Dalam perjalanan pulang, Aara dan Citra mencipta hening. Aara sekali-kali menoleh ke arah Citra, namun dilihatnya, sahabatnya itu masih terlihat sangat sedih.
“Cit….”
“Iya,” jawab Citra, pelan. “Aku mau bertanya, aku masih bingung!”
“Iya.”
“Kamu dulu pernah cerita tentang kakak senior kamu, yang kamu sebut kak Man. Tapi, tadi Hendri sebut abangnya itu Fajar?”
“Kak Man itu, Fajar Bimantara!”
“Oh gitu.” Aara mengangguk.
“Dulu, saat kuliah, kak Man itu sedikit nakal, jarang masuk kuliah. Makanya teman-temannya memanggil kak Man. Kata mereka, nama Fajar, enggak cocok dengan perilakunya saat itu. Jadi kami, juniornya, ikut mengenal beliau sebagai kak Man,” jawab Citra, yang terlihat sudah lebih baik.
“Kita singgah di soto Mas Tomo? Kamu mau?” pinta Aara.
“Boleh.”
Suasana kembali senyap.
Citra terus menatap lurus ke depan. Dia tampak terus berpikir, matanya bahkan tak berkedip. Melamun.
“Cit, k
Hendri begitu tersentuh dengan ucapan Kei. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak pernah menyangka, abangnya, begitu sangat menyayanginya. “Abang Fajar sadar, dibanding dengan kehidupan Citra, mereka ibarat langit dan bumi. Yang tidak akan pernah bisa menyatu.” “Jadi, tadi kedatangan ibu Citra, ada keperluan apa Bang?” tanya Fiki, kembali. “Hari ini pertama kalinya, sejak lima tahun yang lalu, setelah abang Fajar pergi tanpa pesan. Mereka baru bertemu kembali.” “Apakah karena alasan abang Fajar, ibu Citra masih menutup diri dengan semua pria yang mendekatinya, Bang? Demikian pula dengan abang Fajar?” “Ehm, mungkin seperti itu!” jawab Kei, tanpa kepastian. “Tangisan ibu Citra itu jelas menyimpan banyak makna Bang. Mata sendu abang Fajar pun sama. Fiki merasa, masih ada cinta di antara keduanya.” Kei menghela napas dan mengembuskannya. “Kalau itu, Abang Kei, tidak bisa memberi kesimpulan!” Senyap. Fiki menghadap
Hari ini, seperti biasa, Aara dan Citra, sama-sama memiliki kelas di jam pertama. Sejak pukul tujuh, mereka sudah kelihatan berada di kampus. “Ra?” sapa Citra. “Iya Neng, ada apa?” “Gimana semalam?” Aara terkekeh, tiba-tiba. “Kok malah tertawa?” tanya Citra, heran. “Cit, ini masih pagi. Bisa enggak, kita bahas yang lain, yang lebih segar?” Citra cemberut. “Oke, oke. Ehm, luar biasa, cinta bisa mengalahkan segalanya!” ujar Aara, terus mengusik sahabatnya itu. Citra masih terdiam. “Aku sudah bertemu Kak Fajar semalam.” “Serius?” tanya Citra, dengan ekspresi wajah, berubah cerah, sumringah. Aara tercengang, dia menggelangkan kepala. “Sabar, sabar. Kamu kok jadi begini sih Cit? Bukan banget, Citra Humairah!” “Ra,” tutur Citra, memelas. “Oke, aku paham. Aku janji enggak akan membahas ini lagi.” Citra tersenyum, bahagia. “Tunggu ya, aku ingat kembali percakapanku d
