“Apa kata dokter tadi?” tanya Marrey tampak bingung dengan wajah Tristan yang terlihat bimbang setelah menelepon dokter itu.
Tristan duduk di hadapan Marrey, melipat kedua tangannya dengan rapi. “Dokter Oriche mengatakan bahwa Irina bisa sembuh dengan terapi.”
“Kalau begitu langsung kita ambil saja,” ujar Marrey cepat.
“Mama setuju dengan terapi yang akan dilakukan oleh mereka? Kalau Mama setuju besok setelah pulang kerja aku akan menemui Dokter Oriche untuk membicarakan ini,” kata Tristan kemudian.
“Kalau tujuannya baik, pastinya Mama setuju,” balas Marrey.
“Baiklah, Ma. Aku akan menengok Irina dulu di kamar, siapa tahu dia sudah bangun,” gumam Tristan berdiri sembari membawa beberapa potong roti isi untuk Irina karena dia yakin jika membawa nasi dan lauk pauk lagu, Irina akan menolak mentah-mentah.
Marrey mengangguk mengiyakan sementara itu ia sendiri akan sibuk dengan kegiatan merajutnya di ruang tengah dengan beberapa gulung benang wol lembut asli bulu domba. Tristan tersenyum tipis kepada Marrey kemudian melangkahkan kakinya menaiki puluhan anak tangga yang dilapisi keramik anti slip berwarna abu-abu.
Ia menaiki tangga dengan perlahan, menikmati setiap langkahnya. Kemudian setelah ia sampai di anak tangga paling terakhir ia sempat menggesekkan alas sepatunya ke sebuah keset yang ada di ujung sana agar tidak meninggalkan cap kotor di lantai lantas ia masuk ke dalam kamarnya sendiri. Irina masih tertidur karena efek samping kloroform, Tristan merasa iba melihat wajah pucat Irina saat itu.
“Maafkan aku, aku terlalu berlebihan kepadamu ....”
Tanpa sadar, tangan kanan Tristan terulur hingga menyentuh puncak kepala Irina, membuat Irina tersentak kaget begitu pun juga dengan Tristan yang ikut terkejut. Irina melirik Tristan dengan pandangan sayu dan sendu namun tak bisa mengatakan perasaan apa yang dirasakannya saat ini. Wajah kuyu itu selalu membuat Tristan menjadi sangat merasa bersalah.
“Irina ....”
“Tristan ....”
Ada perasaan bahagia yang menjalari hati Tristan saat mendengar Irina memanggil namanya walaupun tanpa adanya tambahan spesial di awalannya tetap saja Tristan merasa senang. Dengan penuh semangat Tristan menghampiri Irina kemudian meletakkan paper oil yang ia bawa di atas nakas sebelum membantu Irina mendapatkan posisi duduk yang sempurna.
“Kamu ingin memakan sesuatu?” tanya Tristan dengan seulas senyum.
“Aku ingin pulang,” ucap Irina dengan mata berkaca-kaca.
Tristan kembali bengong setelah mendengar ucapan Irina, Tristan terlihat sangat kebingungan setiap kali Irina mengatakan bahwa ia ingin pulang. Padahal mereka berdua sudah di rumah, apakah Irina lupa bahwa mereka berdua sudah berada di rumah saat itu? Ataukah Irina memang benar-benar tambah parah?
“Tristan ....”
“Tenang dulu, kamu aman bersamaku. Kamu makan dulu biar bertenaga untuk pulang,” bujuk Tristan kemudian.
“Tapi, aku ingin pulang,” gumam Irina semakin lirih.
“Iya, habis ini aku antar pulang. Makan dulu ya,” kata Tristan lagi, semakin berusaha untuk membujuk Irina agar memakan roti isi itu.
***
“Jadi, kamu berniat untuk membawa Irina pergi ke psikolog esok hari? Dan kamu mengambil cuti untuk esok?” rentetan pertanyaan keluar dari mulut Yudha tanpa henti seolah sedang menginterogasi.
