"Sampai saya dapat pacar betulan."
Kalimat itu masih terngiang-ngiang di telinga Elsa. Sampai kemudian Ken dapat pacar betulan? Gila! Berapa lama itu nanti? Yang benar saja! Bukankah dia bilang tadi dia trauma pacaran, trauma menjalin hubungan semanjak diselingi? Lantas kapan residen itu bakal dapat pacar kalau dia sendiri bilang sudah trauma? Edan benar!
"Dok, boleh tanya?" Elsa menoleh, menatap Ken yang sudah serius di balik kemudinya itu.
"Tanyalah, mau tanya apa lagi sih?" Ken menoleh, menatap Elsa yang tampak begitu penasaran itu.
"Dokter lagi dekat sama cewek?"
"Oh, itu? Tentulah, saya memang lagi deket sama cewek," jawab Ken yang sontak membuat Elsa lega.
Eh ... Tapi tunggu!
Kalau sekarang posisi Ken sedang dekat dengan cewek, kenapa malah meminta Elsa jadi pacar sewaan Ken? Kenapa tidak membawa cewek itu saja ke ulang tahun anak mantannya itu? Kenapa malah Elsa yang dia bawa?
"Kalau boleh tau siapa, Dok?" tanya Elsa takut-takut.
Ken menoleh, ia menatap Elsa dengan gemas. Membuat Elsa sedikit bingung, apa dia salah bicara? Kenapa tatapan laki-laki itu tampak kesal? Tapi bukankah tadi dia bilang sedang dekat dengan cewek? Apakah salah Elsa jika ingin tahu siapa cewek itu? Masalahnya besok dia yang diaku pacar oleh laki-laki ini, bisa gawat kan kalau nanti cewek itu salah sangka dan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan?
"Kamu ini gimana sih, El? Kenapa hal kayak gitu pakai ditanyakan segala sih?" diluar duga, itulah yang keluar dari mulut Ken, membuat Elsa makin garuk-garuk kepala kebingungan.
"Kalau kamu tanya ceweknya siapa, tentu kamu lah! Besok yang mau saya bawa dan saya kenalin sebagai pacar siapa?"
"Saya." jawab Elsa polos sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Lah itu tahu, kenapa pakai tanya sih?" Ken melirik gemas ke arah Elsa.
Elsa sontak menempuk jidatnya dengan gemas. Jadi yang Ken maksud dekat dengan cewek itu dekat dengan dirinya? Astaga, ini orang otaknya kelebihan neurotransmitter dopamin atau bagaimana sih? Elsa menghela nafas panjang, mencoba menetralkan dadanya yang sesak akibat sosok satu itu.
"Kenapa?" tanya Ken yang heran melihat Elsa berkali-kali menghirup udara dalam-dalam lalu ia hembuskan perlahan, "Latihan melahirkan? Masih lama kamu lahirannya, hamil aja belum."
Elsa memilih diam, ia menyandarkan tubuhnya ke jok dan memejamkan matanya erat-erat. Sementara Ken hanya mengulum senyum melihat apa yang sedang Elsa lakukan itu. Sungguh Ken sendiri sedang menahan segala gejolak dan perasaan aneh yang menyergap Ken semenjak ia melihat bertapa cantik Elsa dengan dress-dress yang tadi ia pilihkan itu.
Bukan hanya cantik, kulit Elsa benar-benar mulus dan seputih porselen. Belum lagi dadanya, pantatnya ... Ah! Stop! Tidak boleh! Ken tidak boleh berpikiran terlalu jauh! Tidak!
Ia hanya butuh Elsa untuk dia jadikan asistennya saja, dan jangan lupa untuk ia bawa-bawa kemudian dia kenalkan sebagai pacar. Ia bosan dan tidak mau lagi dikira belum move on hanya karena sampai sekarang ia belum punya pacar. Untuk menjalin hubungan serius pun Ken belum berani! Ia masih begitu takut, jadilah ia kemudian punya pemikiran untuk meminta Elsa jadi pacar bohongannya sementara waktu.
