Siapa bilang perjalanan jadi dokter itu enak? Apalagi jika kedua orang tua mu bukan dokter. Elsa Belvania Setiawan membuktikannya, bahwa perjuangan untuk bisa memperoleh gelar dokter di depan namanya itu berkali-kali lipat lebih susah dari perjuangan memperoleh gelar lainnya. Terlebih ketika di masa kepeniteraan kliniknya, ia dengan begitu sial harus berurusan dengan William Kendra Wijaya, residen obsgyn tempat ia menjalani stase kebidanan di awal masa ia menjalani pendidikan kepaniteraan klinik. Calon dokter berdarah muggle melawan calon dokter spesialis full blood? Apa yang kemudian terjadi di antara mereka? Cover by : Reistyaa
Lihat lebih banyakElsa berlari terburu-buru setelah memarkirkan motornya di halaman parkir rumah sakit. Hari ini hari pertama dia koasisten, dan ia hampir terlambat.
Kau tahu apa itu koasisten? Koasisten adalah pendidikan klinik atau kepaniteraan klinik sebutannya, yang wajib dilakukan oleh para sarjana kedokteran guna kemudian bisa mendapatkan gelar dokternya. Koasisten biasanya satu setengah tahun atau sampai dua tahun lamanya, tergantung individu masing-masing. Dan sekarang, selepas mendapatkan gelar sarjana kedokterannya sebulan yang lalu, kini Elsa tengah menjalani pendidikan kepaniteraan klinik di sebuah RSUD paling besar di kota kelahirannya itu.
Menjadi dokter adalah cita-cita Elsa sejak kecil. Meskipun kondisi ekonomi keluarganya pas-pasan, tetapi Elsa bisa sukses masuk fakultas kedokteran universitas negeri di kota Solo dan bisa tetap lanjut berkuliah dengan modal beasiswa karena kecerdasannya. Dan inilah dia sekarang, menjadi dokter muda, calon dokter seperti cita-citanya.
Elsa terus berlari hingga di pintu masuk rumah sakit ia menabrak sosok dengan kemeja biru dan celana bahan itu.
"Heh, jalan pakai mata dong!" bentak laki-laki itu sambil menatap tajam ke arah Elsa.
"Bukannya situ juga nggak pakai mata? Jalan sambil mainan handphone!" salak Elsa galak, sosok itu terlihat makin kesal dan membelalakkan matanya, ia kemudian memasukkan iPhone miliknya ke dalam saku.
"Nggak diajari sopan-santun sama orang tua?" Sosok itu mendekat ke arah Elsa, matanya masih melotot tajam.
"Diajari, tapi aku juga diajari bagaimana caranya membela diri kalau berhadapan dengan orang menyebalkan macam kamu!"
Sosok itu tersenyum sinis, "Aku menyebalkan? Ngaca, kamu lebih menyebalkan, camkan itu!"
Sosok itu kembali menyeringai lalu berbalik dan meninggalkan Elsa seorang diri di depan pintu. Elsa hendak berteriak memaki laki-laki itu ketika sadar ia sudah ditunggu.
"Mampus, makin telat! Dasar laki-laki menyebalkan!" Elsa kembali berlari menuju ruangan yang sudah di kirim lokasinya oleh Yeyen. Hari pertama dan sudah hampir telat? Astaga, sungguh awalan yang buruk.
Elsa dengan nafas tersengal-sengal berhenti di depan pintu besar itu, ia mencoba menetralkan nafasnya sejenak, kemudian menekan knop pintu dan masuk ke dalam.
Klekk
Ruangan itu hampir penuh dengan teman-teman satu angkatannya, sebagian dari mereka di rolling ke rumah sakit pendidikan yang kampus miliki, RSUD lain dan beberapa rumah sakit yang bekerja sama dengan kampus mereka. Elsa menghela nafas panjang, kemudian melangkah dan duduk di bangku yang tersisa, yang sialnya ada di barisan paling depan.
"Kamu kemana aja sih, Sa? Untung dokter Burhan belum datang, kalau datang habis kau, hari pertama sudah telat!" Renita berbisik di telinga Elsa, membuat Elsa kembali menghela nafas panjang.