Tristan mengangguk pelan tanpa menoleh, melihat sejawatnya yang tampak sedikit heran dengan tingkahnya. Hari ini Tristan terlihat lebih kalem dari pada hari sebelumnya yang terlihat sangat kekanakan. Memakai setelah jas yang sangat rapi dan licin dengan tatanan rambut yang disisir rapi mengkilap ke belakang, wajah tirusnya pun semakin tampan ketika dibingkai dengan kacamata minus bergagang tipis berwarna perak.
“Apa ada yang salah dengan penampilanku?” tanya Tristan kemudian ketika menyadari bahwa Yudha menatapnya dari atas sampai kaki tanpa henti.
“Enggak, kamu hanya terlihat lebih dewasa saja dengan penampilan seperti ini,” kelakar Yudha menggaruk tengkuknya.
“Aku ‘kan memang sudah tua,” kekeh Tristan.
“Tapi, beberapa hari yang lalu kamu sama sekali enggak kelihatan sudah tua,” gumam Yudha, “Sudahlah, aku pamit pergi dulu ke ruangannya Johnny untuk mengantar beberapa box map file ini.”
Tristan melirik kotak kardus yang masih disegel dengan isolasi secara rapi, Ia menautkan kedua alisnya dengan wajah penuh tanya.
“Apa itu?”
“Map file untuk persiapan rapat dan lain-lain, semuanya sudah dipersiapkan,” kata Yudha.
“Oh begitu... ya sudah, cepat antarkan itu. Aku juga harus ke ruang fotokop—“
Baru saja Tristan ingin menyelesaikan perkataannya, seorang satpam masuk dengan terengah-engah karena sudah berlari cukup jauh. Satpam tersebut masih tampak tersengal-sengal ketika ingin mengutarakan maksud kedatangannya. Yudha yang kasihan akhirnya menyodorkan botol air mineral miliknya yang masih bersegel.
“Minum dulu, Pak. Ada apa sih kok sampai terburu-buru begitu?” tanya Yudha kemudian.
Satpam parubaya itu tampak sangat begitu lelah hingga air mineral yang tadinya sangat penuh nyaris tandas hingga ujung botol. Setelah puas meminum air mineral itu, ia menarik napas panjang mengatur sirkulasi udara yang ia hirup.
“Ada apa, Pak? Kok buru-buru begitu?” tanya Tristan lagi.
“Saya ke sini untuk memanggil Den Tristan, di lobi ada perempuan yang mencari Den Tristan sampai mengamuk,” ucap Satpam tersebut.
“Siapa, Pak?” tanya Tristan penasaran.
“Enggak tau Den Tristan, kurang kenal juga. Lebih baik Den Tristan ke sana dulu untuk melihatnya,” gumam Satpam itu.
“Apa mungkin Irina, Tris?” tanya Yudha kemudian dengan tatapan penuh keheranan.
“Tapi, enggak mungkin banget kalau Mama membiarkan Irina keluar sendiri, kan dia masih dalam proses penyembuhan,” ujar Tristan. “Lebih baik, aku menemuinya dulu. Ayo, pak.”
Tanpa menunggu lama Satpam berseragam hitam putih itu membimbing Tristan menuju lobi yang ada di lantai dasar. Perusahaan itu adalah perusahaan yang bergerak di bidang property, perusahaan yang dibangun dan dikembangkan oleh Triandri Douwes Hadiwira kakek buyut Tristan. Namun, walaupun Tristan adalah orang yang sedarah dengan Triandri tetap saja ia hanya diberikan pekerjaan dengan gaji pas-pasan karena hanya menjadi asisten Doy yang menjadi kepala seksi humas.
Hal itu disebabkan oleh kesalahpahaman antara ayahnya yang bernama Randi dan Tristan sendiri, semua orang juga tak akan menyangka dengan keputusan Randi yang terkesan begitu kejam kepada anak kandungnya sendiri. Walaupun sebenarnya Randi mengetahui bahwa bukan Tristan lah yang merusak hidup Irina secara langsung namun, Tristan tetap diberikan pekerjaan itu.
“Dari tadi perempuan itu berteriak-teriak sendiri karena mencari Den Tristan,” ucap Satpam itu lagi dengan suara bergetar.
“Astagfirullah, sebenarnya siapa perempuan itu, Pak? Bagaimana ciri-cirinya?” tanya Tristan lagi saat mereka baru saja memasuki lift.
