Share

Bab 2

Penulis: Jane Lestari
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-26 23:17:33

Fiki kembali menghela napas dan mengubah posisi duduk. Pertanyaan Hendri seperti soal ujian yang membutuhkan kesiapan untuk menjawabnya.

“Kamu masih lebih beruntung dibanding aku, Hen. Kamu masih dapat kalimat lembut dari Ibu Citra. Sedang aku, oh my god. Aku bahkan begitu trauma menatap mata Ibu Aara.”

Giliran Hendri, tertawa.

“Ya, salah kamu sendiri. Kok sukanya pada wanita bertipe Ibu Aara. Di dalam kelas saja, dia begitu dingin dan menyeramkan. Kamu malah bawa perasaan. Gila kamu!”

Fiki tersenyum. “Hen, hati tidak pernah bisa memilih, dia akan terpaut kepada siapa. Memang Ibu Aara sangat berbeda dengan Ibu Citra. Tapi, aku merasa, justru disitulah pesonanya. Aku penasaran, pria seperti apa, yang bisa menaklukkan hati beliau,” tutur Fiki, lembut. Topik tentang Aara, seketika menghipnotis dirinya.  

Hendri menggelengkan kepala.

“Kamu itu cari masalah sendiri. Ada Firda yang selama ini ngejar-ngejar kamu, dicuekin. Malah mau mengejar singa, yang siap menerkam kapan saja.”

“Iya singa, tetapi singa romantis, haha,” tawa Fiki pecah.

“Romantis?”

“Kamu pasti enggak tahu, Ibu Aara itu orangnya romantis. Dia dingin, tetapi pada momen tertentu, kelembutan dan keramahannya, terlihat jelas.”

“Kok kamu bisa tahu? Tahu dari mana?”

“Sudah, sudah! Kayaknya waktu kita habis, hanya untuk membahas ini. Kita kembali ke skripsi!”

“Kan belum selesai ceritanya?”

“Nanti kita sambung lagi. Lihat jam kamu, sudah jam sebelas siang!”

Astagfirullah. Iya, aku lupa!”

Keduanya pun, bergegas meninggalkan kelas.

Semenjak Citra bergabung menjadi dosen di kelas Hendri dan Fiki, dia sudah menarik perhatian Hendri. Parasnya yang menyejukkan, selalu tersenyum, benar-benar membuat Hendri jatuh cinta pada dosennya itu. Hendri sampai melupakan statusnya sebagai mahasiswa.

Dia kadang tidak sadar menatap lama Citra, baik di dalam kelas maupun di setiap pertemuan, di luar kelas. Demikian pula dengan Fiki. Entah mengapa, kedua sahabat ini bisa jatuh hati pada dua dosen yang juga berteman dekat.

Fiki sangat tertarik dengan kepribadian Aara. Tidak sama dengan wanita-wanita pada umumnya. Aara cantik, tetapi sikapnya selalu dingin kepada lawan jenis. Namun, itu yang membuat Fiki semakin penasaran, dan begitu mengidolakan dosennya itu.

Pukul dua belas siang, kampus terlihat ramai. Beberapa tampak asyik duduk santai di sekitar lapangan basket. Beberapa tampak sibuk, keluar masuk di ruangan dosen.

Azan duhur berkumandang dari masjid besar di dalam kampus. Tampak, para mahasiswa dan dosen, bersegera memenuhi panggilan Tuhan-nya. Mereka menyatu tanpa batas. Kenyataan yang menunjukkan, bahwa di hadapan Tuhan, tiada beda antara manusia. Yang membedakan, hanyalah pada tingkat keimanan pada-Nya.

Terlihat Citra dan Aara, juga berada di antara jamaah salat duhur siang ini. Hendri dan Fiki juga terlihat, berjalan cepat menuju masjid, mengejar salat berjamaah. Sesungguhnya, tiada yang lebih penting dan lebih indah, daripada pertemuan dengan Tuhan.

Pertemuan dengan-Nya, Sang Khalik, pemilik segala apa yang ada di langit dan di bumi. Penguasa yang nyata maupun yang gaib.

Beberapa menit berlalu.

Dua orang mahasiswa sedang berjalan di koridor masjid, mengambil sepatu yang mereka simpan di tempat penitipan. Mereka kemudian duduk, namun fokus mereka seketika berubah, saat Citra dan Aara melintas di hadapan mereka.

“Eh, Ibu Citra dan Ibu Aara,” bisik salah satu mahasiswa ke rekannya.

“Kenapa?” sahut yang lainnya.

“Aku tuh, suka banget lihat mereka berdua. Dua-duanya cantik, saliha. Pengen banget suatu saat nanti bisa seperti dosen kita itu.”

“Kalau aku fans banget sama Ibu Citra. Cantiknya paripurna, Len, sempurna!”

