“Kalau mendadak kamu melupakanku, jangan pernah mencariku lagi karena mungkin aku juga sudah melupakanmu.”
Perkataan menohok dari Irina tadi sore amatlah membekas dalam ingatan Tristan, bahkan dalam keadaan sholat pun ia masih terpikirkan perkataan Irina, membuat sholatnya sedikit tak khusyuk. Tristan tahu dengan jelas apa maksud Irina tadi, hal itulah yang membuatnya merasa tertohok.
Tristan mengecewakan Irina bukan hanya sekali saja namun, berkali-kali hingga tak terhitung jumlahnya. Irina masih saja berusaha meyakinkan Tristan bahwa ia menyukainya, dan sangat berusaha membuat hati Tristan terbuka untuknya. Berkali-kali terjatuh namun, tetap berpura-pura tak terluka itulah Irina, berulang kali Tristan mengerjainya berulang kali juga Irina terlihat baik-baik saja, bahkan Irina tak pernah terlihat menangis saat Tristan mengerjainya.
Namun, sekarang seperti berbalik keadaannya. Tristan benar-benar tak menyangka bahwa dirinya yang menyuruh Irina untuk pergi ke terminal untuk menemuinya padahal nyatanya Tristan sudah pulang dari terminal. Tristan tidak mengetahui kalau hari itu akan menjadi hari paling buruk untuk kelangsungan hidup Irina.
Tristan menghela napas, kemudian mengusap wajahnya perlahan dengan tangan kanannya, lantas ia melirik jam weker yang ada di atas nakas, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan ia baru selesai menunaikan sholat witir sementara Irina sudah tertidur sejak adzan isya. Tristan mengambil sajadahnya kemudian meletakkannya di sebuah gantungan baju.
Ia hendak pergi ke balkon kamarnya saat menyadari bahwa Irina mengigau dalam tidurnya. Irina memanggil ibunya juga Tristan, terdengar seperti sangat ketakutan oleh sesuatu, membuat Tristan perlahan mendekat dengan wajah kalut. Irina terlihat menggenggam ujung selimut yang menutupi tubuhnya dengan erat sembari menitikkan air mata.
“Astagfirullah ... Irina ... bangun ... kamu bermimpi buruk lagi,” ucap Tristan sembari mengelus puncak kepala Irina yang basah oleh keringat dingin.
Irina masih menangis sesenggukan dalam igauannya, membuat Tristan sedikit kewalahan untuk membangunkan Irina yang masih mengigau. Tristan mengelus puncak kepala Irina sekali lagi sembari mengusap jejak air mata yang membekas di wajah Irina. Irina sedikit tersentak karena hal itu namun, tak melakukan banyak perubahan. Irina masih menangis sesenggukan di sebelah Tristan, meracau tak jelas.
“Kamu bermimpi buruk lagi, ‘kan?” tanya Tristan lirih.
Irina masih diam, buku-buku jarinya mulai memutih akibat menggenggam selimut terlalu erat, wajahnya seketika menjadi pucat pasi.
Dengan sabar Tristan mengambil segelas air minum yang ada di atas nakas kemudian mengambil botol obat milik Irina. “Minum dulu biar lebih tenang.”
Irina tak menjawab, seolah tak mendengar perkataan Tristan barusan, bibirnya masih bergetar meracau tidak jelas.
“Irina, minum dulu ... kamu terlihat sangat ketakutan, kamu bermimpi apa?” tanya Tristan kemudian.
“Pulang ... aku ingin pulang ....”
“Pulang ke mana Irina? Kita sudah di rumah,” jawab Tristan.
“Pulang ke rumah ....”
“Ini sudah di rumah, kamu minum obatnya dulu,” ujar Tristan kemudian membantu Irina meminum antidepresan dari tangannya.
“Aku ingin pulang,” gumam Irina meraih tangan Tristan seperti hendak meminta perlindungan.