Satpam tersebut segera menekan tombol menuju lantai dasar, lantas kembali melirik Tristan, “ Dia cantik Den, rambutnya panjang bergelombang agak kecokelatan, pakaiannya juga bagus-bagus seperti dari keluarga gedhongan.”
Tristan kembali memutar bola matanya sembari mencoba mengingat siapa perempuan yang dimaksud oleh Satpam kepercayaan Randi itu. Hampir tiga belas menit lamanya mereka di dalam lift sebelum akhirnya pintu baja itu terbuka tepat di dengan sebuah meja resepsionis.
“Itu Pak, perempuannya,” kata Satpam itu sembari menunjuk ke beberapa satpam lainnya yang sedang menghadang seseorang.
Tristan dan satpam tersebut perlahan berjalan menghampiri perempuan tersebut, dengan was-was Tristan menduga-duga siapa sebenarnya perempuan yang mencarinya di jam kerja seperti ini, apa lagi sampai membuat satpam ikut kewalahan.
“Kamu?”
“Kamu?” Tristan tertegun saat melihat perempuan yang ada di hadapannya saat itu, ia adalah perempuan yang menghubunginya tempo hari. Dan kali ini perempuan itu menemuinya dengan penuh kekesalan ke tempat bekerja. Tristan hanya bisa berdiri mematung di sana saat kornea matanya bertemu dengan perempuan itu. “Iya, ini aku Tristan. Apa ada yang salah?” tanya Yerianna dengan wajah berbinar. “Yer... Yerianna,” gumam Tristan terbata. “Kenapa Tristan? Kok sepertinya kamu sangat kaget saat melihatku?” tanya Yerianna lagi, senyum yang terulas sangat manis di wajahnya kian menyusut. “Yerianna... aku ....”
Tristan berjalan sedikit terburu-buru memasuki sebuah ruangan kecil berukuran 4 x 3 meter bernuansa putih gading vintage, tanpa lupa ia membawa beberapa buah tangan di tangan kanannya. “Assalamualaikum, Dok. Maaf saya agak terlambat dari jadwal yang ditentukan,” gumam Tristan saat baru saja menatap Dokter perempuan di ruangan itu. “Pak Tristan enggak terlambat, kok. Saya juga baru saja selesai melakukan tugas saya,” balas Dokter Oriche. “Oh iya, Dok. Ini saya bawakan beberapa buah tangan untuk Dokter.” Tristan menyodorkan tas karton yang ada di pegangannya kepada Dokter Oriche. “Kenapa Bapak membawa buah tangan seperti ini? Di mana Bu Irina?” tanya Dokter Ori
Pagi-pagi sekali Tristan sudah membangunkan Irina dengan sedikit usaha agar Irina mau diajak pergi ke rumah sakit siang itu walaupun beberapa kali malah membuat Irina histeris sendiri, Tristan tahu dengan jelas bahwa Irina masih sangat takut dengan lingkungan luar, hal itulah yang justru membuat Tristan merasa Irina harus pergi hari terapi hari ini. Setelah selesai menunaikan sholat dhuha, Tristan segera mencari long cardigan untuk Irina agar ia tidak kedinginan saat di perjalanan karena dari tadi subuh rintik hujan sudah membasahi daerah ini hingga saat ini. Tanpa lupa Tristan juga mencari masker wajah dari dalam lemarinya untuk Irina agar tidak merasa begitu gugup menghadapi orang lain di rumah sakit nanti. Hal itu sudah Tristan persiapkan dengan matang dari kemarin, bahkan kemarin ia harus begadang hanya untuk m
“Irina ... bangun sayang ... sudah hampir Ashar.” Irina mengerjapkan mata beberapa kali saat mendengar suara dan sebuah usapan pelan di puncak kepalanya, ia sedikit terkejut karena menyadari bahwa dirinya sekarang sudah berada di kamar dengan selimut menutupi tubuhnya hingga pinggang. “Kamu ketiduran saat psikoterapinya selesai, kata dokter Laurent hal itu wajar-wajar saja jikalau pasien yang menjalani hipnoterapi tertidur.” Tristan berkata seolah menyadari kelinglungan Irina saat itu. Irina menghela napas saat mendengar perkataan Tristan namun, masih enggan untuk bangun dari tempat tidur karena merasa sangat pusing. Irina kembali berbaring, memunggungi Tristan yang masih berusaha membangunkannya.