“Berarti kali ini, kita berbeda. Aku lebih suka Ibu Aara. Kalau kamu bilang Ibu Citra itu sempurna, Aku bilang Ibu Aara itu, unik, berbeda, dan paket komplet.”

Keduanya tertawa.

“Kita ini ya, menghayal-nya terlalu jauh, haha,” ucap Tuti.

“Enggak apa-apa, namanya harapan. Ya siapa yang tahu, kan?” sahut Lenny.

“Tapi yang aku heran, kok keduanya kompak banget ya? Sama-sama jomblo.”

“Kamu tuh, kayak enggak bisa lihat saja. Ibu Citra dan Ibu Aara kan, wanita salihah. Enggak mungkinlah, ada kata pacaran di kamus mereka. Kalau nikah, ya pasti!”

“Iya maksud aku, kok belum nikah?”

“Kalau Ibu Citra, aku sering dengar, Pak Restu nge-fans banget sama beliau. Cuma itu, Ibu Citra tidak menanggapi. Kalau Ibu Aara, memang menjaga jarak dari lawan jenis. Di dalam kelas saja, dia selalu menjaga jarak dengan mahasiswa laki-laki."

“Iya kita tunggu saja berita baiknya. Kita enggak usah bahas terlalu jauh! Ayo kita balik ke kelas.”

Mereka pun, meninggalkan masjid.

Citra dan Aara menjadi dua dosen yang cukup terkenal di kampus. Citra terkenal dengan kecantikan wajahnya, yang selalu menjadi bahan perbincangan mahasiswa-mahasiswa. Sedangkan Aara sangat dikenal dengan kecerdasannya. Dan juga sikap dinginnya pada mahasiswa laki-laki.

Aara selalu memberikan prioritas pada mahasiswa perempuan, dan tidak ada kompromi untuk mahasiswa laki-laki. Itulah yang terkadang dikeluhkan oleh mahasiswanya. Mereka menuntut keadilan Aara dalam memperlakukan mereka.

Namun, tidak ada yang mampu mematahkan argumen Aara. Setingkat Rektor pun, tidak bisa berbicara panjang lebar, jika berhadapan dengannya.

“Kelas kamu sudah selesai?” tanya Aara pada Citra, di ruangan dosen.

“Iya, sudah. Aku cuma punya satu kelas hari ini. Kamu?” jawab Citra.

“Aku juga sudah. Mau balik sekarang?” lanjut Aara.

“Boleh. Tapi, bisa enggak, makan siang dulu?”

“Di kantin?”

“Oke.”

Aara lantas menyimpan beberapa berkas di dalam almari kerjanya. Sedang Citra, membersihkan dokumen di atas mejanya.

Keduanya pun beranjak, menuju kantin. Jarak antara ruangan mereka dan kantin tidak terlalu jauh, sehingga tidak lama, mereka sudah tiba di kantin.

Di sana, tampak Hendri dan Fiki sedang asyik bergurau. Dan keduanya langsung mati gaya, terdiam, setelah melihat kedatangan kedua dosennya. Walaupun dari jarak yang tidak terlalu dekat, namun keberadaan Citra dan Aara, tampak jelas dari tempat kedua pria muda itu.

“Cit, ada Hendri tuh,” bisik Aara, tertawa. “Biarkan saja!”

“Enak banget ya kalau punya fans, serasa jadi artis,” lanjut Aara, masih tertawa.

Citra menghela napas. “Ya enggak juga. Tadi tuh, Hendri baru ketemu aku. Dia konsultasi proposal skripsi, dan seperti biasa sikapnya.”

“Dia fans berat kamu, Cit. Luar biasa perjuangannya hanya untuk bisa selalu bertemu kamu.”

“Aduh, malah buat aku pusing!”

Aara terkekeh.

“Yang sampai buat heboh, dia pindah jurusan, hanya gara-gara kamu.”

“Itulah Ra. Hal seperti ini yang aku hindari. Aku tidak ingin ada hati yang terluka, karena menaruh harapan sama aku. Karena aku tahu, rasanya terluka. Apalagi Hendri itu masih muda. Aku takut perhatiannya padaku, akan mengganggu masa depannya.”

“Kok malah jadi bawa perasaan begini? Enggak usah sedih-sedih dulu. Makanan tuh, sudah menunggu dari tadi,” ujar Aara, sambil melanjutkan makan siang, diikuti Citra.

Kedekatan Aara dan Citra sebenarnya belumlah lama. Tapi hubungan mereka sangat dekat. Citra sangat dekat dengan ibunda Aara, dan demikian pula sebaliknya.

Karakter yang kontra, membuat persahabatan mereka selalu diuji dengan kesabaran dan penerimaan, atas sikap masing-masing yang kadang sama-sama keras.

***

Papan nama besar yang terbentang panjang bertuliskan Man Art (Layanan Desain Profesional), tampak mencolok di sebuah ruko yang tak begitu besar. Tampak dua orang pria muda sedang sibuk dengan aktivitas yang berbeda.

