Tristan berjalan sedikit terburu-buru memasuki sebuah ruangan kecil berukuran 4 x 3 meter bernuansa putih gading vintage, tanpa lupa ia membawa beberapa buah tangan di tangan kanannya.
“Assalamualaikum, Dok. Maaf saya agak terlambat dari jadwal yang ditentukan,” gumam Tristan saat baru saja menatap Dokter perempuan di ruangan itu.
“Pak Tristan enggak terlambat, kok. Saya juga baru saja selesai melakukan tugas saya,” balas Dokter Oriche.
“Oh iya, Dok. Ini saya bawakan beberapa buah tangan untuk Dokter.” Tristan menyodorkan tas karton yang ada di pegangannya kepada Dokter Oriche.
“Kenapa Bapak membawa buah tangan seperti ini? Di mana Bu Irina?” tanya Dokter Oriche merasa tidak enak.
“Istri saya masih di rumah, Dok. Saya langsung ke sini setelah pulang dari kantor,” balas Tristan, “Ini bukan apa-apa, Dok. Enggak sebanding sama bantuan Dokter selama ini untuk membantu Istri saya.”
“Aduh, terima kasih banyak kalau begitu, Pak. Sebenarnya saya ikhlas dengan sangat untuk membantu kesembuhan istri Bapak. Duduk dulu, Pak.” Dokter Oriche meletakkan tas karton itu di nakas di belakang meja kerjanya sedetik kemudian ia beringsut mengambil beberapa kaleng soda yang ada di lemari es mini.
“Terus bagaimana, Dok? Apakah bisa dengan segera kita melakukan psikoterapi itu?” tanya Tristan tampak tidak sabar.
“Sebelum ke sana, bagaimana kalau saya jelaskan apa itu psikoterapi dan manfaatnya, Pak? Sebenarnya ini bukan pekerjaan saya, saya hanya membantu menjelaskan apa itu psikoterapi sebelum Bapak bertemu dengan beliau.”
Tristan mengangguk setuju akan hal itu karena ia tak ingin membuang banyak waktu lagi untuk melakukan pengobatan.
“Psikoterapi adalah salah satu metode penanganan yang umum dilakukan untuk menangani berbagai masalah kejiwaan, seperti stres berat, depresi, dan gangguan cemas. Psikoterapi biasanya dilakukan perorangan, tapi terkadang juga bisa dilakukan secara berkelompok. Psikoterapi merupakan salah satu langkah penanganan yang paling sering dilakukan oleh psikiater dan psikolog untuk menangani gangguan emosional atau masalah psikologis yang dirasakan oleh pasien. Selain itu, psikoterapi juga dapat dilakukan untuk mengatasi masalah perilaku, seperti tantrum dan perilaku adiksi atau ketergantungan terhadap hal tertentu, misalnya narkoba, alkohol, berjudi, hingga pornografi. Melalui psikoterapi, psikolog atau psikiater akan membimbing dan melatih pasien untuk belajar mengenali kondisi, perasaan, dan pikiran yang menyebabkan keluhan serta membantu pasien untuk membentuk perilaku yang positif terhadap masalah yang sedang dihadapi.”
“Lalu, apakah psikoterapi itu bermacam-macam?” tanya Tristan.
“Untuk jenis psikoterapi ada beberapa jenis yang sering dilakukan untuk pasien. Seperti terapi perilaku kognitif, terapi psikoanalitik atau psikodinamik, terapi interpersonal, terapi keluarga, dan hipnoterapi,” jawab Dokter Oriche.
“Kalau untuk istri saya nanti akan memakai terapi yang mana ya, Dok?” tanya Tristan lagi.
“Kalau hal itu, mungkin akan ditentukan beliau sebagai psikolog yang akan menangani Bu Irina,” balas Dokter Oriche, “Tugas Bapak adalah merincikan secara ulang kondisi Bu Irina selama beberapa bulan ini sebelum kita bertemu Dokter Laurent esok hari.”
“Apakah saya harus merincikan penyebabnya juga, Dok?” tanya Tristan.