Irina masih berdiri menyerana di balkon kamarnya, Yerianna sudah pergi sedari tadi dari rumah itu namun, perasaannya masih sangat kacau. Irina bisa melihat kalau Yerianna pergi dari rumah itu sambil menangis walaupun perempuan itu pergi memunggunginya, entah apa yang dilakukan Tristan hingga perempuan cantik itu menangis. Irina benar-benar seperti orang jahat yang menari di atas penderitaan Yerianna. Tak seharusnya Irina berada di posisi ini sekarang, tak seharusnya pula Irina menyandang embel-embel Nyonya Tristan Hadiwira saat ini. Ini adalah sebuah kebetulan yang menyakitkan, sebuah kesialan yang berujung kehampaan. Irina tertegun ketika mendengar pertengkaran mereka tadi, hal itu sungguh membuatnya juga merasa bersalah karena Irina sudah menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka berdua. “Kamu kok malah duduk di luar, sih? Udara malam enggak baik untuk ibu hamil,” kata Trista
“Kenapa kembali ke sini? Katanya enggak mau ketemu sama aku lagi,” sambut Irina saat Tristan baru saja masuk ke kamar mereka. Tristan mengulas senyum tipis sebisa mungkin menyembunyikan emosinya, ia berjalan ke meja kerja yang ada di sudut ruangan dan meletakkan laptop miliknya bersama map file. Kemudian ia menoleh kepada Irina yang memandangnya bingung. “Kamu sudah mengambil wudhu? Kalau sudah kamu siap-siap terlebih dahulu, kita shalat witir bersama,” kata Tristan dengan seulas senyum. “Aku mau tidur, sudah mengantuk,” pungkas Irina tanpa basa-basi langsung beranjak menarik selimut guna menutupi tubuhnya. “Ya, sudah kalau kamu mengantuk. Tidur saja duluan, nanti aku menyusul, aku shalat dulu.” Tristan mempersiapkan sajadah
Hiruk pikuk kehidupan sudah dimulai sejak tadi, matahari sudah hampir meninggi menyinari bumi pertiwi yang sudah mulai usang oleh perkembangan zaman, beberapa orang sudah mulai berangkat kerja dan bersiap dengan kegiatan masing-masing pagi itu. Ada beberapa orang yang bersepeda sembari menikmati suasana cluster yang belum ramai oleh anak-anak kecil yang berlarian. Sebuah keberuntungan seorang Irina yang menjadi istri dari Tristan Putra Hadiwira dan menantu Randi Triyoga Hadiwira. Tapi, ini bukanlah perumahan cluster mewah yang dibayangkan oleh orang lain karena tinggal di sini adalah sebuah bantuan dari Marrey mengingat bahwa Tristan dan Randi masih memiliki kesalahpahaman. Lingkungan di cluster itu sungguhlah nyaman dan aman namun, beberapa tetangga di sana juga memiliki mulut yang luar biasa tajam kepada penghuni baru. Apalagi untuk ukura
Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, Tristan masih bersiap di meja kerjanya sembari bertanya kepada dokter Oriche mengenai makanan laut yang aman untuk ibu hamil via pesan chat. Entah mengapa setelah menyadari kesalahannya yang begitu besar kepada Irina, Tristan menjadi sangat over protective dan ingin menjadi suami yang baik juga siap siaga. Entah cukup atau tidak untuk membayar rasa bersalahnya kepada Irina selama ini. Beberapa menit kemudian setelah selesai mengobrol dengan dokter Oriche, Tristan mengulurkan tangannya untuk mengambil telepon seluler yang ada di sudut kanan atas meja kerjanya. Ia menekan beberapa digit nomor telepon dari sebuah restoran seafood terbaik langganan keluarganya. Memesan menu kerang saus pedas terbaik yang ada di restoran tersebut dan meminta agar segera dikirim ke rumahnya tepat jam sembilan nanti.&nb
