“Abang Kei itu, jangan ditanya tentang cinta. Dia mana tahu, artinya jatuh cinta,” lanjut Fajar, dengan sorot mata masih ke arah Kei.
“Jadi abang Kei, belum pernah jatuh cinta?” tanya Fiki.
“Bisa dibilang seperti itu!” jawab Fajar.
“Aku enggak percaya saja Bang. Abang itu kece parah, pintar, tetapi enggak pernah jatuh cinta? Hidupnya sepi amat dong!” tutur Hendri.
Ketiganya kembali tertawa, mengejek Kei.
“Kalian tuh, kayak enggak punya kerjaan lain ya? Ha, membahas sesuatu yang enggak penting sama sekali,” sahut Kei, kesal.
“Dulu waktu kuliah, sebenarnya dia pernah dekat dengan seseorang. Tapi hanya bertahan satu bulan,” ujar Fajar.
“Ha? Satu bulan? Memang ada apa Bang?” sahut Fiki.
“Abang kalian itu kan, orangnya cuek banget. Dingin banget sama cewek. Mana ada cewek yang mau bertahan lama sama dia?” Fajar menjelaskan.
Fiki dan Hendri saling bertatapan.
“Apa yang kamu pikirkan, pasti sama dengan yang aku pikirkan!” tebak Fiki.
“Kalian berdua kenapa? Kok malah saling lihat-lihat begitu?” tanya Fajar, heran dengan sikap Fiki dan Hendri.
“Kebetulan banget ya, Bang. Di kampus, ada juga dosen yang dingin banget sama lawan jenis. Persis abang Kei,” cerita Hendri. “Dan lucunya lagi, dosen itu kesayangan Fiki, Bang, haha.”
Tawa Hendri semakin pecah. Wajah Fiki memerah, malu.
“Waduh, adik-adik Abang ini. Kok berani, sukanya sama dosennya sendiri ya? Bingung Abang. Kompak banget kalian ini,” ucap Fajar.
“Abang Kei, ke sini dong. Aku mau bertanya. Ayo dong Bang,” pinta Hendri.
Dengan wajah terpaksa, Kei pun mendekat dan memenuhi permintaan Hendri.
“Bang, apa benar yang abang Fajar kata tadi?” tanya Hendri setelah Kei berada di sampingnya.
“Iya!” jawab Kei, pasrah.
Hendri, Fiki dan Fajar, kembali tertawa melihat tingkah Kei.
“Bang, kenapa sih? Enggak minat sama cewek? Abang normal kan?” ejek Fiki.
“Astagfirullah, kok kamu ngomongnya begitu? Normal-lah!” sahut Kei, dongkol.
“Terus, kenapa Abang enggak suka dekat dengan cewek? Punya pengalaman pahitkah? Atau apa Bang?” tanya Hendri.
Kei bingung memulai kalimatnya.
“Ya begitu. Abang ini kan, anak bungsu. Punya dua kakak cewek. Duh, punya kakak cewek itu bikin pusing. Maka-nya, dari situ, Abang merasa enggak nyaman dekat dengan cewek. Mereka cerewet, suka ngatur, dan Abang enggak suka diperlakukan kayak begitu.”
“Abang Kei memang aneh bin ajaib. Kok ada ya, manusia kayak gini?” canda Hendri, disertai tawa ketiganya. “Iya. Abang ini aneh. Cowok malah suka diperhatikan, Abang justru sebaliknya. Abang benar-benar aneh,” sambung Fiki.
“Ya inilah Abang. Kenyamanan masing-masing orang kan berbeda. Jadi ya, seperti inilah Abang!”
“Terus, mau jomblo seumur hidup?” tanya Fiki, kembali.
“Kalau waktunya sudah tiba, akan ada saja cara Allah mempertemukan, Fik,” jawab Kei, bijak.
“Abang Kei memang mantap sekali,” sahut Fajar, mengangkat jempol. “Ah kalian ini, yang dibahas, ceweeek terus. Payah!” lanjut Kei, sinis.
Fajar tertawa. “Memang beda ya, kalau yang punya perasaan, dengan yang tidak punya perasaan,” ucap Fajar.
“Terserahlah kalian!” Kei kembali ke meja kerjanya.
“Jadi rencana kalian berdua setelah selesai, bagaimana?” tanya Fajar. “Boleh enggak, kami berdua bantu-bantu Abang di sini?” sahut Hendri.
“Boleh sih, cuma ya itu. Usaha ini kan, masih begini-begini saja. Kalau kalian mau berjuang dari bawah.”
