Lelaki Pilihan Surga

Lelaki Pilihan Surga

last updateLast Updated : 2023-02-19
By:  Jane Lestari Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel12goodnovel
Not enough ratings
36Chapters
1.4Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Synopsis

#ceritapositif Bercerita tentang seorang Keenan Ramadhan (30 tahun) yang masih membangun karier dan tidak percaya pada cinta. Pertemuannya dengan Aara Malaika (28 tahun) seorang dosen muda nan memesona, ternyata mampu membuat Keenan berpikir lagi, pandangannya soal cinta. Jatuh hati pada Aara yang sangat menjaga diri, karier yang cemerlang, namun trauma pada pernikahan, menjadi ujian berat dalam perjuangan seorang Keenan. Aara memberikan 2 syarat berat untuk menerima proposal taaruf seorang Keenan. Syarat yang sangat jelas bukan diri seorang Keenan Ramadhan. Namun, memang benar cinta bisa mengalahkan badai sebesar apa pun.

View More

Chapter 1

Bab 1

Dia masih menyajikan wajah sinis tak setuju. Tidak ada yang pernah bisa menentang ucapannya, pendapatnya.

“Jujur Cit. Kadang aku berpikir, kok banyak orang yang begitu menyederhanakan pernikahan? Begitu menyederhanakan proses pengenalan, taaruf katanya. Sampai banyak yang larut, banyak yang tiba-tiba pengen nikah. Sesederhana itukah pernikahan? Aku juga seorang yang mendukung pernikahan tanpa pacaran! Tapi pernikahan dengan perkenalan yang sangat singkat, juga tidak bisa aku terima. Tidak mudah, bagi kami yang sudah kenyang dengan kegagalan!” ucapnya penuh emosi. 

“Ya, semua bisa terjadi! Karena kata mereka, banyak yang berbahagia hanya dengan taaruf singkat! Ya, bagi mereka yang punya takdir baik!” lanjutnya, masih dengan wajah sinis.

Dia mengambil jeda, dan melanjutkan, “Kami, yang sudah berkali-kali jatuh, terluka parah, apakah tetap akan terus berlari kencang? Jelas, tidak bisa lagi! Kami sudah pincang! Jelas, kini kami hanya bisa jalan pelahan, merawat luka, dan berharap kematian itu menjemput!”

Astagfirullah, Aara! Kamu kenapa begini? Cukup!” sahut wanita di hadapannya, pun dengan kesabaran yang mulai habis.

****

Tidak ada manusia yang bisa memilih, lahir dari orang tua yang mana, dari keluarga yang mana. Semua adalah takdir, ketetapan Sang Pemilik Kehidupan. Tugas manusia, hanya menerima, ikhlas dan menjalani semuanya.

Pukul delapan pagi, ruangan dosen masih tampak sepi. Hanya ada dua orang wanita muda, yang sementara asyik berbincang sambil mempersiapkan diri masuk ke kelas masing-masing.

“Cit, kamu enggak punya jadwal, pagi ini?”

“Ada. Kamu lupa?”

“Masa sih?”

“Mulai deh!” Citra menggelengkan kepala, sadar bahwa sahabatnya itu kembali pada kebiasaannya, lupa.

“Oh ya. Aku sampai lupa. Aku mau menyampaikan, salam rindu seseorang untukmu, Ibu dosen cantik,” ujar Aara, tersenyum, menggoda.

“Ehm, mulai lagi deh.” Citra memegang kepala, sedang Aara semakin tersenyum lebar, masih mengejek.

“Kalau kamu cuma mau membahas Pak Restu, aku pergi lho!” lanjut Citra.

“Kok malah jadi sinis begitu?”

“Aku bosan saja, Ra. Aku sudah berulang kali memberi dia jawaban, tetap saja, mengejar aku!”

“Dia serius banget lho sama kamu. Aku saja yang enggak suka di awal, sekarang sudah mulai terbiasa dengan sikapnya. Karena dia memang serius sama kamu!” ucap Aara, semakin mendekat ke tempat Citra.

“Kamu kan tahu, alasanku menolak beliau!”

“Iya,” jawab Aara, singkat. Ekspresinya berubah kalem, setelah melihat respons Citra tidak senang dengan pokok bahasan mereka.