Dan soal pemikiran-pemikiran kotor barusan ... Tidak! Tidak boleh! Ken tidak boleh punya pikiran demikian! Elsa cuma akan dia jadikan asisten, bukan partner tempat tidur!
'Tahan Ken, tahan! Tahan birahi mu, tahan!'
***
"Kok baru pulang?" tanya Retno menatap Elsa yang tampak kusut masai itu."Baru hari pertama koas ma, sudah terjun masuk OK, mana pasien nggak berhenti-henti lagi, jadilah baru pulang sekarang," jawab Elsa berbohong. Bisa gila mamanya nanti kalau status anak gadisnya ini sudah berubah menjadi pacar sewaan residen tempat dia menjalani koas.
"Lah ... Dulu yang pengen jadi dokter siapa?" tanya Retno sambil mengulum senyum.
"Elsa." Sekali lagi Elsa dengan polos menjawab sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Nah, berarti nggak boleh ngeluh. Jalani dan nikmati, itu sudah jadi pilihan hidup kamu!"
Elsa menghela nafas panjang, ia hanya mengangguk dan melangkah masuk ke dalam kamar. Meninggalkan sang mama yang berdiri tegak di ruang tamu.
"Cepat mandi, terus makan!" teriak Retno sebelum anak gadisnya itu menghilang dari pandangannya.
"Kenyah ah, lihat air-air bayi yang menjulur panjang tadi jadi auto kenyang!" teriak Elsa kemudian masuk ke dalam kamarnya.
Retno hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Menjadi dokter memang sudah menjadi cita-cita Elsa sejak kecil, meskipun orangtuanya hanya staf pabrik dan buruh pabrik sebuah perusahaan tekstil, tapi Elsa berhasil membuktikan bahwa ia mampu masuk menembus fakultas yang terkenal super mahal itu.
Elsa lulus jalur SNMPTN, lolos bidik misi sehingga ia bisa berkuliah di fakultas kedokteran universitas negeri di kota Solo itu dengan gratis-tis! Belum lagi perbulan Elsa masih mendapat biaya bantuan dari pemerintah, sungguh anak yang membanggakan bukan?
Retno meskipun bukan anak kuliahan, namun ia sudah tahu betapa berat kuliah kedokteran itu. Elsa sendiri selepas kuliah selalu bercerita perihal kegiatan dan kesibukannya di kampus. Bagaimana sistem belajar dan ujiannya, praktek laboratorium anak-anak FK dan lain sebagainya.
Sebab itulah Retno bisa memahami, bahwa anak sulungnya itu tidak hanya lelah fisik tapi juga lelah pikiran dan mental. Dan Retno bangga, Elsa sudah bisa sampai tahap ini. Tahap kepaniteraan klinik. Dimana setelah ini ia bisa disumpah dan dilantik menjadi dokter.
"Semoga kamu selalu kuat, Nak! Kamu hebat!"
Elsa merebahkan tubuhnya di atas ranjang, ia lelah, tapi lelah memikirkan masalahnya dengan si Ken itu! Baru satu hari saja residen itu sudah sukses membuat Elsa pusing tujuh keliling. Apalagi nanti sepuluh Minggu Stase di bagian kandungan?
Tapi bukankah tadi Ken bilang selama Elsa mengikuti semua yang Ken mau, tentu ia akan aman? Stase-nya akan lancar? Begitu kan janji Ken tadi? Terlebih bapak orang satu itu orang berpengaruh di rumah sakit, wakil direktur utama rumah sakit! Gila bener!
"Astaga, kenapa sial banget sih aku hari ini? Kejebak jadi asisten, eh merembet jadi pacar sewaan, habis ini apa lagi?" desis Elsa dengan suara lirih.