“Iya Bang, aku dan Fiki, sudah pikirkan masalah itu,” jawab Hendri.
“Hen, aku balik ya?” pinta Fiki. “Kita bareng saja. Aku juga mau balik,” jawab Hendri.
“Bang, kami balik ya?” ucap Hendri ke Fajar.
“Oke, hati-hati ya.”
“Bang Kei, kami pamit. Jangan melamun terus dong Bang,” ujar Fiki, mengejek.
“Kalian itu. Untung Abang ini, orang sabar dan ikhlas,” jawab Kei disertai tawa. “Oke, hati-hati.”
“Assalamu’alaykum,” ucap Fiki dan Hendri meninggalkan kantor Fajar dan Kei. “Wa’alaykumussalam,” jawab Fajar dan Kei, serentak.
Suasana kantor kembali sepi seperti sebelumnya. Tinggallah Kei dan Fajar, kembali pada kesibukan masing-masing.
“Enggak terasa banget ya Jar, adik kamu itu sudah mau selesai saja.” Kei mendekati meja kerja Fajar.
“Iya, waktu berlalu begitu cepat.”
“Bukan cuma mau selesai, dia juga lebih berani dari abangnya. Jatuh cinta sama dosennya, haha,” sambung Kei.
“Ah, kamu Kei.”
“Jadi kamu siap, Hendri lebih dulu menikah dibanding kamu?”
“Jodoh tidak mengenal kata cepat atau lambat, Kei. Semua Allah yang punya kuasa."
“Iya. Kamu belum juga move on ya Jar?”
Fajar menghela napas.
“Sulit sekali melupakan cinta pertama Kei. Sosok yang membuatmu banyak berubah, lebih dekat dengan Tuhan. Justru, saat aku telah jauh lebih baik, dekat dengan Tuhan, takdir malah berkata lain,” sebut Fajar, dengan sorot mata penuh haru.
“Seperti yang kamu bilang tadi, jodoh. Itu semua di bawah kuasa Allah. Tidak bisa ditunda dan tidak bisa dipercepat.”
“Terlalu banyak kenangan yang Allah titipkan tentangnya. Kamu ingat, saat aku menemuinya di kantin kampus? Aku mengajak dia makan siang, dia malah mengajak aku ke musala, salat duhur. Kamu tahu kan, aku bandel banget saat itu. Salat jarang, nakal iya. Tapi pesonanya, membuatku benar-benar kembali pada dunia yang sebenarnya.”
Kei tersenyum mendengar setiap kata-kata penuh kenangan dari bibir sahabatnya itu. Sorot mata haru lantas berubah penuh cahaya.
Senyuman itu, terbit di bibir Fajar. Kenangan, membawa keindahan yang sama.
“Kamu ingat Kei? Aku yang jarang masuk kuliah, berubah menjadi mahasiswa yang rajin banget. Yang semula hanya mendapat IPK 2,0 bisa meningkat menjadi 3,0. Karena siapa? Dia, Kei!” sambung Fajar.
Jeda.
“Salah satu momen terbaik, saat aku mengenalnya, saat dia memberikan sarung dan sajadah, sebagai hadiah, aku mendapatkan IPK tertinggi di akhir perkuliahan kita. Dan ternyata, itulah pertemuan kami yang terakhir.”
Mata Fajar berkaca-kaca. Kerinduan dan keharuan, kembali menyatu di sana.
“Aku cuma menyesali satu hal, Kei. Aku tidak pernah menceritakan yang sebenarnya. Aku sangat menyesal, meninggalkannya dalam kondisi terluka. Aku malu.”
“Siapa tahu, takdir kembali mempertemukan kalian. Sampaikanlah yang sebenarnya terjadi di masa lalu. Walaupun tidak bisa lagi bersama, setidaknya kebenaran, bisa membuat hubungan akan kembali baik.”
“Iya Kei.”
Kenangan, akan selalu menyisakan haru bagi mereka yang meninggalkan jejak kebahagiaan dan impian di sana. Kenangan yang hanya sebatas masa lalu, yang tidak lagi menjadi bagian hari ini, dan tidak menjadi bagian dari masa depan.
Di masa lalu, Fajar jatuh cinta. Namun, ternyata cinta itu, tidak ditakdirkan menjadi bagian dirinya hari ini. Fajar terbawa perasaan. Dia menatap foto yang menempel di pojok layar komputernya. Foto seorang wanita, dari masa lalu.