Fajar Bimantara, dengan kumis tumis, rambut model pompadour yang sedikit berantakan, wajah oval, dan fisik yang proporsional. Dari caranya membiarkan rambutnya tidak tersisir rapi, dia jelas bukan pria yang memerhatikan penampilan.

Keenan Ramadhan, tampilannya seperti pria keturunan Arab. Padahal dia asli Indonesia. Rambutnya tampak bergelombang, dengan model wafy spike. Wajahnya persegi, alis tebal, kumis dan jenggot tipis.

Fajar tampak sibuk siang ini. Dia terus saja berlari ke sana kemari, mencari sesuatu. Diperiksanya setiap meja yang ada di ruangan itu. Di sisi lain, Kei bingung, dengan kepanikan rekannya itu.

“Jar, kamu kenapa? Kelihatan panik banget?”

Sambil mengatur napas, Fajar menjawab pelahan, “Contoh desain yang dikirimkan Pak Amir kemarin, aku enggak tahu tercecer di mana. Sedangkan desain itu sudah harus selesai sore ini!”

Astagfirullah, kok kamu bisa seteledor itu?”

“Mampus aku! Kalau desain itu enggak selesai, kita kehilangan satu kerjaan lagi!” sesal Fajar.

“Di cari dululah, semoga masih ada harapan.”

Keduanya terpaku.

Mata Fajar terus menelusuri dengan saksama dokumen-dokumen yang ada di mejanya, dan di meja Kei.

Seingat aku, kertas itu hanya aku letakkan di mejaku dan meja Kei. Tapi di mana sekarang? Ya Allah, tolonglah aku.

Astagfirullah,” sebut Fajar, dengan suara yang begitu keras.

Dia berjalan menuju meja Kei, dan dia dapati kertas yang sedari tadi ia cari, telah menjadi pelapis, gelas bekas kopi.

“Apa ini?!” tanya Fajar ke Kei, dengan wajah sebal. “Sorry, aku enggak sengaja. Serius!”

Fajar menggelengkan kepala. Dia kembali ke mejanya.

Dia harus kembali fokus dan segera menyelesaikan apa yang menjadi tugasnya.“Desain logo Ibu Sri, sudah dikirimkan, Jar?” tanya Kei.

“Iya, sudah tadi pagi!”

Alhamdulillah, bulan ini lumayan banyak orderan desain, jauh lebih banyak dibanding bulan lalu.”

“Semua harus disyukuri Kei. InsyaaAllah selama kita terus berusaha, pasti ada hasilnya,” jawab Fajar, dengan mata yang tetap fokus menatap layak komputer.

“Iya, semoga usaha kita ini, bisa semakin berkembang.”

“Amin.”

Hening.

Assalamu’alaykum, abang-abang keren,” suara Hendri, memecah keheningan ruangan.

“Wa’alaykumussalam, kalian!” jawab Kei.

“Sibuk banget ya Bang?” tanya Hendri.

“Iya lumayan. Abang Fajar lebih sibuk tuh, lagi mengerjakan desain deadline sore ini. Kalian dari kampus?”

“Iya Bang. Aku dan Fiki, baru dari kampus.”

“Bagaimana skripsi kamu?” sambung Kei.

“Alhamdulillah, so far so good Bang,” sahut Hendri.

“Kalau Fiki, bagaimana?”

“Lancar Bang,” jawab Fiki.

“Oh ya. Kok aku dengar dari abang kamu tuh, kamu lagi dekat dengan seseorang ya?” lanjut Kei, menatap Hendri.

Fiki tertawa, mengejek, sikap salah tingkah Hendri.

“Kamu kenapa malah tertawa?” tanya Hendri, dongkol.

Fiki seketika menghentikan tawanya. Berbalik, Kei yang tertawa melihat kelakuan kedua sahabat itu. “Ada apa sih? Abang jadi penasaran?”

“Ehm, ehm,” suara Fajar menegur ketiganya. “Kita bisik-bisik saja ya?” pinta Kei.

Ketiganya pun terkekeh, tanpa suara.

“Abang mau dengar, bagaimana ceritanya? Sudah berhasil, belum?” lanjut Kei. Fiki kembali tertawa.

“Belum sampai ke situ Bang,” jawab Hendri, pelan.

“Maksudnya?”

“Dia kan dosen aku Bang,” sambung Hendri, dengan suara yang semakin lemah.

Tawa Kei pecah. Kembali membuat Fajar terganggu. “Sudah deh! Kalau mau ribut, kalian keluar saja!”

Ketiganya langsung bangkit dan keluar dari ruangan. Mereka takut, melihat ekspresi kekesalan Fajar.

“Kita di sini saja, lebih nyaman. Dari pada di dalam, bahaya kalau abang kau itu yang marah,” sambung Kei.