William Kendra Wijaya. Usianya sudah tiga puluh tahun. Dia residen obsgyn tahun ke dua. Menyebalkan, rese, sombong dan sok kecakepan, ya meskipun Elsa akui Ken itu juga cakep, cuma sikap menyebalkan sosok itu bikin ilfeel!
Dibalik itu dia ternyata punya kisah kelam yang sama dengan Elsa, diselingkuhi sampai hamil! Ganteng dan tajir ternyata tidak membuat wanita yang dulu menjadi pacar Ken itu betah dan setia ya?
Elsa sontak teringat sesuatu, ia bangkit dan duduk di tepi ranjang, pikirannya melayang membayangkan bagaimana sih wajah sepupu dan mantan pacar Ken itu? Apa sepupunya lebih ganteng dari Ken? Lebih kaya? Dan wanita itu apa ....
"Ah ... Bukankah besok aku akan ketemu sama mereka? Kan acara ulangtahun anak mereka yang mau aku datangi?" sekali lagi Elsa berbicara pada dirinya sendiri. Ia kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Baru saja Elsa hendak memenjamkan matanya, tiba-tiba iPhone warisan dari sepupunya yang bekerja sebagai pramugari sebuah maskapai penerbangan di Dubai itu berdering, membuat Elsa sontak memaki karena kesal.
Elsa meraih totebag miliknya, mengambil benda itu dan langsung misuh-misuh begitu tahu yang meneleponnya itu adalah Ken.
"Astaga, ada apaan lagi sih, Dok?" semprot Elsa kesal, kenapa sih hari ini sosok itu selalu menganggu dirinya? Seolah tidak membiarkan Elsa tenang bareng sebentar saja.
"Cuma mau tanya, kamu bisa makeup nggak?" tanya suara itu enteng.
"Kalau cuma pakai bedak bayi sama Lipgloss saya bisa, Dok!" Jawab Elsa kesal.
"Elah, kamu nggak pernah dengar penuturan sejawat di bagian kulit-kelamin? Bedak bayi itu nggak baik buat kulit wajah, bisa menyumbat pori! Lagian bayi aja sekarang sama pediatric-nya dilarang pakai bedak kok malah bedaknya kamu pakai, buat wajah lagi!" cerocos Ken banyak lebar yang langsung membuat Elsa memijit keningnya dengan emosi.
"Intinya nggak bisa, titik!" Elsa benar-benar kesal, kenapa sih sosok itu sangat menyebalkan?
"Oke kalau begitu."
Tut!
Sambungan terputus, Elsa melongo sambil menatap layar iPhone-nya. Cuma begitu saja? Langsung asal mau tutup setelah menganggu orang yang mau tidur? Sialan! Bener-bener dokter sialan!
Elsa hendak membanting iPhone-nya, namun mengingat benda mahal ini adalah hibah dari sang sepupu, maka Elsa mengurungkan niatnya untuk membanting ponsel itu. Selain untuk menghargai orang yang memberinya benda itu, juga karena belum tentu nantinya Elsa bisa membeli lagi ponsel seharga belasan juta itu bukan?
Elsa akhirnya hanya menghirup udara banyak-banyak melepaskan perlahan-lahan guna mengurangi sesak di dadanya.
"Sabar Elsa ... Sabar ...."
