Dia masih menyajikan wajah sinis tak setuju. Tidak ada yang pernah bisa menentang ucapannya, pendapatnya.
“Jujur Cit. Kadang aku berpikir, kok banyak orang yang begitu menyederhanakan pernikahan? Begitu menyederhanakan proses pengenalan, taaruf katanya. Sampai banyak yang larut, banyak yang tiba-tiba pengen nikah. Sesederhana itukah pernikahan? Aku juga seorang yang mendukung pernikahan tanpa pacaran! Tapi pernikahan dengan perkenalan yang sangat singkat, juga tidak bisa aku terima. Tidak mudah, bagi kami yang sudah kenyang dengan kegagalan!” ucapnya penuh emosi.
“Ya, semua bisa terjadi! Karena kata mereka, banyak yang berbahagia hanya dengan taaruf singkat! Ya, bagi mereka yang punya takdir baik!” lanjutnya, masih dengan wajah sinis.
Dia mengambil jeda, dan melanjutkan, “Kami, yang sudah berkali-kali jatuh, terluka parah, apakah tetap akan terus berlari kencang? Jelas, tidak bisa lagi! Kami sudah pincang! Jelas, kini kami hanya bisa jalan pelahan, merawat luka, dan berharap kematian itu menjemput!”
“Astagfirullah, Aara! Kamu kenapa begini? Cukup!” sahut wanita di hadapannya, pun dengan kesabaran yang mulai habis.
****
Tidak ada manusia yang bisa memilih, lahir dari orang tua yang mana, dari keluarga yang mana. Semua adalah takdir, ketetapan Sang Pemilik Kehidupan. Tugas manusia, hanya menerima, ikhlas dan menjalani semuanya.
Pukul delapan pagi, ruangan dosen masih tampak sepi. Hanya ada dua orang wanita muda, yang sementara asyik berbincang sambil mempersiapkan diri masuk ke kelas masing-masing.
“Cit, kamu enggak punya jadwal, pagi ini?”
“Ada. Kamu lupa?”
“Masa sih?”
“Mulai deh!” Citra menggelengkan kepala, sadar bahwa sahabatnya itu kembali pada kebiasaannya, lupa.
“Oh ya. Aku sampai lupa. Aku mau menyampaikan, salam rindu seseorang untukmu, Ibu dosen cantik,” ujar Aara, tersenyum, menggoda.
“Ehm, mulai lagi deh.” Citra memegang kepala, sedang Aara semakin tersenyum lebar, masih mengejek.
“Kalau kamu cuma mau membahas Pak Restu, aku pergi lho!” lanjut Citra.
“Kok malah jadi sinis begitu?”
“Aku bosan saja, Ra. Aku sudah berulang kali memberi dia jawaban, tetap saja, mengejar aku!”
“Dia serius banget lho sama kamu. Aku saja yang enggak suka di awal, sekarang sudah mulai terbiasa dengan sikapnya. Karena dia memang serius sama kamu!” ucap Aara, semakin mendekat ke tempat Citra.
“Kamu kan tahu, alasanku menolak beliau!”
“Iya,” jawab Aara, singkat. Ekspresinya berubah kalem, setelah melihat respons Citra tidak senang dengan pokok bahasan mereka.
Aara dan Citra, kedua sahabat yang punya pengalaman yang sama pahitnya tentang pria. Jika Citra memiliki pengalaman buruk ditinggal menikah oleh pria yang dicintainya, Aara berbeda.
Pengalaman pahit orang tua dan orang di sekitarnya, membuatnya begitu trauma, menjalin kedekatan khusus dengan pria manapun.
“Sekarang, giliran aku bertanya sama kamu!” sambung Citra.
Aara membuang wajahnya. Dia sudah tahu, arah pembicaraan Citra.
“Kamu, kapan mau membuka hati?”
“Tidak akan!” jawab Aara, tegas.
“Aara! Semua punya kesempatan yang sama untuk menemukan seseorang yang baik. Kamu jangan selalu menyamakan semua pria itu jahat!”
“Kamu saja yang pernah gagal, belum mau membuka hati. Kok malah memaksa aku?”
“Iya, karena aku pernah gagal, bukan berarti kamu juga harus menutup diri. Ayolah!”
“Tidak, Cit!”
Citra menarik napas, dia kembali harus mengalah. Topik yang sama, selalu berujung pada hasil yang sama. Kalau dia tidak mengalah, yang terjadi adalah perdebatan panjang dengan si keras kepala Aara Malaika.
