Kalau sudah begitu aku jadi tidak tega, tapi keadaan Umi benar-benar tidak memungkinkan untuk diajak bicara. Bahkan sejak tadi kehadiran kami sama sekali tak dia pedulikan. "Yang ngeyel ngajak saya ke Semarang itu, Mas Fauzi. Beliau bilang akan menutup mata dengan tenang, kalau melihat saya berdamai dengan Mbak Farida." Bu Naya menjeda ucapannya. Dihapusnya air mata yang dari tadi membanjiri pipi mulusnya. Dari pipi tangan Bu Naya turun ke perut, lalu mengelus nya lembut. "Mas Fauzi ingin anaknya kelak di akui dan diterima Mbak Farida dan Mas Rahman." "Mak--maksudnya, Bu Naya hamil?" Wanita yang lebih pantas jadi kakaknya Mas Rahman itu mengangguk pelan.Kalau saja Bu Naya tidak mengelus perutnya, aku tidak akan tahu kalau wanita cantik ini hamil. Gamis lebarnya menyamarkan perut yang membuncit itu."Mas Fauzi seneng sekali, akhirnya saya mengandung anaknya.""Bu--Bu Naya hamil?" Mas Rahman yang dari tadi sibuk memijit kaki Umi itu pun, bertanya. "Iya, adik kamu," jawab Bu Naya ma
Aku mengangguk sambil tersenyum, lalu meninggalkan ruangan Sarah. Langkahku mantap terayun menuju ICU, namun disaat bersamaan beberapa orang nakes berlari ke ruang yang sama dengan wajah tegang. Tak lama kemudian Mas Rahman keluar dengan wajah sembab, dan langsung menubrukku. "Abah, Mey .... " Mas Rahman menangis sesenggukan sambil memelukku erat. Tanpa perlu dijelaskan, aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Abah berpulang, meninggalkan kami semua. "Sabar ya, Mas. Ini suratan takdir, kita harus bisa menerima dengan ikhlas. Mas Rahman pasti kuat." Ku elus lembut punggung suamiku. Pria yang biasanya terlihat berwibawa ini, sekarang seperti anak kecil. Dia menangis meratapi kepergian Abah. Beberapa tahun menjadi istrinya, baru kali ini aku melihat Mas Rahman sesedih ini. Aku bahkan bisa merasakan air matanya membasahi pundakku. Aku tahu, Mas Rahman merasa kehilangan luar biasa. Abah adalah sosok orang tua, guru, teman juga sahabat buat Mas Rahman. Sebelum pernikahan kedua Abah terbo
Acara pemakaman Abah berjalan hikmat dan lancar, banyak kolega dan rekan beliau yang datang melayat. Tak ketinggalan tetangga sekitar juga datang. Selama hidupnya, Abah dikenal sebagai orang yang ramah, dan baik hati tak pernah memandang orang dari status sosialnya, semua diperlakukan sama. Tak heran kalau banyak yang ingin memberi penghormatan terakhir pada Abah begitu membludak. Apalagi Abah sudah puluhan tahun mengajar, mantan muridnya sudah ribuan. Tak heran prosesi pemakaman Abah jadi berjubel penuh manusia. Demi bisa mengantar Abah ke peristirahatan terakhir, Umi akhirnya pulang paksa meski keadaannya masih begitu lemah. Umi juga sempat pingsan, begitu diberitahu Abah sudah meninggal. Aku bisa melihat bagaimana sedihnya Umi kehilangan lelaki yang begitu dia cintai, lelaki pertama dan terakhir yang pernah menghuni hati Umi. Sejak jenazah datang hingga diberangkatkan ke pemakanan, air mata tak henti mengalir di pipi Umi. Bukan hanya Umi, aku pun sangat bersedih dan merasa kehilan
"Bu Naya yang memasukkan berkat itu ke kamar, Mbak. Waktu saya tanya, dia bilang, " bukan urusanmu! Kamu itu hanya pembantu!" Adu Mbak Susi. Aku jadi geram sendiri pada perempuan itu. Maksudnya apa menyembunyikan berkat sebanyak itu? Nggak mungkin mau dia makan sendiri, kan? Aku menghela nafas panjang, bingung juga menghadapi kelakuan istri muda almarhum ini. Kok, bisa-bisanya menyembunyikan berkat."Ambil semua berkat, Mbak, kita bawa ke depan! Banyak tamu pria yang belum kebagian," ucapku tegas. "Kalau Bu Naya nanya, gimana?" Wanita itu menatapku ragu. Mungkin dalam pikirannya, Bu Naya juga harus dihormati, seperti halnya Umi, karena dia juga istri Abah. "Biar itu jadi urusan saya, Mbak." Wanita itu mengangguk, kemudian masuk ke kamar dan mulai mengambil tumpukan nasi kotak itu. "Lho ... lho ... lho ..., kok berkatnya diambil semua? Gimana, sih? Itu kan buat keluarga saya," protes Bu Naya, saat berkat hanya tinggal beberapa kotak saja. Aku yang tengah membantu Mbak Susi mengan