“Heh ... mau kemana?” Ken menarik kerah snelly Elsa ketika gadis itu hendak kabur bersama teman-temannya selepas Dokter Glondong selesai visiting.“Mau ke ruang koas lah, Dok. Ada apa lagi sih?” Elsa menepis tangan Ken, sebuah tindakan berani yang sampai membuat Renita melongo menatap Elsa dengan tatapan tidak berkedip. Berani sekali keset rumah sakit satu ini melawan sendal rumah sakit?“Ikut saya dulu, bantuin follow up ibu-ibu di VK!” Ken kembali menarik Elsa, membuat Elsa hampir terjungkal karena langkah Ken lebih cepat dari langkah Elsa sendiri.“Pelan-pelan dong, Dok! Heran deh ... dari kemarin kasar banget sih!” semprot Elsa kesal.Dio dan Samuel, yang juga residen obsgyn itu saling pandang, mereka kemudian menatap Renita yang masih melongo melihat apa yang tadi terjadi antara Elsa dan residen paling ganteng se-poli obsgyn itu.“Dek, temenmu itu ada hubungan apa sih sama Ken? Kok kayaknya
"Dok saya belum mandi," sepulang koas Elsa sudah di seret-seret Ken menuju parkiran, acara ulang tahun itu diadakan selepas magrib dan Ken hendak membawa Elsa bersiap-siap."Mandi di apartemen saya, sudah bawa ganti dalaman kan? Apa perlu saya belikan juga?" Ken melirik Elsa yang tampak manyun itu, sungguh sosok itu jadi makin menggemaskan."Sudah, tidak perlu repot-repot!" jawab Elsa ketus, tentulah Elsa bawa, Ken sudah ribut menelepon terus tadi subuh memperingatkan Elsa supaya membawa ganti pakaian dalam yang bersih."Bagus!" Ken membuka pintu mobilnya, lalu mendorong Elsa masuk ke dalam."Astaga, kasar amat sih jadi orang!" Gerutu Elsa kesal, pantas pacarnya lari, selingkuh sama sepupunya, orangnya kasar begini! Heran Elsa.Ken tidak menggubris, ia bergegas masuk ke dalam mobil. Ia melirik Elsa yang tampak manyun itu. Elsa hanya balas melirik, kenapa diam? Kenapa tidak langsung pergi? Elsa bertanya-tanya, namun ia memilih diam saja, hingga kemudian
Ken menatap bayangan dirinya di cermin, ia sudah begitu gagah dengan setelan jas dan dasi warna peach yang ia senadakan dengan dress yang akan dikenakan Elsa malam ini. Rambutnya sudah ia sisir begitu rapi dengan Pomade, parfum seharga tiga setengah juta itu sudah mengharumkan penampilan Ken. Ia lebih terlihat seperti seorang eksekutif muda daripada calon dokter kandungan!Ken dengan gagah melangkah ke luar dari kamarnya. Tampak Elsa masih duduk di kursi membelakangi dirinya, sedangkan Vonny tengah menata rambut Elsa yang dicatok Curly bagian bawahnya itu."Sudah selesai belum, Cik?" Tanya Ken sambil merapikan jasnya."Sudah!" jawab Vonny dengan wajah berbinar.Ken menatap Elsa yang masih duduk di kursi itu, sejenak Elsa kemudian bangkit dan membalikkan badan membuat Ken terkesiap luar biasa. Itu beneran Elsa kan? Koas-nya yang kurang ajar memaki dirinya karena mereka tidak sengaja bertubrukan di depan pintu masuk rumah sakit?Elsa tersenyum begitu mani
Ken tersenyum penuh kemenangan ketika melihat raut wajah Jessica tampak tidak senang dengan keberadaan Ken dan Elsa. Ia tahu betul apa arti ekspresi dan sorot mata itu, Jessica merasa kalah saing dengan Elsa bukan? Ahh ... Ada untungnya juga dulu Ken sempat ribut-ribut dengan Elsa, jadi dia bisa memanfaatkan gadis itu untuk membalas dendam pada Jessica."Mantan kamu cantik juga, Ko," bisik Elsa lirih ketika keluarga itu berfoto selepas acara tiup lilin.Ken dan Elsa memilih duduk di meja lain, tidak jadi satu dengan orang tua Ken dan orang tua Gilbert."Cantik kalau tukang selingkuh buat apa sih? Lagian masih cantikan kamu kok," Ken berbisik tepat di telinga Elsa, nafas Ken menyapu tengkuk Elsa, membuat Elsa meremang seketika.Ini Ken sedang main peran atau bagaimana sih? Kenapa rasanya pujian itu begitu nyata? Elsa menoleh dan menatap Ken yang masih tersenyum sambil menatapnya itu, wajahnya sontak memerah, membuat Ken makin gemas akan sosok itu.