Kei malah kembali terkekeh. “Abang kenapa tertawa?” tanya Fiki.

“Aku ingat saja, tadi Hendri bilang, yang dia taksir itu, dosen?”

“Iya Bang,” jawab Hendri, polos. Kei semakin tertawa.

“Abang kok tertawa terus, aku jadi merasa enggak enak,” ungkap Hendri. “Oke, oke. Abang enggak habis pikir saja. Kok kamu berani banget, taksir dosen sendiri?”

“Bang? Memang Abang belum pernah jatuh cinta?” Hendri berbalik bertanya pada Kei.

Terdengar suara Fajar, tertawa keras mendengar pertanyaan Hendri. “Bagus banget pertanyaan kamu tuh, Hen. Tanya dia, kapan dia jatuh cinta?!”

Ekspresi Kei berubah. “Kok, malah bertanya balik ke Abang?”

“Iya Bang. Hendri bertanya, karena Abang bertanya tentang perasaan. Namanya hati Bang, enggak bisa disuruh memilih. Karena yang di sana dosen, jadi hati harus mengerti? Enggak boleh jatuh cinta? Begitu kan, maksud Abang?”

“Kok malah aku yang di tanya balik, sih?” bela Kei.

Fiki dan Fajar, terkekeh kembali, melihat ekspresi kebingungan Hendri dan Kei.

“Kalian berdua, ke sini! Abang punya cerita menarik, tentang Abang kece kalian itu,” pinta Fajar, sambil menunjuk ke arah Kei.

“Memang pekerjaan kamu sudah selesai, Jar?” tanya Kei. “Sudah dong!”

Kei menarik napas. Dia pasrah.

“Cerita apa Bang?” tanya Fiki, penasaran. Belum menjawab, Fajar malah tertawa. “Abang kenapa? Kok malah tertawa?” tanya Hendri, heran.

“Oke. Kalau kalian dengar cerita ini, kalian akan tertawa seperti Abang.”

Tampak Kei hanya diam di tempat duduknya. Berusaha sibuk, mengabaikan kesibukan tiga pria, yang sementara membahas dirinya.

Bab terkait

  • Lelaki Pilihan Surga   Bab 3

    “Abang Kei itu, jangan ditanya tentang cinta. Dia mana tahu, artinya jatuh cinta,” lanjut Fajar, dengan sorot mata masih ke arah Kei. “Jadi abang Kei, belum pernah jatuh cinta?” tanya Fiki. “Bisa dibilang seperti itu!” jawab Fajar. “Aku enggak percaya saja Bang. Abang itu kece parah, pintar, tetapi enggak pernah jatuh cinta? Hidupnya sepi amat dong!” tutur Hendri. Ketiganya kembali tertawa, mengejek Kei. “Kalian tuh, kayak enggak punya kerjaan lain ya? Ha, membahas sesuatu yang enggak penting sama sekali,” sahut Kei, kesal. “Dulu waktu kuliah, sebenarnya dia pernah dekat dengan seseorang. Tapi hanya bertahan satu bulan,” ujar Fajar. “Ha? Satu bulan? Memang ada apa Bang?” sahut Fiki. “Abang kalian itu kan, orangnya cuek banget. Dingin banget sama cewek. Mana ada cewek yang mau bertahan lama sama dia?” Fajar menjelaskan. Fiki dan Hendri saling bertatapan. “Apa yang kamu pikirkan, pasti sama dengan yang aku pikirkan!” tebak Fiki. “Kalian berdua kenapa? Kok malah saling lihat-l

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-26
  • Lelaki Pilihan Surga   Bab 4

    Beberapa saat di dapur, ibunda Aara kembali membawa beberapa makanan penutup ke meja makan. “Banyak banget makanannya Tante?” tanya Citra. “Iya, rencana mau dibawa ke rumah tantenya Aara.” Citra tersenyum, dan menoleh ke arah Aara, yang hanya diam tanpa semangat. “Nak Citra, Tante mau bertanya?” Ibunda Aara tampak serius. Dia menatap fokus ke arah Citra. “Iya Tante?” “Apa enggak ada, teman pria di kampus yang suka sama Aara?” Mata Aara melotot. Citra terkekeh, tanpa suara. Berusaha menutupi mulutnya dengan tangan kanannya. “Memangnya kenapa Tante?” “Aara kan sudah dua puluh tujuh tahun. Menurut Tante, sudah waktunya dia juga dekat dengan seseorang.” Citra semakin tertawa, tanpa suara. Ekspresi tidak nyaman, justru hadir di wajah Aara. “Sebenarnya sih banyak Tante, cuma Aara-nya, yang jual mahal.” Mata Aara menatap Citra, tajam. Sangat tidak suka. “Kalau begitu, Tante minta tolong Citra ya? Siapa tahu, ada pria yang baik, bertanggung jawab, yang cocok dengan Aara.” “Siap,