"Kamu jangan memonopoli semua harta Mas Fauzi sendiri. Aku ini istrinya juga, kami sudah menikah secara resmi. Itu artinya aku juga punya hak, apalagi aku sedang hamil darah daging Abah. Adik kamu juga. Pokoknya, aku mau warisan dibagi adil! Titik" Aku kenal sekali dengan suara itu. Itu Bu Naya, kenapa tiba-tiba dia ngomong seperti itu? "Baru kemarin Abah dimakamkan, anda sudah ribut soal warisan? Dimana hati nurani anda?" Balas Mas Rahman. Ruang makan terletak di depan kamar Umi. Jadi aku bisa dengan jelas mendengar suara debat antara Bu Naya dan Mas Rahman. "Sing padu iku sopo, Mey?" (Yang debat itu siapa, Mey) Umi bertanya sambil mengunyah."Nggak tahu, Mi." Meski aku tahu betul siapa pemilik suara yang tengah adu debat itu, di depan Umi aku pura-pura tidak tahu. Aku tidak mau wanita ringkih ini jadi kepikiran, kalau tahu siapa yang sedang ribut di depan, dan apa yang diributkan. Nanti memperburuk kondisi Umi yang sedang terpuruk. "Coba kamu lihat! Suaranya kok kayak suamimu
"Bu Naya pergi, dijemput mobil kayak punyanya Bapak tadi, Mbak," jelas Mbak Susi ketika kutanya keberadaan Bu Naya. Menjelang Maghrib keluar rumah tanpa ijin, dijemput mobil sekelas pajero. Aku yakin itu bukan taksi online, karena moda transportasi tersebut biasanya menggunakan mobil sejuta umat. Aku jadi penasaran, siapa yang menjemput Bu Naya? Ada urusan apa mereka? Memang aku tidak punya hak tahu apa yang dilakukan Bu Naya, tapi sebagai tamu alangkah baiknya keluar masuk harus sepengetahuan si pemilik rumah. Menurutku sangat tidak sopan, tidak menghargai tuan rumah. Sejak Bu Naya menginap di rumah ini, aku memang kurang sreg dengan sikapnya yang mbosi. Suka main perintah seenaknya pada pembantu di rumah ini, memang mereka dibayar untuk mengerjakan tugas mengurus dan melayani pemilik rumah. Tapi Bu Naya kan, tamu. Bukan Nyonya rumah ini, harusnya dia tahu diri dan bisa jaga sikap. Ditambah lagi keberaniannya menuntut warisan Abah yang baru beberapa hari meninggal, dan sekarang p
Saat itu juga, Bu Naya dan teman laki-lakinya disidang oleh Mas Rahman. Awalnya mereka berdua mengaku ada urusan bisnis, hingga terpaksa pulang lewat tengah malam. Tapi Mas Rahman bukan tipe orang yang mudah percaya begitu saja, apalagi sejak awal dia sudah mencurigai Bu Naya punya andil dalam kecelakaan yang dialami Abah. Dia terus mencerca Bu Naya dan teman laki-lakinya itu. "Bisnis apa yang melibatkan laki-laki dan perempuan, hingga harus pulang malam? Bisnis lendir?" Sindir Mas Rahman. Dua terdakwa itu saling pandang, seperti memberi kode yang aku tak mengerti apa maksudnya. "Kami memang benar-benar ada urusan bisnis, kenapa kamu ngomongnya sinis begitu? Kamu pikir urusan laki-laki dan perempuan hanya soal selang****an?" Balas Bu Naya tak kalah pedas. "Anda bisa berkilah, tapi saya bukan anak kecil yang bisa dengan mudah anda bohongi. Dari gestur tubuh kalian, aku tahu ada hubungan yang ingin kalian tutupi. Ada rahasia yang sengaja kalian simpan. Kalau kalian memilih bungkam,
"Kamu pergi aja, Mas. Biar Umi aku yang jaga. Kamu sudah ijin lama, masa iya mau ijin lagi?" Ucapku berusaha meyakinkan ketika Mas Rahman terlihat ragu, antara ingin menjaga Umi atau pergi mengajar. Kalau urusan show room Mas Rahman bisa santai, ada Rudi orang kepercayaannya yang biasa mengurusi semuanya, kalau Mas Rahman sedang berhalangan datang."Beneran nggak pa-pa?" Aku mengangguk yakin. "Ya udah, kalau begitu aku pergi dulu. Kalau ada apa-apa segera telfon, ya," pintanya dengan wajah khawatir. Mas Rahman lantas mendekap tubuhku, kemudian mencium puncak kepala setelah kucium takzim punggung tangannya. "Aku beruntung memilikimu, Mey," desis Mas Rahman sebelum melepas pelukan, dan akhirnya meningggalkan ruang rawat uminya. "Hati-hati, Mas!" Ucapnya saat mengantar Mas Rahman sampai pintu. Kupandang punggung laki-laki yang telah membersamaiku selama hampir tiga tahun itu, hingga menghilang di belokan. Kalau dia merasa beruntung memilikiku, aku pun sama. Bahkan aku sangat bersyuk