“Kamu kenapa masih menyimpan fotonya? Ini sudah terlalu lama Fajar. Lima tahun, bisa saja sudah banyak yang terjadi. Bisa jadi dia sudah berkeluarga, bahagia.”
“Aku hanya bisa melakukan ini Kei. Perasaanku padanya belum berubah sampai sekarang. Kalau pun saat ini dia sudah bahagia, biarlah aku kenang foto ini, hanya bagian dari masa lalu. Sambil menunggu takdir masa depan, yang Allah tetapkan untukku.”
“Ternyata jatuh cinta itu menyakitkan, ya? Aku bersyukur, tidak melalui hal yang sama sepertimu. Kamu seperti kehilangan kewarasan karena jatuh cinta.”
“Nantilah, kamu akan merasakan nikmatnya kegilaan ini, Kei!”
“Enggak-lah! Aku enggak mau, seperti kamu! Mungkin hidup sendiri, bisa jadi pilihan terbaik.”
“Oke! Kita buktikan ya. Sampai kapan kamu bisa menjaga hatimu, sedingin ini!”
Kei menyeringai.
Azan kembali berkumandang, membut obrolan ke dua sahabat itu berakhir. Keduanya bersegera menuju masjid yang letaknya tidak jauh dari kantor mereka.
***
Rumah Aara
Malam ini, Ibunda Aara mengundang Citra, untuk ikut makan malam bersama, dalam rangka syukuran ulang tahun Aara.
Sedari tadi, wajah Aara terus saja tampak suram. Tak tampak bahagia sedikit pun, dengan acara, yang telah Ibunya persiapkan.
“Sebenarnya, aku sudah bilang ke Ibu, tidak usah acara-acara begini segala. Aku bukan anak kecil lagi, pake acara seperti ini!” keluh Aara pada Citra.
“Ra, namanya Ibu. Ikuti sajalah. Kan, kamu juga enggak rugi!”
“Cuma aku risih saja, judul makan malam ini. Syukuran ulang tahunku!”
Citra hanya tersenyum, sambil menggelengkan kepalanya mendengar semua kalimat Aara. Dia sudah terbiasa menghadapi sikap Aara yang selalu banyak protes.
“Terima kasih ya, Nak Citra sudah datang malam ini,” sapa ibunda Aara, melihat kehadiran Citra.
“Iya Tante. Citra malah senang banget, bisa mencicipi masakan lezat Tante,” ucap Citra, yang membuat senyuman Ibunda Aara merekah.
“Kamu tuh paling pintar gombal!” bisik Aara. “Kenapa sih? Sedari tadi sewot melulu?”
“Aku enggak suka diperlakukan seperti ini Cit, enggak suka!”
“Ra, enggak usah dibahas!” tegas Citra. Dia kembali menikmati makanan yang disajikan ibunda Aara. Dia terlihat sangat lahap.
“Oh ya Cit,” lanjut Ibunda Aara, setelah kembali ke meja makan. “Kamu kenal tante Dewi?”
“Iya Tante, kenal.”
“Aara sudah cerita belum, tante Dewi akan menikah?”
Aara menunjukkan sikap tidak nyaman dengan pembahasan ibunya.
“Iya Tante, sudah. Bulan depan kan, Tante?” tanya Citra, memastikan. “Iya, bulan depan. Tante sangat bahagia Nak, adik bungsu Tante itu akhirnya menikah juga. Belum lagi, calon suaminya itu, baik banget. Orangnya ramah, dan mudah menyatu dengan keluarga.”
Memang kalau di awal, semua akan tampak sangat indah! batin Aara.
“Syukurlah Tante. Semoga semuanya dilancarkan sampai hari pernikahan nanti.”
“Iya Nak, insyaaAllah.”
Aara menghela napas. Dia jenuh dengan pembahasan sang ibu.
“Ira di mana, Bu?” tanya Aara.
“Ada di kamar,” sahut ibundanya.
“Kenapa enggak sekalian makan di sini?”
“Katanya dia belum lapar. Dia mengerjakan tugas kuliah dulu.”
“Ira?” tanya Citra, berbisik.
“Iya, Ira. Anak saudara jauh ibu. Mulai sekarang, dia tinggal di sini menemani aku dan ibu.”
“Alhamdulillah, kamu dan ibu tidak lagi sepi.”
Aara membalas dengan senyuman datar.
“Dia kuliah?” tanya Citra.
“Iya, semester satu.”
“Kuliah di mana?”
“Di kampus tercinta kamu!”
“Jurusan?”
“Jurusan kamu!”