Jeda beberapa saat. Kei melanjutkan, “Pertama kita bertemu dengan dia, bersama Citra di sini. Ke dua, di warung Mas Tomo. Tidak ada yang istimewa darinya. Yang aku lihat, hanya seorang wanita tanpa senyum, cuek. Tapi, dia berbeda di video tadi, Jar,” tutur Kei.“Berbeda?”“Saat berbicara, dia terlihat sangat istimewa. Dia cerdas, punya aura positif. Dan senyumannya itu, enggak tahu, tiba-tiba membuat jantungku, berdegup kencang. Aku seakan tidak bosan melihatnya terus berbicara, terus tersenyum. Senyumannya itu sungguh memesona, Jar.”“MasyaaAllah, aku bahagia mendengarnya Kei. Ternyata kamu juga normal!” ujar Fajar, diiringi tawa.Tanpa jawaban, Kei melempar pensil yang ada di dekatnya. Dongkol dengan ucapan Fajar. “Emangnya kamu pikir?!”Fajar terkekeh. “Intinya aku bahagia Kei, kalau kamu bisa merasakan jatuh cinta. Agar aku juga bisa melihat kegilaanmu.”&ld
“Kak Kei kapan ada waktu? Biar langsung, kami antar bertemu tante Sinta?” Dari jauh, tampak Fajar dan Fiki terus tersenyum dan mengangguk memberikan kode ke Kei. “Sekarang!” bisik Fajar. “Sekarang aku free, Cit,” jawab Kei. “Yes, yes,” ujar Fajar, tanpa suara, mengepalkan tangan. “Hebat banget abang kamu. Pergerakannya, mantap, secepat kilat!” ucap Fajar. “Iya Bang!” jawab Fiki. Aara menyeringai. Dia tidak habis pikir. Ketiganya pun bersegera meninggalkan Man Art. “Kak Kei, enggak mau ikut bareng kami?” “Saya bawa kendaraan saja. Nanti jadi repot baliknya.” “Oke, Kak. Kita bertemu di sana ya? Kak Kei sudah tahu alamatnya kan?” “Iya, ini sudah dapat!” “Oke Kak.” Kondisi Aara tampak belum berubah. Suasana hatinya masih belum bisa menyatu dengan keadaan yang terjadi saat ini. “Ra, sudah deh! Kalau kamu seperti ini, kulit wajah kamu it
Waktu terus bergulir dan masuk bulan pertama, sejak bisnis katering ibunda Aara diperkenalkan melalui media sosial.“Gimana perkembangan katering ibunda Aara, Kei?” tanya Fajar.“Alhamdulillah, perkembangannya pesat sekali. Sekarang followernya sudah masuk lima puluh ribu akun.”“Wow, hebat banget. Baru sebulan dimulai, sudah punya pengikut sebanyak itu.”“Alhamdulillah. Ini berkat bantuan Hendri dan Fiki juga. Mereka yang selalu memberikan respons cepat di instagram.”“Ternyata, inilah hikmah, Hendri dan Fiki bergabung dengan kita di sini. Pelahan, kantor ini mulai beranjak. Semoga hari esok semakin baik dan lebih baik.”“Amin.”“Pelanggan untuk desain feed instagram bagaimana?”“Alhamdulillah, sampai saat ini sudah sepuluh akun yang kita kelola. Lima di pegang Fiki dan sisanya oleh He
“Kak, yang Citra butuh, hanya keberanian Kak Fajar. Citra juga tidak punya lagi alasan untuk menolak setiap lamaran yang datang. Citra merasa bersalah pada papa dan mama.” “Cit. Saya tidak tahu harus menjelaskan apa lagi. Karena kamu lihat, kondisi kami masih sama. Saya sulit, menemukan kalimat, agar bisa membuatmu paham, Dik.” “Kak Fajar serius kan, sama Citra?” “Iya.” “Ya itu. Citra hanya ingin bukti dari kata serius itu! Citra hanya minta, Kak Fajar datang menemui kedua orang tua Citra.” “Tapi tidak semudah itu Dik,” ungkap Fajar, dengan suara bergetar. “Bulan depan, saya sudah janji, Kak Fajar akan datang menemui orang tua Citra. Semua sekarang tergantung Kak Fajar.” “Tapi Cit—“ “Kami pamit Kak. Assalamu’alaykum.” “Wa’alaykumussalam,” jawab Fajar. Air matanya menetes. Dia melihat langkah Citra menjauh, dengan mata yang menampung ribuan harapan. Jutaan mimpi, yang mungkin han