“Istigfar, sayang. Tenanglah, sedikit ... enggak ada yang mau menyakiti kamu di sini, aku akan menjagamu,” kata Tristan.
“Aku capek ....”
“Ssst ... sudah minum dulu, tarik napas dalam-dalam, Irina.”
Beberapa menit setelah Irina sudah mulai tenang, ponsel Tristan berdering tanda adanya sebuah panggilan masuk. Awalnya Tristan tak ingin mengangkatnya karena sudah terlalu larut malam untuk mengobrol via telepon namun, karena ia merasa penasaran juga ia menghampiri ponselnya yang diletakkan di meja santai.
Tristan tertegun ketika melihat nama yang tertera di layar LCD ponselnya. Ia merenung cukup lama hingga nada dering ponselnya berhenti, ia tak mempunyai banyak keberanian untuk mengangkat telepon tersebut. Beberapa saat kemudian sebuah pesan chat masuk ke ponsel Tristan dan dari orang yang sama.
@Yerianna
[Kamu ke mana aja? Aku kangen sama kamu]
Tristan sangat tertegun melihat isi pesan chat tersebut, hatinya sangat lah bimbang karena pesan tersebut. Tristan tak seharusnya memberikan harapan kepada gadis itu saat ia sudah sah menjadi suami dari Irina. Ia tak mungkin juga mengabaikan pesan itu karena akan membawanya semakin masuk ke dalam permainan gadis itu.
“Angkat saja teleponnya kalau dia menelepon lagi, anak yang di perutku bukan anak kamu,” tandas Irina kemudian.
Tristan menoleh, menatap Irina yang masih berbaring dengan wajah tak sukanya. Tristan tahu dengan jelas apa maksud tatapan itu, Irina tidak suka terlihat lemah dan terlihat seperti ingin dibela.
“Kamu enggak perlu khawatir, nomornya bakal aku blokir kok,” jawab Tristan mencoba untuk tidak mencari api lagi, mengingat kondisi Irina yang benar-benar kacau.
“Sudah kukatakan... kamu enggak perlu mengasihaniku,” hardik Irina dengan nada yang ditekan.
“Astaghfirullah ... istighfar Irina, jangan berbicara dengan nada seperti itu. Enggak baik,” gumam Tristan dengan wajah terkejut, lantaran baru kali ini ia dihardik oleh Irina.
Ponsel Tristan kembali berdering untuk ke sekian kalinya, membuat Tristan semakin bingung tujuh keliling. Dengan cepat ia menggeser tombol hang up.
“Assalamualaikum ... maaf sebelumnya, aku Cuma ingin mengatakan bahwa menelepon orang berkali-kali saat larut malam itu perbuatan yang sungguh tidak beretika. Lagi pula kamu sudah tahu dengan jelas, jam-jam seperti sekarang ini adalah waktunya orang untuk beristirahat.”
Terdengar suara helaan napas dari ujung telepon yang membuat Tristan merasa sangat bersalah. Namun, tak ada pilihan lain selain membuat gadis itu mengerti bahwa Tristan sudah tak mungkin berhubungan lagi dengan gadis itu.
“Kamu bercanda?” tanya gadis itu di seberang sana dengan nada sinis. “Tristan, kamu enggak lupa sama janji kamu, ‘kan?”
“Maaf, aku tahu kalau melanggar janji termasuk dosa besar tapi, aku benar-benar tidak bisa bersamamu lagi. Ada wanita yang harus aku jaga perasaannya,” balas Tristan.
“Inkonsisten! Kamu benar-benar laki-laki inkonsisten yang pernah aku kenal,” sergah gadis itu.
“Aku benar-benar minta maaf akan hal ini, Assalamualaikum.” Tristan mematikan sambungan telepon lantas meletakkan ponselnya di atas nakas setelah mengubah ponsel tersebut menjadi mode hening.