Aara dan Citra, kedua sahabat yang punya pengalaman yang sama pahitnya tentang pria. Jika Citra memiliki pengalaman buruk ditinggal menikah oleh pria yang dicintainya, Aara berbeda.

Pengalaman pahit orang tua dan orang di sekitarnya, membuatnya begitu trauma, menjalin kedekatan khusus dengan pria manapun.

“Sekarang, giliran aku bertanya sama kamu!” sambung Citra.

Aara membuang wajahnya. Dia sudah tahu, arah pembicaraan Citra.

“Kamu, kapan mau membuka hati?”

“Tidak akan!” jawab Aara, tegas.

“Aara! Semua punya kesempatan yang sama untuk menemukan seseorang yang baik. Kamu jangan selalu menyamakan semua pria itu jahat!”

“Kamu saja yang pernah gagal, belum mau membuka hati. Kok malah memaksa aku?”

“Iya, karena aku pernah gagal, bukan berarti kamu juga harus menutup diri. Ayolah!”

“Tidak, Cit!”

Citra menarik napas, dia kembali harus mengalah. Topik yang sama, selalu berujung pada hasil yang sama. Kalau dia tidak mengalah, yang terjadi adalah perdebatan panjang dengan si keras kepala Aara Malaika.

Jika Citra belum membuka hati dengan alasan ingin sendiri dulu, lain lagi dengan alasan sahabatnya itu. Aara benar-benar menutup hati.

“Bagaimana rencana Tante Dewi, jadi bulan depan?” lanjut Citra.

“Iya!”

“Kamu kenapa begitu? Kok kamu enggak bahagia sama sekali, Tante Dewi akan menikah?”

“Cit, aku betul-betul trauma, dengan kata pernikahan di keluargaku. Sangat trauma!”

“Ra, semua bisa bahagia! Tidak selamanya, kehidupan akan seperti yang kamu pikirkan!”

Aara menyeringai.

“Aku enggak paham! Kegagalan pernikahan di keluargaku sudah memecah rekor. Sudah bisa masuk MURI! Tapi, mereka masih saja menganggap pernikahan itu mudah, gampang? Heran aku!” kembali, Aara dengan kalimat tajam.

“Karena mereka punya harapan! Tidak seperti kamu, yang selalu saja berpikir negatif!” sanggah Citra.

“Cit, aku berpikir rasional, bukan berpikiran negatif! Tante Dewi dan calon suaminya, baru kenal, tiga bulan ini. Kami bahkan belum tahu, bagaimana kehidupan calon suaminya itu. Tante Dewi tidak lagi muda. Aku merasa sedih saja, jika dia harus merasakan kegagalan nantinya, di pernikahannya yang pertama, di usianya yang tidak lagi muda!”

“Kok kamu malah doanya seperti itu?”

“Bukan berdoa Cit! Kita diberikan akal untuk berpikir, mempertimbangkan. Karena banyaknya kegagalan, seharusnya membuat kita jadi lebih berhati-hati!”

“Aara, Aara. Aku mengaku tidak bisa berdebat dengan kamu, kalau bahas masalah ini.” Lagi, Citra menggelengkan kepala. Jelas tidak pernah ada cela baginya, untuk meruntuhkan tembok pertahanan sahabatnya itu.

“Begini, aku mau jelaskan ke kamu! Calon Tante Dewi, itu umurnya lebih muda tiga tahun. Kamu tahu, om Denni itu fisiknya sempurna. Sebagai wanita, aku menilainya sangat tampan. Yang membuat aku heran, pria dengan kualifikasi seperti dia, kok bisa, masih sendiri di usia lebih empat puluh tahun? Itu seharusnya menjadi pertimbangan. Di masa sekarang, mana ada pria yang bisa bertahan sendiri, sampai usia begitu, jika dia tidak punya masalah?”

“Aduh, Ra! Pikiran kamu tuh, terlalu berlebihan. Ya kan namanya jodoh, tidak ada yang tahu?” jawab Citra, yang mulai tidak santai.

“Apa yang membuat seseorang menjadi berhati-hati? Ya, karena dia pernah jatuh dan gagal. Ketika dengan kegagalan, belum bisa membuat kita jauh lebih baik, itu disebut apa?”