"Gantengnya cucu Eyang ...." Umi berkata sambil menimang putraku, yang baru kulahirkan beberapa jam yang lalu itu. Cucu pertamanya, cucu yang sudah dia nanti bertahun-tahun lamanya. "Wes, diborong Rahman semua ini, Mey. Kamu nggak kebagian apa-apa. Plek ketiplek bapaknya waktu masih bayi," lanjut Umi, tanpa mengalihkan pandangannya pada bayiku. Meski ada iri menelusup di hati, karena wajah anakku yang ternyata sangat mirip bapaknya. Tapi juga bahagia sekaligus bangga, bisa memberi anak pada suami, dan cucu untuk mertuaku, dengan wajah yang identik dengan wajah mereka. "Kalian sudah siap nama, kan?""Sudah, Mi," jawabku singkat. Aku belum berani banyak bicara, luka bekas operasi masih begitu nyeri, kalau aku bergerak sedikit saja. Bahkan aku belum berani bicara banyak, karena takut. "Siapa?""Alfarisqi Rahman, Mi. Panggilannya Alfa." Umi baru datang setelah operasi selesai. Karena tak mau ambil resiko, karena kesehatan Umi sering bermasalah. Kami berangkat ke rumah sakit sendiri.
Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata
Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata
Tiga bulan berlalu, perutku mulai terlihat membuncit. Meski tak separah di Tri semester pertama, aku masih merasakan mual di pagi hari. Sebenarnya aku ingin beraktivitas, biar kehamilan ini tidak terlalu manja ini kehamilan kedua, harusnya aku kuat dan lebih siap, kan. Lagi pula aku juga sudah bosan kalau harus bad rest terus. Tapi Mas Rahman melarang. Katanya, "aku tidak mau anakku kenapa-napa, jangan ambil resiko!" Kalau aku ngeyel. "Dengan beraktivitas janin akan lebih sehat, Mas. Aku juga nggak stress dikurung terus." Tapi apa jawabnya? "Dah, nurut aja! Nggak usah banyak protes! Ini semua demi anak kita. Berkorban sedikit apa susahnya, sih?" Ternyata, perlakuan manis Mas Rahman hamil bukan untukku, tapi untuk anaknya. Dasar laki-laki, mau enaknya sendiri! Untung sayang. "Mas, capek. Pijitin!" Kuletakkan kedua kakiku di atas pangkuan Mas Rahman, yang sedang sibuk dengan laptopnya, memeriksa laporan keuangan show room. Tanpa bicara, Mas Rahman menutup laptopnya dan meletakkan di
"Dibilang males, ngeyel!" Mas Rahman terkekeh. "Mas Rahman menyembunyikan sesuatu, ya?" Todongku. Aku sudah nggak betah menahan rasa penasaran, dari tadi sikap Mas Rahman mencurigakan. "Mau tahu aja, apa mau tahu banget?" Selorohnya. Aku mencebik kesal, tawa Mas Rahman makin menjadi. "Sus, tadi sudah dikasih tahu belum?" Mas Rahman bertanya pada Suster Lusi. "Belum, Pak. Nggak berani saya." Sebenarnya rahasia apa yang mereka sembunyikan, sih? Aku benar-benar kepo! "Sekarang aja, Sus!" Usai Mas Rahman berkata, Suster Lusi berjalan ke arah pintu. Aku menatap bingung suamiku, tapi dia hanya senyum penuh arti, membuat rasa penasaran di hati makin menjadi. Kami masih saling tatap ketik dari terdengar suara riuh dari arah pintu. "Surprise....! Selamat ulang tahun ...." Sontak aku menoleh ke sumber suara. Di sana ada Umi dan Dinda, mereka datang membawa buket bunga. Sementara Suster Lusi membawa kue tart yang di atasnya terdapat lilin angka, yang sudah menyala. Speechless, itu ya