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-26
  • Lelaki Pilihan Surga   Bab 5

    Pikiran Citra kembali mengalunkan rindu. Rindu pada pertemuan dengan dia, beberapa tahun yang lalu. Seseorang yang selalu memanggilnya Cantik. Citra tersenyum. Ada kebahagiaan yang nyata, tergambar di sana. “Adik namanya siapa?” kalimat pertama yang dia ucapkan, saat itu. “Citra, Kak.” “Siapa? Cantik?” Citra mengerutkan dahi. “Citra, Kak!” ujar Citra, memperjelas. “Kalau aku mau panggil kamu Cantik, boleh, kan?” Citra salah tingkah. Sebagai anak baru, dia merasa kurang nyaman dengan sikap seniornya itu. “Adik Cantik di jurusan Ekonomi, ya?” “Iya, Kak.” Sejak awal pertemuan itu, setiap bertemu dengan Citra, pria itu selalu memanggilnya Cantik. Panggilan yang kadang membuat Citra merasa risih dan terganggu. Karena setiap teman-temannya mendengar panggilan itu, dia selalu diejek dan dijodohkan dengan seniornya itu. “Cit, aku yakin kakak senior itu, suka sama kamu!” “Kamu enggak usah nambah-nambahin deh, Sal. Cukuplah aku merasa kurang nyaman dengan panggilan itu. Kamu jangan mem

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-26
  • Lelaki Pilihan Surga   Bab 6

    Setelah Rahmat pergi, Citra membuka perlahan, kado yang diberikan Rahmat. Cokelat? Citra tersenyum. Dia tidak menyangka, Rahmat akan memberikannya sebuah kado, cokelat, makanan kesukaannya. Ditatapnya cokelat yang ada di tangannya. Makanan itu, jelas membuka kembali ingatannya, pada dia, yang pertama kali membuatnya jatuh cinta, pada cokelat. “Hadiah dari kakak itu lagi?” tanya Salma.“Iya!” Salma terkekeh. “Luar biasa perjuangannya ya, Cit. Apa sih isinya? Aku penasaran!” “Ini, kamu saja yang buka!” ujar Citra, menyerahkan bungkusan kado yang ada di tangannya. “Serius?” “Iya!” Salma dengan penuh semangat, membuka kotak bersampul merah muda itu. “Cokelat!” ujar Salma, tercengang. “Iya, cokelat! Kenapa? Kamu kok kaget begitu?” “Aku heran! Pertama, dia kasih bunga mawar merah. Sekarang, dia kasih cokelat. Apa dia tidak tahu, siapa yang dia kasih?” Citra tersenyum, berbalik heran dengan ucapan Salma. “Maksud kamu apa Sal?”

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-30
  • Lelaki Pilihan Surga   Bab 7

    “Kamu sudah menghabiskan waktu terlalu lama seperti ini. Kita realistis saja! Ada Kak Rahmat yang sangat mencintai kamu. Dia bahkan rela menunggu kamu begitu lama. Apakah kamu tidak ingin mencoba, membuka hati untuk Kak Rahmat?” “Sal! Itulah yang membuat perasaanku semakin tidak nyaman selama ini. Aku selalu meminta petunjuk sama Allah. Aku mohon diberi pertanda, agar aku bisa memilih jalan yang benar. Tapi, semakin ke sini, aku malah semakin meragu!” “Jadi, bagaimana sikap Kak Rahmat sekarang?” “Aku meminta waktu lagi setahun, dan dia siap menunggu!” “Ya Allah. Dia benar-benar mencintaimu, Cit!” “Iya, aku tahu!” “Jadi, setelah setahun?” “InsyaaAllah aku akan menerima Kak Rahmat!” “Tapi, jika dalam setahun, kamu bertemu si Cantik itu?” “Salma!” Lagi, Citra dongkol dengan kata Cantik. “Ya, kamu jawab saja! Ini pertanyaan aku Cit, aku serius!” “Sal, jangan buat aku malah semakin meragu!” “Rumit banget ya, perasaan kamu! Ada yang mencintai kamu, kamu malah menunggu seseorang y

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-14
  • Lelaki Pilihan Surga   Bab 8

    Meninggalkan Warung Soto, mereka langsung ke rumah Citra. Tidak lama, mereka meneruskan perjalanan ke rumah Aara. “Ira, ibu enggak pulang malam ini. Kamu boleh langsung istirahat!” ucap Aara pada Ira, sesaat tiba di dalam rumah. “Baik, Mbak.” Ira kembali ke kamar. Aara dan Citra, menuju kamar. “Ra, kita salat isya berjamaah?” tanya Citra. “Iya Cit. Tapi kamu mau menunggu sekitar sepuluh menit?” “Memangnya kamu mau ke mana?” “Enggak. Aku mau menyeterika mukena dulu!” “Harus di setrika?” tanya Citra, heran. “Nanti aku jelaskan!” Aara berlalu, membawa dua mukena di tangannya. Citra masih diam dan berpikir tentang maksud ucapan Aara. Dia membuka almari mencari handuk, yang sudah ditunjukkan oleh Aara. Citra kembali terkejut, melihat isi almari Aara, hanya berisi beberapa pakaian yang di lipat. Beberapa pakaian di gantung. Sangat jauh berbeda dengan almari pakaiannya, yang penuh sesak. Malam i

