“Maaf ya Mbak, Aara masih seperti itu,” ujar Sinta.
“Iya Mbak, aku sangat mengerti keadaan Aara,” jawab Sofia.Citra masih di tempatnya. Dia merasa perlu mengetahui banyak hal. Dia ingin memahami perasaan Aara yang sebenarnya. Karena Aara tidak pernah banyak cerita tentang kehidupan masa lalu orang tuanya.“Begini Mbak, sebenarnya aku datang ke sini, ingin memohon Mbak Sinta dan Aara, bisa memaafkan mas Candra.”Ibunda Aara tersenyum.“Mbak, sejak lama, sejak dahulu, saya sudah memaafkan mas Candra. Apa yang sudah terjadi, sudah menjadi bagian dari kehidupanku bersama Aara. Saya bahkan selalu mendoakan mas Candra, supaya bahagia bersama keluarganya.”“Mas Candra sekarang, dalam kondisi tidak baik, Mbak.”“Ada apa dengan beliau?”“Enam bulan yang lalu, mas Candra kecelakaan dan kakinya harus diamputasi.”“Astagfirullah,” ucap ibunda Aara, terkesiap. Citra pun merasakan keterkejutan yang sama.“Ini bukan tentang masa lalu Ra! Ini tentang seseorang, yang darahnya mengalir dalam darahmu!” “Cit, jawabanku masih sama! Kamu hanya membuang-buang tenaga, membahasnya berulang kali!” “Kamu, selalu mengatakan tentang ibadah. Bahkan ibadah sunnah-mu pun sudah luar biasa sempurnanya. Tapi, ibadah wajib-mu, justru kau abaikan!” “Maksud kamu?” “Kamu lupa? Bakti kepada orang tua, adalah kewajiban mutlak bagi seorang anak!” Aara kembali menyeringai. Dia cukup kaget, dengan ucapan Citra. “Ha, sebenarnya aku sangat lelah membahas ini. Cukup ya Cit. Biarlah semua berjalan seperti adanya.” Citra menggeleng. Dia selalu sulit, menaklukkan hati Aara. “Ra, aku saja, sahabatmu, merasa sedih mendengar cerita tante Sofia. Kasihan, ayahmu sekarang sendiri. Tidak ada yang mengurus beliau,” ujar Citra, lembut. Berusaha mengetuk kerasnya hati Aara. Aara tidak merespons. “Ra, tolonglah, jangan kamu selalu
Ustad Hari tersenyum. “Assalamu’alaykum, Aara Malaika.” “Wa’alaykumussalam waromatullahi wabarokatuh,” jawab Aara. “Silakan duduk,” pinta Hari. Aara dan Citra, duduk dihadapan Kei, Fajar dan Hari. Aara masih terkejut bertemu dengan Hari. “Kak Hari di sini?” “Iya. Kok kamu terkejut seperti itu?” “Kita sudah lama banget enggak ketemu, Kak. Makanya saya kaget, bisa bertemu dengan Kak Hari, di sini.” “Inilah dunia Ra. Sempit banget. Aku pun kaget, saat mendengar cerita Keenan tentang kamu.” Aara terpaku. Ekspresinya berubah. Citra tampak memperhatikan hal lain. Pandangannya tersita oleh penampilan Kei yang sangat berubah. Wajah bersihnya, telah terhias dengan janggut tipis, yang rapi. Wajahnya semakin teduh. Tapi, badannya jauh lebih kurus. “Oke, jadi di sini, tugas saya, sebagai penengah untuk komunikasi antara Kei dan Aara. Aara enggak masalah kan?” “Iya Kak,” jawab Aara, pela
Beberapa menit berlalu, Aara dan Citra telah kembali. Mereka lantas duduk kembali di tempat semula. “Kita bisa lanjutkan?” tanya Hari, pada Aara. “Iya. Kak,” jawab Aara. “Saya mewakili Keenan, ingin memperjelas pertimbangan apa yang Aara maksud tadi. Adakah hal lain, yang perlu dilakukan atau dipersiapkan Keenan?” “Di pertemuan kami sebelumnya Kak, Aara membahas tentang pentingnya kesiapan menjadi seorang imam, kepala keluarga. Saya tidak ingin merendahkan suami Aara kelak, jika Aara harus membimbingnya dalam hal agama. Aara tidak ingin mempermalukannya di hadapan Allah.” Hari mengangguk. Kei dan Fajar terlihat fokus. Sedangkan Citra, sibuk dengan ponselnya. Dia mulai mengalihkan perhatiannya, dari kondisi yang terus tanpa kepastian ini. Membuat dadanya sesak, khawatir. “Ketika kesiapan menjadi seorang imam sudah terpenuhi, Aara sangat bahagia Kak. Tapi, ada satu sisi yang juga, sangat penting untuk diperhatikan.