"Terima kasih banyak sudah membantuku, Sa." Guman Ken lirih.Elsa menoleh, tampak Ken hanya meliriknya sekilas sambil tersenyum, membuat Elsa sontak juga tersenyum. Sungguh wajah sosok itu begitu enak di pandang kalau sedang tersenyum macam ini."Sama-sama, Dokter. Saya juga terima kasih sudah didandani begitu cantik malam ini, diajak makan di hotel berbintang.""Santai lah. Oh ya kamu serius mau saya antar ke rumah sakit? Nggak langsung kerumah saja?" Kenapa Elsa jadi kembali formal begitu sih?Elsa menggeleng sambil tersenyum, "Motor saya masih di rumah sakit, Dok. Jadi setelah ganti baju dan bersih-bersih, kalau tidak merepotkan saya minta diantar ke rumah sakit saja.""Tentu tidak, jangankan ke rumah sakit, ke rumah kamu sekarang saja akan saya antar, gimana?" Ken menoleh, jujur ia nyaman dengan obrolan santainya tadi dengan Elsa. Saling 'aku-kamu', bukan seperti ini. Ah ... Ada apa dengannya?"Ja-jangan, antar ke rumah sakit saja, Dok."
"Kok koasnya cuma empat? Bukannya lima biasanya? Yang satu kemana?" Dokter Anas mengerutkan keningnya, menatap satu persatu residen dan koas yang berdiri di hadapannya itu. Semua sontak memucat, kalau obsgyn lain mungkin masih bisa ditolerir, tapi kalau yang satu ini? Jangan harap!Ken menggaruk-garuk kepalanya, ini si Elsa kemana sih? Tumben-tumbenan dia sampai telat. Ken melirik jam tangannya, baru telat dua menit sih, cuma kalau telatnya pas Dokter Anas mau visiting, itu sama saja cari masalah.Renita hendak membuka mulutnya ketika kemudian terdengar suara teriakan yang Renita hafal betul itu suara Elsa."Dokter, ma-maaf saya ter-terlambat," guman Elsa tengah nafas terengah-engah.Semua menoleh dan terkejut melihat kondisi Elsa yang nampak tengah menetralkan nafasnya."Elsa?" Ken hampir berteriak, lengan Elsa penuh parut, darahnya tampak masih basah dan memerah, begitu pula lututnya, tampak darah itu masih begitu segar."Maaf Dokter, tadi a-"
“Kok bisa sih?” dokter Anas menatap Elsa dengan seksama, ia duduk di kursinya sambil bersandar.“Mungkin saya sedang apes, Dok.” Elsa tersenyum getir, ia terlambat dan tidak ikut visiting karena kecelakaan apakah nanti akan dapa tambah minggu sebagai hukuman juga? Dokter Anas memang terkenal killer dan menyeramkan, namun Elsa sangat berharap dokter senior itu masih punya hati nurani.“Lain kali hati-hati, kalau berangkat jangan mepet waktunya, biar di jalan nggak ngebut karena takut telat.”Tampak sosok itu menghela nafas panjang, membuat Elsa menahan nafas menantikan hukuman apa yang hendak sosok itu berikan kepadanya. Hanya satu doa Elsa, semoga dia tidak harus tambah minggu! Semakin lama dia di stase ini, maka akan semakin lama pula dia jadi kacung Ken.“Jaga malam dua hari ya? Kesalahan kamu hari ini fatal. Satu terlambat dan satu tidak ikut saya visiting,” guman sosok itu santai, membuat Elsa sontak mel
