bersamaan.Aku melewati malam tanpa terpejam hanya untuk mencari jejak di mana aku pernah mendengar nama Laskala sebelumnya.Dua malam yang lalu, setelah mendengar nama itu, aku bisa merasakan perubahan drastis pada sorot matanya.Ia menurunkanku dengan hati-hati dari dekapan, mengambil ponsel yang tersimpan di atas meja, lalu pergi setelah mengecup singkat keningku.Dalam hitungan detik, semua orang yang kupikir menghilang, tiba-tiba saja kembali memenuhi apartment, meskipun pada akhirnya mereka kembali pergi mengikuti langkah pria itu.“Jaga tempat ini sampai aku kembali.”Hanya pesan itu yang tinggalkan. Lalu ia pergi begitu saja, tanpa penjelasan, tanpa kabar. “Nona?” Windi muncul dengan senyuman cerah seperti biasa. Ia meletakkan sepiring stroberi segar yang sudah dipotong rapi ke atas meja. “Nona, Pak Gerad akan berbelanja bahan makanan. Apa ada makanan tertentu yang Nona inginkan untuk makan malam nanti?”Aku menurunkan cangk
“Kemana semua orang?”Dari celah pintu kamar yang sedikit terbuka, aku mengintip diam-diam.“Sedang apa kau?” tanya pria itu, berdiri di belakang punggungku.“Di luar… tidak ada siapa pun.”Tangan panjangnya mendorong pintu hingga terbuka, lalu ia melangkah keluar kamar begitu saja, tanpa memperdulikan keberatanku.Ia berjalan santai ke dapur yang kosong. Bahkan meja makan yang tadi amat ramai, kini hanya menyisakan makanan-makanan lezat tanpa sisa piring yang tertinggal.Aku menatap ke sekeliling apartment. Di mana semua orang? Mengapa mereka bisa lenyap seperti ini?“Makanlah yang banyak.” Pria itu mengelilingi meja dapur, mengambil sebuah apel, menggigitnya sambil menarik kursi meja makan. “Minna? Kau bilang kau lapar.”Mataku mengerjap cepat. Aku memang lapar, tapi ini sangat aneh.“Kemana semua orang?”Aku hampir tidak pernah melewati waktu tanpa Windi dan Arlo. Mereka tidak pernah meninggalkanku sendiri.“Apa terjadi sesuatu?” tanyaku cemas.“Tidak terjadi apapun. Sekarang duduk
Tidak seperti saat menggendong, setidaknya saat ia mendudukanku di sisi ranjang, gerakannya jauh lebih manusiawi, walaupun tidak bisa dikatakan lembut sama sekali.“Aww.” Aku meringis pelan saat ia membuka serbet yang sekarang sudah dipenuhi darah dari tanganku.Sebenarnya lukanya tidak terlalu dalam, darahnya juga sudah berhenti menetes, tapi karena cukup panjang, darahnya hampir memenuhi salah satu sisi serbet, bahkan sampai merembes ke kemeja hitam pria itu.Ketukan di pintu mengiringi kedatangan Dokter Fabian yang membawa kotak P3K.“Maaf, ternyata tidak ada first aid kit di apartment.”Itu menjelaskan keringat yang memenuhi keningnya. Ia pasti harus mengambil kotak itu di mobil.Pria itu menudingku dengan tatapan sengitnya, seakan ketidakberadaan kotak P3K di apartment adalah sebuah kejahatan yang fatal dan sengaja kulakukan. Dokter Fabian menarik kursi di depan meja rias, lalu duduk di hadapanku, memeriksa lukaku dengan seksama.“Apa perlu dijahit?”Pria itu bersidekap, menatap
“Pak Kenan sudah mengirimkan email, Pak. Saya juga sudah meminta tim finance untuk melengkapi data sales periode pertama. Haruskah saya menghubungi bagian operator?”“Tidak perlu. Persiapkan saja datanya, kita akan meeting 15 menit lagi.”“15 menit? Tapi itu…”Ia menoleh, membuat sekretarisnya menelan keberatan apa pun yang tadi sempat tergantung di lidahnya.“Ya, 15 menit lagi. Saya akan siapkan link meetingnya, dan mengirim undangan.”“Bagus. Dan minta juga bagian marketing mengirimkan bahan marketing yang sudah direvisi. Pastikan manager pengembang hadir. Poin yang perlu direvisi dari MoU sudah kusertakan, bereskan itu sekarang, dan segera email kembali.”Dari balik counter dapur, aku tidak bisa berhenti menatap ruang keluarga yang kini sudah diubah menjadi ruang kerja sementara pria itu. Sebenarnya, apartment ini memiliki ruang khusus yang bisa digunakan sebagai ruang kerja, tapi pria itu memilih ruang keluarga.Sekarang, melihat berkas-berkas yang tersebar, aku jadi mengerti.Tap
