“Jar, ayo!” suara Kei, melegakan Fajar.
Alhamdulillah.
Susan berdiri dan berlalu.
“Kak Susan kenapa? Dia ngomong apa?” tanya Kei. “Astagfirullah. Aku merasa jantungku akan copot. Gara-gara kamu!” ungkap Fajar.
“Ada apa?”
“Bisa enggak, kamu jatuh cinta, enggak usah repotin orang lain?”
“Apa sih?”
“Ibu kamu, kak Susan, semua bertanya. Kei jatuh cinta ya?” sebut Fajar, dongkol.
“Itulah yang kadang membuat aku risih. Belum apa-apa sudah pada ribut begini!” ujar Kei.
“Bagaimana tidak ribut? Ini seperti hujan deras, yang tiba-tiba hadir setelah musim kemarau yang panjang.”
“Maaf ya Jar,” tutur Kei.
“Aku bahagia kok, Kei. Kamu bahagia, aku pun bahagia.”
“Terima kasih,” jawab Kei, tersenyum.
Keduanya meninggalkan rumah Kei, kembali ke kantor.
***
Di Kampus
Tampak Aara dan Citra, sedang berbicara serius, di ruangan meeting, yang s
Warung Soto Mas Tomo, pukul delapan malam. “Boleh saya bertanya, Kak?” ujar Aara memulai percakapan. “Iya, silakan!” jawab Kei. “Kak Kei, sudah punya modal apa, untuk taaruf?” Citra melotot ke arah Aara. Dia terkejut, dengan pertanyaan Aara. Fajar dan Kei pun demikian, mereka saling bertatapan. “Maksud Aara?” tanya Kei, memperjelas. “Begini Kak! Saya coba sederhanakan. Taaruf bagi saya itu, ibarat ujian naik kelas. Jika ujian berhasil, maka saya akan naik kelas. Demikian pula dengan taaruf. Jika taaruf berhasil, maka saya akan memutuskan ke jenjang pernikahan. Jadi, untuk menghadapi ujian, jelas saya harus mempersiapkan diri, sehingga bisa naik kelas. Kak Kei bisa paham, maksud saya?” “Iya Ra, aku paham.” Kei, Kei. Aku sudah peringatkan kamu. Wanita ini, akan membuatmu, semakin sulit! batin Fajar. Ya Allah, mengapa Aara demikian memperumit cerita ini?
“Tante tahu banyak ya?” sambung Citra.“Kei sudah beberapa kali datang ke sini.”“Kei sering datang menemui Tante?”“Iya, tetapi kamu jangan bilang ke Aara. Nanti dia emosi lagi.”“Siap Tante. Terus gimana Tante?”“Sebenarnya setiap Kei ke sini, dia datang untuk mengambil gambar hasil masakan Tante. Katanya sebagai bahan untuk promosi.”“Jadi hanya mengambil gambar?”“Enggak juga. Tante sering ngobrol. Dia sering membantu Tante membersihkan alat-alat masak di dapur. Karena biasa, Ira harus ke kampus. Jadinya Tante harus mengurus sendiri.”Citra tertawa. “Wah, hebat banget ya, sih Kei, Tante. Sudah sampai ke dapur saja.”“Kan namanya membantu Tante. Terus, dia bantu Tante membawa semua pesanan ke tempat pelanggan.”“Cocok deh Tante. Kalau Tante sudah memberi restu, apa lagi?”&l
Setelah salat. “Bang, kami mau ngobrol, bisa?” tanya Fajar. “Boleh,” jawab Hari, mempersilahkan Kei dan Fajar, duduk tepat di hadapannya. “Ada apa ini?” tanya Hari, tersenyum. “Kei, sehat-sehat saja kan? Wajahnya pucat sekali.” “Alhamdulillah baik kok, Bang.” “Begini Bang, kami mau konsultasi sedikit nih. Tentang masalah Kei.” Fajar melanjutkan kalimatnya. “Masih masalah yang tempo hari?” tanya Hari. “Iya Bang,” jawab Fajar. “Memang ada apa?” “Ini Bang. Kei gelisah, galau. Dia bingung harus memulai dari mana.” “Galaunya kenapa? Bukannya sudah yakin, akan melanjutkan ikhtiarnya?” “Iya Bang. Aku bingung. Dan aku merasa enggak mampu, enggak sanggup,” ungkap Kei, dengan suara pelan. Hari tersenyum. “Sudah salat istikharah, kan?” “Iya, Bang.” “Petunjuk dari Allah, sudah ditemukan?” “Iya!” “Terus, kenapa masih ragu?”