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-22
  • Lelaki Pilihan Surga   Bab 9

    Citra menghela napas. Aara, tidak pernah kehabisan jawaban. “Prinsip aku Cit, mampu itu adalah ketika kita melakukan sesuatu, sesuai kesanggupan. Apa yang benar-benar melekat, dan kita miliki. Dan pastinya, tidak menambah beban hidup yang baru.” “Bahasa kamu terlalu ribet untuk bisa aku pahami Ra!” “Kalau aku cicil rumah, aku harus kredit, berutang. Bukankah itu sudah berarti aku tidak mampu, tetapi memaksakan mampu? Bukannya kelapangan yang aku dapatkan, justru hidupku menjadi lebih sempit, dengan cicilan kredit yang tidak sedikit setiap bulan. Akhirnya, aku sibuk mencari uang, hanya untuk bayar cicilan rumah.” “Ya Allah, pikiranku ini selalu kacau balau, saat diskusi dengan kamu!” Aara tersenyum. “Cit, mampu atau tidak mampu, yang bisa menakar itu, adalah diri kita masing-masing. Cicilan rumah itu bisa sampai sepuluh atau lima belas tahun. Luar biasa panjang Cit. Apakah kamu yakin, akan hidup selama itu?” “Ra, kita kan juga h

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-23
  • Lelaki Pilihan Surga   Bab 10

    Beberapa jam berlalu, Aara dan Citra, terlihat sudah menyelesaikan kelas mereka hari ini. Mereka tampak bercakap serius di ruangan dosen. “Kamu kenapa Ra?” tanya Citra mendampati ekspresi wajah Aara tidak bersemangat. “Mahasiswa di kelas IIb, hampir seluruhnya tidak menyelesaikan tugas hari ini!” ucap Aara, kecewa. “Memangnya ada apa?” “Alasannya, tugasnya terlalu sulit! Alasan yang enggak bisa diterima, sama sekali!” Citra terkekeh. “Ya salah kamu juga. Kamu pasti memberikan tugas di luar kemampuan mereka. Kamu kan, kebiasaannya begitu!” “Begini Cit, dengan tantangan, mereka akan bisa jauh lebih kreatif, dan akan terus berkembang!” . “Iya, benar. Tapi, tidak semua mahasiswa itu, sama! Ada yang rajin, ada yang cuek, malah ada yang tidak peduli. Jadi, kita yang harus menyesuaikan diri, dan menerima proses dari mereka.” “Mahasiswa zaman sekarang ya, beda banget dengan zaman kita dulu. Dosen masuk ke kelas, masih sempatnya

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-24

Bab terbaru

  • Lelaki Pilihan Surga   Bab 36

    Kei menerima surat itu, dia lantas membuka dan membacanya. Assalamu’alaykum Kei. Aku ucapkan selamat ya, pagi ini, kamu akan mengucap janji suci di hadapan Allah. Bersama wanita yang sangat kamu cintai. Tapi sayang, juga sangat aku cintai. Aku mohon maaf, aku bukan saudara yang baik. Aku tidak bisa hadir, di acara berbahagiamu. Kamu tahu kan Kei, aku sangat mencintai Aara. Aku takut, cintaku tidak sanggup, melihatmu bersamanya. Jeda. Kei, menghapus bulir air mata, yang membasahi pipinya. Dia begitu sangat bahagia, namun bersedih hati. Dia bisa menemukan cintanya, tetapi kehilangan saudaranya. Biarlah aku pergi, tanpa melukai cinta ini. Aku sangat mencintai Aara, tetapi aku sangat menyayangimu, sebagai saudaraku. Jaga Aara ya, Kei. Jaga dia. Dia wanita sangat istimewa. Aku mengalah, karena kamu lebih pantas untuknya, dibanding aku. Kei, aku amanahkan perusahaan kepada kamu ya. Aku telah meminta papa, m