Jika Citra belum membuka hati dengan alasan ingin sendiri dulu, lain lagi dengan alasan sahabatnya itu. Aara benar-benar menutup hati.
“Bagaimana rencana Tante Dewi, jadi bulan depan?” lanjut Citra.
“Iya!”
“Kamu kenapa begitu? Kok kamu enggak bahagia sama sekali, Tante Dewi akan menikah?”
“Cit, aku betul-betul trauma, dengan kata pernikahan di keluargaku. Sangat trauma!”
“Ra, semua bisa bahagia! Tidak selamanya, kehidupan akan seperti yang kamu pikirkan!”
Aara menyeringai.
“Aku enggak paham! Kegagalan pernikahan di keluargaku sudah memecah rekor. Sudah bisa masuk MURI! Tapi, mereka masih saja menganggap pernikahan itu mudah, gampang? Heran aku!” kembali, Aara dengan kalimat tajam.
“Karena mereka punya harapan! Tidak seperti kamu, yang selalu saja berpikir negatif!” sanggah Citra.
“Cit, aku berpikir rasional, bukan berpikiran negatif! Tante Dewi dan calon suaminya, baru kenal, tiga bulan ini. Kami bahkan belum tahu, bagaimana kehidupan calon suaminya itu. Tante Dewi tidak lagi muda. Aku merasa sedih saja, jika dia harus merasakan kegagalan nantinya, di pernikahannya yang pertama, di usianya yang tidak lagi muda!”
“Kok kamu malah doanya seperti itu?”
“Bukan berdoa Cit! Kita diberikan akal untuk berpikir, mempertimbangkan. Karena banyaknya kegagalan, seharusnya membuat kita jadi lebih berhati-hati!”
“Aara, Aara. Aku mengaku tidak bisa berdebat dengan kamu, kalau bahas masalah ini.” Lagi, Citra menggelengkan kepala. Jelas tidak pernah ada cela baginya, untuk meruntuhkan tembok pertahanan sahabatnya itu.
“Begini, aku mau jelaskan ke kamu! Calon Tante Dewi, itu umurnya lebih muda tiga tahun. Kamu tahu, om Denni itu fisiknya sempurna. Sebagai wanita, aku menilainya sangat tampan. Yang membuat aku heran, pria dengan kualifikasi seperti dia, kok bisa, masih sendiri di usia lebih empat puluh tahun? Itu seharusnya menjadi pertimbangan. Di masa sekarang, mana ada pria yang bisa bertahan sendiri, sampai usia begitu, jika dia tidak punya masalah?”
“Aduh, Ra! Pikiran kamu tuh, terlalu berlebihan. Ya kan namanya jodoh, tidak ada yang tahu?” jawab Citra, yang mulai tidak santai.
“Apa yang membuat seseorang menjadi berhati-hati? Ya, karena dia pernah jatuh dan gagal. Ketika dengan kegagalan, belum bisa membuat kita jauh lebih baik, itu disebut apa?”
Citra terpaku. Seperti biasa, dia tidak punya kalimat, membantah argumen Aara.
“Ini sudah jam sembilan. Aku ke kelas dulu ya?” sambung Aara. “Assalamu’alaykum.”
“Wa’alaykumussalam,” jawab Citra, tersenyum melihat Aara melangkah pergi.
Aara Malaika, sampai kapan kamu begini?
“Ibu Citra?” sebuah suara, memecah lamunan Citra.
Citra tersentak. Tiba-tiba ada suara yang menyapanya. “Hendri, silakan duduk.”
“Ibu, maaf saya agak terlambat,” ujar anak muda itu, lantas duduk di hadapan Citra.
“Iya, enggak apa-apa,” jawab Citra, ramah dengan senyumannya.
Citra adalah seorang dosen Ilmu Ekonomi, di sebuah perguruan tinggi negeri. Dia bersama dengan Aara, mulai bekerja di tempat yang sama, sejak setahun yang lalu. Namun, keduanya berada di jurusan yang berbeda. Jika Citra di jurusan Ekonomi, Aara di jurusan Matematika.
Hari ini, Citra datang lebih awal di kampus, karena ada janji bertemu dengan Hendri, salah satu mahasiswa bimbingannya.
“Proposal kamu yang sudah saya koreksi kemarin, bagaimana?”
“Iya Bu, ini sudah saya koreksi kembali, sesuai permintaan Ibu.”
“Oke, saya baca dulu ya?”
“Iya, Bu.”