Aara berdiri, terpaku, di depan pintu. Tangan Citra kembali menariknya, masuk ke dalam kamar. “Aara?” suara pria itu, mengagetkan Aara. “Kamu dipanggil, kamu mendekat ke sana!” bisik Citra. Aara mengangkat alis. Dia bingung. Siapa sebenarnya orang yang sedang di rawat dan sangat mengenalnya. “Ibu? Bisa Ibu jelaskan?” “Ayah kamu, Ra.” “Apa?” Aara terkesiap. Ibundanya mengangguk. Aara menatap Citra. Tanpa menjawab, Aara berdiri dan melangkah menuju pintu. Namun, tangan Citra, dengan sigap menariknya, untuk tetap di tempatnya. Aara tampak menahan emosi. Wajahnya tegang. “Duduk, Ra. Duduk!” pinta Citra. Aara duduk, dengan ekspresi yang sama. Dia tidak menyangka, Citra akan melakukan sesuatu yang sangat dia benci. Dia kecewa, sahabatnya sendiri, menariknya ke dalam pertemuan, yang paling dihindarinya. Aara terpaku dan Citra tetap fokus di sampingnya, menahan tangannya. “Sin, terima kasih kamu sudah
Malam kian larut. Fajar telah menyusul Fiki dan Hendri beristirahat. Kei masih duduk termenung sendiri, di meja kerjanya. Cinta? Mengapa kamu begitu rumit? Kamu datang begitu saja, tanpa kuminta. Setelah dekat, kamu malah menyiksaku, dalam rindu tak berkesudahan. Menyiksaku dalam jarak, yang tak mampu kutempuh. Beberapa menit dalam keheningan, Kei tertidur di meja kerjanya. Lelah tak berujung, tampak jelas di wajahnya. Sang pencinta yang sedang dilanda badai keraguan dan ketidak-berdayaan. Pukul dua malam, Kei terbangun. Dia baru sadar, dia masih di meja kerjanya. Setelah menenangkan dirinya, dia beranjak menuju kamar mandi. Lantas, dia mengambil sajadah di lantai dua. Tampak, dia akan menunaikan salat. Ketiga rekannya, larut dalam tidur. Ya Allah, ya Tuhanku. Perjalanan ini benar-benar melelahkanku. Apakah memang ini, takdir dari-Mu? Perjalanan yang harus kutempuh, menuju-Mu? Ya Allah, ya
Citra berdiri dan melangkah setengah hati menemui Aara, di dalam kamar. Dia merasakan suasana pagi ini, sangat tidak mengenakkan. Semua pikiran negatif, sudah berkecamuk dalam kepalanya. Dia terus bertanya, tujuan Haikal menemui Aara. “Citra?” Aara terkejut, melihat kehadiran Citra. “Iya!” “Kamu sudah dari tadi?” “Iya, aku ngobrol di depan, dengan tante Sinta.” “Kamu kenapa? Kok mukanya panik gitu?” “Ra, ayo keluar. Ada tamu untuk kamu?” “Tamu?” “Iya, Haikal anaknya om Harun.” “Yang di rumah sakit itu?” Aara memperjelas. “Iya. Ayo cepat! Dia udah dari tadi lho.” “Ada urusan apa?” “Mana aku tahu? Ayolah! Enggak enak ditungguin!” Masih dengan kebingungannya, Aara mengganti pakaiannya dan menemui Haikal di ruang tamu. Citra tetap bersamanya. “Assalamu’alaykum,” sapa Haikal, ramah. “Wa’alaykumussalam,” jawab Aara, tersenyum. Aara dan Citra, duduk di depan Hai
“Fajar menitip salam untuk kamu. Dia lagi dapat tugas, mendampingi CEO ke London. Besok atau lusa udah balik!” Citra hanya tersenyum. Dia bingung, menyusun kalimat. Kadang rindu, tidak bisa terwakilkan dengan bahasa apapun. Beberapa menit berlalu. Kei pamit, dan meninggalkan warung soto Mas Tomo. “Cit?” “Iya Ra.” “Aku bingung. Sebenarnya bagaimana hubungan kalian?” Citra terpaku. “Kak Rahmat, Pak Restu? Kamu terlalu banyak fans, aku jadi pusing!” sambung Aara. Citra tersenyum. “Ra, sebanyak apapun orang yang datang dalam hidup kita, hati akan tetap terpaut pada cinta. Sejauh apapun kita melangkah, sejauh apapun jarak tercipta, cinta itu tetap akan berada di tempatnya.” “Aku semakin bingung dengan kalimat kamu. Bukannya tanggal pernikahan kamu dan kak Rahmat sudah ditentukan?” Citra hanya tersenyum. Aara menggeleng, tidak mengerti sikap sahabatnya itu. “Ra
Beberapa saat kemudian, Haikal pamit. “Sin, kamu lihat? Kalau seperti ini, aku semakin tidak enak dan berutang budi kepada mereka. Bagaimana jika Aara menolak Haikal?” “Keluarga mas Harun, keluarga yang tulus, Mas. InsyaaAllah, mereka bisa menghargai semua keputusan Aara. Karena Aara sudah dewasa. Kita tidak mungkin mencampuri keputusannya. Mas kan tahu, bagaimana karakter Aara. Hubungan Mas dan Aara pun, belum membaik. Sinta khawatir, jika kita terlalu jauh masuk ke dalam persoalan Haikal dan Aara, Aara semakin menjaga jarak dari kita.” “Aku merasa persoalan ini begitu rumit. Mengapa Haikal harus jatuh hati pada Aara. Kekhawatiranku terlalu besar, hal ini akan mempengaruhi hubungan baik kita dengan keluarga Harun.” “InsyaaAllah, Mas. Sinta yakin, Aara akan mengambil keputusan terbaik.” “Amin.” *** Tiba di kantor, Kei dikejutkan dengan kehadiran Fajar, di ruangannya. “Pak Fajar Bimantara? Kamu udah balik?”