“Bapak juga terlihat sangat cemas belakangan ini. Mata Bapak selalu bergetar ketika berbicara, dari suara Bapak juga saya paham kalau Bapak mengalami Anxienty. Bapak juga bisa melakukan terapi, bersama Istri Bapak,” kata Dokter Oriche dengan seulas senyum.
“Ta-tapi saya baik-baik saja, Dok,” ungkap Tristan tertegun.
“Enggak apa-apa, Pak. Jangan sungkan kepada saya, kalau Bapak mau ... Bapak bisa melakukan terapi juga esok hari.”
Tristan terdiam sejenak karena bingung memikirkan hal itu, ia berpikir apakah wajahnya sangat terlihat seperti orang kelelahan? Apakah wajahnya seperti seorang zombie yang baru saja keluar dari sebuah mesin waktu?
Tak lama kemudian ia menggelengkan kepalanya menampik semua pikiran negatif itu, ia menatap Dokter Oriche yang juga menatapnya dengan tatapan penasaran.
“Bapak bisa ke sini esok hari pukul sebelas siang bersama Bu Irina,” kata Dokter Oriche.
“Baik, Dok. Saya akan ke sini esok hari bersama Istri dan Ibu saya,” balas Tristan yakin.
***
“Assalamualaikum.”
Tristan baru masuk ke dalam ruang tamu saat adzan magrib sudah berkumandang memanggil setiap umat untuk segera menghadap Allah SWT guna, mengadukan segala keluh kesahnya. Marrey yang memang sedari tadi berada di ruang tengah datang untuk menyambutnya, Tristan pulang tidak dengan tangan kosong, ia selalu membawa beberapa macam camilan atau kue basah dari supermarket untuk Irina walaupun pada akhirnya harus berakhir di tong sampah atau di dalam lemari es hingga menjamur.
“Waalaikumsalam, tumben kamu pulangnya sedikit lebih lama, Nak? Jadi, bagaimana? Kamu sudah bertemu dokternya?” Marrey membantu Tristan untuk membawa barang bawaannya.
Marrey meletakkan barang bawaan Tristan di meja kitchen set, sementara itu Tristan berjalan menuju lemari es untuk mengambil air dingin.
“Besok kita berangkat jam sebelas siang, Ma. Tadi, Tristan sudah ketemu sama dokter Oriche,” balas Tristan.
“Alhamdulillah kalau begitu, Tris. Mama harap setelah menjalani psikoterapi, Irina sedikit lebih membaik,” ungkap Marrey penuh harapan agar menantunya itu segera pulih dari traumanya.
Tristan mengangguk sembari menuangkan air es ke dalam sebuah gelas kaca, pikirannya masih terbang ke mana-mana tak bisa berhenti. Ia memilih untuk meminum air es berharap agar rasa cemasnya sedikit menghilang. Ia menghela napas cukup panjang setelah meneguk air itu hingga tandas membuat Marrey terkejut heran.
“Apa kamu mempunyai masalah, Nak?” tanya Marrey. “Kalau kamu punya masalah kamu bisa cerita ke Mama.”
“Enggak kok, Ma. Tristan Cuma memikirkan masalah pengobatan Irina esok hari,” jawab Tristan kemudian.
“Kamu enggak perlu khawatir seperti itu, Tristan. Mama yakin pasti setelah menjalani psikoterapi, Irina akan lebih baik,” gumam Marrey menepuk bahu Tristan perlahan.
“Irina mana, Ma?” tanya Tristan.
“Di kamar, mungkin kembali tidur karena kelelahan. Kamu mandi dulu sana, terus sholat,” titah Marrey kepada Tristan.
Tristan mengangguk perlahan lantas beranjak pergi dari hadapan Marrey menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua, sembari menaiki tangga ia melepas jas dan kacamata yang dipakainya. Sedikit memijat pelipisnya yang terasa amat pening karena terlalu banyak pekerjaan belum lagi adanya Yerianna yang semakin membuatnya merasa pusing tujuh keliling.
“Assalamualaikum, Irina ...,” sapa Tristan begitu membuka pintu kayu jati itu, perlahan masuk.