“Karina, tolong makan sedikit saja. Bayi kita perlu makanan yang bergizi ... kamu jangan seperti ini, kamu bisa menyakitinya.” Entah sudah berapa kali Marshal meminta istrinya itu menyentuh makanan yang sudah mendingin di hadapannya. Karina, wanita yang sudah sah menjadi istri Marshal itu tampak lebih kurus dari sebelumnya. Wajahnya kuyu, matanya sendu menyimpan kepiluan hidupnya, sesekali matanya bergetar ingin menumpahkan emosi yang tak juga kunjung mereda. “Aku suapin, ya?” tawar Marshal lagi. Karina diam, pandangan matanya kosong ke depan. Marshal menghela napas pelan, lantas duduk di samping Karina. Marshal tahu bahwa istrinya itu masih belum bisa menerima dirinya dengan sepenuh hati tapi, Marshal harus tetap menepati janji sakral yang sudah ia ucapkan sendiri. “Karina, tolong dengar aku ... bayi kita perlu makanan agar dia bisa tumbuh sehat di dalam perut kamu, kalau kamu enggak makan dia pasti juga ikut kelaparan,” ucap Marshal seraya mengambil tan
Irina meletakkan secangkir americano yang masih mengepulkan asap tipis di hadapan Tristan, setelah makan malam Tristan memang menonton televisi di kamar namun, Irina merasa bahwa Tristan tak sedang menyimak acara yang ditayangkan malam itu. “Kamu benaran enggak mempunyai masalah?” tanya Irina lagi. Tristan menghela napas panjang. “Kenapa kamu repot-repot membuat kopi dan membawanya naik? Kalau tumpah bisa jadi bahaya buat kamu sama calon anak kita.” Irina mengernyitkan dahinya merasa aneh, kemudian ikut menjatuhkan tubuhnya di sebelas kiri Tristan namun, masih memberikan sedikit celah di antara mereka. “Enggak mau mepet-mepet ke dekatku?” tanya Tristan ketika menyadari adanya celah tersebut.
Tristan kembali ke ruangannya dengan wajah lesu, ia benar-benar merasa tidak becus dalam segala hal setelah dimarahi oleh Randi beberapa waktu yang lalu. Hatinya benar-benar sakit mendengar cibiran Randi yang tak ada habisnya bahkan sangat menohok, walaupun ini bukan pertama kalinya Tristan dimarahi seperti itu tetap saja kali ini Tristan benar-benar merasa sudah terlalu berlebihan. Ia mengambil sebuah wine kaleng yang ia simpan di laci meja kerjanya, membukanya hanya dengan satu kali sentuhan. Ia merasa sangat frustrasi karena hal itu dan ingin melupakannya sejenak. “Astaghfirullah! Tris! Haram!” jerit Doy yang baru saja masuk ke ruangan tersebut dan langsung menyahut kaleng itu. Tristan terkejut bukan main, kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajah sembari beruc
Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, Tristan masih bersiap di meja kerjanya sembari bertanya kepada dokter Oriche mengenai makanan laut yang aman untuk ibu hamil via pesan chat. Entah mengapa setelah menyadari kesalahannya yang begitu besar kepada Irina, Tristan menjadi sangat over protective dan ingin menjadi suami yang baik juga siap siaga. Entah cukup atau tidak untuk membayar rasa bersalahnya kepada Irina selama ini. Beberapa menit kemudian setelah selesai mengobrol dengan dokter Oriche, Tristan mengulurkan tangannya untuk mengambil telepon seluler yang ada di sudut kanan atas meja kerjanya. Ia menekan beberapa digit nomor telepon dari sebuah restoran seafood terbaik langganan keluarganya. Memesan menu kerang saus pedas terbaik yang ada di restoran tersebut dan meminta agar segera dikirim ke rumahnya tepat jam sembilan nanti.&nb
Hiruk pikuk kehidupan sudah dimulai sejak tadi, matahari sudah hampir meninggi menyinari bumi pertiwi yang sudah mulai usang oleh perkembangan zaman, beberapa orang sudah mulai berangkat kerja dan bersiap dengan kegiatan masing-masing pagi itu. Ada beberapa orang yang bersepeda sembari menikmati suasana cluster yang belum ramai oleh anak-anak kecil yang berlarian. Sebuah keberuntungan seorang Irina yang menjadi istri dari Tristan Putra Hadiwira dan menantu Randi Triyoga Hadiwira. Tapi, ini bukanlah perumahan cluster mewah yang dibayangkan oleh orang lain karena tinggal di sini adalah sebuah bantuan dari Marrey mengingat bahwa Tristan dan Randi masih memiliki kesalahpahaman. Lingkungan di cluster itu sungguhlah nyaman dan aman namun, beberapa tetangga di sana juga memiliki mulut yang luar biasa tajam kepada penghuni baru. Apalagi untuk ukura