“Masa sih? Kok aku enggak pernah bertemu?”
“Memangnya kamu sudah tahu orangnya?”
“Belum sih.”
Aara tertawa. “Ya bagaimana kamu bisa bertemu, kalau kamu enggak kenal orangnya.”
Citra tersenyum, malu.
“Bu, bisa minta tolong, Ira dipanggil dulu ke sini?”
Ibu menuju dapur, dan singgah di kamar Ira.
“Kamu tuh Ra, kok nyuruh-nyuruh ibu kayak gitu?” ujar Citra, sewot.
“Enggak, kan ibu mau ke dapur juga. Kamar Ira itu di sana, sebelum dapur.”
Citra menggelengkan kepala, dengan sikap Aara.
“Iya Mbak,” ucap Ira, setelah berada di depan Aara.
“Ini saya mau kenalin!” Aara memperkenalkan Citra. “Ibu Citra, kan?” tebak Ira.
“Kamu kenal saya?” tanya Citra. “Ibu yang mengajar di kelas Ekonomi 1.”
“Ha? Kamu mahasiswa di kelas saya?” Citra seakan tidak percaya, bahwa Ira adalah mahasiswanya.
“Iya Bu.”
Citra tersenyum, tidak menyangka.
“Beginilah jadinya, kalau terlalu banyak fans. Mana ada waktu mengenal mahasiswanya sendiri,” ejek Aara.
“Kamu tuh, Ra,” sahut Citra. “Salam kenal ya Ira. Saya sahabatnya Mbak judes ini,” ejek Citra, kembali, disertai tawa.
“Iya Bu.”
“Kalau Ira masih ada kerjaan, balik ke kamar saja,” ucap Aara.
“Iya Mbak.”
Ira pun berbalik dan kembali ke kamar.
Beberapa saat di dapur, ibunda Aara kembali membawa beberapa makanan penutup ke meja makan. “Banyak banget makanannya Tante?” tanya Citra. “Iya, rencana mau dibawa ke rumah tantenya Aara.” Citra tersenyum, dan menoleh ke arah Aara, yang hanya diam tanpa semangat. “Nak Citra, Tante mau bertanya?” Ibunda Aara tampak serius. Dia menatap fokus ke arah Citra. “Iya Tante?” “Apa enggak ada, teman pria di kampus yang suka sama Aara?” Mata Aara melotot. Citra terkekeh, tanpa suara. Berusaha menutupi mulutnya dengan tangan kanannya. “Memangnya kenapa Tante?” “Aara kan sudah dua puluh tujuh tahun. Menurut Tante, sudah waktunya dia juga dekat dengan seseorang.” Citra semakin tertawa, tanpa suara. Ekspresi tidak nyaman, justru hadir di wajah Aara. “Sebenarnya sih banyak Tante, cuma Aara-nya, yang jual mahal.” Mata Aara menatap Citra, tajam. Sangat tidak suka. “Kalau begitu, Tante minta tolong Citra ya? Siapa tahu, ada pria yang baik, bertanggung jawab, yang cocok dengan Aara.” “Siap,
Pikiran Citra kembali mengalunkan rindu. Rindu pada pertemuan dengan dia, beberapa tahun yang lalu. Seseorang yang selalu memanggilnya Cantik. Citra tersenyum. Ada kebahagiaan yang nyata, tergambar di sana. “Adik namanya siapa?” kalimat pertama yang dia ucapkan, saat itu. “Citra, Kak.” “Siapa? Cantik?” Citra mengerutkan dahi. “Citra, Kak!” ujar Citra, memperjelas. “Kalau aku mau panggil kamu Cantik, boleh, kan?” Citra salah tingkah. Sebagai anak baru, dia merasa kurang nyaman dengan sikap seniornya itu. “Adik Cantik di jurusan Ekonomi, ya?” “Iya, Kak.” Sejak awal pertemuan itu, setiap bertemu dengan Citra, pria itu selalu memanggilnya Cantik. Panggilan yang kadang membuat Citra merasa risih dan terganggu. Karena setiap teman-temannya mendengar panggilan itu, dia selalu diejek dan dijodohkan dengan seniornya itu. “Cit, aku yakin kakak senior itu, suka sama kamu!” “Kamu enggak usah nambah-nambahin deh, Sal. Cukuplah aku merasa kurang nyaman dengan panggilan itu. Kamu jangan mem
Setelah Rahmat pergi, Citra membuka perlahan, kado yang diberikan Rahmat. Cokelat? Citra tersenyum. Dia tidak menyangka, Rahmat akan memberikannya sebuah kado, cokelat, makanan kesukaannya. Ditatapnya cokelat yang ada di tangannya. Makanan itu, jelas membuka kembali ingatannya, pada dia, yang pertama kali membuatnya jatuh cinta, pada cokelat. “Hadiah dari kakak itu lagi?” tanya Salma.“Iya!” Salma terkekeh. “Luar biasa perjuangannya ya, Cit. Apa sih isinya? Aku penasaran!” “Ini, kamu saja yang buka!” ujar Citra, menyerahkan bungkusan kado yang ada di tangannya. “Serius?” “Iya!” Salma dengan penuh semangat, membuka kotak bersampul merah muda itu. “Cokelat!” ujar Salma, tercengang. “Iya, cokelat! Kenapa? Kamu kok kaget begitu?” “Aku heran! Pertama, dia kasih bunga mawar merah. Sekarang, dia kasih cokelat. Apa dia tidak tahu, siapa yang dia kasih?” Citra tersenyum, berbalik heran dengan ucapan Salma. “Maksud kamu apa Sal?”