  • Lelaki Pilihan Surga   Bab 35

    Kehidupan selalu berjalan seimbang. Di tengah duka, akan selalu hadir tawa. Di tengah kebahagiaan Haikal, segera melamar wanita idamannya. Ada hati pria lain, yang sangat hancur. Keluar dari rumah sakit, kehidupan Kei, terus berjalan, namun tanpa ada lagi harapan. Tatapannya selalu kosong. Duka itu pun sampai kepada sahabatnya dan juga pada ibundanya. Mereka terus berupaya, mencari jalan, untuk bisa menguatkan dan membantu Kei, bisa melewati fase terberatnya ini. Tiba di rumah, Kei masih bersama diamnya. Sedang, sore ini adalah hari lamaran Haikal. Fajar terus hadir, mendampingi sahabatnya itu. Kasih sayang itu tampak jelas, sudah lebih dari sebuah persaudaraan biasa. “Maksud kamu, Kei?” Fajar tersentak dengan ucapan Kei tak lama setelah tiba di rumah. “Kamu enggak usah sembunyikan lagi, Jar. Aku sudah tahu semuanya.” Fajar salah tingkah. “Kita akan ke rumah Aara, kan?” Fajar kembali salah tingkah. “Kamu tidak

  • Lelaki Pilihan Surga   Bab 34

    “Nanti, aku bertemu dengan kak Haikal saja. Untuk kak Kei, bisa melalui telepon saja,” sambung Aara. “Aara! Kamu ini kenapa?” Citra mulai kesal dengan semua kalimat yang disampaikan Aara. “Kenapa?” “Kak Kei yang banyak berjuang untuk kamu, mengapa malah perhatian kamu, lebih besar ke kak Haikal?” “Kan selama ini, memang komunikasi dengan kak Kei, enggak pernah langsung, Cit. Sedang kak Haikal, sejak awal, memang kita selalu bertemu langsung.” “Aku mulai merasa, hatimu lebih terpaut pada kak Haikal.” “Kamu keliru Cit.” “Keliru apanya? Jelas sekali, perlakukan kamu berbeda. Kamu tidak pernah menjaga perasaan kak Kei. Apakah karena kak Haikal lebih mapan?” “Citra! Maksud kalimat kamu, apa?!” Berbalik, Aara sedikit emosional mendengar tuduhan Citra. “Ya, itu pikiran aku saja. Karena kamu lebih memperioritaskan semua tentang kak Haikal, sedang hal berbeda kamu tunjukkan ke kak Kei. Padahal dia sudah

  • Lelaki Pilihan Surga   Bab 33

    Aara menghela napas. Dia syok, tertekan, bingung. “Kemudian?” “Aku tidak sadar, menatap kak Fajar, membuatku mengabaikan kak Rahmat. Aku tidak fokus, terhadap semua apa yang beliau ucapkan.” “Kak Fajar tahu keberadaanmu?” “Kayaknya enggak, karena dia bersama beberapa temannya.” “Jadi, apa yang terjadi?” “Kak Rahmat menyadari perubahan sikapku. Dia bertanya. Siapa kak Fajar, apakah aku kenal?” “Ya Allah. Citra, Citra….” “Aku tidak bisa bohong, Ra. Makanya aku katakan yang sebenarnya.” “Tanggapannya?” “Cit. Kamu tahu kan, aku sangat mencitaimu. Sangat mengharapkanmu, jadi pendamping hidupku sehidup sesurga. Tapi, aku merasa hari ini, aku tidak pantas untuk itu. Beberapa tahun kita saling kenal, aku tidak pernah melihat sinar mata itu, ada untuk aku. Apakah aku sanggup, menyakiti hati seseorang yang sangat aku cintai, dengan memaksanya mencintaiku? Kita tidak lama lagi akan menikah, te

  • Lelaki Pilihan Surga   Bab 32

    Beberapa saat kemudian, Haikal pamit. “Sin, kamu lihat? Kalau seperti ini, aku semakin tidak enak dan berutang budi kepada mereka. Bagaimana jika Aara menolak Haikal?” “Keluarga mas Harun, keluarga yang tulus, Mas. InsyaaAllah, mereka bisa menghargai semua keputusan Aara. Karena Aara sudah dewasa. Kita tidak mungkin mencampuri keputusannya. Mas kan tahu, bagaimana karakter Aara. Hubungan Mas dan Aara pun, belum membaik. Sinta khawatir, jika kita terlalu jauh masuk ke dalam persoalan Haikal dan Aara, Aara semakin menjaga jarak dari kita.” “Aku merasa persoalan ini begitu rumit. Mengapa Haikal harus jatuh hati pada Aara. Kekhawatiranku terlalu besar, hal ini akan mempengaruhi hubungan baik kita dengan keluarga Harun.” “InsyaaAllah, Mas. Sinta yakin, Aara akan mengambil keputusan terbaik.” “Amin.” *** Tiba di kantor, Kei dikejutkan dengan kehadiran Fajar, di ruangannya. “Pak Fajar Bimantara? Kamu udah balik?”

