Prolog
"Irina, tolong makan sedikit saja. Calon anak kita perlu makan, jangan menyiksa dia seperti ini." Entah sudah berapa kali Tristan meminta istrinya itu menyentuh makanan yang sudah mendingin di atas meja ruang tamu.
Irina, wanita itu tampak lebih kurus dari sebelumnya. Wajahnya kuyu menahan pilu, matanya sendu menyimpan air mata yang tak sanggup lagi ia turunkan, sesekali matanya bergetar ingin menumpahkan emosi yang tak kunjung juga mereda.
"Bagaimana kalau aku dulang?" tanya Tristan.
Irina diam, pandangan matanya nanar menatap lurus ke depan. Tristan menghela napas pelan, lantas duduk di samping Irina. Tristan tahu bahwa perempuan yang sekarang sudah sah menjadi istrinya itu masih belum bisa menerima kenyataan dengan sepenuh hati tapi, walaupun begitu Tristan harus tetap menepati janjinya sendiri. Ini kesalahannya dan tak mungkin pula Tristan akan melukai Irina sekali lagi.
"Irina, tolong dengarkan aku ... calon anak kita perlu makanan yang bergizi agar dia bisa tumbuh dengan sehat di dalam perutmu," ucap Tristan seraya mengambil tangan kurus Irina, berharap perempuan itu akan merespons perkataannya.
"Pergi saja." Satu kalimat keluar dari bibir kering nan pucat milik Irina.
"Irina, tolong jangan seperti ini. Jangan menyiksa dirimu sendiri," kata Tristan, "Aku tahu seharusnya ini semua enggak pernah terjadi tap—"
"Lebih baik kamu pergi sekarang!" ketus Irina.
Tristan mengangguk dan mencoba mengontrol emosinya yang sedari tadi tertahan dan hampir saja meledak, Tristan tetap menggenggam tangan Irina hingga perempuan itu mencoba melepaskannya dengan paksa lantas mengambil sebilah pisau roti yang ada dari atas nampan kayu yang ada di hadapan mereka.
"Irina, apa yang ingin kamu lakukan?!" tanya Tristan agak terkejut.
"Aku benci kamu! Aku benci bayi menyebalkan ini! Aku benci semuanya!" jerit Irina, tiba-tiba menjadi histeris seperti orang kesurupan.
Irina belakangan ini memang sering menjadi histeris, mudah tersinggung, dan menangis. Irina menjadi seperti itu karena perbuatan Tristan, kalau saja Tristan tak membohongi Irina malam itu mungkin saja Irina masih baik-baik saja sekarang.
Irina hendak menggoreskan mata pisau roti ke pergelangan tangannya namun, dengan sigap Tristan menahannya. "Apa yang ingin kamu lakukan? Jangan nekat, Irina!"
"Lepaskan, Tristan! Aku mau mati! Lepaskan! Jangan menghalang-halangi aku lagi!"
"Enggak, kembalikan pisau itu," gumam Tristan bersusah payah mengambil alih pisau roti dengan mata bergerigi itu—walaupun mungkin saja sia-sia.
Setelah Tristan berhasil mengambil alih pisau roti tersebut Irina menangis histeris, terisak tak karuan seperti seorang bocah berusia empat tahun yang tak dibelikan permen cokelat oleh ibunya, Irina meraung sembari memukuli bahu Tristan yang berusaha menenangkannya.
"Maaf, Irina ... aku benar-benar minta maaf." Hanya kalimat itulah yang keluar dari mulut Tristan ketika melihat Irina menangis sesenggukan.
Sementara itu tangan kanannya sudah menggenggam botol spray kloroform pemberian dokter tempo hari, dengan cepat Tristan menyemprotkan cairan bius itu ke selembar tissue dapur dan membungkam Irina sesegera mungkin. Tristan terpaksa melakukan hal itu karena ia tidak ingin Irina menjadi lebih histeris lagi, ia juga tak sanggup untuk menangani Irina seorang diri. Ia butuh orang lain untuk membantu merawat Irina.