Tristan mengabaikan layar ponselnya yang kembali menyala, ia pergi menghampiri Irina yang masih menatap dirinya dengan kesal. Entah bagaimana perkataan Irina selanjutnya Tristan tak ingin peduli karena sekarang hal terpenting baginya adalah menundukkan pandangannya dari wanita lain kecuali Irina.
“Kamu ingin makan sesuatu?” tanya Tristan mencoba mengalihkan topik.
“Bertambah lagi dua orang kesepian di dunia malam ini. Sayang, kamu dan aku hanyalah dua orang kesepian yang mengalah untuk berjuang.”
“Maksudnya apa Irina?” tanya Tristan kemudian. “Kamu pandai bersastra tapi, suamimu ini buta sastra.”
“Masalahnya enggak mungkin kamu enggak mengerti,” balas Irina sinis, lantas ia memalingkan wajahnya dari Tristan.
"Aku benar-benar enggak mengerti, apakah kamu marah karena aku memperlskilan dia seperti itu tadi? Atau kamu enggak ingin aku melakukan itu lagi?"
"Pikirkanlah sendiri," seloroh Irina.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi namun, Irina belum juga bangun. Ia masih terbaring di tempat tidur dengan selimut menutupi setengah badannya. Tristan sudah sedari tadi membawakan sarapan untuk Irina, yang mungkin saja saat ini makanan itu sudah mulai menjadi dingin. “Kok belum di makan sih sarapannya? Apa kamu mau sesuatu yang lain?” tanya Tristan entah sudah ke berapa kalinya. Irina diam seribu bahasa, tak ingin menjawab ataupun berinteraksi dengan Tristan sebagaimana mestinya sepasang suami istri. Mereka lebih terlihat seperti musuh dibandingkan sepasang suami istri. Tak seberapa lama Tristan menghampiri Irina dan mengambil piring berisi makanan itu berniat untuk menyuapi Irina. “Pengen aku dulang?” tanya Tristan sembari menyodorkan ses
“Apa kata dokter tadi?” tanya Marrey tampak bingung dengan wajah Tristan yang terlihat bimbang setelah menelepon dokter itu. Tristan duduk di hadapan Marrey, melipat kedua tangannya dengan rapi. “Dokter Oriche mengatakan bahwa Irina bisa sembuh dengan terapi.” “Kalau begitu langsung kita ambil saja,” ujar Marrey cepat. “Mama setuju dengan terapi yang akan dilakukan oleh mereka? Kalau Mama setuju besok setelah pulang kerja aku akan menemui Dokter Oriche untuk membicarakan ini,” kata Tristan kemudian. “Kalau tujuannya baik, pastinya Mama setuju,” balas Marrey. “Baiklah, Ma. Aku akan menengok Iri
“Kamu?” Tristan tertegun saat melihat perempuan yang ada di hadapannya saat itu, ia adalah perempuan yang menghubunginya tempo hari. Dan kali ini perempuan itu menemuinya dengan penuh kekesalan ke tempat bekerja. Tristan hanya bisa berdiri mematung di sana saat kornea matanya bertemu dengan perempuan itu. “Iya, ini aku Tristan. Apa ada yang salah?” tanya Yerianna dengan wajah berbinar. “Yer... Yerianna,” gumam Tristan terbata. “Kenapa Tristan? Kok sepertinya kamu sangat kaget saat melihatku?” tanya Yerianna lagi, senyum yang terulas sangat manis di wajahnya kian menyusut. “Yerianna... aku ....”