“Kamu sudah menghabiskan waktu terlalu lama seperti ini. Kita realistis saja! Ada Kak Rahmat yang sangat mencintai kamu. Dia bahkan rela menunggu kamu begitu lama. Apakah kamu tidak ingin mencoba, membuka hati untuk Kak Rahmat?” “Sal! Itulah yang membuat perasaanku semakin tidak nyaman selama ini. Aku selalu meminta petunjuk sama Allah. Aku mohon diberi pertanda, agar aku bisa memilih jalan yang benar. Tapi, semakin ke sini, aku malah semakin meragu!” “Jadi, bagaimana sikap Kak Rahmat sekarang?” “Aku meminta waktu lagi setahun, dan dia siap menunggu!” “Ya Allah. Dia benar-benar mencintaimu, Cit!” “Iya, aku tahu!” “Jadi, setelah setahun?” “InsyaaAllah aku akan menerima Kak Rahmat!” “Tapi, jika dalam setahun, kamu bertemu si Cantik itu?” “Salma!” Lagi, Citra dongkol dengan kata Cantik. “Ya, kamu jawab saja! Ini pertanyaan aku Cit, aku serius!” “Sal, jangan buat aku malah semakin meragu!” “Rumit banget ya, perasaan kamu! Ada yang mencintai kamu, kamu malah menunggu seseorang y
Meninggalkan Warung Soto, mereka langsung ke rumah Citra. Tidak lama, mereka meneruskan perjalanan ke rumah Aara. “Ira, ibu enggak pulang malam ini. Kamu boleh langsung istirahat!” ucap Aara pada Ira, sesaat tiba di dalam rumah. “Baik, Mbak.” Ira kembali ke kamar. Aara dan Citra, menuju kamar. “Ra, kita salat isya berjamaah?” tanya Citra. “Iya Cit. Tapi kamu mau menunggu sekitar sepuluh menit?” “Memangnya kamu mau ke mana?” “Enggak. Aku mau menyeterika mukena dulu!” “Harus di setrika?” tanya Citra, heran. “Nanti aku jelaskan!” Aara berlalu, membawa dua mukena di tangannya. Citra masih diam dan berpikir tentang maksud ucapan Aara. Dia membuka almari mencari handuk, yang sudah ditunjukkan oleh Aara. Citra kembali terkejut, melihat isi almari Aara, hanya berisi beberapa pakaian yang di lipat. Beberapa pakaian di gantung. Sangat jauh berbeda dengan almari pakaiannya, yang penuh sesak. Malam i
Citra menghela napas. Aara, tidak pernah kehabisan jawaban. “Prinsip aku Cit, mampu itu adalah ketika kita melakukan sesuatu, sesuai kesanggupan. Apa yang benar-benar melekat, dan kita miliki. Dan pastinya, tidak menambah beban hidup yang baru.” “Bahasa kamu terlalu ribet untuk bisa aku pahami Ra!” “Kalau aku cicil rumah, aku harus kredit, berutang. Bukankah itu sudah berarti aku tidak mampu, tetapi memaksakan mampu? Bukannya kelapangan yang aku dapatkan, justru hidupku menjadi lebih sempit, dengan cicilan kredit yang tidak sedikit setiap bulan. Akhirnya, aku sibuk mencari uang, hanya untuk bayar cicilan rumah.” “Ya Allah, pikiranku ini selalu kacau balau, saat diskusi dengan kamu!” Aara tersenyum. “Cit, mampu atau tidak mampu, yang bisa menakar itu, adalah diri kita masing-masing. Cicilan rumah itu bisa sampai sepuluh atau lima belas tahun. Luar biasa panjang Cit. Apakah kamu yakin, akan hidup selama itu?” “Ra, kita kan juga h