"Kesiangan, kemarin nggak bisa tidur," balas Elsa setengah berbisik.
"Ahh ... Kebiasaan, mumpung belum koas dipuas-puasin lah tidurnya, ntar koas mana sempat kita tidur," Renita mencibir, tepat saat yang bersamaan, pintu masuk kembali terbuka. Terdengar suara langkah sepatu yang begitu tegas beradu dengan lantai itu.
"Selamat pagi, mohon maaf acara hari ini sedikit terlambat," suara itu begitu tegas dan terdengar begitu berwibawa.
"Pagi," semua kompak menjawab, Elsa yang tengah men-silent iPhone sontak mengangkat wajahnya dan terkejut luar biasa melihat siapa yang ikut masuk bersama dengan sosok berkaca mata dan ber-snelli lengan panjang.
Elsa melongo, sosok itu kini ikut mengenakan snelli lengan panjang. Tampak sosok itu tersenyum sinis ketika menatap Elsa yang mulutnya menggangga saking terkejutnya. Jadi dia dokter juga? Dokter di sini? Dokter apa dia?
Jantung Elsa rasanya hendak lepas, sebuah kesialan yang tidak bisa dia hindari jika memang dia adalah salah seorang dokter yang dinas di sini.
"Baik, perkenalkan saya Burhanuddin Septiandi, kebetulan saya yang dipercaya untuk menjabat sebagai direktur utama di RSUD ini, dan yang berdiri di samping saya ini adalah salah satu residen saya, yang nantinya akan membantu adik-adik semua selama masa kepaniteraan klinik."
'Mampus, dokter residen?' keringat dingin langsung mengucur di dahi Elsa. Petaka! Ini petaka! Baru hari pengenalan dan hari ini Elsa sudah cari ribut dengan dokter residen di rumah sakit ini?
"Selamat pagi semuanya, perkenalkan saya Wiliam Kendra Wijaya, saya kebetulan salah satu residen obsgyn. Nanti yang dapat jatah stase obsgyn berarti ada di bawah bimbingan saya dan dokter Burhan."
Tidak ada senyum di wajah itu, wajahnya benar-benar datar dan terkesan angkuh, namun kenapa itu malah membuat setiap mata yang menatapnya malah terbius dengan begitu luar biasa?
Elsa menelan saliva-nya, stase obsgyn terkenal tidak pernah ramah pada koas wanita. Para bidan, bidan magang, bahkan perawatnya terkenal tidak pernah ramah dan welcome pada koas wanita, terlebih jika koasnya good looking, cantik dan banyak disukai dokter senior. Dan sekarang, stase obsgyn yang dalam bayangannya sudah begitu mengerikan itu akan makin mengerikan dengan residen seperti William? Yang benar saja!
Elsa sontak memijit keningnya dengan gemas, bagaimana nasibnya nanti? Semoga ia dapat jatah terakhir stase itu.
Sepanjang acara pengenalan dan briefing, Elsa benar-benar risau setengah mati, ia tidak fokus dengan penjelasan-penjelasan yang dipaparkan dokter Burhan dan beberapa kepala bagian rumah sakit. Matanya tertuju pada sosok itu yang sejak tadi menatapnya dengan seringai tajam. Membuat Elsa makin tidak enak hati dan takut setengah mati.
Sorot mata itu sangat tidak bersahabat, begitu angkuh dan dingin. Apa yang hendak dilakukan laki-laki itu pada Elsa? Elsa menghela nafas panjang, keringatnya sudah mengucur deras. Rasanya ia ingin lari pulang dan banting setir melamar kerja di bank saja!
Tapi cita-citanya ingin menjadi dokter, bukan banker! Elsa makin tidak karu-karuan, perutnya mendadak mulas, ya Tuhan, kenapa masa koasnya jadi begitu horor macam ini?
***
"Hai Nona pembela diri, selamat datang di stase obsgyn," sosok itu tersenyum sinis, matanya tidak henti menatap Elsa dengan tatapan tajam.