Part 47“Nona Minna?” Windi berbisik gelisah di sampingku. Sesekali ia melirik ke lantai dua, sebelum kembali menundukkan wajah sambil menelan ludah susah payah.Aku melirik pintu The Oak Tree yang tertutup. Di kejauhan, aku bisa melihat beberapa mobil terparkir di depan toko. Salah satu mobil itu berisi Dokter Fabian, Hugo, dan Jeremy yang diusir oleh pria itu.“Nona yakin ini tidak apa-apa?”Apanya yang tidak apa-apa, semuanya benar-benar kacau sekarang.Meksi aku sudah menempatkan pria itu di meja yang paling jauh dari pengunjung lain karena kondisi gynophobianya, tapi entah bagaimana hanya dengan keberadaannya sendiri saja, perhatian semua orang sangat mudah tertuju kepadanya.Entah karena kemeja hitam yang lebih cocok digunakan ke pemakaman itu, atau karena ekspresi wajahnya ayng menyebalkan, atau entah apa pun itu, tapi rasanya semua wanita di tempat itu terus melirik ke meja mereka.Beberapa gadis muda bahkan secara terang-terangan memotret dengan ponsel.Ah. Aku bisa gila rasan
“Cara menaburkan bubuk cabai diam-diam ke mulut atasan.”Deg.Aku langsung memasukkan ponsel Windi yang tertinggal di ruang staf. Setelah memastikan tidak ada siapa pun di sana, buru-buru aku menghapus riwayat pencarian yang baru saja kubaca dari ponselnya.Atasan siapa yang dia maksud? Apakah itu Kak Ronan? Atau…Astaga, membayangkannya saja sudah membuatku merinding.“Minna, bisa bantu serve table 3?”“Ya!” jawabku dari ruang staf sebelum berlari menuju area kasir. Salah satu rekan seniorku sudah menanti dengan baki berisi dua burger, tiga gelas kopi, dan sepiring kentang goreng.“Table 3,” katanya, sekali lagi. Padahal aku juga bisa melihatnya dari nota pesanan yang tersemat di bawah salah satu gelas kopi. “Trims, Minna.”Aku tersenyum dan mengangguk sebelum membawa pesanan itu ke lantai dua.Di kejauhan, aku bisa melihat Windi yang tengah berbicara dengan seorang gadis kecil di depan rak buku anak-anak, sedangkan Arlo sibuk meracik kopi untuk sepasang kekasih yang mengenakan pakai
“Ehm.” Dokter Fabian berdeham beberapa kali di hadapanku. “Mohon maaf, Nona Minna, tapi… yang tadi itu… cukup… mm… berbahaya…” katanya, sambil mengusap tengkuk dengan kikuk.Tanganku terlipat di dada, wajahku berpaling ke sembarang arah, tapi aku bisa merasakan semburat panas menjalar di kedua pipiku.“Sa… saya mengerti kalau Nona marah, tapi tolong… jangan pukul bagian… i…itu.”Argh, gila!Apa tidak bisa dia berhenti bicara saja?! Kepalaku benar-benar terasa akan meledak karena malu!“Itu pasti sangat menyakitkan.” Jeremy bergumam serius.“Pukulannya keras.” Arlo menjawab, dengan wajah yang jauh lebih serius lagi.Entah sadar atau tidak, ia merapatkan kakinya, meletakkan tangan di depan celana, seakan melindungi sesuatu yang berharga.Aku ternganga tak percaya. Aku benar-benar ingin melemparkan mereka keluar apartment sekarang juga!Dan lagi pula, andai ia tidak mengejutkanku, aku tidak mungkin refleks memukul pria itu di sana! Harusnya ia ikut bertanggung jawab menanggung malu!“Ka…