"Kamu pergi aja, Mas. Biar Umi aku yang jaga. Kamu sudah ijin lama, masa iya mau ijin lagi?" Ucapku berusaha meyakinkan ketika Mas Rahman terlihat ragu, antara ingin menjaga Umi atau pergi mengajar. Kalau urusan show room Mas Rahman bisa santai, ada Rudi orang kepercayaannya yang biasa mengurusi semuanya, kalau Mas Rahman sedang berhalangan datang."Beneran nggak pa-pa?" Aku mengangguk yakin. "Ya udah, kalau begitu aku pergi dulu. Kalau ada apa-apa segera telfon, ya," pintanya dengan wajah khawatir. Mas Rahman lantas mendekap tubuhku, kemudian mencium puncak kepala setelah kucium takzim punggung tangannya. "Aku beruntung memilikimu, Mey," desis Mas Rahman sebelum melepas pelukan, dan akhirnya meningggalkan ruang rawat uminya. "Hati-hati, Mas!" Ucapnya saat mengantar Mas Rahman sampai pintu. Kupandang punggung laki-laki yang telah membersamaiku selama hampir tiga tahun itu, hingga menghilang di belokan. Kalau dia merasa beruntung memilikiku, aku pun sama. Bahkan aku sangat bersyuk
"Maaf, Mama Dinda. Saya mau mengkonfirmasi, Dinda sudah tiga hari nggak masuk sekolah tanpa ijin. Apa Dinda sakit, atau bagaimana?"Deg! Tiba-tiba perasaanku tidak enak. Jadi tiga hari ini Dinda bolos sekolah, kemana dia? Kalau anak SMA atau SMP, mungkin mereka bolosnya pergi nongkrong sama teman-temannya. Lalu anak anak kelas 5 SD macam Dinda ngapain aja? Setahuku Dinda tak punya banyak teman, dia juga tak suka keluar main. Pulang sekolah biasanya dia langsung mandi dan makan, habis magrib mengerjakan tugas atau belajar. Sekolah Dinda full day school, waktunya habis untuk belajar. Apa karena bosan terus dia bolos sekolah? "Dinda tiga hari tidak masuk sekolah, Bu?" Aku masih belum percaya apa yang wali kelas Dinda katakan. "Iya, Bu. Apa sih, untungnya saya berbohong?" Iya, juga ya. Tak mungkin wali kelas Dinda bercanda dengan informasi sepenting ini. "Tapi tiga hari ini Dinda selalu berangkat sekolah, Bu. Saya sendiri yang mengantar dia sampai depan rumah, hingga naik mobil jempu
Mobil yang kutumpangi berhenti di depan rumah kami, usai membayar sejumlah uang, aku pun turun. Tak berselang lama, sebuah mobil SUV warna putih berhenti tepat di depanku. Dan betapa terkejutnya aku, demi melihat siapa yang menjadi pengemudi mobil itu. "Mey, apa kabar?" Tanya sosok berkacamata hitam, dari dalam mobil yang kacanya terbuka sebagian itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, Dinda duduk di jok sebelah laki-laki itu. Kepalanya tertunduk dalam. "Dinda! Turun!" Tanpa menunggu dua kali, gadis itu membuka pintu mobil dan turun ke luar. Dia berjalan ke arahku masih dengan kepala tertunduk. "Masuk!" Titahku tegas. Tanpa berpamitan pada Rey, bahkan menoleh pun tidak. Dinda masuk ke dalam rumah. Kini aku tinggal aku dan Rey yang saling beradu pandang. Lelaki itu akhirnya turun dan menghampiriku. "Selain merusak ibunya, ternyata kamu juga berniat merusak anaknya," ucapku dingin dan ketus. Laki-laki ini sudah melanggar janjinya padaku, untuk tidak menemui Dinda sementara waktu.