"Sa-saya minta maaf dokter Wi-,"
"Panggil saya Ken, dokter Ken!" ralat sosok itu dengan suara yang ditekan.
Elsa mendengus, iya-iya ... Elsa tahu kalau dia sudah menjadi dokter, bahkan hampir dokter spesialis, jadi tidak perlu ditekan kan seperti itu lagi posisi Elsa sekarang hanya sebagai keset rumah sakit selama dia menjalani kepaniteraan klinik.
"Ma-maaf dokter Ken, saya tidak bermaksud ...."
"Saya bukan tipe orang yang mudah memberi maaf pada orang, terlebih jika orang itu sudah kurang ajar pada saya!" kembali sosok itu memotong kalimat Elsa, membuat Elsa makin kesal setengah mata pada dokter residen itu.
"Ikut saya ke ruang residen, saja jelaskan apa yang harus kamu lakukan supaya bisa mendapatkan maaf dari saya, paham?"
Sosok itu membalikkan badannya, membuat Elsa sontak misuh-misuh dalam hati, kenapa harus stase obsgyn yang harus ia jalani di awal kepaniteraan klinik nya? Kenapa bukan stase lain? Kenapa dari sekian banyak stase harus obsgyn yang pertama harus Elsa jalani?
Dengan lunglai Elsa melangkah mengikuti dokter Ken pergi ke ruang residen. Teman-teman satu grup di stase obsgyn hanya menatap heran kepergian keduanya. Apa yang sudah terjadi? Elsa bikin kesalahan apa sampai-sampai dokter residen itu hendak menghukumnya?
"Kenapa sih? Ada masalah apa Elsa sama residen ganteng itu?" tanya Gilang pada Renita yang tadi duduk bersebelahan dengan Elsa.
"Entah, aku juga nggak tahu." Renita mengangkat bahunya sambil menatap teman-teman dengan bingung.
"Daebak bener anak itu, baru hari pertama sudah bikin gara-gara?"
"Mending kalau dia full blood, Elsa bukan full blood dan dia sudah cari masalah sama residen?" Angela menatap trenyuh Elsa yang melangkah sambil menundukkan kepala itu.
Semua hanya saling pandang dan kompak menghela nafas panjang, selesai koas tepat waktu, ikut UKMPPD dan lolos adalah target mereka saat ini, tanpa hal-hal itu mereka tidak bisa mendapatkan gelar dokternya, tidak sampai kapanpun.
***
"Duduk!" titah Ken tegas dan dingin pada Elsa yang tidak berani mengangkat wajahnya itu.
Elsa tidak membantah, tidak berkata-kata apapun. Apa yang hendak dokter residen itu lakukan kepadanya?
"Kenapa cuma diam? Sini angkat wajah kamu dan liat saya!" suara itu begitu dingin dan menusuk, membuat Elsa perlahan-lahan mengangkat wajahnya dan menatap sorot mata tajam itu.
"Hah, sekarang saja lembek! Mana garang mu tadi? Yang katanya membela diri?" sindir Ken pedas, membuat mata Elsa memerah.
"Saya minta maaf, Dokter."
Hanya itu yang bisa Elsa katakan, kamus wajib para koas yang harus selalu diingat adalah ; maaf Dok, baik Dok, terima kasih, Dok, intinya seperti itu lah. Membantah apalagi melawan? Sudah dipastikan koas itu akan habis, apalagi jika dia bukan berasal dari keturunan dokter darah biru, sebutan untuk dokter yang berasal dari keluarga dokter, bapak-ibu atau bahkan kakek dan neneknya dokter juga.
"Saya akan kasih kamu hukuman, siap?" Ken kembali bersuara, sorot mata itu masih begitu tajam.
Elsa menelan saliva-nya dengan susah payah, "Si-siap, Dokter."
"Bagus!" Ia bergegas bangkit, melangkah dengan tegap mendekati Elsa yang makin tidak nyaman di tempatnya duduk.
"Selama koas di stase ini, kamu harus jadi assiten pribadi saya. Saya butuh jurnal ya tolong carikan, butuh terjemahan ya tolong terjemahkan. Misal saya butuh bantuan bersih-bersih apartemen saya, ya kamu datang. Siap?"