Citra menerima proposal yang diserahkan Hendri. Namun, mata Hendri tidak lepas dari pandangannya menatap Citra. Saat dosennya itu, fokus membaca dokumen yang dia serahkan, dia malah mengambil kesempatan, menatap Citra lebih dekat.
Beberapa menit berlalu.
“Hendri, saya sudah baca keseluruhan isi proposal kamu. Untuk sekarang, sudah oke ya. Silakan kamu ke Pak Restu, untuk jadwal seminar kamu.”
“Baik Bu, terima kasih.”
Hendri mengambil dokumen yang diserahkan kembali oleh Citra. Dia bergegas berbalik, namun suara Citra menghentikannya. “Tunggu Hen!”
“Kamu ada apa, menatap saya seperti tadi?” tanya Citra, menatap Hendri, serius.
Hendri tersentak.
Dia salah tingkah, dia menunduk. “T-tidak, Bu,” jawabnya gagap.
“Hendri, saya tidak akan marah. Tapi, saya ingatkan saja, itu tidak sopan. Saya ini dosen kamu, ya, bukan teman kamu!”
“Iya, Bu. Saya mohon maaf.”
“Oke, kamu boleh pergi!”
Hendri langsung mengambil langkah seribu. Dia merasa sangat bersalah dengan sikapnya pada dosennya tadi. Dia berlari sampai tidak sadar, dia menabrak badan Fiki, yang sedang berdiri di depan kelas.
“Astagfirullah, sakit banget, Hen,” keluh Fiki, meraba-raba dadanya, yang terhantam badan Hendri, yang berlari kencang.
“Sorry, sorry.”
“Memangnya kamu kenapa?”
Hendri tidak langsung menjawab, dia masuk dan duduk di dalam kelas. Dia mengatur napas, rasa malu dan rasa bersalah, tidak bisa dia sembunyikan.
Setelah merasa tenang, Hendri menjawab pertanyaan Fiki. “Aku buat kesalahan besar, Fik, sangat besar,” ucapnya dengan napas, belum teratur.
“Kesalahan apa?”
“Ini tentang Ibu Citra.”
“Ckck. Kamu memang selalu cari masalah. Sudah aku ingatkan berulang kali, masih saja kamu lakukan.”
Hendri masih berusaha menormalkan napasnya.
“Fik, aku kan cuma pria biasa. Masa aku hanya diam, saat ada wanita sempurna di hadapanku. Wajah Ibu Citra, benar-benar adem, sangat menyejukkan. Dia seperti bidadari dari surga. Penampilannya tertutup, tetapi pesonanya justru semakin terpancar. Apalagi hari ini, dia memakai kerudung Pink, warna kesukaannya. Membuat wajahnya semakin bercahaya, penuh kelembutan.”
“Istigfar, ingat-ingat!” ujar Fiki.
“Astagfirullah. Ya Allah, kok aku bisa begini?” sesal Hendri.
“Hen, kamu harus ingat! Ibu Citra itu dosen kita, kamu mahasiswa. Ibarat langit dan bumi!” jelas Fiki.
“Tapi, jodoh tidak pernah ada yang tahu, Fik.”
Fiki tertawa. “Hendri, Hendri, kamu itu. Fokuslah ke skripsi kamu dulu. Oke?”
“Iya. InsyaaAllah, kalau jodoh tidak akan ke mana.” Fiki kembali tertawa dengan sikap rekannya itu. Hendri benar-benar jatuh hati ke dosennya sendiri.
“Jadi bagaimana proposal kamu?” sambung Fiki.
“Ibu Citra sudah memberi persetujuan, aku diminta menghadap ke Pak Restu, untuk mendaftar seminar.”
“Ehm, Pak Restu! Kamu sudah tahu tentang beliau?”
“Memang-nya ada apa?”
“Maka-nya, kalau ada telinga, dipakai dong! Apa kamu enggak pernah dengar, Pak Restu itu sedari dulu, berusaha mencari perhatian Ibu Citra.”
“Enggak, aku enggak pernah dengar.” Fiki menarik napas. “Kamu merasa siap, bersaing dengan Pak Restu?”
“Aku enggak pernah terpengaruh dengan apapun Fik. Yang aku yakini, jika kami jodoh, pasti kami akan bertemu.”
Lagi, Fiki dibuat terkekeh. “Kamu percaya diri banget ya, berjodoh dengan Ibu Citra.”
“Ya harus! Selain ini, memang aku punya apa, Fik?”