“Jar, ayo!” suara Kei, melegakan Fajar. Alhamdulillah. Susan berdiri dan berlalu. “Kak Susan kenapa? Dia ngomong apa?” tanya Kei. “Astagfirullah. Aku merasa jantungku akan copot. Gara-gara kamu!” ungkap Fajar. “Ada apa?” “Bisa enggak, kamu jatuh cinta, enggak usah repotin orang lain?” “Apa sih?” “Ibu kamu, kak Susan, semua bertanya. Kei jatuh cinta ya?” sebut Fajar, dongkol. “Itulah yang kadang membuat aku risih. Belum apa-apa sudah pada ribut begini!” ujar Kei. “Bagaimana tidak ribut? Ini seperti hujan deras, yang tiba-tiba hadir setelah musim kemarau yang panjang.” “Maaf ya Jar,” tutur Kei. “Aku bahagia kok, Kei. Kamu bahagia, aku pun bahagia.” “Terima kasih,” jawab Kei, tersenyum. Keduanya meninggalkan rumah Kei, kembali ke kantor. *** Di Kampus Tampak Aara dan Citra, sedang berbicara serius, di ruangan meeting, yang s
Warung Soto Mas Tomo, pukul delapan malam. “Boleh saya bertanya, Kak?” ujar Aara memulai percakapan. “Iya, silakan!” jawab Kei. “Kak Kei, sudah punya modal apa, untuk taaruf?” Citra melotot ke arah Aara. Dia terkejut, dengan pertanyaan Aara. Fajar dan Kei pun demikian, mereka saling bertatapan. “Maksud Aara?” tanya Kei, memperjelas. “Begini Kak! Saya coba sederhanakan. Taaruf bagi saya itu, ibarat ujian naik kelas. Jika ujian berhasil, maka saya akan naik kelas. Demikian pula dengan taaruf. Jika taaruf berhasil, maka saya akan memutuskan ke jenjang pernikahan. Jadi, untuk menghadapi ujian, jelas saya harus mempersiapkan diri, sehingga bisa naik kelas. Kak Kei bisa paham, maksud saya?” “Iya Ra, aku paham.” Kei, Kei. Aku sudah peringatkan kamu. Wanita ini, akan membuatmu, semakin sulit! batin Fajar. Ya Allah, mengapa Aara demikian memperumit cerita ini?
Kei menerima surat itu, dia lantas membuka dan membacanya. Assalamu’alaykum Kei. Aku ucapkan selamat ya, pagi ini, kamu akan mengucap janji suci di hadapan Allah. Bersama wanita yang sangat kamu cintai. Tapi sayang, juga sangat aku cintai. Aku mohon maaf, aku bukan saudara yang baik. Aku tidak bisa hadir, di acara berbahagiamu. Kamu tahu kan Kei, aku sangat mencintai Aara. Aku takut, cintaku tidak sanggup, melihatmu bersamanya. Jeda. Kei, menghapus bulir air mata, yang membasahi pipinya. Dia begitu sangat bahagia, namun bersedih hati. Dia bisa menemukan cintanya, tetapi kehilangan saudaranya. Biarlah aku pergi, tanpa melukai cinta ini. Aku sangat mencintai Aara, tetapi aku sangat menyayangimu, sebagai saudaraku. Jaga Aara ya, Kei. Jaga dia. Dia wanita sangat istimewa. Aku mengalah, karena kamu lebih pantas untuknya, dibanding aku. Kei, aku amanahkan perusahaan kepada kamu ya. Aku telah meminta papa, m
Kehidupan selalu berjalan seimbang. Di tengah duka, akan selalu hadir tawa. Di tengah kebahagiaan Haikal, segera melamar wanita idamannya. Ada hati pria lain, yang sangat hancur. Keluar dari rumah sakit, kehidupan Kei, terus berjalan, namun tanpa ada lagi harapan. Tatapannya selalu kosong. Duka itu pun sampai kepada sahabatnya dan juga pada ibundanya. Mereka terus berupaya, mencari jalan, untuk bisa menguatkan dan membantu Kei, bisa melewati fase terberatnya ini. Tiba di rumah, Kei masih bersama diamnya. Sedang, sore ini adalah hari lamaran Haikal. Fajar terus hadir, mendampingi sahabatnya itu. Kasih sayang itu tampak jelas, sudah lebih dari sebuah persaudaraan biasa. “Maksud kamu, Kei?” Fajar tersentak dengan ucapan Kei tak lama setelah tiba di rumah. “Kamu enggak usah sembunyikan lagi, Jar. Aku sudah tahu semuanya.” Fajar salah tingkah. “Kita akan ke rumah Aara, kan?” Fajar kembali salah tingkah. “Kamu tidak