Es kopi yang dihidangkan Fajar, tampak habis tak bersisa di gelas Haikal.“Oke! Kamu sudah duduk, es kopi pun sudah selesai kamu nikmati. Sekarang, jawab pertanyaan aku tadi!”Haikal tergelak. “Kei, Kei. Keenan Ramadhan. Kamu selalu bermasalah dengan kesabaran ya?”Kei tidak merespons.“Oke! Kemarin aku ke rumah, bertemu tante Mirna dan om Musa.”“Kamu mau apa lagi?” tanya Kei, dongkol. “Santai dong! Kamu jangan selalu emosi. Ini salah satu kelemahan kamu, Kei. Emosional, terlalu egois, sombong!”Fajar menatap Kei. Dia khawatir, emosi Kei akan terpancing dengan semua ucapan Haikal.Astagfirullah, batin Kei.Kei menghela napas. “Oke! Silahkan, kamu sampaikan apa kepentinganmu, datang ke sini?”Fajar tersenyum. Dia lega. Kei bisa mengendalikan emosi.Emosi yang bertahun-tahun, kadang tidak bisa dia kontrol. Emosi yang selalu siap menampar, siapapun.“Kei. Aku saudaramu. Belajarlah sediki
“Saat aku meninggalkan rumah, aku meninggalkan kamarku dalam keadaan berantakan. Aku masih ingat pesan ibu. Kamu belajarlah bertindak lebih dewasa, Nak. Belajar merapikan kamarmu sendiri. Karena suatu saat nanti, kamu akan hidup sendiri, tanpa ibu. Dan ternyata kalimat ibu, benar-benar terjadi. “Ya Allah, semoga Engkau mengampuni segala dosa-dosaku,” ujar Fajar, dengan air mata yang menetes di pipinya. “Saat kamu kehilangan segalanya, barulah semua akan terasa. Bahwa kamu tidak punya apa-apa. Kamu hanya seorang manusia bodoh, yang selama ini terus menyombongkan diri, dengan semua harta titipan Tuhan. “Kei, kamu masih punya ibu dan ayah. Berbaktilah pada mereka. Karena mereka adalah hartamu yang paling berharga. Jangan biarkan, dirimu tumbuh dengan penyesalan sepertiku. Sungguh, itu berat dan sangat menyesakkan, Kei. “Tidak ada sesak yang begitu melebihi, penyesalanmu akan dosa di masa lalu. Penyesalan, mengabaikan mereka yang selalu ada untukm
“Maaf ya Mbak, Aara masih seperti itu,” ujar Sinta. “Iya Mbak, aku sangat mengerti keadaan Aara,” jawab Sofia. Citra masih di tempatnya. Dia merasa perlu mengetahui banyak hal. Dia ingin memahami perasaan Aara yang sebenarnya. Karena Aara tidak pernah banyak cerita tentang kehidupan masa lalu orang tuanya. “Begini Mbak, sebenarnya aku datang ke sini, ingin memohon Mbak Sinta dan Aara, bisa memaafkan mas Candra.” Ibunda Aara tersenyum. “Mbak, sejak lama, sejak dahulu, saya sudah memaafkan mas Candra. Apa yang sudah terjadi, sudah menjadi bagian dari kehidupanku bersama Aara. Saya bahkan selalu mendoakan mas Candra, supaya bahagia bersama keluarganya.” “Mas Candra sekarang, dalam kondisi tidak baik, Mbak.” “Ada apa dengan beliau?” “Enam bulan yang lalu, mas Candra kecelakaan dan kakinya harus diamputasi.” “Astagfirullah,” ucap ibunda Aara, terkesiap. Citra pun merasakan keterkejutan yang sama.
“Ini bukan tentang masa lalu Ra! Ini tentang seseorang, yang darahnya mengalir dalam darahmu!” “Cit, jawabanku masih sama! Kamu hanya membuang-buang tenaga, membahasnya berulang kali!” “Kamu, selalu mengatakan tentang ibadah. Bahkan ibadah sunnah-mu pun sudah luar biasa sempurnanya. Tapi, ibadah wajib-mu, justru kau abaikan!” “Maksud kamu?” “Kamu lupa? Bakti kepada orang tua, adalah kewajiban mutlak bagi seorang anak!” Aara kembali menyeringai. Dia cukup kaget, dengan ucapan Citra. “Ha, sebenarnya aku sangat lelah membahas ini. Cukup ya Cit. Biarlah semua berjalan seperti adanya.” Citra menggeleng. Dia selalu sulit, menaklukkan hati Aara. “Ra, aku saja, sahabatmu, merasa sedih mendengar cerita tante Sofia. Kasihan, ayahmu sekarang sendiri. Tidak ada yang mengurus beliau,” ujar Citra, lembut. Berusaha mengetuk kerasnya hati Aara. Aara tidak merespons. “Ra, tolonglah, jangan kamu selalu
Ustad Hari tersenyum. “Assalamu’alaykum, Aara Malaika.” “Wa’alaykumussalam waromatullahi wabarokatuh,” jawab Aara. “Silakan duduk,” pinta Hari. Aara dan Citra, duduk dihadapan Kei, Fajar dan Hari. Aara masih terkejut bertemu dengan Hari. “Kak Hari di sini?” “Iya. Kok kamu terkejut seperti itu?” “Kita sudah lama banget enggak ketemu, Kak. Makanya saya kaget, bisa bertemu dengan Kak Hari, di sini.” “Inilah dunia Ra. Sempit banget. Aku pun kaget, saat mendengar cerita Keenan tentang kamu.” Aara terpaku. Ekspresinya berubah. Citra tampak memperhatikan hal lain. Pandangannya tersita oleh penampilan Kei yang sangat berubah. Wajah bersihnya, telah terhias dengan janggut tipis, yang rapi. Wajahnya semakin teduh. Tapi, badannya jauh lebih kurus. “Oke, jadi di sini, tugas saya, sebagai penengah untuk komunikasi antara Kei dan Aara. Aara enggak masalah kan?” “Iya Kak,” jawab Aara, pela