“Ya itu, kamu sadar! Cobalah berkaca sedikit, kita ini apa, dibandingkan ibu Citra, Pak Restu. Haa, Hendri, Hendri. Kamu ada-ada saja.”
“InsyaaAllah, tidak ada yang tidak mungkin, jika Allah sudah berkehendak!”
“Iya, aku setuju sama kamu. Tapi, sebagai sahabat, aku cuma ingin mengingatkan saja. Aku tidak ingin kamu terluka, berharap terlalu tinggi. Nanti jatuhnya terlalu sakit, Hen!”
“Iya, Fik, aku siap kok. Apapun yang terjadi pada akhirnya!”
Fiki tersenyum tidak percaya dengan kalimat Hendri. “Jujur, sebenarnya aku sangat ragu dengan ucapanmu itu. Dengan Vita saja, kamu sampai tidak bisa move on bertahun-tahun. Bagaimana aku bisa yakin, kamu bisa move on nantinya dari Ibu Citra?”
“Itu dulu Fik. Kamu kan percaya, dengan luka, setiap orang bisa menjadi lebih kuat dan lebih dewasa? Ya, itu aku sekarang!”
“Baiklah, aku berharap, semua akan berakhir baik. Kita kembali fokus ke skripsi!”
“Tunggu dulu, Fik!”
“Ada apa lagi?”
“Memangnya kamu sudah move on dari Ibu Aara?” Fiki salah tingkah.
Fiki kembali menghela napas dan mengubah posisi duduk. Pertanyaan Hendri seperti soal ujian yang membutuhkan kesiapan untuk menjawabnya. “Kamu masih lebih beruntung dibanding aku, Hen. Kamu masih dapat kalimat lembut dari Ibu Citra. Sedang aku, oh my god. Aku bahkan begitu trauma menatap mata Ibu Aara.” Giliran Hendri, tertawa. “Ya, salah kamu sendiri. Kok sukanya pada wanita bertipe Ibu Aara. Di dalam kelas saja, dia begitu dingin dan menyeramkan. Kamu malah bawa perasaan. Gila kamu!” Fiki tersenyum. “Hen, hati tidak pernah bisa memilih, dia akan terpaut kepada siapa. Memang Ibu Aara sangat berbeda dengan Ibu Citra. Tapi, aku merasa, justru disitulah pesonanya. Aku penasaran, pria seperti apa, yang bisa menaklukkan hati beliau,” tutur Fiki, lembut. Topik tentang Aara, seketika menghipnotis dirinya. Hendri menggelengkan kepala. “Kamu itu cari masalah sendiri. Ada Firda yang selama ini ngejar-ngejar kamu, dicuekin. Malah mau mengejar singa, yang siap menerkam kapan saja.” “Iya
“Abang Kei itu, jangan ditanya tentang cinta. Dia mana tahu, artinya jatuh cinta,” lanjut Fajar, dengan sorot mata masih ke arah Kei. “Jadi abang Kei, belum pernah jatuh cinta?” tanya Fiki. “Bisa dibilang seperti itu!” jawab Fajar. “Aku enggak percaya saja Bang. Abang itu kece parah, pintar, tetapi enggak pernah jatuh cinta? Hidupnya sepi amat dong!” tutur Hendri. Ketiganya kembali tertawa, mengejek Kei. “Kalian tuh, kayak enggak punya kerjaan lain ya? Ha, membahas sesuatu yang enggak penting sama sekali,” sahut Kei, kesal. “Dulu waktu kuliah, sebenarnya dia pernah dekat dengan seseorang. Tapi hanya bertahan satu bulan,” ujar Fajar. “Ha? Satu bulan? Memang ada apa Bang?” sahut Fiki. “Abang kalian itu kan, orangnya cuek banget. Dingin banget sama cewek. Mana ada cewek yang mau bertahan lama sama dia?” Fajar menjelaskan. Fiki dan Hendri saling bertatapan. “Apa yang kamu pikirkan, pasti sama dengan yang aku pikirkan!” tebak Fiki. “Kalian berdua kenapa? Kok malah saling lihat-l