Irina tak menjawab karena terlelap dengan nyenyak di tempat tidur. Tristan yang melihat hal itu hanya bisa tersenyum tipis, ingin membangunkan tapi tidak tega karena terlihat begitu pulas. Tristan menghampiri Irina dengan langkah pelan agar tak menimbulkan suara bising, ditatapnya wajah kuyu Irina cukup lama. Tristan tak bisa menjabarkan perasaannya sendiri ketika melihat kondisi Irina yang begitu memprihatinkan, bahkan nyaris terlihat seperti mayat hidup.
Sekarang Irina terlihat sangat kurus, karena tak mau memakan apa pun kalau tidak karena terpaksa. Bahkan makanan-makanan kecil pun selalu ditolaknya padahal Irina sendiri tahu kalau ia kelaparan.
“Besok, kita akan berobat. Kamu tenang saja ....”
Pagi-pagi sekali Tristan sudah membangunkan Irina dengan sedikit usaha agar Irina mau diajak pergi ke rumah sakit siang itu walaupun beberapa kali malah membuat Irina histeris sendiri, Tristan tahu dengan jelas bahwa Irina masih sangat takut dengan lingkungan luar, hal itulah yang justru membuat Tristan merasa Irina harus pergi hari terapi hari ini. Setelah selesai menunaikan sholat dhuha, Tristan segera mencari long cardigan untuk Irina agar ia tidak kedinginan saat di perjalanan karena dari tadi subuh rintik hujan sudah membasahi daerah ini hingga saat ini. Tanpa lupa Tristan juga mencari masker wajah dari dalam lemarinya untuk Irina agar tidak merasa begitu gugup menghadapi orang lain di rumah sakit nanti. Hal itu sudah Tristan persiapkan dengan matang dari kemarin, bahkan kemarin ia harus begadang hanya untuk m
“Irina ... bangun sayang ... sudah hampir Ashar.” Irina mengerjapkan mata beberapa kali saat mendengar suara dan sebuah usapan pelan di puncak kepalanya, ia sedikit terkejut karena menyadari bahwa dirinya sekarang sudah berada di kamar dengan selimut menutupi tubuhnya hingga pinggang. “Kamu ketiduran saat psikoterapinya selesai, kata dokter Laurent hal itu wajar-wajar saja jikalau pasien yang menjalani hipnoterapi tertidur.” Tristan berkata seolah menyadari kelinglungan Irina saat itu. Irina menghela napas saat mendengar perkataan Tristan namun, masih enggan untuk bangun dari tempat tidur karena merasa sangat pusing. Irina kembali berbaring, memunggungi Tristan yang masih berusaha membangunkannya.
Irina masih berdiri menyerana di balkon kamarnya, Yerianna sudah pergi sedari tadi dari rumah itu namun, perasaannya masih sangat kacau. Irina bisa melihat kalau Yerianna pergi dari rumah itu sambil menangis walaupun perempuan itu pergi memunggunginya, entah apa yang dilakukan Tristan hingga perempuan cantik itu menangis. Irina benar-benar seperti orang jahat yang menari di atas penderitaan Yerianna. Tak seharusnya Irina berada di posisi ini sekarang, tak seharusnya pula Irina menyandang embel-embel Nyonya Tristan Hadiwira saat ini. Ini adalah sebuah kebetulan yang menyakitkan, sebuah kesialan yang berujung kehampaan. Irina tertegun ketika mendengar pertengkaran mereka tadi, hal itu sungguh membuatnya juga merasa bersalah karena Irina sudah menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka berdua. “Kamu kok malah duduk di luar, sih? Udara malam enggak baik untuk ibu hamil,” kata Trista
“Kenapa kembali ke sini? Katanya enggak mau ketemu sama aku lagi,” sambut Irina saat Tristan baru saja masuk ke kamar mereka. Tristan mengulas senyum tipis sebisa mungkin menyembunyikan emosinya, ia berjalan ke meja kerja yang ada di sudut ruangan dan meletakkan laptop miliknya bersama map file. Kemudian ia menoleh kepada Irina yang memandangnya bingung. “Kamu sudah mengambil wudhu? Kalau sudah kamu siap-siap terlebih dahulu, kita shalat witir bersama,” kata Tristan dengan seulas senyum. “Aku mau tidur, sudah mengantuk,” pungkas Irina tanpa basa-basi langsung beranjak menarik selimut guna menutupi tubuhnya. “Ya, sudah kalau kamu mengantuk. Tidur saja duluan, nanti aku menyusul, aku shalat dulu.” Tristan mempersiapkan sajadah