Citra terpaku. Seperti biasa, dia tidak punya kalimat, membantah argumen Aara.

“Ini sudah jam sembilan. Aku ke kelas dulu ya?” sambung Aara. “Assalamu’alaykum.”

“Wa’alaykumussalam,” jawab Citra, tersenyum melihat Aara melangkah pergi.

 Aara Malaika, sampai kapan kamu begini?

“Ibu Citra?” sebuah suara, memecah lamunan Citra.

Citra tersentak. Tiba-tiba ada suara yang menyapanya. “Hendri, silakan duduk.”

“Ibu, maaf saya agak terlambat,” ujar anak muda itu, lantas duduk di hadapan Citra.

“Iya, enggak apa-apa,” jawab Citra, ramah dengan senyumannya.

Citra adalah seorang dosen Ilmu Ekonomi, di sebuah perguruan tinggi negeri. Dia bersama dengan Aara, mulai bekerja di tempat yang sama, sejak setahun yang lalu. Namun, keduanya berada di jurusan yang berbeda. Jika Citra di jurusan Ekonomi, Aara di jurusan Matematika.

Hari ini, Citra datang lebih awal di kampus, karena ada janji bertemu dengan Hendri, salah satu mahasiswa bimbingannya.

“Proposal kamu yang sudah saya koreksi kemarin, bagaimana?”

“Iya Bu, ini sudah saya koreksi kembali, sesuai permintaan Ibu.”

“Oke, saya baca dulu ya?”

“Iya, Bu.”

Citra menerima proposal yang diserahkan Hendri. Namun, mata Hendri tidak lepas dari pandangannya menatap Citra. Saat dosennya itu, fokus membaca dokumen yang dia serahkan, dia malah mengambil kesempatan, menatap Citra lebih dekat.

Beberapa menit berlalu.

“Hendri, saya sudah baca keseluruhan isi proposal kamu. Untuk sekarang, sudah oke ya. Silakan kamu ke Pak Restu, untuk jadwal seminar kamu.”

“Baik Bu, terima kasih.”

Hendri mengambil dokumen yang diserahkan kembali oleh Citra. Dia bergegas berbalik, namun suara Citra menghentikannya. “Tunggu Hen!”

“Kamu ada apa, menatap saya seperti tadi?” tanya Citra, menatap Hendri, serius.

Hendri tersentak.

Dia salah tingkah, dia menunduk. “T-tidak, Bu,” jawabnya gagap.

“Hendri, saya tidak akan marah. Tapi, saya ingatkan saja, itu tidak sopan. Saya ini dosen kamu, ya, bukan teman kamu!”

“Iya, Bu. Saya mohon maaf.”

“Oke, kamu boleh pergi!”

Hendri langsung mengambil langkah seribu. Dia merasa sangat bersalah dengan sikapnya pada dosennya tadi. Dia berlari sampai tidak sadar, dia menabrak badan Fiki, yang sedang berdiri di depan kelas.

Astagfirullah, sakit banget, Hen,” keluh Fiki, meraba-raba dadanya, yang terhantam badan Hendri, yang berlari kencang.

Sorry, sorry.”

“Memangnya kamu kenapa?”

Hendri tidak langsung menjawab, dia masuk dan duduk di dalam kelas. Dia mengatur napas, rasa malu dan rasa bersalah, tidak bisa dia sembunyikan.

Setelah merasa tenang, Hendri menjawab pertanyaan Fiki. “Aku buat kesalahan besar, Fik, sangat besar,” ucapnya dengan napas, belum teratur.

“Kesalahan apa?”

“Ini tentang Ibu Citra.”

Ckck. Kamu memang selalu cari masalah. Sudah aku ingatkan berulang kali, masih saja kamu lakukan.”

Hendri masih berusaha menormalkan napasnya.

“Fik, aku kan cuma pria biasa. Masa aku hanya diam, saat ada wanita sempurna di hadapanku. Wajah Ibu Citra, benar-benar adem, sangat menyejukkan. Dia seperti bidadari dari surga. Penampilannya tertutup, tetapi pesonanya justru semakin terpancar. Apalagi hari ini, dia memakai kerudung Pink, warna kesukaannya. Membuat wajahnya semakin bercahaya, penuh kelembutan.”