Beberapa saat di dapur, ibunda Aara kembali membawa beberapa makanan penutup ke meja makan. “Banyak banget makanannya Tante?” tanya Citra. “Iya, rencana mau dibawa ke rumah tantenya Aara.” Citra tersenyum, dan menoleh ke arah Aara, yang hanya diam tanpa semangat. “Nak Citra, Tante mau bertanya?” Ibunda Aara tampak serius. Dia menatap fokus ke arah Citra. “Iya Tante?” “Apa enggak ada, teman pria di kampus yang suka sama Aara?” Mata Aara melotot. Citra terkekeh, tanpa suara. Berusaha menutupi mulutnya dengan tangan kanannya. “Memangnya kenapa Tante?” “Aara kan sudah dua puluh tujuh tahun. Menurut Tante, sudah waktunya dia juga dekat dengan seseorang.” Citra semakin tertawa, tanpa suara. Ekspresi tidak nyaman, justru hadir di wajah Aara. “Sebenarnya sih banyak Tante, cuma Aara-nya, yang jual mahal.” Mata Aara menatap Citra, tajam. Sangat tidak suka. “Kalau begitu, Tante minta tolong Citra ya? Siapa tahu, ada pria yang baik, bertanggung jawab, yang cocok dengan Aara.” “Siap,
Pikiran Citra kembali mengalunkan rindu. Rindu pada pertemuan dengan dia, beberapa tahun yang lalu. Seseorang yang selalu memanggilnya Cantik. Citra tersenyum. Ada kebahagiaan yang nyata, tergambar di sana. “Adik namanya siapa?” kalimat pertama yang dia ucapkan, saat itu. “Citra, Kak.” “Siapa? Cantik?” Citra mengerutkan dahi. “Citra, Kak!” ujar Citra, memperjelas. “Kalau aku mau panggil kamu Cantik, boleh, kan?” Citra salah tingkah. Sebagai anak baru, dia merasa kurang nyaman dengan sikap seniornya itu. “Adik Cantik di jurusan Ekonomi, ya?” “Iya, Kak.” Sejak awal pertemuan itu, setiap bertemu dengan Citra, pria itu selalu memanggilnya Cantik. Panggilan yang kadang membuat Citra merasa risih dan terganggu. Karena setiap teman-temannya mendengar panggilan itu, dia selalu diejek dan dijodohkan dengan seniornya itu. “Cit, aku yakin kakak senior itu, suka sama kamu!” “Kamu enggak usah nambah-nambahin deh, Sal. Cukuplah aku merasa kurang nyaman dengan panggilan itu. Kamu jangan mem
Setelah Rahmat pergi, Citra membuka perlahan, kado yang diberikan Rahmat. Cokelat? Citra tersenyum. Dia tidak menyangka, Rahmat akan memberikannya sebuah kado, cokelat, makanan kesukaannya. Ditatapnya cokelat yang ada di tangannya. Makanan itu, jelas membuka kembali ingatannya, pada dia, yang pertama kali membuatnya jatuh cinta, pada cokelat. “Hadiah dari kakak itu lagi?” tanya Salma.“Iya!” Salma terkekeh. “Luar biasa perjuangannya ya, Cit. Apa sih isinya? Aku penasaran!” “Ini, kamu saja yang buka!” ujar Citra, menyerahkan bungkusan kado yang ada di tangannya. “Serius?” “Iya!” Salma dengan penuh semangat, membuka kotak bersampul merah muda itu. “Cokelat!” ujar Salma, tercengang. “Iya, cokelat! Kenapa? Kamu kok kaget begitu?” “Aku heran! Pertama, dia kasih bunga mawar merah. Sekarang, dia kasih cokelat. Apa dia tidak tahu, siapa yang dia kasih?” Citra tersenyum, berbalik heran dengan ucapan Salma. “Maksud kamu apa Sal?”