  • Lelaki Pilihan Surga   Bab 31

    “Fajar menitip salam untuk kamu. Dia lagi dapat tugas, mendampingi CEO ke London. Besok atau lusa udah balik!” Citra hanya tersenyum. Dia bingung, menyusun kalimat. Kadang rindu, tidak bisa terwakilkan dengan bahasa apapun. Beberapa menit berlalu. Kei pamit, dan meninggalkan warung soto Mas Tomo. “Cit?” “Iya Ra.” “Aku bingung. Sebenarnya bagaimana hubungan kalian?” Citra terpaku. “Kak Rahmat, Pak Restu? Kamu terlalu banyak fans, aku jadi pusing!” sambung Aara. Citra tersenyum. “Ra, sebanyak apapun orang yang datang dalam hidup kita, hati akan tetap terpaut pada cinta. Sejauh apapun kita melangkah, sejauh apapun jarak tercipta, cinta itu tetap akan berada di tempatnya.” “Aku semakin bingung dengan kalimat kamu. Bukannya tanggal pernikahan kamu dan kak Rahmat sudah ditentukan?” Citra hanya tersenyum. Aara menggeleng, tidak mengerti sikap sahabatnya itu. “Ra

  • Lelaki Pilihan Surga   Bab 30

    Citra berdiri dan melangkah setengah hati menemui Aara, di dalam kamar. Dia merasakan suasana pagi ini, sangat tidak mengenakkan. Semua pikiran negatif, sudah berkecamuk dalam kepalanya. Dia terus bertanya, tujuan Haikal menemui Aara. “Citra?” Aara terkejut, melihat kehadiran Citra. “Iya!” “Kamu sudah dari tadi?” “Iya, aku ngobrol di depan, dengan tante Sinta.” “Kamu kenapa? Kok mukanya panik gitu?” “Ra, ayo keluar. Ada tamu untuk kamu?” “Tamu?” “Iya, Haikal anaknya om Harun.” “Yang di rumah sakit itu?” Aara memperjelas. “Iya. Ayo cepat! Dia udah dari tadi lho.” “Ada urusan apa?” “Mana aku tahu? Ayolah! Enggak enak ditungguin!” Masih dengan kebingungannya, Aara mengganti pakaiannya dan menemui Haikal di ruang tamu. Citra tetap bersamanya. “Assalamu’alaykum,” sapa Haikal, ramah. “Wa’alaykumussalam,” jawab Aara, tersenyum. Aara dan Citra, duduk di depan Hai

  • Lelaki Pilihan Surga   Bab 29

    Malam kian larut. Fajar telah menyusul Fiki dan Hendri beristirahat. Kei masih duduk termenung sendiri, di meja kerjanya. Cinta? Mengapa kamu begitu rumit? Kamu datang begitu saja, tanpa kuminta. Setelah dekat, kamu malah menyiksaku, dalam rindu tak berkesudahan. Menyiksaku dalam jarak, yang tak mampu kutempuh. Beberapa menit dalam keheningan, Kei tertidur di meja kerjanya. Lelah tak berujung, tampak jelas di wajahnya. Sang pencinta yang sedang dilanda badai keraguan dan ketidak-berdayaan. Pukul dua malam, Kei terbangun. Dia baru sadar, dia masih di meja kerjanya. Setelah menenangkan dirinya, dia beranjak menuju kamar mandi. Lantas, dia mengambil sajadah di lantai dua. Tampak, dia akan menunaikan salat. Ketiga rekannya, larut dalam tidur. Ya Allah, ya Tuhanku. Perjalanan ini benar-benar melelahkanku. Apakah memang ini, takdir dari-Mu? Perjalanan yang harus kutempuh, menuju-Mu? Ya Allah, ya

  • Lelaki Pilihan Surga   Bab 28

    Aara berdiri, terpaku, di depan pintu. Tangan Citra kembali menariknya, masuk ke dalam kamar. “Aara?” suara pria itu, mengagetkan Aara. “Kamu dipanggil, kamu mendekat ke sana!” bisik Citra. Aara mengangkat alis. Dia bingung. Siapa sebenarnya orang yang sedang di rawat dan sangat mengenalnya. “Ibu? Bisa Ibu jelaskan?” “Ayah kamu, Ra.” “Apa?” Aara terkesiap. Ibundanya mengangguk. Aara menatap Citra. Tanpa menjawab, Aara berdiri dan melangkah menuju pintu. Namun, tangan Citra, dengan sigap menariknya, untuk tetap di tempatnya. Aara tampak menahan emosi. Wajahnya tegang. “Duduk, Ra. Duduk!” pinta Citra. Aara duduk, dengan ekspresi yang sama. Dia tidak menyangka, Citra akan melakukan sesuatu yang sangat dia benci. Dia kecewa, sahabatnya sendiri, menariknya ke dalam pertemuan, yang paling dihindarinya. Aara terpaku dan Citra tetap fokus di sampingnya, menahan tangannya. “Sin, terima kasih kamu sudah

DMCA.com Protection Status