***
"Kamu yakin dia baik-baik saja?" tanya seorang laki-laki muda kepada Tristan yang sedang duduk dengan posisi kepala menunduk.
"Seharusnya begitu, Doy. Tapi, aku juga enggak bisa seperti ini terus ... Irina bisa saja melakukan hal-hal yang lebih parah lagi dibandingkan itu, bisa saja ia bunuh diri dengan cara yang lain, aku benar-benar membutuhkan perawat untuk mengawasi Irina di rumah saat aku bekerja,” jawab Tristan sedikit tak bersemangat.
"Kenapa kamu enggak menelepon sahabat Irina untuk membantumu? Bukankah dia punya dua sejawat?” tanya Doy kemudian.
Tristan menghela napas panjang. "Permasalahannya adalah, Irina enggak mau bertemu siapa pun. Ia akan menjadi sangat histeris kalau bertemu orang lain.”
"Sebenarnya apa yang kamu lakukan sampai Irina menjadi depresi seperti itu?" celetuk salah satu rekan kerja Tristan yang sedari tadi menyimak pembicaraan mereka.
Tristan menangkup wajahnya dengan kedua tangannya merasa amat bingung, sementara Yudha dan beberapa rekan kerjanya yang lain sudah mempunyai hipotesis argumentatif untuk kejadian yang menimpa Tristan sekarang.
"Jangan bilang kalau kamu memang sengaja ingin menjebak Irina dengan beberapa orang itu?" tebak Yudha.
"Yudha, kamu kok bisa-bisanya berkata seperti itu? Kamu ‘kan enggak tahu kejadian yang sebenarnya seperti apa jadi, jangan berspekulasi seperti itu," timpal Doy berusaha mencairkan suasana ruangan itu yang mendadak menjadi tegang.
“Lagi pula siapa yang enggak mempunyai pemikiran seperti itu, Doy? Kita tahu sendiri kalau Tristan lah alasan Irina untuk selalu bertahan,” ucap Yudha. “Aku berkata seperti ini bukan karena tertarik kepada Irina tapi, karena aku juga mempunyai kakak dan adik perempuan.”
Tristan mengusap kasar wajahnya mencoba mencari jawaban dalam kegelapan sanubari. Mencoba mencari setitik embun yang rela turun di padang pasir yang gersang. Namun, sekali lagi ia gagal untuk menemukannya, Ia tak bisa mencarinya sendirian karena ingin segersang apa pun sebuah padang pasir bila diarungi sendiri maka percuma saja. Jawaban itu tak diketemukan.
"Ini semua berjalan di luar rencana awal, Yudh. Kamu tahu itu tapi, semuanya sudah kejadian,” jawab Tristan pasrah.
Yudha menyeringai kecil. “Semuanya memang sudah terjadi, dan apa salahnya kamu menjelaskan secara rinci apa tujuan awal kamu ingin mengerjai Irina.”
"Sudah kukatakan berulang kali kalau aku hanya ingin bercanda, enggak seperti yang kalian pikirkan sebelumnya. Aku sama sekali enggak merencanakan hal buruk untuk Irina," ujar Tristan penuh penekanan di setiap suku kata.
Sebagai pihak penengah, Doy menepuk pundak Yudha pelan agar laki-laki itu diam sejenak. "Di sini kita hanya orang yang enggak mengerti masalah inti yang sekarang melilit kehidupan Tristan tapi, ada baiknya kita membicarakan ini sama-sama dengan berbagai kacamata. Kita enggak bisa menyelesaikan permasalahan ini hanya dengan satu kacamata."
Yudha menggeleng pelan. "Astaghfirullah, Aku minta maaf, Tris. Aku enggak bermaksud seperti itu, aku terbawa emosi."