“Kamu sudah menghabiskan waktu terlalu lama seperti ini. Kita realistis saja! Ada Kak Rahmat yang sangat mencintai kamu. Dia bahkan rela menunggu kamu begitu lama. Apakah kamu tidak ingin mencoba, membuka hati untuk Kak Rahmat?” “Sal! Itulah yang membuat perasaanku semakin tidak nyaman selama ini. Aku selalu meminta petunjuk sama Allah. Aku mohon diberi pertanda, agar aku bisa memilih jalan yang benar. Tapi, semakin ke sini, aku malah semakin meragu!” “Jadi, bagaimana sikap Kak Rahmat sekarang?” “Aku meminta waktu lagi setahun, dan dia siap menunggu!” “Ya Allah. Dia benar-benar mencintaimu, Cit!” “Iya, aku tahu!” “Jadi, setelah setahun?” “InsyaaAllah aku akan menerima Kak Rahmat!” “Tapi, jika dalam setahun, kamu bertemu si Cantik itu?” “Salma!” Lagi, Citra dongkol dengan kata Cantik. “Ya, kamu jawab saja! Ini pertanyaan aku Cit, aku serius!” “Sal, jangan buat aku malah semakin meragu!” “Rumit banget ya, perasaan kamu! Ada yang mencintai kamu, kamu malah menunggu seseorang y
Meninggalkan Warung Soto, mereka langsung ke rumah Citra. Tidak lama, mereka meneruskan perjalanan ke rumah Aara. “Ira, ibu enggak pulang malam ini. Kamu boleh langsung istirahat!” ucap Aara pada Ira, sesaat tiba di dalam rumah. “Baik, Mbak.” Ira kembali ke kamar. Aara dan Citra, menuju kamar. “Ra, kita salat isya berjamaah?” tanya Citra. “Iya Cit. Tapi kamu mau menunggu sekitar sepuluh menit?” “Memangnya kamu mau ke mana?” “Enggak. Aku mau menyeterika mukena dulu!” “Harus di setrika?” tanya Citra, heran. “Nanti aku jelaskan!” Aara berlalu, membawa dua mukena di tangannya. Citra masih diam dan berpikir tentang maksud ucapan Aara. Dia membuka almari mencari handuk, yang sudah ditunjukkan oleh Aara. Citra kembali terkejut, melihat isi almari Aara, hanya berisi beberapa pakaian yang di lipat. Beberapa pakaian di gantung. Sangat jauh berbeda dengan almari pakaiannya, yang penuh sesak. Malam i
Citra menghela napas. Aara, tidak pernah kehabisan jawaban. “Prinsip aku Cit, mampu itu adalah ketika kita melakukan sesuatu, sesuai kesanggupan. Apa yang benar-benar melekat, dan kita miliki. Dan pastinya, tidak menambah beban hidup yang baru.” “Bahasa kamu terlalu ribet untuk bisa aku pahami Ra!” “Kalau aku cicil rumah, aku harus kredit, berutang. Bukankah itu sudah berarti aku tidak mampu, tetapi memaksakan mampu? Bukannya kelapangan yang aku dapatkan, justru hidupku menjadi lebih sempit, dengan cicilan kredit yang tidak sedikit setiap bulan. Akhirnya, aku sibuk mencari uang, hanya untuk bayar cicilan rumah.” “Ya Allah, pikiranku ini selalu kacau balau, saat diskusi dengan kamu!” Aara tersenyum. “Cit, mampu atau tidak mampu, yang bisa menakar itu, adalah diri kita masing-masing. Cicilan rumah itu bisa sampai sepuluh atau lima belas tahun. Luar biasa panjang Cit. Apakah kamu yakin, akan hidup selama itu?” “Ra, kita kan juga h
Kei menerima surat itu, dia lantas membuka dan membacanya. Assalamu’alaykum Kei. Aku ucapkan selamat ya, pagi ini, kamu akan mengucap janji suci di hadapan Allah. Bersama wanita yang sangat kamu cintai. Tapi sayang, juga sangat aku cintai. Aku mohon maaf, aku bukan saudara yang baik. Aku tidak bisa hadir, di acara berbahagiamu. Kamu tahu kan Kei, aku sangat mencintai Aara. Aku takut, cintaku tidak sanggup, melihatmu bersamanya. Jeda. Kei, menghapus bulir air mata, yang membasahi pipinya. Dia begitu sangat bahagia, namun bersedih hati. Dia bisa menemukan cintanya, tetapi kehilangan saudaranya. Biarlah aku pergi, tanpa melukai cinta ini. Aku sangat mencintai Aara, tetapi aku sangat menyayangimu, sebagai saudaraku. Jaga Aara ya, Kei. Jaga dia. Dia wanita sangat istimewa. Aku mengalah, karena kamu lebih pantas untuknya, dibanding aku. Kei, aku amanahkan perusahaan kepada kamu ya. Aku telah meminta papa, m
