Jeda beberapa saat. Kei melanjutkan, “Pertama kita bertemu dengan dia, bersama Citra di sini. Ke dua, di warung Mas Tomo. Tidak ada yang istimewa darinya. Yang aku lihat, hanya seorang wanita tanpa senyum, cuek. Tapi, dia berbeda di video tadi, Jar,” tutur Kei.
“Berbeda?”
“Saat berbicara, dia terlihat sangat istimewa. Dia cerdas, punya aura positif. Dan senyumannya itu, enggak tahu, tiba-tiba membuat jantungku, berdegup kencang. Aku seakan tidak bosan melihatnya terus berbicara, terus tersenyum. Senyumannya itu sungguh memesona, Jar.”
“MasyaaAllah, aku bahagia mendengarnya Kei. Ternyata kamu juga normal!” ujar Fajar, diiringi tawa.
Tanpa jawaban, Kei melempar pensil yang ada di dekatnya. Dongkol dengan ucapan Fajar. “Emangnya kamu pikir?!”
Fajar terkekeh. “Intinya aku bahagia Kei, kalau kamu bisa merasakan jatuh cinta. Agar aku juga bisa melihat kegilaanmu.”
&ld
“Kak Kei kapan ada waktu? Biar langsung, kami antar bertemu tante Sinta?” Dari jauh, tampak Fajar dan Fiki terus tersenyum dan mengangguk memberikan kode ke Kei. “Sekarang!” bisik Fajar. “Sekarang aku free, Cit,” jawab Kei. “Yes, yes,” ujar Fajar, tanpa suara, mengepalkan tangan. “Hebat banget abang kamu. Pergerakannya, mantap, secepat kilat!” ucap Fajar. “Iya Bang!” jawab Fiki. Aara menyeringai. Dia tidak habis pikir. Ketiganya pun bersegera meninggalkan Man Art. “Kak Kei, enggak mau ikut bareng kami?” “Saya bawa kendaraan saja. Nanti jadi repot baliknya.” “Oke, Kak. Kita bertemu di sana ya? Kak Kei sudah tahu alamatnya kan?” “Iya, ini sudah dapat!” “Oke Kak.” Kondisi Aara tampak belum berubah. Suasana hatinya masih belum bisa menyatu dengan keadaan yang terjadi saat ini. “Ra, sudah deh! Kalau kamu seperti ini, kulit wajah kamu it
Waktu terus bergulir dan masuk bulan pertama, sejak bisnis katering ibunda Aara diperkenalkan melalui media sosial.“Gimana perkembangan katering ibunda Aara, Kei?” tanya Fajar.“Alhamdulillah, perkembangannya pesat sekali. Sekarang followernya sudah masuk lima puluh ribu akun.”“Wow, hebat banget. Baru sebulan dimulai, sudah punya pengikut sebanyak itu.”“Alhamdulillah. Ini berkat bantuan Hendri dan Fiki juga. Mereka yang selalu memberikan respons cepat di instagram.”“Ternyata, inilah hikmah, Hendri dan Fiki bergabung dengan kita di sini. Pelahan, kantor ini mulai beranjak. Semoga hari esok semakin baik dan lebih baik.”“Amin.”“Pelanggan untuk desain feed instagram bagaimana?”“Alhamdulillah, sampai saat ini sudah sepuluh akun yang kita kelola. Lima di pegang Fiki dan sisanya oleh He
“Kak, yang Citra butuh, hanya keberanian Kak Fajar. Citra juga tidak punya lagi alasan untuk menolak setiap lamaran yang datang. Citra merasa bersalah pada papa dan mama.” “Cit. Saya tidak tahu harus menjelaskan apa lagi. Karena kamu lihat, kondisi kami masih sama. Saya sulit, menemukan kalimat, agar bisa membuatmu paham, Dik.” “Kak Fajar serius kan, sama Citra?” “Iya.” “Ya itu. Citra hanya ingin bukti dari kata serius itu! Citra hanya minta, Kak Fajar datang menemui kedua orang tua Citra.” “Tapi tidak semudah itu Dik,” ungkap Fajar, dengan suara bergetar. “Bulan depan, saya sudah janji, Kak Fajar akan datang menemui orang tua Citra. Semua sekarang tergantung Kak Fajar.” “Tapi Cit—“ “Kami pamit Kak. Assalamu’alaykum.” “Wa’alaykumussalam,” jawab Fajar. Air matanya menetes. Dia melihat langkah Citra menjauh, dengan mata yang menampung ribuan harapan. Jutaan mimpi, yang mungkin han
