Tristan kembali ke ruangannya dengan wajah lesu, ia benar-benar merasa tidak becus dalam segala hal setelah dimarahi oleh Randi beberapa waktu yang lalu. Hatinya benar-benar sakit mendengar cibiran Randi yang tak ada habisnya bahkan sangat menohok, walaupun ini bukan pertama kalinya Tristan dimarahi seperti itu tetap saja kali ini Tristan benar-benar merasa sudah terlalu berlebihan.
Ia mengambil sebuah wine kaleng yang ia simpan di laci meja kerjanya, membukanya hanya dengan satu kali sentuhan. Ia merasa sangat frustrasi karena hal itu dan ingin melupakannya sejenak.
“Astaghfirullah! Tris! Haram!” jerit Doy yang baru saja masuk ke ruangan tersebut dan langsung menyahut kaleng itu.
Tristan terkejut bukan main, kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajah sembari beruc
Jangan lupa tambahkan ke perpustakaan biar ada pemberitahuan jikalau chapter selanjutnya sudah di update💚🌱
Irina meletakkan secangkir americano yang masih mengepulkan asap tipis di hadapan Tristan, setelah makan malam Tristan memang menonton televisi di kamar namun, Irina merasa bahwa Tristan tak sedang menyimak acara yang ditayangkan malam itu. “Kamu benaran enggak mempunyai masalah?” tanya Irina lagi. Tristan menghela napas panjang. “Kenapa kamu repot-repot membuat kopi dan membawanya naik? Kalau tumpah bisa jadi bahaya buat kamu sama calon anak kita.” Irina mengernyitkan dahinya merasa aneh, kemudian ikut menjatuhkan tubuhnya di sebelas kiri Tristan namun, masih memberikan sedikit celah di antara mereka. “Enggak mau mepet-mepet ke dekatku?” tanya Tristan ketika menyadari adanya celah tersebut.
“Karina, tolong makan sedikit saja. Bayi kita perlu makanan yang bergizi ... kamu jangan seperti ini, kamu bisa menyakitinya.” Entah sudah berapa kali Marshal meminta istrinya itu menyentuh makanan yang sudah mendingin di hadapannya. Karina, wanita yang sudah sah menjadi istri Marshal itu tampak lebih kurus dari sebelumnya. Wajahnya kuyu, matanya sendu menyimpan kepiluan hidupnya, sesekali matanya bergetar ingin menumpahkan emosi yang tak juga kunjung mereda. “Aku suapin, ya?” tawar Marshal lagi. Karina diam, pandangan matanya kosong ke depan. Marshal menghela napas pelan, lantas duduk di samping Karina. Marshal tahu bahwa istrinya itu masih belum bisa menerima dirinya dengan sepenuh hati tapi, Marshal harus tetap menepati janji sakral yang sudah ia ucapkan sendiri. “Karina, tolong dengar aku ... bayi kita perlu makanan agar dia bisa tumbuh sehat di dalam perut kamu, kalau kamu enggak makan dia pasti juga ikut kelaparan,” ucap Marshal seraya mengambil tan
Prolog "Irina, tolong makan sedikit saja. Calon anak kita perlu makan, jangan menyiksa dia seperti ini." Entah sudah berapa kali Tristan meminta istrinya itu menyentuh makanan yang sudah mendingin di atas meja ruang tamu. Irina, wanita itu tampak lebih kurus dari sebelumnya. Wajahnya kuyu menahan pilu, matanya sendu menyimpan air mata yang tak sanggup lagi ia turunkan, sesekali matanya bergetar ingin menumpahkan emosi yang tak kunjung juga mereda. "Bagaimana kalau aku dulang?" tanya Tristan. Irina diam, pandangan matanya nanar menatap lurus ke depan. Tristan menghela napas pelan, lantas duduk di samping Irina. Tristan tahu bahwa perempuan yang sekarang sudah sah menjadi istrinya itu masih belum bisa menerima kenyataan dengan sepenuh hati ta