Kehidupan selalu berjalan seimbang. Di tengah duka, akan selalu hadir tawa. Di tengah kebahagiaan Haikal, segera melamar wanita idamannya. Ada hati pria lain, yang sangat hancur. Keluar dari rumah sakit, kehidupan Kei, terus berjalan, namun tanpa ada lagi harapan. Tatapannya selalu kosong. Duka itu pun sampai kepada sahabatnya dan juga pada ibundanya. Mereka terus berupaya, mencari jalan, untuk bisa menguatkan dan membantu Kei, bisa melewati fase terberatnya ini. Tiba di rumah, Kei masih bersama diamnya. Sedang, sore ini adalah hari lamaran Haikal. Fajar terus hadir, mendampingi sahabatnya itu. Kasih sayang itu tampak jelas, sudah lebih dari sebuah persaudaraan biasa. “Maksud kamu, Kei?” Fajar tersentak dengan ucapan Kei tak lama setelah tiba di rumah. “Kamu enggak usah sembunyikan lagi, Jar. Aku sudah tahu semuanya.” Fajar salah tingkah. “Kita akan ke rumah Aara, kan?” Fajar kembali salah tingkah. “Kamu tidak
“Nanti, aku bertemu dengan kak Haikal saja. Untuk kak Kei, bisa melalui telepon saja,” sambung Aara. “Aara! Kamu ini kenapa?” Citra mulai kesal dengan semua kalimat yang disampaikan Aara. “Kenapa?” “Kak Kei yang banyak berjuang untuk kamu, mengapa malah perhatian kamu, lebih besar ke kak Haikal?” “Kan selama ini, memang komunikasi dengan kak Kei, enggak pernah langsung, Cit. Sedang kak Haikal, sejak awal, memang kita selalu bertemu langsung.” “Aku mulai merasa, hatimu lebih terpaut pada kak Haikal.” “Kamu keliru Cit.” “Keliru apanya? Jelas sekali, perlakukan kamu berbeda. Kamu tidak pernah menjaga perasaan kak Kei. Apakah karena kak Haikal lebih mapan?” “Citra! Maksud kalimat kamu, apa?!” Berbalik, Aara sedikit emosional mendengar tuduhan Citra. “Ya, itu pikiran aku saja. Karena kamu lebih memperioritaskan semua tentang kak Haikal, sedang hal berbeda kamu tunjukkan ke kak Kei. Padahal dia sudah
Aara menghela napas. Dia syok, tertekan, bingung. “Kemudian?” “Aku tidak sadar, menatap kak Fajar, membuatku mengabaikan kak Rahmat. Aku tidak fokus, terhadap semua apa yang beliau ucapkan.” “Kak Fajar tahu keberadaanmu?” “Kayaknya enggak, karena dia bersama beberapa temannya.” “Jadi, apa yang terjadi?” “Kak Rahmat menyadari perubahan sikapku. Dia bertanya. Siapa kak Fajar, apakah aku kenal?” “Ya Allah. Citra, Citra….” “Aku tidak bisa bohong, Ra. Makanya aku katakan yang sebenarnya.” “Tanggapannya?” “Cit. Kamu tahu kan, aku sangat mencitaimu. Sangat mengharapkanmu, jadi pendamping hidupku sehidup sesurga. Tapi, aku merasa hari ini, aku tidak pantas untuk itu. Beberapa tahun kita saling kenal, aku tidak pernah melihat sinar mata itu, ada untuk aku. Apakah aku sanggup, menyakiti hati seseorang yang sangat aku cintai, dengan memaksanya mencintaiku? Kita tidak lama lagi akan menikah, te
Beberapa saat kemudian, Haikal pamit. “Sin, kamu lihat? Kalau seperti ini, aku semakin tidak enak dan berutang budi kepada mereka. Bagaimana jika Aara menolak Haikal?” “Keluarga mas Harun, keluarga yang tulus, Mas. InsyaaAllah, mereka bisa menghargai semua keputusan Aara. Karena Aara sudah dewasa. Kita tidak mungkin mencampuri keputusannya. Mas kan tahu, bagaimana karakter Aara. Hubungan Mas dan Aara pun, belum membaik. Sinta khawatir, jika kita terlalu jauh masuk ke dalam persoalan Haikal dan Aara, Aara semakin menjaga jarak dari kita.” “Aku merasa persoalan ini begitu rumit. Mengapa Haikal harus jatuh hati pada Aara. Kekhawatiranku terlalu besar, hal ini akan mempengaruhi hubungan baik kita dengan keluarga Harun.” “InsyaaAllah, Mas. Sinta yakin, Aara akan mengambil keputusan terbaik.” “Amin.” *** Tiba di kantor, Kei dikejutkan dengan kehadiran Fajar, di ruangannya. “Pak Fajar Bimantara? Kamu udah balik?”