Beberapa jam berlalu, Aara dan Citra, terlihat sudah menyelesaikan kelas mereka hari ini. Mereka tampak bercakap serius di ruangan dosen. “Kamu kenapa Ra?” tanya Citra mendampati ekspresi wajah Aara tidak bersemangat. “Mahasiswa di kelas IIb, hampir seluruhnya tidak menyelesaikan tugas hari ini!” ucap Aara, kecewa. “Memangnya ada apa?” “Alasannya, tugasnya terlalu sulit! Alasan yang enggak bisa diterima, sama sekali!” Citra terkekeh. “Ya salah kamu juga. Kamu pasti memberikan tugas di luar kemampuan mereka. Kamu kan, kebiasaannya begitu!” “Begini Cit, dengan tantangan, mereka akan bisa jauh lebih kreatif, dan akan terus berkembang!” . “Iya, benar. Tapi, tidak semua mahasiswa itu, sama! Ada yang rajin, ada yang cuek, malah ada yang tidak peduli. Jadi, kita yang harus menyesuaikan diri, dan menerima proses dari mereka.” “Mahasiswa zaman sekarang ya, beda banget dengan zaman kita dulu. Dosen masuk ke kelas, masih sempatnya
Dalam perjalanan pulang, Aara dan Citra mencipta hening. Aara sekali-kali menoleh ke arah Citra, namun dilihatnya, sahabatnya itu masih terlihat sangat sedih. “Cit….” “Iya,” jawab Citra, pelan. “Aku mau bertanya, aku masih bingung!” “Iya.” “Kamu dulu pernah cerita tentang kakak senior kamu, yang kamu sebut kak Man. Tapi, tadi Hendri sebut abangnya itu Fajar?” “Kak Man itu, Fajar Bimantara!” “Oh gitu.” Aara mengangguk. “Dulu, saat kuliah, kak Man itu sedikit nakal, jarang masuk kuliah. Makanya teman-temannya memanggil kak Man. Kata mereka, nama Fajar, enggak cocok dengan perilakunya saat itu. Jadi kami, juniornya, ikut mengenal beliau sebagai kak Man,” jawab Citra, yang terlihat sudah lebih baik. “Kita singgah di soto Mas Tomo? Kamu mau?” pinta Aara. “Boleh.” Suasana kembali senyap. Citra terus menatap lurus ke depan. Dia tampak terus berpikir, matanya bahkan tak berkedip. Melamun. “Cit, k
Kei menerima surat itu, dia lantas membuka dan membacanya. Assalamu’alaykum Kei. Aku ucapkan selamat ya, pagi ini, kamu akan mengucap janji suci di hadapan Allah. Bersama wanita yang sangat kamu cintai. Tapi sayang, juga sangat aku cintai. Aku mohon maaf, aku bukan saudara yang baik. Aku tidak bisa hadir, di acara berbahagiamu. Kamu tahu kan Kei, aku sangat mencintai Aara. Aku takut, cintaku tidak sanggup, melihatmu bersamanya. Jeda. Kei, menghapus bulir air mata, yang membasahi pipinya. Dia begitu sangat bahagia, namun bersedih hati. Dia bisa menemukan cintanya, tetapi kehilangan saudaranya. Biarlah aku pergi, tanpa melukai cinta ini. Aku sangat mencintai Aara, tetapi aku sangat menyayangimu, sebagai saudaraku. Jaga Aara ya, Kei. Jaga dia. Dia wanita sangat istimewa. Aku mengalah, karena kamu lebih pantas untuknya, dibanding aku. Kei, aku amanahkan perusahaan kepada kamu ya. Aku telah meminta papa, m
Kehidupan selalu berjalan seimbang. Di tengah duka, akan selalu hadir tawa. Di tengah kebahagiaan Haikal, segera melamar wanita idamannya. Ada hati pria lain, yang sangat hancur. Keluar dari rumah sakit, kehidupan Kei, terus berjalan, namun tanpa ada lagi harapan. Tatapannya selalu kosong. Duka itu pun sampai kepada sahabatnya dan juga pada ibundanya. Mereka terus berupaya, mencari jalan, untuk bisa menguatkan dan membantu Kei, bisa melewati fase terberatnya ini. Tiba di rumah, Kei masih bersama diamnya. Sedang, sore ini adalah hari lamaran Haikal. Fajar terus hadir, mendampingi sahabatnya itu. Kasih sayang itu tampak jelas, sudah lebih dari sebuah persaudaraan biasa. “Maksud kamu, Kei?” Fajar tersentak dengan ucapan Kei tak lama setelah tiba di rumah. “Kamu enggak usah sembunyikan lagi, Jar. Aku sudah tahu semuanya.” Fajar salah tingkah. “Kita akan ke rumah Aara, kan?” Fajar kembali salah tingkah. “Kamu tidak