Tristan terdiam, menangkup wajahnya dengan kedua tapak tangan. Ia tak habis pikir segala sesuatu yang ia rencanakan malah berubah drastis. Tristan mencelakakan Irina secara kebetulan, dan itu adalah momok baginya saat ini.
"Aku benar-benar minta maaf atas perkataanku tadi, Tris. Aku mengerti perasaan kamu saat ini, lebih baik sekarang kita ambil wudhu dan sholat dzuhur sebelum habis waktunya," ujar Yudha kemudian.
"Benar. Sekarang sudah waktunya untuk sholat dzuhur, lebih baik kita ke ruang ibadah sekarang, kita adukan semua masalah kita kepada-Nya agar diberikan kemudahan," tambah Doy sembari melepaskan blazer yang dikenakannya.
Tristan tertegun sejenak, menatap kedua sejawatnya itu dengan sangat canggung. “Tapi, aku jarang sholat, apa doa yang aku panjatkan akan dijabah?”
Tristan mengusap pelan wajahnya dengan tangan kanan setelah memberikan salam di tasyahud akhir. Ia melipat kedua kakinya menjadi satu dan menyatukan tangan di depan dada untuk berdoa, mengadukan segala masalah yang saat ini melilit hidunya kepada sang Ilahi. Dengan sangat khusyuk ia menceritakan segalanya, tentang kegundahannya, tentang kebodohannya, tentang kejahatannya selama ini hingga tanpa terasa butiran bening itu menetes dari matanya. Kondisi ruangan ibadah sudah nyaris sepi karena jam sudah hampir setengah satu siang hanya tinggal beberapa rekan kerja Tristan yang merapikan karpet. “Ya Allah, sungguh, aku memohon kepada-Mu maaf dan kekuatan pada agama, dunia, dan akhirat. Ya Allah, ampunilah kesalahanku, kejahilanku, sikapku yang melampaui batas dalam urusanku dan segala hal yang Engkau lebih mengetahui hal itu dari diriku
“Irina,” panggil Tristan sembari membuka sebuah pintu kayu jati yang masih tertutup rapat, Ia masuk ke dalam ruangan berukuran 3 x 4 meter itu sedikit gugup. Tristan melihat Irina terduduk di lantai dengan tangan yang berdarah, dengan segera Tristan menghampiri Irina membawa sebuah kemoceng yang tergantung di dekat pintu masuk. Dengan sangat panik Tristan mengumpulkan pecahan beling tersebut, keringat dingin sudah mengucur dengan deras saat melihat luka Irina yang terus mengeluarkan darah. “Tunggu sebentar aku akan mengambil air untuk membersihkan lukanya, tahan dulu dengan ini,” kata Tristan sembari memberikan sebuah sapu tangan seperti handuk kepada Irina. Irina diam tak bergeming, membuat Tristan menghela napas panjang diambang emo
“Kalau mendadak kamu melupakanku, jangan pernah mencariku lagi karena mungkin aku juga sudah melupakanmu.” Perkataan menohok dari Irina tadi sore amatlah membekas dalam ingatan Tristan, bahkan dalam keadaan sholat pun ia masih terpikirkan perkataan Irina, membuat sholatnya sedikit tak khusyuk. Tristan tahu dengan jelas apa maksud Irina tadi, hal itulah yang membuatnya merasa tertohok. Tristan mengecewakan Irina bukan hanya sekali saja namun, berkali-kali hingga tak terhitung jumlahnya. Irina masih saja berusaha meyakinkan Tristan bahwa ia menyukainya, dan sangat berusaha membuat hati Tristan terbuka untuknya. Berkali-kali terjatuh namun, tetap berpura-pura tak terluka itulah Irina, berulang kali Tristan mengerjainya berulang kali juga Irina terlihat baik-baik saja, bahkan Irina tak p