“Fajar menitip salam untuk kamu. Dia lagi dapat tugas, mendampingi CEO ke London. Besok atau lusa udah balik!” Citra hanya tersenyum. Dia bingung, menyusun kalimat. Kadang rindu, tidak bisa terwakilkan dengan bahasa apapun. Beberapa menit berlalu. Kei pamit, dan meninggalkan warung soto Mas Tomo. “Cit?” “Iya Ra.” “Aku bingung. Sebenarnya bagaimana hubungan kalian?” Citra terpaku. “Kak Rahmat, Pak Restu? Kamu terlalu banyak fans, aku jadi pusing!” sambung Aara. Citra tersenyum. “Ra, sebanyak apapun orang yang datang dalam hidup kita, hati akan tetap terpaut pada cinta. Sejauh apapun kita melangkah, sejauh apapun jarak tercipta, cinta itu tetap akan berada di tempatnya.” “Aku semakin bingung dengan kalimat kamu. Bukannya tanggal pernikahan kamu dan kak Rahmat sudah ditentukan?” Citra hanya tersenyum. Aara menggeleng, tidak mengerti sikap sahabatnya itu. “Ra
Citra berdiri dan melangkah setengah hati menemui Aara, di dalam kamar. Dia merasakan suasana pagi ini, sangat tidak mengenakkan. Semua pikiran negatif, sudah berkecamuk dalam kepalanya. Dia terus bertanya, tujuan Haikal menemui Aara. “Citra?” Aara terkejut, melihat kehadiran Citra. “Iya!” “Kamu sudah dari tadi?” “Iya, aku ngobrol di depan, dengan tante Sinta.” “Kamu kenapa? Kok mukanya panik gitu?” “Ra, ayo keluar. Ada tamu untuk kamu?” “Tamu?” “Iya, Haikal anaknya om Harun.” “Yang di rumah sakit itu?” Aara memperjelas. “Iya. Ayo cepat! Dia udah dari tadi lho.” “Ada urusan apa?” “Mana aku tahu? Ayolah! Enggak enak ditungguin!” Masih dengan kebingungannya, Aara mengganti pakaiannya dan menemui Haikal di ruang tamu. Citra tetap bersamanya. “Assalamu’alaykum,” sapa Haikal, ramah. “Wa’alaykumussalam,” jawab Aara, tersenyum. Aara dan Citra, duduk di depan Hai
Malam kian larut. Fajar telah menyusul Fiki dan Hendri beristirahat. Kei masih duduk termenung sendiri, di meja kerjanya. Cinta? Mengapa kamu begitu rumit? Kamu datang begitu saja, tanpa kuminta. Setelah dekat, kamu malah menyiksaku, dalam rindu tak berkesudahan. Menyiksaku dalam jarak, yang tak mampu kutempuh. Beberapa menit dalam keheningan, Kei tertidur di meja kerjanya. Lelah tak berujung, tampak jelas di wajahnya. Sang pencinta yang sedang dilanda badai keraguan dan ketidak-berdayaan. Pukul dua malam, Kei terbangun. Dia baru sadar, dia masih di meja kerjanya. Setelah menenangkan dirinya, dia beranjak menuju kamar mandi. Lantas, dia mengambil sajadah di lantai dua. Tampak, dia akan menunaikan salat. Ketiga rekannya, larut dalam tidur. Ya Allah, ya Tuhanku. Perjalanan ini benar-benar melelahkanku. Apakah memang ini, takdir dari-Mu? Perjalanan yang harus kutempuh, menuju-Mu? Ya Allah, ya
Aara berdiri, terpaku, di depan pintu. Tangan Citra kembali menariknya, masuk ke dalam kamar. “Aara?” suara pria itu, mengagetkan Aara. “Kamu dipanggil, kamu mendekat ke sana!” bisik Citra. Aara mengangkat alis. Dia bingung. Siapa sebenarnya orang yang sedang di rawat dan sangat mengenalnya. “Ibu? Bisa Ibu jelaskan?” “Ayah kamu, Ra.” “Apa?” Aara terkesiap. Ibundanya mengangguk. Aara menatap Citra. Tanpa menjawab, Aara berdiri dan melangkah menuju pintu. Namun, tangan Citra, dengan sigap menariknya, untuk tetap di tempatnya. Aara tampak menahan emosi. Wajahnya tegang. “Duduk, Ra. Duduk!” pinta Citra. Aara duduk, dengan ekspresi yang sama. Dia tidak menyangka, Citra akan melakukan sesuatu yang sangat dia benci. Dia kecewa, sahabatnya sendiri, menariknya ke dalam pertemuan, yang paling dihindarinya. Aara terpaku dan Citra tetap fokus di sampingnya, menahan tangannya. “Sin, terima kasih kamu sudah