Elsa sontak melotot, gila apa! Ia kesini guna mendapatkan gelar dokter, bukan malah jadi pembantu residen macam ini! Namun mau bagaimana lagi? Daripada masa koasnya dipersulit residen satu ini, dia bisa apa?
"Baik, Dokter!"
"Bagus! Sini nomor handphone kamu, kalau saya waktu-waktu butuh kamu jadi bisa gampang hubunginya!" Ken menyodorkan iPhone-nya, Elsa menatapnya sekilas, lalu menerima ponsel itu dan mengetikkan nomor Wh*tsApp miliknya ke dalam ponsel residen songgong itu.
Setelah selesai ia kembali menyodorkan ponsel itu kembali pada sang pemilik.
"Siapa namamu?"
"Elsa, Dokter."
"Nama lengkap?" Ken mengangkat wajahnya, kembali menatap Elsa dengan seksama. Sorot mata itu masih begitu tajam.
"Elsa Belvania Setiawan, Dokter."
Ken mengetikkan nama itu dan menyimpan kontak itu di iPhone-nya. Setelah memasukkan ponsel itu ke dalam saku snelli-nya, Ken kembali menatap Elsa dengan seksama.
"Pulang nanti saya ikut dokter Hendratmo sectio caesarea, kamu wajib ikut asistensi, paham?"
"Paham, Dok." Hanya itu yang bisa Elsa jawab, memang mau apa lagi? Menolak? Membantah? Gila apa!
"Bagus, saya tunggu di OK!" Ken kembali duduk di kursinya, "Kamu bisa kembali ke ruang koas, silahkan!"
"Baik, terima kasih banyak, Dok."
Elsa bergegas bangkit, ia melangkah keluar dengan sedikit terburu dari ruangan itu, begitu sampai di luar air matanya sontak menitik, kenapa harus seperti ini masa koasistenya?
Ken menatap nanar pemandangan yang ada di depannya itu. Ini hari terakhir dia berada di ruangan ini. Setelah deretan pemeriksaan psikologis yang harus dia lalui, akhirnya ia lulus juga keluar dari klinik ini.Gilbert menepati janjinya. Membantu Ken sembuh sebagai permohonan maaf atas apa yang dulu dia dan Jessica lakukan. Sebuah tindakan yang lantas membuat Ken harus bertubi-tubi mengalami hal-hal tidak mengenakkan yang membuat Ken hampir kehilangan kewarasannya.Ken menghela nafas panjang, bunyi ponsel beruntun itu membuat dia sontak menoleh dan meraih benda itu. Senyum Ken merekah begitu tahu siapa yang mengirimkan dia pesan.Mama BellaItu nama yang Ken berikan untuk nomor itu. Nomor yang tak lain dan tak bukan adalah nomor milik Elsa.Tidak salah kan, Ken memberinya nama itu? Elsa memang ibu dari anaknya, anak yang harus lahir karena kegilaan Ken di masa lalu.Ken segera membuka kunci layar ponselnya, senyumnya ma
Elsa yang tengah menulis status pasien itu melonjak kaget mendengar dering ponselnya. Elsa menatap pasiennya, yang mana langsung dibalas anggukan kepala sang pasien yang paham bahwa dokter yang tengah mengunjunginya ini harus menerima telepon.Elsa tersenyum, segera merogoh ponselnya dan sedikit bingung dengan nomor asing yang menghubunginya ini. Nomor siapa? Mantan pasien? Salah seorang anak koas? Atau siapa?"Mohon maaf saya izin sebentar, Ibu."Kembali pasien itu mengangguk, "Silahkan, Dokter."Elsa sontak melangkah keluar, tidak sopan dan tidak nyaman rasanya mengangkat panggilan di ruangan itu. Ada dua orang pasien yang harus beristirahat di sana, tentu obrolannya akan menganggu, bukan?"Halo?" sapa Elsa begitu ia sudah berada di luar kamar inap pasien."Sa, maaf kalau aku menganggu mu. Hanya memastikan bahwa nomor kamu aktif, sudah aku simpan."Suara itu... ini suara Ken! Jadi ini nomor Ken? Elsa mendadak