Tristan berjalan sedikit terburu-buru memasuki sebuah ruangan kecil berukuran 4 x 3 meter bernuansa putih gading vintage, tanpa lupa ia membawa beberapa buah tangan di tangan kanannya. “Assalamualaikum, Dok. Maaf saya agak terlambat dari jadwal yang ditentukan,” gumam Tristan saat baru saja menatap Dokter perempuan di ruangan itu. “Pak Tristan enggak terlambat, kok. Saya juga baru saja selesai melakukan tugas saya,” balas Dokter Oriche. “Oh iya, Dok. Ini saya bawakan beberapa buah tangan untuk Dokter.” Tristan menyodorkan tas karton yang ada di pegangannya kepada Dokter Oriche. “Kenapa Bapak membawa buah tangan seperti ini? Di mana Bu Irina?” tanya Dokter Ori
Pagi-pagi sekali Tristan sudah membangunkan Irina dengan sedikit usaha agar Irina mau diajak pergi ke rumah sakit siang itu walaupun beberapa kali malah membuat Irina histeris sendiri, Tristan tahu dengan jelas bahwa Irina masih sangat takut dengan lingkungan luar, hal itulah yang justru membuat Tristan merasa Irina harus pergi hari terapi hari ini. Setelah selesai menunaikan sholat dhuha, Tristan segera mencari long cardigan untuk Irina agar ia tidak kedinginan saat di perjalanan karena dari tadi subuh rintik hujan sudah membasahi daerah ini hingga saat ini. Tanpa lupa Tristan juga mencari masker wajah dari dalam lemarinya untuk Irina agar tidak merasa begitu gugup menghadapi orang lain di rumah sakit nanti. Hal itu sudah Tristan persiapkan dengan matang dari kemarin, bahkan kemarin ia harus begadang hanya untuk m
“Irina ... bangun sayang ... sudah hampir Ashar.” Irina mengerjapkan mata beberapa kali saat mendengar suara dan sebuah usapan pelan di puncak kepalanya, ia sedikit terkejut karena menyadari bahwa dirinya sekarang sudah berada di kamar dengan selimut menutupi tubuhnya hingga pinggang. “Kamu ketiduran saat psikoterapinya selesai, kata dokter Laurent hal itu wajar-wajar saja jikalau pasien yang menjalani hipnoterapi tertidur.” Tristan berkata seolah menyadari kelinglungan Irina saat itu. Irina menghela napas saat mendengar perkataan Tristan namun, masih enggan untuk bangun dari tempat tidur karena merasa sangat pusing. Irina kembali berbaring, memunggungi Tristan yang masih berusaha membangunkannya.
Irina masih berdiri menyerana di balkon kamarnya, Yerianna sudah pergi sedari tadi dari rumah itu namun, perasaannya masih sangat kacau. Irina bisa melihat kalau Yerianna pergi dari rumah itu sambil menangis walaupun perempuan itu pergi memunggunginya, entah apa yang dilakukan Tristan hingga perempuan cantik itu menangis. Irina benar-benar seperti orang jahat yang menari di atas penderitaan Yerianna. Tak seharusnya Irina berada di posisi ini sekarang, tak seharusnya pula Irina menyandang embel-embel Nyonya Tristan Hadiwira saat ini. Ini adalah sebuah kebetulan yang menyakitkan, sebuah kesialan yang berujung kehampaan. Irina tertegun ketika mendengar pertengkaran mereka tadi, hal itu sungguh membuatnya juga merasa bersalah karena Irina sudah menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka berdua. “Kamu kok malah duduk di luar, sih? Udara malam enggak baik untuk ibu hamil,” kata Trista
“Kenapa kembali ke sini? Katanya enggak mau ketemu sama aku lagi,” sambut Irina saat Tristan baru saja masuk ke kamar mereka. Tristan mengulas senyum tipis sebisa mungkin menyembunyikan emosinya, ia berjalan ke meja kerja yang ada di sudut ruangan dan meletakkan laptop miliknya bersama map file. Kemudian ia menoleh kepada Irina yang memandangnya bingung. “Kamu sudah mengambil wudhu? Kalau sudah kamu siap-siap terlebih dahulu, kita shalat witir bersama,” kata Tristan dengan seulas senyum. “Aku mau tidur, sudah mengantuk,” pungkas Irina tanpa basa-basi langsung beranjak menarik selimut guna menutupi tubuhnya. “Ya, sudah kalau kamu mengantuk. Tidur saja duluan, nanti aku menyusul, aku shalat dulu.” Tristan mempersiapkan sajadah