Istigfar, ingat-ingat!” ujar Fiki.

Astagfirullah. Ya Allah, kok aku bisa begini?” sesal Hendri.

“Hen, kamu harus ingat! Ibu Citra itu dosen kita, kamu mahasiswa. Ibarat langit dan bumi!” jelas Fiki.

“Tapi, jodoh tidak pernah ada yang tahu, Fik.”

Fiki tertawa. “Hendri, Hendri, kamu itu. Fokuslah ke skripsi kamu dulu. Oke?”

“Iya. InsyaaAllah, kalau jodoh tidak akan ke mana.” Fiki kembali tertawa dengan sikap rekannya itu. Hendri benar-benar jatuh hati ke dosennya sendiri.

“Jadi bagaimana proposal kamu?” sambung Fiki.

“Ibu Citra sudah memberi persetujuan, aku diminta menghadap ke Pak Restu, untuk mendaftar seminar.”

“Ehm, Pak Restu! Kamu sudah tahu tentang beliau?”

“Memang-nya ada apa?”

“Maka-nya, kalau ada telinga, dipakai dong! Apa kamu enggak pernah dengar, Pak Restu itu sedari dulu, berusaha mencari perhatian Ibu Citra.”

“Enggak, aku enggak pernah dengar.” Fiki menarik napas. “Kamu merasa siap, bersaing dengan Pak Restu?”

“Aku enggak pernah terpengaruh dengan apapun Fik. Yang aku yakini, jika kami jodoh, pasti kami akan bertemu.”

Lagi, Fiki dibuat terkekeh. “Kamu percaya diri banget ya, berjodoh dengan Ibu Citra.”

“Ya harus! Selain ini, memang aku punya apa, Fik?”

“Ya itu, kamu sadar! Cobalah berkaca sedikit, kita ini apa, dibandingkan ibu Citra, Pak Restu. Haa, Hendri, Hendri. Kamu ada-ada saja.”

“InsyaaAllah, tidak ada yang tidak mungkin, jika Allah sudah berkehendak!”

“Iya, aku setuju sama kamu. Tapi, sebagai sahabat, aku cuma ingin mengingatkan saja. Aku tidak ingin kamu terluka, berharap terlalu tinggi. Nanti jatuhnya terlalu sakit, Hen!”

“Iya, Fik, aku siap kok. Apapun yang terjadi pada akhirnya!”

Fiki tersenyum tidak percaya dengan kalimat Hendri. “Jujur, sebenarnya aku sangat ragu dengan ucapanmu itu. Dengan Vita saja, kamu sampai tidak bisa move on bertahun-tahun. Bagaimana aku bisa yakin, kamu bisa move on nantinya dari Ibu Citra?”

“Itu dulu Fik. Kamu kan percaya, dengan luka, setiap orang bisa menjadi lebih kuat dan lebih dewasa? Ya, itu aku sekarang!”

“Baiklah, aku berharap, semua akan berakhir baik. Kita kembali fokus ke skripsi!”

“Tunggu dulu, Fik!”

“Ada apa lagi?”