Tristan mengusap pelan wajahnya dengan tangan kanan setelah memberikan salam di tasyahud akhir. Ia melipat kedua kakinya menjadi satu dan menyatukan tangan di depan dada untuk berdoa, mengadukan segala masalah yang saat ini melilit hidunya kepada sang Ilahi. Dengan sangat khusyuk ia menceritakan segalanya, tentang kegundahannya, tentang kebodohannya, tentang kejahatannya selama ini hingga tanpa terasa butiran bening itu menetes dari matanya. Kondisi ruangan ibadah sudah nyaris sepi karena jam sudah hampir setengah satu siang hanya tinggal beberapa rekan kerja Tristan yang merapikan karpet. “Ya Allah, sungguh, aku memohon kepada-Mu maaf dan kekuatan pada agama, dunia, dan akhirat. Ya Allah, ampunilah kesalahanku, kejahilanku, sikapku yang melampaui batas dalam urusanku dan segala hal yang Engkau lebih mengetahui hal itu dari diriku
“Irina,” panggil Tristan sembari membuka sebuah pintu kayu jati yang masih tertutup rapat, Ia masuk ke dalam ruangan berukuran 3 x 4 meter itu sedikit gugup. Tristan melihat Irina terduduk di lantai dengan tangan yang berdarah, dengan segera Tristan menghampiri Irina membawa sebuah kemoceng yang tergantung di dekat pintu masuk. Dengan sangat panik Tristan mengumpulkan pecahan beling tersebut, keringat dingin sudah mengucur dengan deras saat melihat luka Irina yang terus mengeluarkan darah. “Tunggu sebentar aku akan mengambil air untuk membersihkan lukanya, tahan dulu dengan ini,” kata Tristan sembari memberikan sebuah sapu tangan seperti handuk kepada Irina. Irina diam tak bergeming, membuat Tristan menghela napas panjang diambang emo
“Kalau mendadak kamu melupakanku, jangan pernah mencariku lagi karena mungkin aku juga sudah melupakanmu.” Perkataan menohok dari Irina tadi sore amatlah membekas dalam ingatan Tristan, bahkan dalam keadaan sholat pun ia masih terpikirkan perkataan Irina, membuat sholatnya sedikit tak khusyuk. Tristan tahu dengan jelas apa maksud Irina tadi, hal itulah yang membuatnya merasa tertohok. Tristan mengecewakan Irina bukan hanya sekali saja namun, berkali-kali hingga tak terhitung jumlahnya. Irina masih saja berusaha meyakinkan Tristan bahwa ia menyukainya, dan sangat berusaha membuat hati Tristan terbuka untuknya. Berkali-kali terjatuh namun, tetap berpura-pura tak terluka itulah Irina, berulang kali Tristan mengerjainya berulang kali juga Irina terlihat baik-baik saja, bahkan Irina tak p
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi namun, Irina belum juga bangun. Ia masih terbaring di tempat tidur dengan selimut menutupi setengah badannya. Tristan sudah sedari tadi membawakan sarapan untuk Irina, yang mungkin saja saat ini makanan itu sudah mulai menjadi dingin. “Kok belum di makan sih sarapannya? Apa kamu mau sesuatu yang lain?” tanya Tristan entah sudah ke berapa kalinya. Irina diam seribu bahasa, tak ingin menjawab ataupun berinteraksi dengan Tristan sebagaimana mestinya sepasang suami istri. Mereka lebih terlihat seperti musuh dibandingkan sepasang suami istri. Tak seberapa lama Tristan menghampiri Irina dan mengambil piring berisi makanan itu berniat untuk menyuapi Irina. “Pengen aku dulang?” tanya Tristan sembari menyodorkan ses
“Apa kata dokter tadi?” tanya Marrey tampak bingung dengan wajah Tristan yang terlihat bimbang setelah menelepon dokter itu. Tristan duduk di hadapan Marrey, melipat kedua tangannya dengan rapi. “Dokter Oriche mengatakan bahwa Irina bisa sembuh dengan terapi.” “Kalau begitu langsung kita ambil saja,” ujar Marrey cepat. “Mama setuju dengan terapi yang akan dilakukan oleh mereka? Kalau Mama setuju besok setelah pulang kerja aku akan menemui Dokter Oriche untuk membicarakan ini,” kata Tristan kemudian. “Kalau tujuannya baik, pastinya Mama setuju,” balas Marrey. “Baiklah, Ma. Aku akan menengok Iri