“Nanti, aku bertemu dengan kak Haikal saja. Untuk kak Kei, bisa melalui telepon saja,” sambung Aara. “Aara! Kamu ini kenapa?” Citra mulai kesal dengan semua kalimat yang disampaikan Aara. “Kenapa?” “Kak Kei yang banyak berjuang untuk kamu, mengapa malah perhatian kamu, lebih besar ke kak Haikal?” “Kan selama ini, memang komunikasi dengan kak Kei, enggak pernah langsung, Cit. Sedang kak Haikal, sejak awal, memang kita selalu bertemu langsung.” “Aku mulai merasa, hatimu lebih terpaut pada kak Haikal.” “Kamu keliru Cit.” “Keliru apanya? Jelas sekali, perlakukan kamu berbeda. Kamu tidak pernah menjaga perasaan kak Kei. Apakah karena kak Haikal lebih mapan?” “Citra! Maksud kalimat kamu, apa?!” Berbalik, Aara sedikit emosional mendengar tuduhan Citra. “Ya, itu pikiran aku saja. Karena kamu lebih memperioritaskan semua tentang kak Haikal, sedang hal berbeda kamu tunjukkan ke kak Kei. Padahal dia sudah
Aara menghela napas. Dia syok, tertekan, bingung. “Kemudian?” “Aku tidak sadar, menatap kak Fajar, membuatku mengabaikan kak Rahmat. Aku tidak fokus, terhadap semua apa yang beliau ucapkan.” “Kak Fajar tahu keberadaanmu?” “Kayaknya enggak, karena dia bersama beberapa temannya.” “Jadi, apa yang terjadi?” “Kak Rahmat menyadari perubahan sikapku. Dia bertanya. Siapa kak Fajar, apakah aku kenal?” “Ya Allah. Citra, Citra….” “Aku tidak bisa bohong, Ra. Makanya aku katakan yang sebenarnya.” “Tanggapannya?” “Cit. Kamu tahu kan, aku sangat mencitaimu. Sangat mengharapkanmu, jadi pendamping hidupku sehidup sesurga. Tapi, aku merasa hari ini, aku tidak pantas untuk itu. Beberapa tahun kita saling kenal, aku tidak pernah melihat sinar mata itu, ada untuk aku. Apakah aku sanggup, menyakiti hati seseorang yang sangat aku cintai, dengan memaksanya mencintaiku? Kita tidak lama lagi akan menikah, te
Beberapa saat kemudian, Haikal pamit. “Sin, kamu lihat? Kalau seperti ini, aku semakin tidak enak dan berutang budi kepada mereka. Bagaimana jika Aara menolak Haikal?” “Keluarga mas Harun, keluarga yang tulus, Mas. InsyaaAllah, mereka bisa menghargai semua keputusan Aara. Karena Aara sudah dewasa. Kita tidak mungkin mencampuri keputusannya. Mas kan tahu, bagaimana karakter Aara. Hubungan Mas dan Aara pun, belum membaik. Sinta khawatir, jika kita terlalu jauh masuk ke dalam persoalan Haikal dan Aara, Aara semakin menjaga jarak dari kita.” “Aku merasa persoalan ini begitu rumit. Mengapa Haikal harus jatuh hati pada Aara. Kekhawatiranku terlalu besar, hal ini akan mempengaruhi hubungan baik kita dengan keluarga Harun.” “InsyaaAllah, Mas. Sinta yakin, Aara akan mengambil keputusan terbaik.” “Amin.” *** Tiba di kantor, Kei dikejutkan dengan kehadiran Fajar, di ruangannya. “Pak Fajar Bimantara? Kamu udah balik?”
