Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi namun, Irina belum juga bangun. Ia masih terbaring di tempat tidur dengan selimut menutupi setengah badannya. Tristan sudah sedari tadi membawakan sarapan untuk Irina, yang mungkin saja saat ini makanan itu sudah mulai menjadi dingin.
“Kok belum di makan sih sarapannya? Apa kamu mau sesuatu yang lain?” tanya Tristan entah sudah ke berapa kalinya.
Irina diam seribu bahasa, tak ingin menjawab ataupun berinteraksi dengan Tristan sebagaimana mestinya sepasang suami istri. Mereka lebih terlihat seperti musuh dibandingkan sepasang suami istri. Tak seberapa lama Tristan menghampiri Irina dan mengambil piring berisi makanan itu berniat untuk menyuapi Irina.
“Pengen aku dulang?” tanya Tristan sembari menyodorkan sesendok nasi kepada Irina.
“Aku enggak mau makan kalau kamu enggak membelikan aku nanas muda atau cytotec,” tukas Irina, menampik tangan Tristan dengan cepat.
“Astaghfirullah ... kamu ini sebenarnya mau apa dengan obat cytotec itu?” tanya Tristan kemudian, “Irina kita ini sudah menikah jadi, tolong dengarkan perkataanku.”
“Menurutmu ... apa yang akan aku lakukan dengan obat itu? Jangan pura-pura bodoh di depanku,” ujar Irina.
“Bukan pura-pura bodoh, Irina. Tapi, aku butuh penjelasan kenapa kamu bersikeras ingin menggugurkan anak itu?” balas Tristan lagi.
“Kamu bukan ayah dari bayi ini jadi, itu bukan urusan kamu,” cetus Irina acuh tak acuh.
Tristan menghela napas panjang lantas meletakkan piring yang ia pegang kembali ke atas nakas, ia menoleh menatap Irina yang masih enggan beranjak dari tempat tidur. Pikirannya mulai terbang mengarungi lorong waktu hingga malam itu, kebodohan terbesar Tristan saat itu adalah membohongi Irina.
“Aku memang bukan ayah bayi itu tapi, sekarang aku suami kamu,” ucap Tristan, “Dan sudah sepatutnya seorang suami bisa melindungi dan membimbing istrinya, ‘kan?”
“Aku enggak pernah meminta kamu untuk mengasihaniku apalagi menikahiku karena mau bagaimana pun, aku tahu kalau hati kamu memang enggak bisa terbuka buat aku,” sergah Irina.
“Siapa yang bilang enggak bisa, hm? Kalau Allah sudah berkehendak semua pasti bisa,” kata Tristan dengan nada lembut seolah sedang berusaha melunakkan hati Irina saat itu.
Irina berdecit meremehkan perkataan Tristan, kemudian ia tertawa nyaring saat menatap wajah Tristan seolah ada yang lucu di wajah Tristan. Irina kembali bertingkah aneh, membuat Tristan hampir kewalahan untuk menanganinya namun, tidak ada pilihan lain selain berusaha dan berdoa.
“Irina ... kamu kambuh lagi. Ayo, makan dan minum obatnya,” ucap Tristan kemudian.
“Siapa yang sakit?” tanya Irina di sela tawanya.
“Kamu sakit dan kamu harus rajin minum obat biar sembuh,” balas Tristan.
“Aku enggak sakit, kamu yang sakit,” kekeh Irina.
Tristan mengucap istighfar sekali lagi, ia mencoba membujuk Irina agar menyantap sarapannya juga meminum obat walaupun pada akhirnya Irina masih tidak stabil kondisinya. Sesekali Irina bahkan mencakar lengan Tristan karena tidak mau memakan sarapannya.
Karena sudah merasa cukup lelah menghadapi tingkah Irina yang semakin menjadi-jadi, dengan terpaksa Tristan mengambil botol spray kloroform dengan sehelai sapu tangan yang sering ia pakai. Tristan membius Irina untuk kedua kalinya, membiarkan istrinya tertidur lagi pagi itu.
***
“Kamu membiusnya lagi padahal dia belum makan, seharusnya kamu tunggu dulu sampai Irina mau makan,” omel Marrey saat mengetahui bahwa Tristan membius Irina sebelum menghabiskan sarapannya.
Tristan hanya bisa berdiam diri dengan kedua tangan menangkup wajahnya, sangat ingin menangis karena merasa bersalah juga ingin menangis karena merasa terlalu egois. Ia kembali merasa tak berdaya setelah mengalami buah dari perbuatan yang dilakukannya.