“Nanti, aku bertemu dengan kak Haikal saja. Untuk kak Kei, bisa melalui telepon saja,” sambung Aara. “Aara! Kamu ini kenapa?” Citra mulai kesal dengan semua kalimat yang disampaikan Aara. “Kenapa?” “Kak Kei yang banyak berjuang untuk kamu, mengapa malah perhatian kamu, lebih besar ke kak Haikal?” “Kan selama ini, memang komunikasi dengan kak Kei, enggak pernah langsung, Cit. Sedang kak Haikal, sejak awal, memang kita selalu bertemu langsung.” “Aku mulai merasa, hatimu lebih terpaut pada kak Haikal.” “Kamu keliru Cit.” “Keliru apanya? Jelas sekali, perlakukan kamu berbeda. Kamu tidak pernah menjaga perasaan kak Kei. Apakah karena kak Haikal lebih mapan?” “Citra! Maksud kalimat kamu, apa?!” Berbalik, Aara sedikit emosional mendengar tuduhan Citra. “Ya, itu pikiran aku saja. Karena kamu lebih memperioritaskan semua tentang kak Haikal, sedang hal berbeda kamu tunjukkan ke kak Kei. Padahal dia sudah
Aara menghela napas. Dia syok, tertekan, bingung. “Kemudian?” “Aku tidak sadar, menatap kak Fajar, membuatku mengabaikan kak Rahmat. Aku tidak fokus, terhadap semua apa yang beliau ucapkan.” “Kak Fajar tahu keberadaanmu?” “Kayaknya enggak, karena dia bersama beberapa temannya.” “Jadi, apa yang terjadi?” “Kak Rahmat menyadari perubahan sikapku. Dia bertanya. Siapa kak Fajar, apakah aku kenal?” “Ya Allah. Citra, Citra….” “Aku tidak bisa bohong, Ra. Makanya aku katakan yang sebenarnya.” “Tanggapannya?” “Cit. Kamu tahu kan, aku sangat mencitaimu. Sangat mengharapkanmu, jadi pendamping hidupku sehidup sesurga. Tapi, aku merasa hari ini, aku tidak pantas untuk itu. Beberapa tahun kita saling kenal, aku tidak pernah melihat sinar mata itu, ada untuk aku. Apakah aku sanggup, menyakiti hati seseorang yang sangat aku cintai, dengan memaksanya mencintaiku? Kita tidak lama lagi akan menikah, te
Beberapa saat kemudian, Haikal pamit. “Sin, kamu lihat? Kalau seperti ini, aku semakin tidak enak dan berutang budi kepada mereka. Bagaimana jika Aara menolak Haikal?” “Keluarga mas Harun, keluarga yang tulus, Mas. InsyaaAllah, mereka bisa menghargai semua keputusan Aara. Karena Aara sudah dewasa. Kita tidak mungkin mencampuri keputusannya. Mas kan tahu, bagaimana karakter Aara. Hubungan Mas dan Aara pun, belum membaik. Sinta khawatir, jika kita terlalu jauh masuk ke dalam persoalan Haikal dan Aara, Aara semakin menjaga jarak dari kita.” “Aku merasa persoalan ini begitu rumit. Mengapa Haikal harus jatuh hati pada Aara. Kekhawatiranku terlalu besar, hal ini akan mempengaruhi hubungan baik kita dengan keluarga Harun.” “InsyaaAllah, Mas. Sinta yakin, Aara akan mengambil keputusan terbaik.” “Amin.” *** Tiba di kantor, Kei dikejutkan dengan kehadiran Fajar, di ruangannya. “Pak Fajar Bimantara? Kamu udah balik?”