"Kamu serius, Ken?" Darmawan duduk di depan Ken, menatap putranya itu dengan penuh air mata.Ken tersenyum, menghela nafas panjang lantas mengangguk guna menekankan bahwa apa yang tadi mereka bicarakan adalah serius, Ken tidak main-main."Ken sangat serius, Pa. Dia pantas dan layak dapat yang lebih baik. Dia berhak bahagia, Pa."Darmawan tersenyum getir, "Lantas bagaimana denganmu, Ken?""Papa jangan khawatirkan Ken, Pa. Ken baik-baik saja. Tolong kali ini hargai keputusan Ken, Pa. Biarkan Ken memilih sendiri jalan hidup yang hendak Ken ambil."Darmawan menepuk pundak Ken, tentu! Darmawan tidak ingin Ken kembali terperosok begitu jauh karena ulahnya. Dapat dia lihat bahwa Ken begitu menderita selama ini dan semua ini gara-gara Darmawan yang tidak mau mendengarkan apa yang putranya ini inginkan.Ken tidak hanya kehilangan gadis yang dia cintai, tetapi juga anak mereka. Sejenak Darmawan bersyukur jiwa Ken masih bisa diselamat
Tania tersenyum, sekali lagi –entah sudah yang keberapa kali, ia menyeka air matanya dengan jemari. Sosok itu masih menggenggam erat tangannya, dan dia juga tidak berniat menyingkirkan atau melepaskan tangan itu. Ia ingin menikmati momen ini, yang mana mungkin akan menjadi momen terakhir mereka begitu dekat macam ini.“Aku benar-benar minta maaf, Tan. Maaf aku hanya hadir untuk menyakitmu. Aku lakukan ini agar aku tidak lagi menyakitimu.” Desis Ken lirih, mungkin ini kejam, tapi Ken takut dengan tetap bersatunya mereka malah hanya akan menyakiti Tania makin dalam.“It`s okay, Ken. Aku mengerti.” Tania menghirup udara banyak-banyak, sungguh dadanya sangat sesak sekali.“Biar nanti aku yang ketemu papa, biar aku yang bilang semua sama papa. Aku siap dengan segala resikonya, Tan.”“Untuk itu, tunda lah dulu, Ken. Fokus pada kondisimu, setelah semuanya beres, baru kita bicarakan perihal ini kedepan mau bagaimana
Sungguh, setelah kedatangan dua orang tadi, hati Ken menjadi lebih tenang. Pikirannya lebih jernih. Seolah-olah semua beban yang dia pikul selama ini melebur sudah. Dan jangan lupakan obat-obatan yang diresepkan Gilbert untuknya, konseling yang selalu Gilbert lakukan untuk perlahan-lahan menyembuhkan dirinya, semua bekerja sangat baik. Ternyata benar, ikhlas adalah kunci dari semua masalah Ken. Ken hendak memejamkan matanya ketika pintu kamarnya terbuka. Ia mengerutkan kening seraya melirik jam dinding yang tergantung di tembok. Pukul delapan malam, siapa lagi yang hendak mengunjungi dirinya? Sosok itu muncul dari balik pintu, tersenyum dengan wajah yang nampak lelah. Dia lantas melangkah mendekati ranjang Ken, duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Ken dan meletakkan bungkusan yang dia bawa di nakas meja. “Maaf, aku baru bisa mengunjungimu.” Gumamnya lirih. “Nothing, Tan. Aku tahu kamu sibuk, aku tidak mempermasalahkannya.” Tania
“Kalian bicara apa, tadi?” tanya Elsa ketika dia sudah berada di dalam mobil bersama sang suami.Yosua tersenyum, membawa mobil itu bergegas pergi dari halaman klinik milik psikiater itu. Tampak isterinya itu begitu penasaran, membuat Yosua sengaja tidak menjawab apa yang sang isteri tanyakan kepadanya.“Kamu ingin tahu saja atau ingin tahu banget?” goda Yosua yang langsung mendapat gebukan gemas dari sang isteri.“Serius, Bang! Kalian nggak baku hantam lagi, kan?”Hanya itu yang Elsa khawatirkan. Mereka macam kucing dan tikus, setiap bertemu pasti baku hantam. Terlebih dengan kondisi Ken yang seperti itu, dia sangat tidak stabil emosinya, membuat Elsa khawatir laki-laki itu kembali nekat dan perkelahian itu kembali terjadi.“Apakah aku nampak seperti orang yang habis terlibat baku hantam?”Elsa kembali menatap wajah itu, memang tidak nampak, tapi tidak ada salahnya kan kalau Elsa menanyakan ha