“Fajar menitip salam untuk kamu. Dia lagi dapat tugas, mendampingi CEO ke London. Besok atau lusa udah balik!” Citra hanya tersenyum. Dia bingung, menyusun kalimat. Kadang rindu, tidak bisa terwakilkan dengan bahasa apapun. Beberapa menit berlalu. Kei pamit, dan meninggalkan warung soto Mas Tomo. “Cit?” “Iya Ra.” “Aku bingung. Sebenarnya bagaimana hubungan kalian?” Citra terpaku. “Kak Rahmat, Pak Restu? Kamu terlalu banyak fans, aku jadi pusing!” sambung Aara. Citra tersenyum. “Ra, sebanyak apapun orang yang datang dalam hidup kita, hati akan tetap terpaut pada cinta. Sejauh apapun kita melangkah, sejauh apapun jarak tercipta, cinta itu tetap akan berada di tempatnya.” “Aku semakin bingung dengan kalimat kamu. Bukannya tanggal pernikahan kamu dan kak Rahmat sudah ditentukan?” Citra hanya tersenyum. Aara menggeleng, tidak mengerti sikap sahabatnya itu. “Ra
Citra berdiri dan melangkah setengah hati menemui Aara, di dalam kamar. Dia merasakan suasana pagi ini, sangat tidak mengenakkan. Semua pikiran negatif, sudah berkecamuk dalam kepalanya. Dia terus bertanya, tujuan Haikal menemui Aara. “Citra?” Aara terkejut, melihat kehadiran Citra. “Iya!” “Kamu sudah dari tadi?” “Iya, aku ngobrol di depan, dengan tante Sinta.” “Kamu kenapa? Kok mukanya panik gitu?” “Ra, ayo keluar. Ada tamu untuk kamu?” “Tamu?” “Iya, Haikal anaknya om Harun.” “Yang di rumah sakit itu?” Aara memperjelas. “Iya. Ayo cepat! Dia udah dari tadi lho.” “Ada urusan apa?” “Mana aku tahu? Ayolah! Enggak enak ditungguin!” Masih dengan kebingungannya, Aara mengganti pakaiannya dan menemui Haikal di ruang tamu. Citra tetap bersamanya. “Assalamu’alaykum,” sapa Haikal, ramah. “Wa’alaykumussalam,” jawab Aara, tersenyum. Aara dan Citra, duduk di depan Hai
Malam kian larut. Fajar telah menyusul Fiki dan Hendri beristirahat. Kei masih duduk termenung sendiri, di meja kerjanya. Cinta? Mengapa kamu begitu rumit? Kamu datang begitu saja, tanpa kuminta. Setelah dekat, kamu malah menyiksaku, dalam rindu tak berkesudahan. Menyiksaku dalam jarak, yang tak mampu kutempuh. Beberapa menit dalam keheningan, Kei tertidur di meja kerjanya. Lelah tak berujung, tampak jelas di wajahnya. Sang pencinta yang sedang dilanda badai keraguan dan ketidak-berdayaan. Pukul dua malam, Kei terbangun. Dia baru sadar, dia masih di meja kerjanya. Setelah menenangkan dirinya, dia beranjak menuju kamar mandi. Lantas, dia mengambil sajadah di lantai dua. Tampak, dia akan menunaikan salat. Ketiga rekannya, larut dalam tidur. Ya Allah, ya Tuhanku. Perjalanan ini benar-benar melelahkanku. Apakah memang ini, takdir dari-Mu? Perjalanan yang harus kutempuh, menuju-Mu? Ya Allah, ya
Aara berdiri, terpaku, di depan pintu. Tangan Citra kembali menariknya, masuk ke dalam kamar. “Aara?” suara pria itu, mengagetkan Aara. “Kamu dipanggil, kamu mendekat ke sana!” bisik Citra. Aara mengangkat alis. Dia bingung. Siapa sebenarnya orang yang sedang di rawat dan sangat mengenalnya. “Ibu? Bisa Ibu jelaskan?” “Ayah kamu, Ra.” “Apa?” Aara terkesiap. Ibundanya mengangguk. Aara menatap Citra. Tanpa menjawab, Aara berdiri dan melangkah menuju pintu. Namun, tangan Citra, dengan sigap menariknya, untuk tetap di tempatnya. Aara tampak menahan emosi. Wajahnya tegang. “Duduk, Ra. Duduk!” pinta Citra. Aara duduk, dengan ekspresi yang sama. Dia tidak menyangka, Citra akan melakukan sesuatu yang sangat dia benci. Dia kecewa, sahabatnya sendiri, menariknya ke dalam pertemuan, yang paling dihindarinya. Aara terpaku dan Citra tetap fokus di sampingnya, menahan tangannya. “Sin, terima kasih kamu sudah