“Kenapa kembali ke sini? Katanya enggak mau ketemu sama aku lagi,” sambut Irina saat Tristan baru saja masuk ke kamar mereka. Tristan mengulas senyum tipis sebisa mungkin menyembunyikan emosinya, ia berjalan ke meja kerja yang ada di sudut ruangan dan meletakkan laptop miliknya bersama map file. Kemudian ia menoleh kepada Irina yang memandangnya bingung. “Kamu sudah mengambil wudhu? Kalau sudah kamu siap-siap terlebih dahulu, kita shalat witir bersama,” kata Tristan dengan seulas senyum. “Aku mau tidur, sudah mengantuk,” pungkas Irina tanpa basa-basi langsung beranjak menarik selimut guna menutupi tubuhnya. “Ya, sudah kalau kamu mengantuk. Tidur saja duluan, nanti aku menyusul, aku shalat dulu.” Tristan mempersiapkan sajadah
Irina masih berdiri menyerana di balkon kamarnya, Yerianna sudah pergi sedari tadi dari rumah itu namun, perasaannya masih sangat kacau. Irina bisa melihat kalau Yerianna pergi dari rumah itu sambil menangis walaupun perempuan itu pergi memunggunginya, entah apa yang dilakukan Tristan hingga perempuan cantik itu menangis. Irina benar-benar seperti orang jahat yang menari di atas penderitaan Yerianna. Tak seharusnya Irina berada di posisi ini sekarang, tak seharusnya pula Irina menyandang embel-embel Nyonya Tristan Hadiwira saat ini. Ini adalah sebuah kebetulan yang menyakitkan, sebuah kesialan yang berujung kehampaan. Irina tertegun ketika mendengar pertengkaran mereka tadi, hal itu sungguh membuatnya juga merasa bersalah karena Irina sudah menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka berdua. “Kamu kok malah duduk di luar, sih? Udara malam enggak baik untuk ibu hamil,” kata Trista
“Irina ... bangun sayang ... sudah hampir Ashar.” Irina mengerjapkan mata beberapa kali saat mendengar suara dan sebuah usapan pelan di puncak kepalanya, ia sedikit terkejut karena menyadari bahwa dirinya sekarang sudah berada di kamar dengan selimut menutupi tubuhnya hingga pinggang. “Kamu ketiduran saat psikoterapinya selesai, kata dokter Laurent hal itu wajar-wajar saja jikalau pasien yang menjalani hipnoterapi tertidur.” Tristan berkata seolah menyadari kelinglungan Irina saat itu. Irina menghela napas saat mendengar perkataan Tristan namun, masih enggan untuk bangun dari tempat tidur karena merasa sangat pusing. Irina kembali berbaring, memunggungi Tristan yang masih berusaha membangunkannya.
Pagi-pagi sekali Tristan sudah membangunkan Irina dengan sedikit usaha agar Irina mau diajak pergi ke rumah sakit siang itu walaupun beberapa kali malah membuat Irina histeris sendiri, Tristan tahu dengan jelas bahwa Irina masih sangat takut dengan lingkungan luar, hal itulah yang justru membuat Tristan merasa Irina harus pergi hari terapi hari ini. Setelah selesai menunaikan sholat dhuha, Tristan segera mencari long cardigan untuk Irina agar ia tidak kedinginan saat di perjalanan karena dari tadi subuh rintik hujan sudah membasahi daerah ini hingga saat ini. Tanpa lupa Tristan juga mencari masker wajah dari dalam lemarinya untuk Irina agar tidak merasa begitu gugup menghadapi orang lain di rumah sakit nanti. Hal itu sudah Tristan persiapkan dengan matang dari kemarin, bahkan kemarin ia harus begadang hanya untuk m