Mereka sudah duduk di meja kantin rumah sakit. Nampak Elsa sudah serius dengan sumpit dan mie ayam yang ada di hadapannya. Sedangkan Ken, ia malah sejak tadi menikmati pemadangan yagn tersaji di hadapannya itu. Bukan pada semangkuk bakso yang mulai dingin karena sejak tadi hanya dia aduk-aduk tanpa berniat untuk ia sentuh. Gadis ini cukup cantik, Ken akui itu. Walaupun terkadang ia begitu menyebalkan dan lemot, namun itu tidak mengurangi kadar kecantikan alami yang Elsa miliki. Ken tersenyum, kemudian bergegas mengalihkan pandangan dan fokusnya pada menu makan siang yang ia pesan. “Dok, boleh tanya?” Elsa mulai buka suara, sepertinya dia mulai bosan hanya diam sejak tadi. “Tanyalah, mumpung tidak kusuruh kau bayar,” jawab Ken sambil menyuapkan bakso itu ke dalam mulutnya. “Kenapa ambil obsgyn?” Elsa meletakkan sumpitnya, ia menatap Ken dengan serius. Ken meletakkan sendoknya, mengangkat wajah dan balas menatap Elsa yang nampak serius menyimakn
Ken menatap nanar pemandangan yang ada di depannya itu. Ini hari terakhir dia berada di ruangan ini. Setelah deretan pemeriksaan psikologis yang harus dia lalui, akhirnya ia lulus juga keluar dari klinik ini.Gilbert menepati janjinya. Membantu Ken sembuh sebagai permohonan maaf atas apa yang dulu dia dan Jessica lakukan. Sebuah tindakan yang lantas membuat Ken harus bertubi-tubi mengalami hal-hal tidak mengenakkan yang membuat Ken hampir kehilangan kewarasannya.Ken menghela nafas panjang, bunyi ponsel beruntun itu membuat dia sontak menoleh dan meraih benda itu. Senyum Ken merekah begitu tahu siapa yang mengirimkan dia pesan.Mama BellaItu nama yang Ken berikan untuk nomor itu. Nomor yang tak lain dan tak bukan adalah nomor milik Elsa.Tidak salah kan, Ken memberinya nama itu? Elsa memang ibu dari anaknya, anak yang harus lahir karena kegilaan Ken di masa lalu.Ken segera membuka kunci layar ponselnya, senyumnya ma
Elsa yang tengah menulis status pasien itu melonjak kaget mendengar dering ponselnya. Elsa menatap pasiennya, yang mana langsung dibalas anggukan kepala sang pasien yang paham bahwa dokter yang tengah mengunjunginya ini harus menerima telepon.Elsa tersenyum, segera merogoh ponselnya dan sedikit bingung dengan nomor asing yang menghubunginya ini. Nomor siapa? Mantan pasien? Salah seorang anak koas? Atau siapa?"Mohon maaf saya izin sebentar, Ibu."Kembali pasien itu mengangguk, "Silahkan, Dokter."Elsa sontak melangkah keluar, tidak sopan dan tidak nyaman rasanya mengangkat panggilan di ruangan itu. Ada dua orang pasien yang harus beristirahat di sana, tentu obrolannya akan menganggu, bukan?"Halo?" sapa Elsa begitu ia sudah berada di luar kamar inap pasien."Sa, maaf kalau aku menganggu mu. Hanya memastikan bahwa nomor kamu aktif, sudah aku simpan."Suara itu... ini suara Ken! Jadi ini nomor Ken? Elsa mendadak