“Jar, ayo!” suara Kei, melegakan Fajar. Alhamdulillah. Susan berdiri dan berlalu. “Kak Susan kenapa? Dia ngomong apa?” tanya Kei. “Astagfirullah. Aku merasa jantungku akan copot. Gara-gara kamu!” ungkap Fajar. “Ada apa?” “Bisa enggak, kamu jatuh cinta, enggak usah repotin orang lain?” “Apa sih?” “Ibu kamu, kak Susan, semua bertanya. Kei jatuh cinta ya?” sebut Fajar, dongkol. “Itulah yang kadang membuat aku risih. Belum apa-apa sudah pada ribut begini!” ujar Kei. “Bagaimana tidak ribut? Ini seperti hujan deras, yang tiba-tiba hadir setelah musim kemarau yang panjang.” “Maaf ya Jar,” tutur Kei. “Aku bahagia kok, Kei. Kamu bahagia, aku pun bahagia.” “Terima kasih,” jawab Kei, tersenyum. Keduanya meninggalkan rumah Kei, kembali ke kantor. *** Di Kampus Tampak Aara dan Citra, sedang berbicara serius, di ruangan meeting, yang s
Warung Soto Mas Tomo, pukul delapan malam. “Boleh saya bertanya, Kak?” ujar Aara memulai percakapan. “Iya, silakan!” jawab Kei. “Kak Kei, sudah punya modal apa, untuk taaruf?” Citra melotot ke arah Aara. Dia terkejut, dengan pertanyaan Aara. Fajar dan Kei pun demikian, mereka saling bertatapan. “Maksud Aara?” tanya Kei, memperjelas. “Begini Kak! Saya coba sederhanakan. Taaruf bagi saya itu, ibarat ujian naik kelas. Jika ujian berhasil, maka saya akan naik kelas. Demikian pula dengan taaruf. Jika taaruf berhasil, maka saya akan memutuskan ke jenjang pernikahan. Jadi, untuk menghadapi ujian, jelas saya harus mempersiapkan diri, sehingga bisa naik kelas. Kak Kei bisa paham, maksud saya?” “Iya Ra, aku paham.” Kei, Kei. Aku sudah peringatkan kamu. Wanita ini, akan membuatmu, semakin sulit! batin Fajar. Ya Allah, mengapa Aara demikian memperumit cerita ini?
“Tante tahu banyak ya?” sambung Citra.“Kei sudah beberapa kali datang ke sini.”“Kei sering datang menemui Tante?”“Iya, tetapi kamu jangan bilang ke Aara. Nanti dia emosi lagi.”“Siap Tante. Terus gimana Tante?”“Sebenarnya setiap Kei ke sini, dia datang untuk mengambil gambar hasil masakan Tante. Katanya sebagai bahan untuk promosi.”“Jadi hanya mengambil gambar?”“Enggak juga. Tante sering ngobrol. Dia sering membantu Tante membersihkan alat-alat masak di dapur. Karena biasa, Ira harus ke kampus. Jadinya Tante harus mengurus sendiri.”Citra tertawa. “Wah, hebat banget ya, sih Kei, Tante. Sudah sampai ke dapur saja.”“Kan namanya membantu Tante. Terus, dia bantu Tante membawa semua pesanan ke tempat pelanggan.”“Cocok deh Tante. Kalau Tante sudah memberi restu, apa lagi?”&l
Setelah salat. “Bang, kami mau ngobrol, bisa?” tanya Fajar. “Boleh,” jawab Hari, mempersilahkan Kei dan Fajar, duduk tepat di hadapannya. “Ada apa ini?” tanya Hari, tersenyum. “Kei, sehat-sehat saja kan? Wajahnya pucat sekali.” “Alhamdulillah baik kok, Bang.” “Begini Bang, kami mau konsultasi sedikit nih. Tentang masalah Kei.” Fajar melanjutkan kalimatnya. “Masih masalah yang tempo hari?” tanya Hari. “Iya Bang,” jawab Fajar. “Memang ada apa?” “Ini Bang. Kei gelisah, galau. Dia bingung harus memulai dari mana.” “Galaunya kenapa? Bukannya sudah yakin, akan melanjutkan ikhtiarnya?” “Iya Bang. Aku bingung. Dan aku merasa enggak mampu, enggak sanggup,” ungkap Kei, dengan suara pelan. Hari tersenyum. “Sudah salat istikharah, kan?” “Iya, Bang.” “Petunjuk dari Allah, sudah ditemukan?” “Iya!” “Terus, kenapa masih ragu?”
Es kopi yang dihidangkan Fajar, tampak habis tak bersisa di gelas Haikal.“Oke! Kamu sudah duduk, es kopi pun sudah selesai kamu nikmati. Sekarang, jawab pertanyaan aku tadi!”Haikal tergelak. “Kei, Kei. Keenan Ramadhan. Kamu selalu bermasalah dengan kesabaran ya?”Kei tidak merespons.“Oke! Kemarin aku ke rumah, bertemu tante Mirna dan om Musa.”“Kamu mau apa lagi?” tanya Kei, dongkol. “Santai dong! Kamu jangan selalu emosi. Ini salah satu kelemahan kamu, Kei. Emosional, terlalu egois, sombong!”Fajar menatap Kei. Dia khawatir, emosi Kei akan terpancing dengan semua ucapan Haikal.Astagfirullah, batin Kei.Kei menghela napas. “Oke! Silahkan, kamu sampaikan apa kepentinganmu, datang ke sini?”Fajar tersenyum. Dia lega. Kei bisa mengendalikan emosi.Emosi yang bertahun-tahun, kadang tidak bisa dia kontrol. Emosi yang selalu siap menampar, siapapun.“Kei. Aku saudaramu. Belajarlah sediki