Pertama kali membuka mata, ruangan serba putih menyapa indera penglihatanku. Tanpa perlu dijelaskan, aku tahu sedang berada di ruang perawatan. Bau obat dan selang infus yang menancap di punggung tanganku, jawabannya. Apa ada masalah dengan lukaku? Infeksi? Atau kenapa? Pertanyaan itu memenuhi kepalaku, tapi aku tidak merasakan apa-apa di area itu. Pertanyaan-pertanyaan itu masih berputar-putar di kepalaku, hingga pintu terbuka dan menampilkan sosok wanita berseragam serba hijau menghampiriku. "Alhamdulillah .... Bu Rahman sudah siuman. Apa yang dirasakan, Bu? Masih pusing?" Tanya wanita bertag name Lusi itu, ramah. "Sedikit, Sus. Suami saya mana, ya? Kok nggak keliahatan?" Aku tak menemukan Mas Rahman ketika sadar tadi, dan sampai sekarang pun laki-laki itu kunjung muncul. Tak biasanya dia meninggalkan aku sendiri kalau sedang sakit, apalagi ini di rumah sakit. "Pak Rahman ijin pulang sebentar, Bu. Mengambil baju ganti katanya, dan beliau menitipkan Ibu pada saya," jelas wanita
Umi menyambut antusias kedatangan kami, tapi Dinda justru bersikap sebaliknya Dia menampakkan wajah cemberut, tak bersemangat dan malas-malasan membantu membawa barang-barangku. "Yang punya hajat itu suadaramu yang mana sih, Mey? Kok kamu nggak pernah cerita? Pakai ngelarang aku nyusul pula, kan nggak enak sebagai besan nggak ikut hadir di acara mereka," cerca Umi begitu aku masuk rumah. Saat aku mengabari tak bisa pulang, dengan alasan ada suadara umiku yang punya hajat, Umi memaksa datang. Katanya demi menjaga tali silaturahim, tapi aku melarangnya. Alasannya rumahnya jauh dan pelosok, nanti Umi nyasar. Padahal nggak ada saudaraku yang punya hajat, itu semua hanya kebohongan demi menutupi fakta yang sebenarnya terjadi. Mana ada saudara Umi yang ingat aku? Di mata mereka aku ini hanya aib. "Sepupu jauh Umi saya, Mi. Mereka tinggal di pelosok, Mi. Aku sudah memberi amplop mereka, dan mengatakan itu dari Umi, " bohongku. Pepatah yang mengatakan sekali orang berbohong, maka akan ter
Setelah tiga hari di rawat di rumah sakit Solo, akhirnya kami diijinkan pulang. Meski melalui drama pulang paksa, karena menurut dokter lukaku belum pulih benar. Tapi kami memaksa pulang, toh ini hanya luka luar bukan luka dalam yang mengkhawatirkan. Aku tak mungkin berlama-lama di Solo, sementara di rumah Umi cemas menanti kami. Ada Dinda yang butuh kami. Juga kasihan Mas Rahman yang harus bolak-balik Solo-Semarang, Semarang- Solo. Mas Rahman tak mungkin meninggalkan pekerjaannya. Oh ya, kami terpaksa menyembunyikan keadaan yang sebenarnya dari Umi, karena tak mau wanita jelang enam puluh tahun itu khawatir dan kepikiran. Mas Rahman terpaksa berbohong, mengatakan ada keluargaku yang punya hajat dan memaksaku nginep di sana. Padahal keluargaku yang di Solo sudah lama tak menganggapku ada. Sementara pada Dinda, aku mengatakan kalau masih ada urusan di Solo. Selama dirawat di Solo, ibunya Bu Naya dua kali menjengukku. Beliau berkali-kali minta maaf atas kesalahan anaknya, tapi anehnya
Rupanya kesabarannya sudah habis untuk menghadapiku, kini dia mulai main kasar. Tak ada lagi sikap anggun dan kemayu yang selama ini melekat dalam dirinya. Bu Naya sama sekali berubah. "Uang apa? Bu Naya bilang butuh uang untuk melunasi biaya pengobatan, kenapa sekarang malah menolak? Bahkan melarang saya ketemu Reza. Sekarang saya jadi curiga, jangan-jangan Bu Naya .... " Ucapanku terhenti, karena aku merasa ada benda runcing yang dingin menempel di pinggangku. Tubuhku kaku seketika, otakku memberi sinyal bahaya. Aku ingin teriak dan minta tolong, tapi sayangnya rasa perih dan nyeri luar biasa tiba-tiba menyergap, membuat otakku buntu seketika. "Mey!" Samar kudengar namaku diteriakkan, setelah itu semua menjadi gelap. * * * * * * * * *Bau obat menyengat menyapa indera penciuman, memaksaku membuka mata demi mengetahui dimana aku berada sekarang. Ruangan serba putih menjadi pemandangan pertamaku, hingga akhirnya mataku terbuka sempurna. Lamat-lamat kuingat kejadian sebelum akhirn