"Aku harap kamu cepat pulih, cepat pulang. Pasien kamu pasti udah kangen."Ken mengangkat wajahnya, menatap Elsa yang tersenyum begitu manis di hadapannya. Senyumnya ikut tersungging, ia lantas mengembalikan ponsel itu pada sang pemilik."Boleh tinggalkan nomor ponselmu di kertas? Ponselku hancur kemarin."Elsa mengangguk perlahan. Tentu, sesuai kesepakatan panjang lebar yang sudah mereka bicarakan tadi, tentu kedepannya dia dan Ken perlu banyak berkomunikasi guna membahas perihal Bella."Mana kertas? Akan aku tulis."Ken bangkit melangkah ke nakas yang ada di sebelah ranjangnya. Meraih selembar kertas dan pulpen yang langsung dia serahkan pada Elsa. Tampak Elsa langsung menuliskan dua belas digit nomor ponselnya di kertas itu, lalu menyerahkannya kembali pada Ken."Aku pamit, sudah terlalu lama aku di sini dan aku rasa kamu perlu istirahat, bukan?" Elsa meletakkan plastik yang dia bawa di meja, bangkit dan bersiap melangka
Ken menatap nanar sosok itu, sedetik kemudian ia menghambur memeluknya, mendekap erat tubuh yang selama dua tahun ini begitu dia rindukan.Tubuh ini masih begitu hangat, yang mana artinya ini asli, bukan fatamorgana atau ilusi semata. Ini benar sosok yang begitu Ken rindukan! Ini Elsa-nya.Ken terisak, membuat Elsa menepuk punggung laki-laki itu dan membawanya menuju sofa yang ada di sana. Mendudukkan laki-laki itu dan melepaskan pelukan itu."Sa, aku benar-benar minta maaf atas kejadian kemarin. Kamu nggak apa-apa, kan?" Tanya Ken dengan cucuran air mata.Elsa tersenyum, ia hanya mengangguk pelan dan menatap lurus ke dalam mata itu. Ada setitik perasaan iba dalam hati Elsa, namun ia sudah bertekad bahwa hubungan mereka memang sudah cukup sampai di sini, ada orang lain yang Elsa prioritaskan dan sekarang orang itu bukan Ken!"Sa... Please aku mohon, ceraikan dia! Menikah sama aku, mau kan?" Ken meraih tangan Elsa, meng
"Temui saja dia, kalian perlu bicara baik-baik empat mata."Elsa yang tengah menyeruput minuman collagen sontak terbatuk-batuk, Yosua hanya melirik sekilas, meraih cangkir kopi dan menyesapnya perlahan-lahan."Abang serius? Tapi untuk apa?" Elsa meletakkan gelasnya, fokus pada suaminya yang sudah rapi dengan setelan scrub warna biru muda."Tentu." Yosua balas menatap sang isteri. "Aku tidak memungkiri di antara kalian ada Bella, meskipun sekarang aku tidak berkenan dia bertemu Bella, tapi bagaimana pun suatu saat nanti Bella harus tahu bahwa ayah kandungnya adalah Ken, bukan aku, Sayang."Elsa tersenyum, bangkit dan duduk di sisi Yosua. Ia melingkarkan tangannya di perut Yosua. Kenapa makin lama dia makin cinta? Bukan salah Elsa, bukan kalau kemudian dia begitu mencintai Yosua?"Mau mengantarku?" Tawar Elsa sambil menatap Yosua."Tentu, tapi aku tidak mau bertemu dengannya. Cukup kamu sendiri ke dalam dan bicara denga
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen