Beberapa saat di dapur, ibunda Aara kembali membawa beberapa makanan penutup ke meja makan.
“Banyak banget makanannya Tante?” tanya Citra.
“Iya, rencana mau dibawa ke rumah tantenya Aara.”
Citra tersenyum, dan menoleh ke arah Aara, yang hanya diam tanpa semangat.
“Nak Citra, Tante mau bertanya?” Ibunda Aara tampak serius. Dia menatap fokus ke arah Citra.
“Iya Tante?”
“Apa enggak ada, teman pria di kampus yang suka sama Aara?”
Mata Aara melotot. Citra terkekeh, tanpa suara. Berusaha menutupi mulutnya dengan tangan kanannya.
“Memangnya kenapa Tante?”
“Aara kan sudah dua puluh tujuh tahun. Menurut Tante, sudah waktunya dia juga dekat dengan seseorang.”
Citra semakin tertawa, tanpa suara. Ekspresi tidak nyaman, justru hadir di wajah Aara.
“Sebenarnya sih banyak Tante, cuma Aara-nya, yang jual mahal.”
Mata Aara menatap Citra, tajam. Sangat tidak suka.
“Kalau begitu, Tante minta tolong Citra ya? Siapa tahu, ada pria yang baik, bertanggung jawab, yang cocok dengan Aara.”
“Siap, Tante!” jawab Citra, penuh semangat.
Aara menggelengkan kepala dan terdiam. Ibunya meninggalkan meja makan, menuju dapur.
“Kamu kenapa?” ujar Aara, sebal dengan sikap Citra. Citra tertawa. “Kamu yang kenapa?” tanya Citra kembali.
“Kenapa kamu malah bersikap seperti itu, menanggapi ucapan ibu?”
“Ra, kamu kenapa sih, emosi terus?”
“Aku enggak suka Cit, enggak suka!”
Citra menghela napas. “Oke, sebentar kita bahas ini, setelah makan!”
“Oke!” sahut Aara, setuju.
Suasana berlanjut hening.
Tidak lama, Citra dan Aara menyelesaikan makan malam mereka.
“Bu, aku dan Citra ke kamar ya?” pinta Aara. “Iya Nak,” jawab ibundanya.
Aara menarik tangan Citra menuju kamarnya.
“Aara, kamu kenapa sih? Aku curiga, kamu sebenarnya bukan umur dua puluh tujuh tahun. Tetapi, tujuh puluh dua tahun!” ujar Citra, sebal.
“Sudah deh!”
“Aara Malaika, kamu kenapa? Sekarang waktunya ngomong!” lanjut Citra.
Aara mengatur napas. “Kamu tahu kan, aku paling enggak suka, kamu meladeni ucapan ibu masalah itu!”
“Tentang apa? Langsung saja deh!” ujar Citra.
“Kamu enggak usah pura-pura tidak tahu! Paling suka menggoda aku masalah begini!”
“Aara. Enggak semua harus dihadapi dengan emosi, kan? Santai saja! Ibu juga kan, cuma nanya doang?”
“Tapi kalau kamu kasih tanggapan seperti itu, ibu nanti malah semakin berharap!”
Citra tertawa. “Aara, sikap ibu, wajar. Dia kan juga ingin melihat anaknya seperti wanita-wanita di luar sana.”
“Tapi aku berbeda Cit, beda!”
“Oke, oke. Aku enggak mau berdebat! Aku tambah capai, ladeni kamu masalah begini!”
Ekspresi wajah Aara berubah. “Aku sedih saja Cit. Kamu, ibu, lebih-lebih orang di luar sana, tidak ada satu pun yang paham kondisi hatiku.”
Citra terdiam.
“Aku selalu jujur padamu Cit. Aku selalu jujur, tentang apapun. Apa yang aku suka, apa yang aku benci. Jadi ketika aku mengatakan sesuatu tidak aku sukai, berarti hal itu sangat menyakitkan bagiku, Citra! Ataukah hanya aku yang punya perasaan? Hanya aku yang merasakan sedih, berduka, atas semua kejadian yang silih berganti hadir di keluarga kami?”
“Ra—“
“Aku heran saja. Ibu seakan lupa, apa yang selalu kuucapkan padanya, saat dia menyinggung tentang pernikahan. Kamu pun sama!”
“Aara, tidak seperti itu….” Citra kehabisan kata.
“Aku juga tidak tahu, sampai kapan aku seperti ini. Kenyataan yang hadir selama ini, terasa cukup membuatku yakin, memilih sendiri!”
“Ra, kamu meragukan kuasa Allah?”
“Aku hanya meyakini apa yang kini nyata di hadapanku, Cit. Bisa kan, aku fokus ke hal-hal yang pasti?”
“Bukankah Allah selalu sesuai dengan prasangka hamba-Nya? Kita sudah belajar tentang itu kan, Ra?”
“Iya, aku tahu! Tapi untuk hal ini, maaf Cit, aku tidak lagi punya harapan!”
Citra kembali menghela napas. Dia selalu kehabisan cara, menghadapi argumen Aara tentang pernikahan.
“Kamu ingat kan, semua cerita keluarga kami. Kegagalan menjadi satu kata yang tidak ingin lagi kudengar. Dan cara untuk menghindari itu, adalah tidak mencoba!”
“Kalau kamu berpikir seperti itu, apakah itu tidak berarti, kamu menganggap Allah tidak Pengasih dan Penyayang?”
Aara menarik napas.
“Bukan itu maksudku, Citra!” sanggah Aara.
“Bukan bagaimana? Kamu tuh, aku bingung! Jelas-jelas kamu meragukan kasih sayang Allah, jika kamu terus saja berpikir buruk atas kehidupan ini!”
“Oke, aku akan kembali mengingatkanmu, semua alasan, mengapa aku seperti ini!”
Citra terpaku.
“Pertama, aku, Aara Malaika! Aku lahir dari sebuah hubungan yang terlarang. Orang yang disebut ayah kandungku, menikahi ibuku, saat dia sudah punya istri dan anak! Pertanyaannya, siapa yang berengsek?”
Citra memegang kepala, tidak ada kalimat yang terucap darinya.
“Setelah aku lahir, dia pergi begitu saja! Pertanyaannya lagi, siapa yang berengsek?”
Citra semakin bingung.
“Kedua, adik ibuku. Tante Serli, cerai dengan dua orang anak. Selama dua puluh tahun, dia berjuang sendiri memberikan nafkah ke kedua anaknya. Mantan suaminya, ke mana? Siapa yang berengsek?”
Astagfirullah, Citra semakin tersudut.
“Ketiga, masih adik ibuku. Tante Yasmin, masih bersama suaminya, tetapi menderita. Heran aku! Kok keluarga kami sama sekali tidak punya takdir yang baik, mendapatkan menantu pria yang sedikit lebih baik!”
“Ra…, cukup! InsyaaAllah akan ada waktunya, semua akan jauh lebih baik.”
Aara kembali tersenyum sinis.
“Aku tidak pernah meragukan kekuasaan Allah, Cit. Tapi, untuk ini, aku benar-benar tidak punya harapan. Aku lelah melihat mereka, yang menjadi bagian diriku, terpuruk, bertanggung jawab atas takdir yang tidak bersahabat. Aku kasihan! Mereka wanita-wanita hebat, baik, tetapi masih saja, ditakdirkan bertemu dengan pria yang, haa… .”
Aara menghela napas.
“Kita kan selalu percaya, Ra, bahwa akan ada kebahagiaan disela takdir yang penuh duka dan air mata?” Citra mencoba bijak.
“Jujur, aku sudah kehilangan harapan itu. Mau bagaimana lagi, sehingga kami pantas mendapatkan takdir yang lebih baik?”
Citra kini benar-benar kehilangan kata. Dia menyerah! Aara pun tak mengucapkan sepatah kata lagi.
Citra melihat jam. “Ra, aku balik ya? Sudah jam delapan.”
“Enggak menginap sekalian?”
“Lain kali saja. Aku belum izin soalnya ke mama. Takutnya nanti beliau khawatir.”
“Iya, siapa yang enggak khawatir? Kalau gadis paling cantiknya, enggak pulang ke rumah.”
“Sudah, cukup gombalnya! Makasih ya. Aku minta maaf, jika hari ini aku banyak membuatmu enggak nyaman, Putri Aara,” ucap Citra, memeluk Aara.
“Siap, Putri Citra. Terima kasih sudah selalu hadir, menerima segala jenis persoalanku.”
Citra diikuti Aara menemui ibunda Aara.
Aara mengantar Citra sampai di halaman. “Hati-hati ya. Salam buat mama.”
“Siap disampaikan!”
Pelukan Citra, mengakhiri kebersamaan keduanya hari ini. “Assalamu’alaykum,” ucap Citra. “Wa’alaykumussalam,” jawab Aara.
Sepanjang perjalanan, Citra teringat dengan pembicaraannya dengan Aara.
Aku maklum dengan sikapmu Ra. Aku bahkan tidak punya kalimat, yang bisa mewakili, beratnya kehidupan di keluargamu. Jika ada kalimat-kalimat semangat yang aku berikan, itu hanya bagian usahaku, untuk bisa melihatmu tetap tersenyum. Memang berat, namun jika senyumanmu pun hilang, kehidupan akan semakin berat, gumam Citra.Citra menarik napas panjang. Dia kadang sulit menempatkan diri saat berhadapan dengan Aara. Dia selalu menghadapi tembok kokoh saat membahas tentang pernikahan. Sahabatnya itu, benar-benar menutup pintu untuk cinta.
Setelah melalui beberapa ruas jalanan, yang tampak ramai, Citra sampai di kediamannya. Tampak sang mama, menunggunya di ruang tamu.
“Assalamu’alaykum,” ujar Citra, memasuki kediamannya.
“Wa’alaykumussalam, alhamdulillah anak Mama sudah tiba di rumah,” sambut mama Citra, memeluk sang buah hati.
“Ada tamu ya, Ma?” tanya Citra, setelah melihat beberapa gelas minuman, masih terparkir di meja ruang tamu.
“Iya, tadi Rahmat datang bersama mama-nya.”
Citra menghela napas. Dia sudah sangat paham, jika mendengar nama itu.
“Nak, kamu bisa duduk dulu, Mama mau bicara!” pinta mama. “Kamu sudah pulang Nak?” tanya papa Citra yang keluar dari kamar.
“Iya Pa,” jawab Citra, seraya mencium tangan papa-nya.
“Ini Pa, Mama mau bicara dengan Citra, tentang kedatangan Rahmat dan mama-nya tadi,” sambung mama Citra.
“Iya Ma. Mama yang bicara saja, dengan anak kesayangan mama ini.” Pria itu pun duduk tidak jauh dari Citra.
Citra semakin kurang nyaman. Pembicaraan kedua orang tuanya jelas mengarah pada hal yang tidak diharapkannya.
“Nak, Rahmat itu sudah dua kali datang. Tapi kamu belum juga memberi jawaban.” Mama Citra memulai.
“Ma, Citra kan sudah pernah kasih jawaban?”
“Tapi jawaban kamu itu, tidak bisa Mama dan Papa terima.”
“Ma, saat ini Citra belum siap berumah tangga. Citra masih mau menemani Mama dan Papa!”
“Nak, kamu sudah dua puluh tujuh tahun bulan depan. Mama dan Papa anggap, ini sudah waktunya, kamu fokus ke masa depan kamu sendiri.”
“Ma, masa depan Citra bukan hanya menikah, kan?”
Mama dan Papa-nya saling berpandangan. Mereka tersenyum. Citra selalu saja memberikan jawaban, yang sangat sulit direspons kedua orang tuanya.
“Citra, Citra. Kamu selalu saja punya jawaban, kalau Mama membahas masalah Rahmat.”
“Mama dan Papa kan sudah paham, pernikahan harus dipersiapkan dengan sempurna. Karena Citra hanya ingin menikah sekali seumur hidup, dengan seseorang yang Citra cintai.”
“Tapi jangan terlalu lama ya, Nak. Mama dan Papa berharap, kamu bisa segera membawa seseorang yang kamu cintai, ke rumah ini,” pinta Mama.
“InsyaaAllah, Ma. Citra hanya butuh doa Mama dan Papa. Itu sudah cukup.”
“Pasti Nak. Mama dan Papa selalu mendoakan kamu, setiap saat.”
“Ma, Pa, Citra ke kamar ya?”
Citra berlalu, meninggalkan kedua orang tuanya, yang masih duduk di ruang tamu.
“Pa, itu anak kita. Sampai kapan dia membuat kita menunggu seperti ini?”
“Sabar, Ma. Papa merasa, Citra itu mencintai seseorang. Tapi, dia masih memendamnya. Dan itu bukan Rahmat.”
“Kasihan Rahmat, Pa. Dia sudah menunggu Citra, tiga tahun. Sudah datang ke sini dua kali. Tapi, Citra masih saja, menutup hati.”
“Ma, cinta tidak bisa dipaksakan. Kita hanya ingin anak kita bahagia. Jadi, biarlah semua keputusan, kembali pada Citra.”
“Baik Pa. Seperti Papa, Mama hanya berharap, Citra memilih seseorang yang terbaik, untuk masa depannya.”
“Amin.”
Papa dan mama Citra mengakhiri percakapan di ruang tamu. Mbak Siti, membersihkan gelas, beserta makanan dan minuman yang tersisa di ruang tamu.
***
Di dalam kamar, Citra masih termenung di teras, kamarnya. Kegigihan Rahmat sedikit mengganggu pikirannya.
“Cit, aku benar-benar ingin, kamu jadi wanita di masa depanku,” kalimat Rahmat, yang selalu dia ucapkan, berulang kali.
“Kak Rahmat, saat ini, baiknya fokus dulu menyelesaikan kuliah, sedikit lagi kan, Kak?”
“Iya, satu semester lagi. Tapi, aku takut, kamu akan diambil orang lain.”
“Memangnya Citra ini, barang?”
“Maaf, bukan itu maksud Kak Rahmat.”
“Jadi?”
“Kak Rahmat enggak mau, didahului orang lain.”
“Kak, perihal jodoh, hanya Allah yang punya Kuasa.”
“Tapi, ikhtiar, tugas manusia!”
“Iya, tetapi enggak bisa dipaksakan, Kak!”
“Kamu mencari pria seperti apa sih?”
Citra terpaku.
“Kak Rahmat paham agama, rajin ngaji. Orang tua Kak Rahmat, punya segalanya. Kamu minta mahar apapun, Kak Rahmat pasti sediakan. Orang tua kamu dan orang tua Kak Rahmat, sudah kenal dekat.”
“Untuk saat ini, kita fokus menyelesaikan kuliah dulu ya, Kak?”
“Kamu enggak suka sama Kak Rahmat?”
“Bukan itu Kak. Saat ini, Citra hanya ingin fokus menyelesaikan kuliah.”
“Oke. Kalau begitu, setelah wisuda, Kak Rahmat akan langsung menemui orang tua kamu!”
Dialog, yang benar-benar dibuktikan Rahmat.
Dia membuktikan ucapannya, datang menemui orang tua Citra, setelah wisuda sarjana beberapa tahun yang lalu.
Namun, Citra belum menerima, dengan alasan ingin melanjutkan kuliah. Setelah itu, Rahmat lagi-lagi datang, tidak lama setelah Citra wisuda pendidikan magisternya. Tapi, Citra belum memberikan jawaban.
Andaikan saja, aku tidak bertemu dengannya saat itu. Aku sudah menerimamu, Kak Rahmat. Lima tahun berlalu, perasaan ini sungguh tidak mampu kuajak kompromi. Hati ini masih bersama dengan dia. Dia yang entah ke mana.
Citra menatap gelang yang tergantung di laci meja kerjanya.
Kamu ke mana Kak? Mengapa memberiku harapan, jika akhirnya kamu juga akan pergi? Mengapa memberiku rindu, jika harus meninggalkan kepahitan?
Pikiran Citra kembali mengalunkan rindu. Rindu pada pertemuan dengan dia, beberapa tahun yang lalu. Seseorang yang selalu memanggilnya Cantik. Citra tersenyum. Ada kebahagiaan yang nyata, tergambar di sana. “Adik namanya siapa?” kalimat pertama yang dia ucapkan, saat itu. “Citra, Kak.” “Siapa? Cantik?” Citra mengerutkan dahi. “Citra, Kak!” ujar Citra, memperjelas. “Kalau aku mau panggil kamu Cantik, boleh, kan?” Citra salah tingkah. Sebagai anak baru, dia merasa kurang nyaman dengan sikap seniornya itu. “Adik Cantik di jurusan Ekonomi, ya?” “Iya, Kak.” Sejak awal pertemuan itu, setiap bertemu dengan Citra, pria itu selalu memanggilnya Cantik. Panggilan yang kadang membuat Citra merasa risih dan terganggu. Karena setiap teman-temannya mendengar panggilan itu, dia selalu diejek dan dijodohkan dengan seniornya itu. “Cit, aku yakin kakak senior itu, suka sama kamu!” “Kamu enggak usah nambah-nambahin deh, Sal. Cukuplah aku merasa kurang nyaman dengan panggilan itu. Kamu jangan mem
Setelah Rahmat pergi, Citra membuka perlahan, kado yang diberikan Rahmat. Cokelat? Citra tersenyum. Dia tidak menyangka, Rahmat akan memberikannya sebuah kado, cokelat, makanan kesukaannya. Ditatapnya cokelat yang ada di tangannya. Makanan itu, jelas membuka kembali ingatannya, pada dia, yang pertama kali membuatnya jatuh cinta, pada cokelat. “Hadiah dari kakak itu lagi?” tanya Salma.“Iya!” Salma terkekeh. “Luar biasa perjuangannya ya, Cit. Apa sih isinya? Aku penasaran!” “Ini, kamu saja yang buka!” ujar Citra, menyerahkan bungkusan kado yang ada di tangannya. “Serius?” “Iya!” Salma dengan penuh semangat, membuka kotak bersampul merah muda itu. “Cokelat!” ujar Salma, tercengang. “Iya, cokelat! Kenapa? Kamu kok kaget begitu?” “Aku heran! Pertama, dia kasih bunga mawar merah. Sekarang, dia kasih cokelat. Apa dia tidak tahu, siapa yang dia kasih?” Citra tersenyum, berbalik heran dengan ucapan Salma. “Maksud kamu apa Sal?”
“Kamu sudah menghabiskan waktu terlalu lama seperti ini. Kita realistis saja! Ada Kak Rahmat yang sangat mencintai kamu. Dia bahkan rela menunggu kamu begitu lama. Apakah kamu tidak ingin mencoba, membuka hati untuk Kak Rahmat?” “Sal! Itulah yang membuat perasaanku semakin tidak nyaman selama ini. Aku selalu meminta petunjuk sama Allah. Aku mohon diberi pertanda, agar aku bisa memilih jalan yang benar. Tapi, semakin ke sini, aku malah semakin meragu!” “Jadi, bagaimana sikap Kak Rahmat sekarang?” “Aku meminta waktu lagi setahun, dan dia siap menunggu!” “Ya Allah. Dia benar-benar mencintaimu, Cit!” “Iya, aku tahu!” “Jadi, setelah setahun?” “InsyaaAllah aku akan menerima Kak Rahmat!” “Tapi, jika dalam setahun, kamu bertemu si Cantik itu?” “Salma!” Lagi, Citra dongkol dengan kata Cantik. “Ya, kamu jawab saja! Ini pertanyaan aku Cit, aku serius!” “Sal, jangan buat aku malah semakin meragu!” “Rumit banget ya, perasaan kamu! Ada yang mencintai kamu, kamu malah menunggu seseorang y
Meninggalkan Warung Soto, mereka langsung ke rumah Citra. Tidak lama, mereka meneruskan perjalanan ke rumah Aara. “Ira, ibu enggak pulang malam ini. Kamu boleh langsung istirahat!” ucap Aara pada Ira, sesaat tiba di dalam rumah. “Baik, Mbak.” Ira kembali ke kamar. Aara dan Citra, menuju kamar. “Ra, kita salat isya berjamaah?” tanya Citra. “Iya Cit. Tapi kamu mau menunggu sekitar sepuluh menit?” “Memangnya kamu mau ke mana?” “Enggak. Aku mau menyeterika mukena dulu!” “Harus di setrika?” tanya Citra, heran. “Nanti aku jelaskan!” Aara berlalu, membawa dua mukena di tangannya. Citra masih diam dan berpikir tentang maksud ucapan Aara. Dia membuka almari mencari handuk, yang sudah ditunjukkan oleh Aara. Citra kembali terkejut, melihat isi almari Aara, hanya berisi beberapa pakaian yang di lipat. Beberapa pakaian di gantung. Sangat jauh berbeda dengan almari pakaiannya, yang penuh sesak. Malam i
Citra menghela napas. Aara, tidak pernah kehabisan jawaban. “Prinsip aku Cit, mampu itu adalah ketika kita melakukan sesuatu, sesuai kesanggupan. Apa yang benar-benar melekat, dan kita miliki. Dan pastinya, tidak menambah beban hidup yang baru.” “Bahasa kamu terlalu ribet untuk bisa aku pahami Ra!” “Kalau aku cicil rumah, aku harus kredit, berutang. Bukankah itu sudah berarti aku tidak mampu, tetapi memaksakan mampu? Bukannya kelapangan yang aku dapatkan, justru hidupku menjadi lebih sempit, dengan cicilan kredit yang tidak sedikit setiap bulan. Akhirnya, aku sibuk mencari uang, hanya untuk bayar cicilan rumah.” “Ya Allah, pikiranku ini selalu kacau balau, saat diskusi dengan kamu!” Aara tersenyum. “Cit, mampu atau tidak mampu, yang bisa menakar itu, adalah diri kita masing-masing. Cicilan rumah itu bisa sampai sepuluh atau lima belas tahun. Luar biasa panjang Cit. Apakah kamu yakin, akan hidup selama itu?” “Ra, kita kan juga h
Beberapa jam berlalu, Aara dan Citra, terlihat sudah menyelesaikan kelas mereka hari ini. Mereka tampak bercakap serius di ruangan dosen. “Kamu kenapa Ra?” tanya Citra mendampati ekspresi wajah Aara tidak bersemangat. “Mahasiswa di kelas IIb, hampir seluruhnya tidak menyelesaikan tugas hari ini!” ucap Aara, kecewa. “Memangnya ada apa?” “Alasannya, tugasnya terlalu sulit! Alasan yang enggak bisa diterima, sama sekali!” Citra terkekeh. “Ya salah kamu juga. Kamu pasti memberikan tugas di luar kemampuan mereka. Kamu kan, kebiasaannya begitu!” “Begini Cit, dengan tantangan, mereka akan bisa jauh lebih kreatif, dan akan terus berkembang!” . “Iya, benar. Tapi, tidak semua mahasiswa itu, sama! Ada yang rajin, ada yang cuek, malah ada yang tidak peduli. Jadi, kita yang harus menyesuaikan diri, dan menerima proses dari mereka.” “Mahasiswa zaman sekarang ya, beda banget dengan zaman kita dulu. Dosen masuk ke kelas, masih sempatnya
Dalam perjalanan pulang, Aara dan Citra mencipta hening. Aara sekali-kali menoleh ke arah Citra, namun dilihatnya, sahabatnya itu masih terlihat sangat sedih. “Cit….” “Iya,” jawab Citra, pelan. “Aku mau bertanya, aku masih bingung!” “Iya.” “Kamu dulu pernah cerita tentang kakak senior kamu, yang kamu sebut kak Man. Tapi, tadi Hendri sebut abangnya itu Fajar?” “Kak Man itu, Fajar Bimantara!” “Oh gitu.” Aara mengangguk. “Dulu, saat kuliah, kak Man itu sedikit nakal, jarang masuk kuliah. Makanya teman-temannya memanggil kak Man. Kata mereka, nama Fajar, enggak cocok dengan perilakunya saat itu. Jadi kami, juniornya, ikut mengenal beliau sebagai kak Man,” jawab Citra, yang terlihat sudah lebih baik. “Kita singgah di soto Mas Tomo? Kamu mau?” pinta Aara. “Boleh.” Suasana kembali senyap. Citra terus menatap lurus ke depan. Dia tampak terus berpikir, matanya bahkan tak berkedip. Melamun. “Cit, k
Hendri begitu tersentuh dengan ucapan Kei. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak pernah menyangka, abangnya, begitu sangat menyayanginya. “Abang Fajar sadar, dibanding dengan kehidupan Citra, mereka ibarat langit dan bumi. Yang tidak akan pernah bisa menyatu.” “Jadi, tadi kedatangan ibu Citra, ada keperluan apa Bang?” tanya Fiki, kembali. “Hari ini pertama kalinya, sejak lima tahun yang lalu, setelah abang Fajar pergi tanpa pesan. Mereka baru bertemu kembali.” “Apakah karena alasan abang Fajar, ibu Citra masih menutup diri dengan semua pria yang mendekatinya, Bang? Demikian pula dengan abang Fajar?” “Ehm, mungkin seperti itu!” jawab Kei, tanpa kepastian. “Tangisan ibu Citra itu jelas menyimpan banyak makna Bang. Mata sendu abang Fajar pun sama. Fiki merasa, masih ada cinta di antara keduanya.” Kei menghela napas dan mengembuskannya. “Kalau itu, Abang Kei, tidak bisa memberi kesimpulan!” Senyap. Fiki menghadap
Kei menerima surat itu, dia lantas membuka dan membacanya. Assalamu’alaykum Kei. Aku ucapkan selamat ya, pagi ini, kamu akan mengucap janji suci di hadapan Allah. Bersama wanita yang sangat kamu cintai. Tapi sayang, juga sangat aku cintai. Aku mohon maaf, aku bukan saudara yang baik. Aku tidak bisa hadir, di acara berbahagiamu. Kamu tahu kan Kei, aku sangat mencintai Aara. Aku takut, cintaku tidak sanggup, melihatmu bersamanya. Jeda. Kei, menghapus bulir air mata, yang membasahi pipinya. Dia begitu sangat bahagia, namun bersedih hati. Dia bisa menemukan cintanya, tetapi kehilangan saudaranya. Biarlah aku pergi, tanpa melukai cinta ini. Aku sangat mencintai Aara, tetapi aku sangat menyayangimu, sebagai saudaraku. Jaga Aara ya, Kei. Jaga dia. Dia wanita sangat istimewa. Aku mengalah, karena kamu lebih pantas untuknya, dibanding aku. Kei, aku amanahkan perusahaan kepada kamu ya. Aku telah meminta papa, m
Kehidupan selalu berjalan seimbang. Di tengah duka, akan selalu hadir tawa. Di tengah kebahagiaan Haikal, segera melamar wanita idamannya. Ada hati pria lain, yang sangat hancur. Keluar dari rumah sakit, kehidupan Kei, terus berjalan, namun tanpa ada lagi harapan. Tatapannya selalu kosong. Duka itu pun sampai kepada sahabatnya dan juga pada ibundanya. Mereka terus berupaya, mencari jalan, untuk bisa menguatkan dan membantu Kei, bisa melewati fase terberatnya ini. Tiba di rumah, Kei masih bersama diamnya. Sedang, sore ini adalah hari lamaran Haikal. Fajar terus hadir, mendampingi sahabatnya itu. Kasih sayang itu tampak jelas, sudah lebih dari sebuah persaudaraan biasa. “Maksud kamu, Kei?” Fajar tersentak dengan ucapan Kei tak lama setelah tiba di rumah. “Kamu enggak usah sembunyikan lagi, Jar. Aku sudah tahu semuanya.” Fajar salah tingkah. “Kita akan ke rumah Aara, kan?” Fajar kembali salah tingkah. “Kamu tidak
“Nanti, aku bertemu dengan kak Haikal saja. Untuk kak Kei, bisa melalui telepon saja,” sambung Aara. “Aara! Kamu ini kenapa?” Citra mulai kesal dengan semua kalimat yang disampaikan Aara. “Kenapa?” “Kak Kei yang banyak berjuang untuk kamu, mengapa malah perhatian kamu, lebih besar ke kak Haikal?” “Kan selama ini, memang komunikasi dengan kak Kei, enggak pernah langsung, Cit. Sedang kak Haikal, sejak awal, memang kita selalu bertemu langsung.” “Aku mulai merasa, hatimu lebih terpaut pada kak Haikal.” “Kamu keliru Cit.” “Keliru apanya? Jelas sekali, perlakukan kamu berbeda. Kamu tidak pernah menjaga perasaan kak Kei. Apakah karena kak Haikal lebih mapan?” “Citra! Maksud kalimat kamu, apa?!” Berbalik, Aara sedikit emosional mendengar tuduhan Citra. “Ya, itu pikiran aku saja. Karena kamu lebih memperioritaskan semua tentang kak Haikal, sedang hal berbeda kamu tunjukkan ke kak Kei. Padahal dia sudah
Aara menghela napas. Dia syok, tertekan, bingung. “Kemudian?” “Aku tidak sadar, menatap kak Fajar, membuatku mengabaikan kak Rahmat. Aku tidak fokus, terhadap semua apa yang beliau ucapkan.” “Kak Fajar tahu keberadaanmu?” “Kayaknya enggak, karena dia bersama beberapa temannya.” “Jadi, apa yang terjadi?” “Kak Rahmat menyadari perubahan sikapku. Dia bertanya. Siapa kak Fajar, apakah aku kenal?” “Ya Allah. Citra, Citra….” “Aku tidak bisa bohong, Ra. Makanya aku katakan yang sebenarnya.” “Tanggapannya?” “Cit. Kamu tahu kan, aku sangat mencitaimu. Sangat mengharapkanmu, jadi pendamping hidupku sehidup sesurga. Tapi, aku merasa hari ini, aku tidak pantas untuk itu. Beberapa tahun kita saling kenal, aku tidak pernah melihat sinar mata itu, ada untuk aku. Apakah aku sanggup, menyakiti hati seseorang yang sangat aku cintai, dengan memaksanya mencintaiku? Kita tidak lama lagi akan menikah, te
Beberapa saat kemudian, Haikal pamit. “Sin, kamu lihat? Kalau seperti ini, aku semakin tidak enak dan berutang budi kepada mereka. Bagaimana jika Aara menolak Haikal?” “Keluarga mas Harun, keluarga yang tulus, Mas. InsyaaAllah, mereka bisa menghargai semua keputusan Aara. Karena Aara sudah dewasa. Kita tidak mungkin mencampuri keputusannya. Mas kan tahu, bagaimana karakter Aara. Hubungan Mas dan Aara pun, belum membaik. Sinta khawatir, jika kita terlalu jauh masuk ke dalam persoalan Haikal dan Aara, Aara semakin menjaga jarak dari kita.” “Aku merasa persoalan ini begitu rumit. Mengapa Haikal harus jatuh hati pada Aara. Kekhawatiranku terlalu besar, hal ini akan mempengaruhi hubungan baik kita dengan keluarga Harun.” “InsyaaAllah, Mas. Sinta yakin, Aara akan mengambil keputusan terbaik.” “Amin.” *** Tiba di kantor, Kei dikejutkan dengan kehadiran Fajar, di ruangannya. “Pak Fajar Bimantara? Kamu udah balik?”
“Fajar menitip salam untuk kamu. Dia lagi dapat tugas, mendampingi CEO ke London. Besok atau lusa udah balik!” Citra hanya tersenyum. Dia bingung, menyusun kalimat. Kadang rindu, tidak bisa terwakilkan dengan bahasa apapun. Beberapa menit berlalu. Kei pamit, dan meninggalkan warung soto Mas Tomo. “Cit?” “Iya Ra.” “Aku bingung. Sebenarnya bagaimana hubungan kalian?” Citra terpaku. “Kak Rahmat, Pak Restu? Kamu terlalu banyak fans, aku jadi pusing!” sambung Aara. Citra tersenyum. “Ra, sebanyak apapun orang yang datang dalam hidup kita, hati akan tetap terpaut pada cinta. Sejauh apapun kita melangkah, sejauh apapun jarak tercipta, cinta itu tetap akan berada di tempatnya.” “Aku semakin bingung dengan kalimat kamu. Bukannya tanggal pernikahan kamu dan kak Rahmat sudah ditentukan?” Citra hanya tersenyum. Aara menggeleng, tidak mengerti sikap sahabatnya itu. “Ra
Citra berdiri dan melangkah setengah hati menemui Aara, di dalam kamar. Dia merasakan suasana pagi ini, sangat tidak mengenakkan. Semua pikiran negatif, sudah berkecamuk dalam kepalanya. Dia terus bertanya, tujuan Haikal menemui Aara. “Citra?” Aara terkejut, melihat kehadiran Citra. “Iya!” “Kamu sudah dari tadi?” “Iya, aku ngobrol di depan, dengan tante Sinta.” “Kamu kenapa? Kok mukanya panik gitu?” “Ra, ayo keluar. Ada tamu untuk kamu?” “Tamu?” “Iya, Haikal anaknya om Harun.” “Yang di rumah sakit itu?” Aara memperjelas. “Iya. Ayo cepat! Dia udah dari tadi lho.” “Ada urusan apa?” “Mana aku tahu? Ayolah! Enggak enak ditungguin!” Masih dengan kebingungannya, Aara mengganti pakaiannya dan menemui Haikal di ruang tamu. Citra tetap bersamanya. “Assalamu’alaykum,” sapa Haikal, ramah. “Wa’alaykumussalam,” jawab Aara, tersenyum. Aara dan Citra, duduk di depan Hai
Malam kian larut. Fajar telah menyusul Fiki dan Hendri beristirahat. Kei masih duduk termenung sendiri, di meja kerjanya. Cinta? Mengapa kamu begitu rumit? Kamu datang begitu saja, tanpa kuminta. Setelah dekat, kamu malah menyiksaku, dalam rindu tak berkesudahan. Menyiksaku dalam jarak, yang tak mampu kutempuh. Beberapa menit dalam keheningan, Kei tertidur di meja kerjanya. Lelah tak berujung, tampak jelas di wajahnya. Sang pencinta yang sedang dilanda badai keraguan dan ketidak-berdayaan. Pukul dua malam, Kei terbangun. Dia baru sadar, dia masih di meja kerjanya. Setelah menenangkan dirinya, dia beranjak menuju kamar mandi. Lantas, dia mengambil sajadah di lantai dua. Tampak, dia akan menunaikan salat. Ketiga rekannya, larut dalam tidur. Ya Allah, ya Tuhanku. Perjalanan ini benar-benar melelahkanku. Apakah memang ini, takdir dari-Mu? Perjalanan yang harus kutempuh, menuju-Mu? Ya Allah, ya
Aara berdiri, terpaku, di depan pintu. Tangan Citra kembali menariknya, masuk ke dalam kamar. “Aara?” suara pria itu, mengagetkan Aara. “Kamu dipanggil, kamu mendekat ke sana!” bisik Citra. Aara mengangkat alis. Dia bingung. Siapa sebenarnya orang yang sedang di rawat dan sangat mengenalnya. “Ibu? Bisa Ibu jelaskan?” “Ayah kamu, Ra.” “Apa?” Aara terkesiap. Ibundanya mengangguk. Aara menatap Citra. Tanpa menjawab, Aara berdiri dan melangkah menuju pintu. Namun, tangan Citra, dengan sigap menariknya, untuk tetap di tempatnya. Aara tampak menahan emosi. Wajahnya tegang. “Duduk, Ra. Duduk!” pinta Citra. Aara duduk, dengan ekspresi yang sama. Dia tidak menyangka, Citra akan melakukan sesuatu yang sangat dia benci. Dia kecewa, sahabatnya sendiri, menariknya ke dalam pertemuan, yang paling dihindarinya. Aara terpaku dan Citra tetap fokus di sampingnya, menahan tangannya. “Sin, terima kasih kamu sudah