“Memangnya kamu sudah move on dari Ibu Aara?”  Fiki salah tingkah.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
36 Chapters
Bab 1
Dia masih menyajikan wajah sinis tak setuju. Tidak ada yang pernah bisa menentang ucapannya, pendapatnya. “Jujur Cit. Kadang aku berpikir, kok banyak orang yang begitu menyederhanakan pernikahan? Begitu menyederhanakan proses pengenalan, taaruf katanya. Sampai banyak yang larut, banyak yang tiba-tiba pengen nikah. Sesederhana itukah pernikahan? Aku juga seorang yang mendukung pernikahan tanpa pacaran! Tapi pernikahan dengan perkenalan yang sangat singkat, juga tidak bisa aku terima. Tidak mudah, bagi kami yang sudah kenyang dengan kegagalan!” ucapnya penuh emosi. “Ya, semua bisa terjadi! Karena kata mereka, banyak yang berbahagia hanya dengan taaruf singkat! Ya, bagi mereka yang punya takdir baik!” lanjutnya, masih dengan wajah sinis. Dia mengambil jeda, dan melanjutkan, “Kami, yang sudah berkali-kali jatuh, terluka parah, apakah tetap akan terus berlari kencang? Jelas, tidak bisa lagi! Kami sudah pincang! Jelas, kini kami hanya bisa jalan pelahan, merawat luka, dan berharap kemat
last updateLast Updated : 2022-12-26
Read more
Bab 2
Fiki kembali menghela napas dan mengubah posisi duduk. Pertanyaan Hendri seperti soal ujian yang membutuhkan kesiapan untuk menjawabnya. “Kamu masih lebih beruntung dibanding aku, Hen. Kamu masih dapat kalimat lembut dari Ibu Citra. Sedang aku, oh my god. Aku bahkan begitu trauma menatap mata Ibu Aara.” Giliran Hendri, tertawa. “Ya, salah kamu sendiri. Kok sukanya pada wanita bertipe Ibu Aara. Di dalam kelas saja, dia begitu dingin dan menyeramkan. Kamu malah bawa perasaan. Gila kamu!” Fiki tersenyum. “Hen, hati tidak pernah bisa memilih, dia akan terpaut kepada siapa. Memang Ibu Aara sangat berbeda dengan Ibu Citra. Tapi, aku merasa, justru disitulah pesonanya. Aku penasaran, pria seperti apa, yang bisa menaklukkan hati beliau,” tutur Fiki, lembut. Topik tentang Aara, seketika menghipnotis dirinya. Hendri menggelengkan kepala. “Kamu itu cari masalah sendiri. Ada Firda yang selama ini ngejar-ngejar kamu, dicuekin. Malah mau mengejar singa, yang siap menerkam kapan saja.” “Iya
last updateLast Updated : 2022-12-26
Read more
Bab 3
“Abang Kei itu, jangan ditanya tentang cinta. Dia mana tahu, artinya jatuh cinta,” lanjut Fajar, dengan sorot mata masih ke arah Kei. “Jadi abang Kei, belum pernah jatuh cinta?” tanya Fiki. “Bisa dibilang seperti itu!” jawab Fajar. “Aku enggak percaya saja Bang. Abang itu kece parah, pintar, tetapi enggak pernah jatuh cinta? Hidupnya sepi amat dong!” tutur Hendri. Ketiganya kembali tertawa, mengejek Kei. “Kalian tuh, kayak enggak punya kerjaan lain ya? Ha, membahas sesuatu yang enggak penting sama sekali,” sahut Kei, kesal. “Dulu waktu kuliah, sebenarnya dia pernah dekat dengan seseorang. Tapi hanya bertahan satu bulan,” ujar Fajar. “Ha? Satu bulan? Memang ada apa Bang?” sahut Fiki. “Abang kalian itu kan, orangnya cuek banget. Dingin banget sama cewek. Mana ada cewek yang mau bertahan lama sama dia?” Fajar menjelaskan. Fiki dan Hendri saling bertatapan. “Apa yang kamu pikirkan, pasti sama dengan yang aku pikirkan!” tebak Fiki. “Kalian berdua kenapa? Kok malah saling lihat-l
last updateLast Updated : 2022-12-26
Read more
Bab 4