"Kamu serius, Ken?" Darmawan duduk di depan Ken, menatap putranya itu dengan penuh air mata.Ken tersenyum, menghela nafas panjang lantas mengangguk guna menekankan bahwa apa yang tadi mereka bicarakan adalah serius, Ken tidak main-main."Ken sangat serius, Pa. Dia pantas dan layak dapat yang lebih baik. Dia berhak bahagia, Pa."Darmawan tersenyum getir, "Lantas bagaimana denganmu, Ken?""Papa jangan khawatirkan Ken, Pa. Ken baik-baik saja. Tolong kali ini hargai keputusan Ken, Pa. Biarkan Ken memilih sendiri jalan hidup yang hendak Ken ambil."Darmawan menepuk pundak Ken, tentu! Darmawan tidak ingin Ken kembali terperosok begitu jauh karena ulahnya. Dapat dia lihat bahwa Ken begitu menderita selama ini dan semua ini gara-gara Darmawan yang tidak mau mendengarkan apa yang putranya ini inginkan.Ken tidak hanya kehilangan gadis yang dia cintai, tetapi juga anak mereka. Sejenak Darmawan bersyukur jiwa Ken masih bisa diselamat
Tania tersenyum, sekali lagi –entah sudah yang keberapa kali, ia menyeka air matanya dengan jemari. Sosok itu masih menggenggam erat tangannya, dan dia juga tidak berniat menyingkirkan atau melepaskan tangan itu. Ia ingin menikmati momen ini, yang mana mungkin akan menjadi momen terakhir mereka begitu dekat macam ini.“Aku benar-benar minta maaf, Tan. Maaf aku hanya hadir untuk menyakitmu. Aku lakukan ini agar aku tidak lagi menyakitimu.” Desis Ken lirih, mungkin ini kejam, tapi Ken takut dengan tetap bersatunya mereka malah hanya akan menyakiti Tania makin dalam.“It`s okay, Ken. Aku mengerti.” Tania menghirup udara banyak-banyak, sungguh dadanya sangat sesak sekali.“Biar nanti aku yang ketemu papa, biar aku yang bilang semua sama papa. Aku siap dengan segala resikonya, Tan.”“Untuk itu, tunda lah dulu, Ken. Fokus pada kondisimu, setelah semuanya beres, baru kita bicarakan perihal ini kedepan mau bagaimana
Sungguh, setelah kedatangan dua orang tadi, hati Ken menjadi lebih tenang. Pikirannya lebih jernih. Seolah-olah semua beban yang dia pikul selama ini melebur sudah. Dan jangan lupakan obat-obatan yang diresepkan Gilbert untuknya, konseling yang selalu Gilbert lakukan untuk perlahan-lahan menyembuhkan dirinya, semua bekerja sangat baik. Ternyata benar, ikhlas adalah kunci dari semua masalah Ken. Ken hendak memejamkan matanya ketika pintu kamarnya terbuka. Ia mengerutkan kening seraya melirik jam dinding yang tergantung di tembok. Pukul delapan malam, siapa lagi yang hendak mengunjungi dirinya? Sosok itu muncul dari balik pintu, tersenyum dengan wajah yang nampak lelah. Dia lantas melangkah mendekati ranjang Ken, duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Ken dan meletakkan bungkusan yang dia bawa di nakas meja. “Maaf, aku baru bisa mengunjungimu.” Gumamnya lirih. “Nothing, Tan. Aku tahu kamu sibuk, aku tidak mempermasalahkannya.” Tania
“Kalian bicara apa, tadi?” tanya Elsa ketika dia sudah berada di dalam mobil bersama sang suami.Yosua tersenyum, membawa mobil itu bergegas pergi dari halaman klinik milik psikiater itu. Tampak isterinya itu begitu penasaran, membuat Yosua sengaja tidak menjawab apa yang sang isteri tanyakan kepadanya.“Kamu ingin tahu saja atau ingin tahu banget?” goda Yosua yang langsung mendapat gebukan gemas dari sang isteri.“Serius, Bang! Kalian nggak baku hantam lagi, kan?”Hanya itu yang Elsa khawatirkan. Mereka macam kucing dan tikus, setiap bertemu pasti baku hantam. Terlebih dengan kondisi Ken yang seperti itu, dia sangat tidak stabil emosinya, membuat Elsa khawatir laki-laki itu kembali nekat dan perkelahian itu kembali terjadi.“Apakah aku nampak seperti orang yang habis terlibat baku hantam?”Elsa kembali menatap wajah itu, memang tidak nampak, tapi tidak ada salahnya kan kalau Elsa menanyakan ha