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi namun, Irina belum juga bangun. Ia masih terbaring di tempat tidur dengan selimut menutupi setengah badannya. Tristan sudah sedari tadi membawakan sarapan untuk Irina, yang mungkin saja saat ini makanan itu sudah mulai menjadi dingin. “Kok belum di makan sih sarapannya? Apa kamu mau sesuatu yang lain?” tanya Tristan entah sudah ke berapa kalinya. Irina diam seribu bahasa, tak ingin menjawab ataupun berinteraksi dengan Tristan sebagaimana mestinya sepasang suami istri. Mereka lebih terlihat seperti musuh dibandingkan sepasang suami istri. Tak seberapa lama Tristan menghampiri Irina dan mengambil piring berisi makanan itu berniat untuk menyuapi Irina. “Pengen aku dulang?” tanya Tristan sembari menyodorkan ses
“Apa kata dokter tadi?” tanya Marrey tampak bingung dengan wajah Tristan yang terlihat bimbang setelah menelepon dokter itu. Tristan duduk di hadapan Marrey, melipat kedua tangannya dengan rapi. “Dokter Oriche mengatakan bahwa Irina bisa sembuh dengan terapi.” “Kalau begitu langsung kita ambil saja,” ujar Marrey cepat. “Mama setuju dengan terapi yang akan dilakukan oleh mereka? Kalau Mama setuju besok setelah pulang kerja aku akan menemui Dokter Oriche untuk membicarakan ini,” kata Tristan kemudian. “Kalau tujuannya baik, pastinya Mama setuju,” balas Marrey. “Baiklah, Ma. Aku akan menengok Iri
“Kamu?” Tristan tertegun saat melihat perempuan yang ada di hadapannya saat itu, ia adalah perempuan yang menghubunginya tempo hari. Dan kali ini perempuan itu menemuinya dengan penuh kekesalan ke tempat bekerja. Tristan hanya bisa berdiri mematung di sana saat kornea matanya bertemu dengan perempuan itu. “Iya, ini aku Tristan. Apa ada yang salah?” tanya Yerianna dengan wajah berbinar. “Yer... Yerianna,” gumam Tristan terbata. “Kenapa Tristan? Kok sepertinya kamu sangat kaget saat melihatku?” tanya Yerianna lagi, senyum yang terulas sangat manis di wajahnya kian menyusut. “Yerianna... aku ....”
Tristan berjalan sedikit terburu-buru memasuki sebuah ruangan kecil berukuran 4 x 3 meter bernuansa putih gading vintage, tanpa lupa ia membawa beberapa buah tangan di tangan kanannya. “Assalamualaikum, Dok. Maaf saya agak terlambat dari jadwal yang ditentukan,” gumam Tristan saat baru saja menatap Dokter perempuan di ruangan itu. “Pak Tristan enggak terlambat, kok. Saya juga baru saja selesai melakukan tugas saya,” balas Dokter Oriche. “Oh iya, Dok. Ini saya bawakan beberapa buah tangan untuk Dokter.” Tristan menyodorkan tas karton yang ada di pegangannya kepada Dokter Oriche. “Kenapa Bapak membawa buah tangan seperti ini? Di mana Bu Irina?” tanya Dokter Ori
Pagi-pagi sekali Tristan sudah membangunkan Irina dengan sedikit usaha agar Irina mau diajak pergi ke rumah sakit siang itu walaupun beberapa kali malah membuat Irina histeris sendiri, Tristan tahu dengan jelas bahwa Irina masih sangat takut dengan lingkungan luar, hal itulah yang justru membuat Tristan merasa Irina harus pergi hari terapi hari ini. Setelah selesai menunaikan sholat dhuha, Tristan segera mencari long cardigan untuk Irina agar ia tidak kedinginan saat di perjalanan karena dari tadi subuh rintik hujan sudah membasahi daerah ini hingga saat ini. Tanpa lupa Tristan juga mencari masker wajah dari dalam lemarinya untuk Irina agar tidak merasa begitu gugup menghadapi orang lain di rumah sakit nanti. Hal itu sudah Tristan persiapkan dengan matang dari kemarin, bahkan kemarin ia harus begadang hanya untuk m