Beberapa saat di dapur, ibunda Aara kembali membawa beberapa makanan penutup ke meja makan. “Banyak banget makanannya Tante?” tanya Citra. “Iya, rencana mau dibawa ke rumah tantenya Aara.” Citra tersenyum, dan menoleh ke arah Aara, yang hanya diam tanpa semangat. “Nak Citra, Tante mau bertanya?” Ibunda Aara tampak serius. Dia menatap fokus ke arah Citra. “Iya Tante?” “Apa enggak ada, teman pria di kampus yang suka sama Aara?” Mata Aara melotot. Citra terkekeh, tanpa suara. Berusaha menutupi mulutnya dengan tangan kanannya. “Memangnya kenapa Tante?” “Aara kan sudah dua puluh tujuh tahun. Menurut Tante, sudah waktunya dia juga dekat dengan seseorang.” Citra semakin tertawa, tanpa suara. Ekspresi tidak nyaman, justru hadir di wajah Aara. “Sebenarnya sih banyak Tante, cuma Aara-nya, yang jual mahal.” Mata Aara menatap Citra, tajam. Sangat tidak suka. “Kalau begitu, Tante minta tolong Citra ya? Siapa tahu, ada pria yang baik, bertanggung jawab, yang cocok dengan Aara.” “Siap,
last updateLast Updated : 2022-12-26
Read more
Bab 5
Pikiran Citra kembali mengalunkan rindu. Rindu pada pertemuan dengan dia, beberapa tahun yang lalu. Seseorang yang selalu memanggilnya Cantik. Citra tersenyum. Ada kebahagiaan yang nyata, tergambar di sana. “Adik namanya siapa?” kalimat pertama yang dia ucapkan, saat itu. “Citra, Kak.” “Siapa? Cantik?” Citra mengerutkan dahi. “Citra, Kak!” ujar Citra, memperjelas. “Kalau aku mau panggil kamu Cantik, boleh, kan?” Citra salah tingkah. Sebagai anak baru, dia merasa kurang nyaman dengan sikap seniornya itu. “Adik Cantik di jurusan Ekonomi, ya?” “Iya, Kak.” Sejak awal pertemuan itu, setiap bertemu dengan Citra, pria itu selalu memanggilnya Cantik. Panggilan yang kadang membuat Citra merasa risih dan terganggu. Karena setiap teman-temannya mendengar panggilan itu, dia selalu diejek dan dijodohkan dengan seniornya itu. “Cit, aku yakin kakak senior itu, suka sama kamu!” “Kamu enggak usah nambah-nambahin deh, Sal. Cukuplah aku merasa kurang nyaman dengan panggilan itu. Kamu jangan mem
last updateLast Updated : 2022-12-26
Read more
Bab 6
Setelah Rahmat pergi, Citra membuka perlahan, kado yang diberikan Rahmat. Cokelat? Citra tersenyum. Dia tidak menyangka, Rahmat akan memberikannya sebuah kado, cokelat, makanan kesukaannya. Ditatapnya cokelat yang ada di tangannya. Makanan itu, jelas membuka kembali ingatannya, pada dia, yang pertama kali membuatnya jatuh cinta, pada cokelat. “Hadiah dari kakak itu lagi?” tanya Salma.“Iya!” Salma terkekeh. “Luar biasa perjuangannya ya, Cit. Apa sih isinya? Aku penasaran!” “Ini, kamu saja yang buka!” ujar Citra, menyerahkan bungkusan kado yang ada di tangannya. “Serius?” “Iya!” Salma dengan penuh semangat, membuka kotak bersampul merah muda itu. “Cokelat!” ujar Salma, tercengang. “Iya, cokelat! Kenapa? Kamu kok kaget begitu?” “Aku heran! Pertama, dia kasih bunga mawar merah. Sekarang, dia kasih cokelat. Apa dia tidak tahu, siapa yang dia kasih?” Citra tersenyum, berbalik heran dengan ucapan Salma. “Maksud kamu apa Sal?”
last updateLast Updated : 2022-12-30
Read more
Bab 7
“Kamu sudah menghabiskan waktu terlalu lama seperti ini. Kita realistis saja! Ada Kak Rahmat yang sangat mencintai kamu. Dia bahkan rela menunggu kamu begitu lama. Apakah kamu tidak ingin mencoba, membuka hati untuk Kak Rahmat?” “Sal! Itulah yang membuat perasaanku semakin tidak nyaman selama ini. Aku selalu meminta petunjuk sama Allah. Aku mohon diberi pertanda, agar aku bisa memilih jalan yang benar. Tapi, semakin ke sini, aku malah semakin meragu!” “Jadi, bagaimana sikap Kak Rahmat sekarang?” “Aku meminta waktu lagi setahun, dan dia siap menunggu!” “Ya Allah. Dia benar-benar mencintaimu, Cit!” “Iya, aku tahu!” “Jadi, setelah setahun?” “InsyaaAllah aku akan menerima Kak Rahmat!” “Tapi, jika dalam setahun, kamu bertemu si Cantik itu?” “Salma!” Lagi, Citra dongkol dengan kata Cantik. “Ya, kamu jawab saja! Ini pertanyaan aku Cit, aku serius!” “Sal, jangan buat aku malah semakin meragu!” “Rumit banget ya, perasaan kamu! Ada yang mencintai kamu, kamu malah menunggu seseorang y