"Aku harap kamu cepat pulih, cepat pulang. Pasien kamu pasti udah kangen."Ken mengangkat wajahnya, menatap Elsa yang tersenyum begitu manis di hadapannya. Senyumnya ikut tersungging, ia lantas mengembalikan ponsel itu pada sang pemilik."Boleh tinggalkan nomor ponselmu di kertas? Ponselku hancur kemarin."Elsa mengangguk perlahan. Tentu, sesuai kesepakatan panjang lebar yang sudah mereka bicarakan tadi, tentu kedepannya dia dan Ken perlu banyak berkomunikasi guna membahas perihal Bella."Mana kertas? Akan aku tulis."Ken bangkit melangkah ke nakas yang ada di sebelah ranjangnya. Meraih selembar kertas dan pulpen yang langsung dia serahkan pada Elsa. Tampak Elsa langsung menuliskan dua belas digit nomor ponselnya di kertas itu, lalu menyerahkannya kembali pada Ken."Aku pamit, sudah terlalu lama aku di sini dan aku rasa kamu perlu istirahat, bukan?" Elsa meletakkan plastik yang dia bawa di meja, bangkit dan bersiap melangka
Ken menatap nanar sosok itu, sedetik kemudian ia menghambur memeluknya, mendekap erat tubuh yang selama dua tahun ini begitu dia rindukan.Tubuh ini masih begitu hangat, yang mana artinya ini asli, bukan fatamorgana atau ilusi semata. Ini benar sosok yang begitu Ken rindukan! Ini Elsa-nya.Ken terisak, membuat Elsa menepuk punggung laki-laki itu dan membawanya menuju sofa yang ada di sana. Mendudukkan laki-laki itu dan melepaskan pelukan itu."Sa, aku benar-benar minta maaf atas kejadian kemarin. Kamu nggak apa-apa, kan?" Tanya Ken dengan cucuran air mata.Elsa tersenyum, ia hanya mengangguk pelan dan menatap lurus ke dalam mata itu. Ada setitik perasaan iba dalam hati Elsa, namun ia sudah bertekad bahwa hubungan mereka memang sudah cukup sampai di sini, ada orang lain yang Elsa prioritaskan dan sekarang orang itu bukan Ken!"Sa... Please aku mohon, ceraikan dia! Menikah sama aku, mau kan?" Ken meraih tangan Elsa, meng
"Temui saja dia, kalian perlu bicara baik-baik empat mata."Elsa yang tengah menyeruput minuman collagen sontak terbatuk-batuk, Yosua hanya melirik sekilas, meraih cangkir kopi dan menyesapnya perlahan-lahan."Abang serius? Tapi untuk apa?" Elsa meletakkan gelasnya, fokus pada suaminya yang sudah rapi dengan setelan scrub warna biru muda."Tentu." Yosua balas menatap sang isteri. "Aku tidak memungkiri di antara kalian ada Bella, meskipun sekarang aku tidak berkenan dia bertemu Bella, tapi bagaimana pun suatu saat nanti Bella harus tahu bahwa ayah kandungnya adalah Ken, bukan aku, Sayang."Elsa tersenyum, bangkit dan duduk di sisi Yosua. Ia melingkarkan tangannya di perut Yosua. Kenapa makin lama dia makin cinta? Bukan salah Elsa, bukan kalau kemudian dia begitu mencintai Yosua?"Mau mengantarku?" Tawar Elsa sambil menatap Yosua."Tentu, tapi aku tidak mau bertemu dengannya. Cukup kamu sendiri ke dalam dan bicara denga