“Memang ada baiknya kalau kita membawa Irina pergi ke psikolog. Kalau kita tetap meminumkan antidepresan seperti itu kepada Irina, Mama khawatir akan berdampak pada bayinya,” gumam Marrey kemudian.
“Tapi, Ma ....”
“Tristan ... kita harus mengambil langkah ini, Mama enggak mau Irina sampai melakukan hal-hal yang lebih berbahaya dari ini,” gumam Marrey memotong perkataan Tristan..
Tristan mengangguk paham. “Mama benar, kita memang harus mengambil langkah ini. Tapi, apakah Irina mau dibawa keluar dan bertemu orang asing?”
Marrey menghela napas, mengabaikan pertanyaan Tristan sejenak sembari merapikan beberapa perabotan makan yang telah dicucinya ke rak piring. Tristan tahu kalau Marrey sangat tidak ingin Irina menggugurkan bayinya walaupun Marrey tahu itu bukan anak kandung Tristan, Marrey sangat tidak ingin jika anak dan menantunya kembali melakukan dosa yang sama dengan sebelumnya.
“Kita enggak bisa menganggap ini seperti hal yang sepele, Nak. Depresi bukanlah permainan yang bisa dimulai dan dihentikan secara ekspres, penyembuhan depresi sangatlah perlahan, Irina butuh support dari kamu. Kamu jangan menyerah seperti itu, Allah bersama kita semua, Insya Allah semua akan berjalan dengan lancar kalau kita terus berdoa dan berusaha.” Marrey berkata panjang lebar untuk memberikan semangat kepada Tristan yang sudah terlihat sangat penat dengan kondisi kesehatan Irina yang kian hari makin tidak tentu.
“Terima kasih, Ma. Mama selalu ada buat Tristan di saat susah, pengorbanan Mama sangatlah berharga untuk Tristan,” ucap Tristan kemudian.
“Sudah kewajiban Mama untuk selalu ada dalam kesusahanmu, Doa Mama akan selalu mengalir untukmu juga untuk istrimu,” balas Marrey, “Sekarang kamu telepon dokter yang kemarin merawat Irina untuk membuat janji, nanti kalau sudah sepakat kita langsung ke sana.”
“Baik, Ma.” Tanpa pikir panjang Tristan segera bangkit dari kursi meja makan menuju sebuah lemari yang ada di dekat tangga menuju lantai dua rumahnya.
Tristan membuka buku telepon yang ada di dekat telepon rumah tersebut kemudian menekan beberapa digit angka yang akan dihubungi. Setelah mendengarkan sebuah nada monoton menyambutnya di ujung telepon ia segera mempersiapkan diri kalau-kalau dokter itu lekas menjawab sambungan teleponnya.
Hampir beberapa menit lamanya Tristan menunggu ada jawaban dari dokter itu hingga pada akhirnya sebuah suara bariton yang menyapanya dengan sangat ramah di ujung telepon.
“Assalamualaikum, Selamat Pagi ... dengan Dokter Oriche Siahaan di sini, ada yang bisa saya bantu?”
Tristan tertegun sejenak, kemudian berkata, “Assalamualaikum, Dokter Oriche. Saya Tristan Hadiwira yang kemarin lusa mengunjungi Dokter untuk menangani istri saya, apakah saya menelepon di waktu yang tepat, Dok?”
“Kebetulan sekali, Pak. Saya sedang di jam istirahat, ada yang bisa saya bantu, Pak? Apa istri Bapak mengalami pendarahan lagi?” tanya Dokter tersebut.
“Untuk kondisi luka istri saya sudah lebih baik dari sebelumnya, Dok. Jahitannya sudah mulai mengering tapi, masih ada luka baru akibat tergores pecahan kaca dan juga kondisi psikisnya benar-benar semakin parah, Dok,” jawab Tristan.
“Contohnya bagaimana, Pak? Bisa Bapak jelaskan secara singkat kondisi psikis Bu Irina sekarang, agar kami bisa mengidentifikasikan langkah perawatan yang harus dilakukan selanjutnya,” kata Dokter Oriche.
“Kemarin lusa Irina bertingkah histeris bahkan hampir saja melukai dirinya sendiri, dia menangis sangat histeris sampai saya terpaksa membiusnya, kemarin malam sewaktu saya pulang kerja Istri saya terbangun tapi, mendadak jadi sangat ketakutan begitu mendengar langkah kaki Mama saya yang ingin masuk ke kamar, Istri saya benar-benar ketakutan sampai tidak ingin diobati lukanya. Tadi pagi pun seperti itu, Istri saya menangis dan tertawa sendiri tanpa sebab yang jelas.”
“Kondisi psikis Bu Irina sangat memprihatinkan namun, masih ada harapan, Pak. Karena setahu saya Depresi Mayor masih bisa disembuhkan dengan berbagai terapi,” balas Dokter Oriche.
“Terapi, Dok?” tanya Tristan bingung, “Apakah antidepresan tidak bisa menyembuhkan depresi?”
“Hmm ... enggak, Pak. Antidepresan Cuma bekerja layaknya pereda, kalau misalnya Bu Irina sedang enggak stabil Bapak minumkan antidepresan otomatis Bu Irina akan sedikit lebih tenang,” jawab Dokter Oriche.
“Lantas apa yang harus saya lakukan agar istri saya sembuh, Dok?” tanya Tristan kemudian.
“Saya bisa merekomendasikan seorang psikolog kenalan saya, Pak. Beliau sudah sangat berpengalaman untuk melakukan psikoterapi, kalau misalnya Bapak mau saya bisa mengatur waktu untuk bertemu,” kata Dokter Oriche.
Tristan memandang Marrey dengan tatapan bertanya, Marrey hanya mengangguk mengiyakan walaupun tak mengerti apa yang dibicarakan.
“Bagaimana kalau saya berdiskusi dulu dengan Mama saya, Dok. Karena saya juga membutuhkan saran beliau,” ucap Tristan.
“Baik, Pak. Itu adalah pilihan terbaik, Bapak bisa menelepon saya kalau Bapak sudah mendapatkan hasil diskusinya.”
“Apa kata dokter tadi?” tanya Marrey tampak bingung dengan wajah Tristan yang terlihat bimbang setelah menelepon dokter itu. Tristan duduk di hadapan Marrey, melipat kedua tangannya dengan rapi. “Dokter Oriche mengatakan bahwa Irina bisa sembuh dengan terapi.” “Kalau begitu langsung kita ambil saja,” ujar Marrey cepat. “Mama setuju dengan terapi yang akan dilakukan oleh mereka? Kalau Mama setuju besok setelah pulang kerja aku akan menemui Dokter Oriche untuk membicarakan ini,” kata Tristan kemudian. “Kalau tujuannya baik, pastinya Mama setuju,” balas Marrey. “Baiklah, Ma. Aku akan menengok Iri
“Kamu?” Tristan tertegun saat melihat perempuan yang ada di hadapannya saat itu, ia adalah perempuan yang menghubunginya tempo hari. Dan kali ini perempuan itu menemuinya dengan penuh kekesalan ke tempat bekerja. Tristan hanya bisa berdiri mematung di sana saat kornea matanya bertemu dengan perempuan itu. “Iya, ini aku Tristan. Apa ada yang salah?” tanya Yerianna dengan wajah berbinar. “Yer... Yerianna,” gumam Tristan terbata. “Kenapa Tristan? Kok sepertinya kamu sangat kaget saat melihatku?” tanya Yerianna lagi, senyum yang terulas sangat manis di wajahnya kian menyusut. “Yerianna... aku ....”