"Oke, aku mengerti sekarang. Suamimu memang lebih berharga dari semuanya, termasuk Dinda. Kalau begini, aku jadi mikir untuk mengambil alih hak asuh Dinda." Usai berkata, Rey masuk ke dalam mobilnya. Tak lama kemudian dia membawa kendaraan roda empat itu, meninggalkan aku yang masih berdiri terpaku. "Kalau begini, aku jadi mikir untuk mengambil alih hak asuh Dinda" Kalimat itu kini terngiang-ngiang di telingaku. Aku jadi mikir, bagaimana kalau Rey membuktikan ucapannya? Bersamaan dengan itu, mobil Mas Rahman mendekat. Aku segera berlari membuka pintu pagar lebar-lebar, kemudian menutupnya kembali setelah mobil itu terparkir di dalam garasi. "Yang tadi ngomong sama kamu kayak dokter Rey, ya? Atau aku hanya salah lihat?" Tanya Mas Rahman setelah turun dari mobil dan menghampiriku yang tengah menunggunya. Rupanya Mas Rahman sempat melihatku ngobrol sama Rey tadi. Doaku, semoga Mas Rahman tidak salah paham, apalagi sampai cemburu. Masalah Dinda sudah cukup membuat pusing kepalaku, a
Perlahan kubuka pintu yang tidak terkunci itu. Sebelum memutuskan melangkah masuk, aku tertegun sejenak, melihat di atas ranjang Dinda terlungkup dengan dua tangan menyangga dagu. Tanpa perlu diceritakan, aku tahu Dinda baru saja menangis. "Dind! Solat maghrib dulu, yuk! Habis itu kita makan malam," ucapku lembut sambil berjalan mendekat ranjang. Gadis itu bergeming, dia tetap pada posisinya. Tertelungkup sambil menyangga kepala. Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja, aku terus berusaha meluluhkan hati gadis yang hampir menginjak masa remaja itu. "Banyak tugas yang harus kamu kerjakan, lho. Kata Bu Ina, besok harus dikumpulkan," kataku lagi. Kali ini aku duduk di sebelah Dinda, bisa kulihat jelas mata sembab gadis itu. Pelan ku elus kepala anak gadisku. "Yuk, sholat sekarang! Keburu waktu maghrib habis. Nanti, ngerjain tugasnya Mama bantu," bujukku lembut, meski tak ada respon dari anak semata wayangku itu. Meski sempat bingung, akhirnya memilih menuruti saran Mas Rahman. Aku
"Mah, capek .... Belajarnya sudah, ya? Dilanjut besok pagi, boleh?" Tanya Dinda manja. Ah, senang rasanya, melihat Dinda kembali bersikap manja padaku. Dinda ku sudah kembali. Setelah selesai sholat isya tadi, aku membantu Dinda mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan ke wali kelasnya. Sebagai hukuman karena bolos tiga hari tanpa ijin. Aku berusaha membangun bonding di antara kami. Aku ingin Dinda selalu terbuka padaku, menceritakan segala keluh kesahnya tanpa merasa sungkan. Mengenai permintaannya yang ingin tinggal bersama Rey, jelas kutolak mentah-mentah. Dinda anakku, tanggung jawabku, aku tidak akan membiarkan dia tinggal bersama orang lain, meski itu ayah biologisnya. "Ya sudah, habis sholat subuh dilanjut lagi. Tapi Mama nggak bisa bantu, lho. Kan harus bantuin Mbok Nah, Mbak Susi jaga Eyang di rumah sakit," jawabku seraya membantu Dinda membereskan buku-bukunya. "Eyang masuk rumah sakit, ya? Kok, Mama nggak jaga?" Aku menghentikan aktivitasku sejenak. "Mama giliran jaga p
Setelah melalui diskusi panjang, aku dan Mas Rahman akhirnya memutuskan untuk menemui Reynald. Banyak hal perlu kami bicarakan, membahas Dinda tentu saja. Tak mungkin aku terus menghindari laki-laki ini, bukannya menyelesaikan masalah, tapi justru menambah rumit keadaan. Aku bahkan tak mau menunda lagi, langsung gas usai mengantar Dinda sekolah. Takut masalah makin lebar dan tak terselesaikan. Bisa saja, tanpa sepengetahuanku Dinda masih bertemu Rey, dan laki-laki itu memanfaatkan keadaan dengan menghasut Dinda. Oh ya, mulai hari ini aku memutuskan mengantar jemput Dinda sendiri, tak lagi memakai jasa mobil jemputan, agar tidak kecolongan lagi seperti kemarin. Toh, aku sudah tidak lagi bekerja, full IRT sekarang. Saking nggak mau kecolongan, aku sengaja menunggui Dinda masuk kelas, baru kemudian meninggalkan sekolah Dinda. Kekhawatiranku bukan tanpa alasan. Setelah tahu seperti apa kelakuan papanya dimasa lalu, ternyata Dinda tetap menyayangi laki-laki itu. Dia bilang, "tapi dia pap
Benar saja, mobil itu berhenti di depan pagar bersamaan dengan klakson yang berbunyi keras. Tak lama kemudian datang wanita paruh baya, membuka gerbang lebar-lebar. Setelahnya Mobil itu masuk pekaranganTanpa menunggu lagi, aku dan Mas Rahman bergegas turun, bermaksud menemui Rey. Mas Rahman tak punya waktu banyak, siang ini dia ada janji dengan orang. Dan betapa terkejutnya kami, demi melihat siapa yang berjalan di belakang Rey. "Dinda!""Mama!"Dinda tak dapat menyembunyikan ketakutannya, dia langsung bersembunyi di belakang punggung Reynald, begini melihatku datang. Aku merangsek, tapi Mas Rahman menahan langkahku dengan menggenggam tangan ini. Suamiku itu memberi kode dengan menggeleng pelan, saat tatapan kami berserobok. "Kita bicarakan baik-baik," ucapnya pelan, menyerupai bisikan. Diremasnya lembut jemariku, hingga emosi ini sedikit mereda. "Lho, ada tamu rupanya. Silahkan masuk," ucap Rey ramah, dengan wajah tanpa dosa. Kalau tanganku tidak digenggam Mas Rahman, mungkin a