Hiruk pikuk kehidupan sudah dimulai sejak tadi, matahari sudah hampir meninggi menyinari bumi pertiwi yang sudah mulai usang oleh perkembangan zaman, beberapa orang sudah mulai berangkat kerja dan bersiap dengan kegiatan masing-masing pagi itu. Ada beberapa orang yang bersepeda sembari menikmati suasana cluster yang belum ramai oleh anak-anak kecil yang berlarian. Sebuah keberuntungan seorang Irina yang menjadi istri dari Tristan Putra Hadiwira dan menantu Randi Triyoga Hadiwira. Tapi, ini bukanlah perumahan cluster mewah yang dibayangkan oleh orang lain karena tinggal di sini adalah sebuah bantuan dari Marrey mengingat bahwa Tristan dan Randi masih memiliki kesalahpahaman. Lingkungan di cluster itu sungguhlah nyaman dan aman namun, beberapa tetangga di sana juga memiliki mulut yang luar biasa tajam kepada penghuni baru. Apalagi untuk ukura
Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, Tristan masih bersiap di meja kerjanya sembari bertanya kepada dokter Oriche mengenai makanan laut yang aman untuk ibu hamil via pesan chat. Entah mengapa setelah menyadari kesalahannya yang begitu besar kepada Irina, Tristan menjadi sangat over protective dan ingin menjadi suami yang baik juga siap siaga. Entah cukup atau tidak untuk membayar rasa bersalahnya kepada Irina selama ini. Beberapa menit kemudian setelah selesai mengobrol dengan dokter Oriche, Tristan mengulurkan tangannya untuk mengambil telepon seluler yang ada di sudut kanan atas meja kerjanya. Ia menekan beberapa digit nomor telepon dari sebuah restoran seafood terbaik langganan keluarganya. Memesan menu kerang saus pedas terbaik yang ada di restoran tersebut dan meminta agar segera dikirim ke rumahnya tepat jam sembilan nanti.&nb
Tristan kembali ke ruangannya dengan wajah lesu, ia benar-benar merasa tidak becus dalam segala hal setelah dimarahi oleh Randi beberapa waktu yang lalu. Hatinya benar-benar sakit mendengar cibiran Randi yang tak ada habisnya bahkan sangat menohok, walaupun ini bukan pertama kalinya Tristan dimarahi seperti itu tetap saja kali ini Tristan benar-benar merasa sudah terlalu berlebihan. Ia mengambil sebuah wine kaleng yang ia simpan di laci meja kerjanya, membukanya hanya dengan satu kali sentuhan. Ia merasa sangat frustrasi karena hal itu dan ingin melupakannya sejenak. “Astaghfirullah! Tris! Haram!” jerit Doy yang baru saja masuk ke ruangan tersebut dan langsung menyahut kaleng itu. Tristan terkejut bukan main, kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajah sembari beruc
Irina meletakkan secangkir americano yang masih mengepulkan asap tipis di hadapan Tristan, setelah makan malam Tristan memang menonton televisi di kamar namun, Irina merasa bahwa Tristan tak sedang menyimak acara yang ditayangkan malam itu. “Kamu benaran enggak mempunyai masalah?” tanya Irina lagi. Tristan menghela napas panjang. “Kenapa kamu repot-repot membuat kopi dan membawanya naik? Kalau tumpah bisa jadi bahaya buat kamu sama calon anak kita.” Irina mengernyitkan dahinya merasa aneh, kemudian ikut menjatuhkan tubuhnya di sebelas kiri Tristan namun, masih memberikan sedikit celah di antara mereka. “Enggak mau mepet-mepet ke dekatku?” tanya Tristan ketika menyadari adanya celah tersebut.