Tristan berjalan sedikit terburu-buru memasuki sebuah ruangan kecil berukuran 4 x 3 meter bernuansa putih gading vintage, tanpa lupa ia membawa beberapa buah tangan di tangan kanannya. “Assalamualaikum, Dok. Maaf saya agak terlambat dari jadwal yang ditentukan,” gumam Tristan saat baru saja menatap Dokter perempuan di ruangan itu. “Pak Tristan enggak terlambat, kok. Saya juga baru saja selesai melakukan tugas saya,” balas Dokter Oriche. “Oh iya, Dok. Ini saya bawakan beberapa buah tangan untuk Dokter.” Tristan menyodorkan tas karton yang ada di pegangannya kepada Dokter Oriche. “Kenapa Bapak membawa buah tangan seperti ini? Di mana Bu Irina?” tanya Dokter Ori
Pagi-pagi sekali Tristan sudah membangunkan Irina dengan sedikit usaha agar Irina mau diajak pergi ke rumah sakit siang itu walaupun beberapa kali malah membuat Irina histeris sendiri, Tristan tahu dengan jelas bahwa Irina masih sangat takut dengan lingkungan luar, hal itulah yang justru membuat Tristan merasa Irina harus pergi hari terapi hari ini. Setelah selesai menunaikan sholat dhuha, Tristan segera mencari long cardigan untuk Irina agar ia tidak kedinginan saat di perjalanan karena dari tadi subuh rintik hujan sudah membasahi daerah ini hingga saat ini. Tanpa lupa Tristan juga mencari masker wajah dari dalam lemarinya untuk Irina agar tidak merasa begitu gugup menghadapi orang lain di rumah sakit nanti. Hal itu sudah Tristan persiapkan dengan matang dari kemarin, bahkan kemarin ia harus begadang hanya untuk m
“Irina ... bangun sayang ... sudah hampir Ashar.” Irina mengerjapkan mata beberapa kali saat mendengar suara dan sebuah usapan pelan di puncak kepalanya, ia sedikit terkejut karena menyadari bahwa dirinya sekarang sudah berada di kamar dengan selimut menutupi tubuhnya hingga pinggang. “Kamu ketiduran saat psikoterapinya selesai, kata dokter Laurent hal itu wajar-wajar saja jikalau pasien yang menjalani hipnoterapi tertidur.” Tristan berkata seolah menyadari kelinglungan Irina saat itu. Irina menghela napas saat mendengar perkataan Tristan namun, masih enggan untuk bangun dari tempat tidur karena merasa sangat pusing. Irina kembali berbaring, memunggungi Tristan yang masih berusaha membangunkannya.
Irina masih berdiri menyerana di balkon kamarnya, Yerianna sudah pergi sedari tadi dari rumah itu namun, perasaannya masih sangat kacau. Irina bisa melihat kalau Yerianna pergi dari rumah itu sambil menangis walaupun perempuan itu pergi memunggunginya, entah apa yang dilakukan Tristan hingga perempuan cantik itu menangis. Irina benar-benar seperti orang jahat yang menari di atas penderitaan Yerianna. Tak seharusnya Irina berada di posisi ini sekarang, tak seharusnya pula Irina menyandang embel-embel Nyonya Tristan Hadiwira saat ini. Ini adalah sebuah kebetulan yang menyakitkan, sebuah kesialan yang berujung kehampaan. Irina tertegun ketika mendengar pertengkaran mereka tadi, hal itu sungguh membuatnya juga merasa bersalah karena Irina sudah menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka berdua. “Kamu kok malah duduk di luar, sih? Udara malam enggak baik untuk ibu hamil,” kata Trista
“Kenapa kembali ke sini? Katanya enggak mau ketemu sama aku lagi,” sambut Irina saat Tristan baru saja masuk ke kamar mereka. Tristan mengulas senyum tipis sebisa mungkin menyembunyikan emosinya, ia berjalan ke meja kerja yang ada di sudut ruangan dan meletakkan laptop miliknya bersama map file. Kemudian ia menoleh kepada Irina yang memandangnya bingung. “Kamu sudah mengambil wudhu? Kalau sudah kamu siap-siap terlebih dahulu, kita shalat witir bersama,” kata Tristan dengan seulas senyum. “Aku mau tidur, sudah mengantuk,” pungkas Irina tanpa basa-basi langsung beranjak menarik selimut guna menutupi tubuhnya. “Ya, sudah kalau kamu mengantuk. Tidur saja duluan, nanti aku menyusul, aku shalat dulu.” Tristan mempersiapkan sajadah
Hiruk pikuk kehidupan sudah dimulai sejak tadi, matahari sudah hampir meninggi menyinari bumi pertiwi yang sudah mulai usang oleh perkembangan zaman, beberapa orang sudah mulai berangkat kerja dan bersiap dengan kegiatan masing-masing pagi itu. Ada beberapa orang yang bersepeda sembari menikmati suasana cluster yang belum ramai oleh anak-anak kecil yang berlarian. Sebuah keberuntungan seorang Irina yang menjadi istri dari Tristan Putra Hadiwira dan menantu Randi Triyoga Hadiwira. Tapi, ini bukanlah perumahan cluster mewah yang dibayangkan oleh orang lain karena tinggal di sini adalah sebuah bantuan dari Marrey mengingat bahwa Tristan dan Randi masih memiliki kesalahpahaman. Lingkungan di cluster itu sungguhlah nyaman dan aman namun, beberapa tetangga di sana juga memiliki mulut yang luar biasa tajam kepada penghuni baru. Apalagi untuk ukura