last updateLast Updated : 2023-01-14
Read more
Bab 8
Meninggalkan Warung Soto, mereka langsung ke rumah Citra. Tidak lama, mereka meneruskan perjalanan ke rumah Aara. “Ira, ibu enggak pulang malam ini. Kamu boleh langsung istirahat!” ucap Aara pada Ira, sesaat tiba di dalam rumah. “Baik, Mbak.” Ira kembali ke kamar. Aara dan Citra, menuju kamar. “Ra, kita salat isya berjamaah?” tanya Citra. “Iya Cit. Tapi kamu mau menunggu sekitar sepuluh menit?” “Memangnya kamu mau ke mana?” “Enggak. Aku mau menyeterika mukena dulu!” “Harus di setrika?” tanya Citra, heran. “Nanti aku jelaskan!” Aara berlalu, membawa dua mukena di tangannya. Citra masih diam dan berpikir tentang maksud ucapan Aara. Dia membuka almari mencari handuk, yang sudah ditunjukkan oleh Aara. Citra kembali terkejut, melihat isi almari Aara, hanya berisi beberapa pakaian yang di lipat. Beberapa pakaian di gantung. Sangat jauh berbeda dengan almari pakaiannya, yang penuh sesak. Malam i
last updateLast Updated : 2023-01-22
Read more
Bab 9
Citra menghela napas. Aara, tidak pernah kehabisan jawaban. “Prinsip aku Cit, mampu itu adalah ketika kita melakukan sesuatu, sesuai kesanggupan. Apa yang benar-benar melekat, dan kita miliki. Dan pastinya, tidak menambah beban hidup yang baru.” “Bahasa kamu terlalu ribet untuk bisa aku pahami Ra!” “Kalau aku cicil rumah, aku harus kredit, berutang. Bukankah itu sudah berarti aku tidak mampu, tetapi memaksakan mampu? Bukannya kelapangan yang aku dapatkan, justru hidupku menjadi lebih sempit, dengan cicilan kredit yang tidak sedikit setiap bulan. Akhirnya, aku sibuk mencari uang, hanya untuk bayar cicilan rumah.” “Ya Allah, pikiranku ini selalu kacau balau, saat diskusi dengan kamu!” Aara tersenyum. “Cit, mampu atau tidak mampu, yang bisa menakar itu, adalah diri kita masing-masing. Cicilan rumah itu bisa sampai sepuluh atau lima belas tahun. Luar biasa panjang Cit. Apakah kamu yakin, akan hidup selama itu?” “Ra, kita kan juga h
last updateLast Updated : 2023-01-23
Read more
Bab 10
Beberapa jam berlalu, Aara dan Citra, terlihat sudah menyelesaikan kelas mereka hari ini. Mereka tampak bercakap serius di ruangan dosen. “Kamu kenapa Ra?” tanya Citra mendampati ekspresi wajah Aara tidak bersemangat. “Mahasiswa di kelas IIb, hampir seluruhnya tidak menyelesaikan tugas hari ini!” ucap Aara, kecewa. “Memangnya ada apa?” “Alasannya, tugasnya terlalu sulit! Alasan yang enggak bisa diterima, sama sekali!” Citra terkekeh. “Ya salah kamu juga. Kamu pasti memberikan tugas di luar kemampuan mereka. Kamu kan, kebiasaannya begitu!” “Begini Cit, dengan tantangan, mereka akan bisa jauh lebih kreatif, dan akan terus berkembang!” . “Iya, benar. Tapi, tidak semua mahasiswa itu, sama! Ada yang rajin, ada yang cuek, malah ada yang tidak peduli. Jadi, kita yang harus menyesuaikan diri, dan menerima proses dari mereka.” “Mahasiswa zaman sekarang ya, beda banget dengan zaman kita dulu. Dosen masuk ke kelas, masih sempatnya
last updateLast Updated : 2023-01-24
Read more
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status