“Fajar menitip salam untuk kamu. Dia lagi dapat tugas, mendampingi CEO ke London. Besok atau lusa udah balik!” Citra hanya tersenyum. Dia bingung, menyusun kalimat. Kadang rindu, tidak bisa terwakilkan dengan bahasa apapun. Beberapa menit berlalu. Kei pamit, dan meninggalkan warung soto Mas Tomo. “Cit?” “Iya Ra.” “Aku bingung. Sebenarnya bagaimana hubungan kalian?” Citra terpaku. “Kak Rahmat, Pak Restu? Kamu terlalu banyak fans, aku jadi pusing!” sambung Aara. Citra tersenyum. “Ra, sebanyak apapun orang yang datang dalam hidup kita, hati akan tetap terpaut pada cinta. Sejauh apapun kita melangkah, sejauh apapun jarak tercipta, cinta itu tetap akan berada di tempatnya.” “Aku semakin bingung dengan kalimat kamu. Bukannya tanggal pernikahan kamu dan kak Rahmat sudah ditentukan?” Citra hanya tersenyum. Aara menggeleng, tidak mengerti sikap sahabatnya itu. “Ra
Citra berdiri dan melangkah setengah hati menemui Aara, di dalam kamar. Dia merasakan suasana pagi ini, sangat tidak mengenakkan. Semua pikiran negatif, sudah berkecamuk dalam kepalanya. Dia terus bertanya, tujuan Haikal menemui Aara. “Citra?” Aara terkejut, melihat kehadiran Citra. “Iya!” “Kamu sudah dari tadi?” “Iya, aku ngobrol di depan, dengan tante Sinta.” “Kamu kenapa? Kok mukanya panik gitu?” “Ra, ayo keluar. Ada tamu untuk kamu?” “Tamu?” “Iya, Haikal anaknya om Harun.” “Yang di rumah sakit itu?” Aara memperjelas. “Iya. Ayo cepat! Dia udah dari tadi lho.” “Ada urusan apa?” “Mana aku tahu? Ayolah! Enggak enak ditungguin!” Masih dengan kebingungannya, Aara mengganti pakaiannya dan menemui Haikal di ruang tamu. Citra tetap bersamanya. “Assalamu’alaykum,” sapa Haikal, ramah. “Wa’alaykumussalam,” jawab Aara, tersenyum. Aara dan Citra, duduk di depan Hai
Malam kian larut. Fajar telah menyusul Fiki dan Hendri beristirahat. Kei masih duduk termenung sendiri, di meja kerjanya. Cinta? Mengapa kamu begitu rumit? Kamu datang begitu saja, tanpa kuminta. Setelah dekat, kamu malah menyiksaku, dalam rindu tak berkesudahan. Menyiksaku dalam jarak, yang tak mampu kutempuh. Beberapa menit dalam keheningan, Kei tertidur di meja kerjanya. Lelah tak berujung, tampak jelas di wajahnya. Sang pencinta yang sedang dilanda badai keraguan dan ketidak-berdayaan. Pukul dua malam, Kei terbangun. Dia baru sadar, dia masih di meja kerjanya. Setelah menenangkan dirinya, dia beranjak menuju kamar mandi. Lantas, dia mengambil sajadah di lantai dua. Tampak, dia akan menunaikan salat. Ketiga rekannya, larut dalam tidur. Ya Allah, ya Tuhanku. Perjalanan ini benar-benar melelahkanku. Apakah memang ini, takdir dari-Mu? Perjalanan yang harus kutempuh, menuju-Mu? Ya Allah, ya
Aara berdiri, terpaku, di depan pintu. Tangan Citra kembali menariknya, masuk ke dalam kamar. “Aara?” suara pria itu, mengagetkan Aara. “Kamu dipanggil, kamu mendekat ke sana!” bisik Citra. Aara mengangkat alis. Dia bingung. Siapa sebenarnya orang yang sedang di rawat dan sangat mengenalnya. “Ibu? Bisa Ibu jelaskan?” “Ayah kamu, Ra.” “Apa?” Aara terkesiap. Ibundanya mengangguk. Aara menatap Citra. Tanpa menjawab, Aara berdiri dan melangkah menuju pintu. Namun, tangan Citra, dengan sigap menariknya, untuk tetap di tempatnya. Aara tampak menahan emosi. Wajahnya tegang. “Duduk, Ra. Duduk!” pinta Citra. Aara duduk, dengan ekspresi yang sama. Dia tidak menyangka, Citra akan melakukan sesuatu yang sangat dia benci. Dia kecewa, sahabatnya sendiri, menariknya ke dalam pertemuan, yang paling dihindarinya. Aara terpaku dan Citra tetap fokus di sampingnya, menahan tangannya. “Sin, terima kasih kamu sudah